Endapan Percakapan setelah Pertunjukkan


Percakapan setelah teater biasanya lebih meninggalkan kesan mendalam dari pertunjukkan itu sendiri. Mungkin itu yang terjadi hari kemarin setelah (akhirnya) menonton pementasan teater absurd secara langsung.

Pementasan karya Samuel Beckett dengan judul Fin de Partie dipentaskan dengan apik oleh Teater Garasi. Tidak banyak yang dapat saya katakan di sini karena saya tidak punya komparasi mengenai pertunjukkan teater absurd lainnya. Satu hal yang saya sadari, saya keluar dari gedung pertunjukkan dengan tanda tanya besar setelah meresapi dialog demi dialog yang dipaparkan oleh Hamm, Clov, Neil dan Nagg. Saya rasa, pertanyaan dan kebingungan sudah cukup jadi parameter keberhasilan Beckett untuk menunjukkan absurdnya hidup.

Tulisan ini tidak ditulis dengan intensi apapun, tidak juga mengkritisi, apalagi memuji, hanya mencoba menyalurkan gaung-gaung suara yang merupakan akibat ketidakjelasan hidup yang memberi ruang antara harapan dan ketakutan di saat bersamaan.

Keluar dari gedung teater,
kepala saya dipenuhi hal-hal yang saya katakan 'ampas kopi'. Hal yang nampak sisa dan tak penting, namun justru merupakan bagian paling penting yang mengendap (setidaknya dalam kepala saya).

Eksistensi kembali menjadi pertanyaan besar di kepala saya, selain kehidupan yang entah maunya apa. Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tidak patut dipertanyakan karena mengurangi untuk hidup (kita terlalu terbenam dalam percakapan tentang hidup itu sendiri sampai lupa proses hidup). Muncul lagi pertanyaan, mungkinkah ini resistensi seseorang akan ketakutannya akan eksistensinya sendiri?
Entah.
Pertanyaan itu kembali ke masing-masing pribadi.

Pementasan sore itu meretas logika, dialog sarat makna, dan dialog/monolog yang membuat saya terpukau akan kemampuan tiap pemeran membuat saya...hilang kata, tapi tidak hilang rasa apalagi makna.

Kutipan khas Beckett yang disampaikan lewat tokoh Hamm cukup berbicara tentang keabsurd-an hidup ini sendiri.

"Tidak ada yang lebih lucu di dunia ini daripada ketidakbahagiaan," Hamm, Fin de Partie.

Tidakkah kalian merasa?
Ketidakbahagiaan adalah hal-hal yang paling dilebih-lebihkan dalam rasa atau apapun. Ironi dalam ketidakbahagiaan adalah yang paling nyata dalam satu bingkai perasaan manusia. Kesedihan yang mencakup dunia adalah sama dirasakan tiap manusia. Tidakkah kalian merasa seperti itu juga?
Bukankah itu menjadi lucu dari itu? Tidak ada yang lebih lucu dari ketidakbahagiaan yang dibahas terus-menerus?

Menurut saya,
itu lucu.
Ketidakbahagiaan adalah sebuah kelucuan.
Ironi adalah komedi.

Kutipan itu sepertinya yang paling menempel pada kepala saya. Kutipan yang menggambarkan perasaan saya saat itu dan memaksa percakapan memanjang dari masalah eksistensi kopi yang tidak selesai, menyambung ke eksistensi manusia dan kehidupannya, subjektivikasi dan objektivikasi (dimana letak kesubjektivitasan dan objektivitasan didasarkan?), sampai pada ketakutan akan kehidupan yang mengarah pada tidak jelasnya kehidupan akan awalan dan akhiran.

Balik lagi ke pembicaraan mengenai subjek dan objek. Dimana batas sebuah karya menjadi subjektif dan menjadi objektif? Beralih pada sebuah asumsi bahwa objektivitas adalah kumpulan subjektivitas-subjektivitas. Lalu, apakah yang membuatnya menjadi objektif? Entah. Kami masih mencari jawaban akan hal ini. Satu hal pasti yang sampai saat ini masih saya yakini (entah esok hari masih yakin atau tidak) bahwasanya 'objektif' pasti akan memberi ruang lebih pada perspektif baru yang tidak menjadikan suatu dogma statis. 'Objektif' pun berdasarkan subjektivitas yang argumentatif dan logis. Sementara itu, subjektif hanya menempatkan diri pada satu garis tengah tanpa melihat sisi yang ada, serta didasarkan pada ilusi argumentasi semata. Agak susah menjelaskannya untuk orang dengan kapasitas otak seperti saya, tapi begitulah kira-kira.

Banyak hal lain yang dibicarakan seperti posisi subordinat yang membuat adanya objektivikasi oleh subjek (ini nantinya mengarah dalam ke teori Sartre dan contoh lubang kuncinya yang terkenal). Terlalu panjang untuk dijelaskan, saya merasa tidak mampu memaparkan dengan detail yang baik dalam tulisan asal-asalan ini.

Saya tidak akan bicara panjang mengenai percakapan tiga jam itu karena percakapan yang dituliskan cukuplah yang mengendap agar ia menjadi abstrak yang membuka perspektif-perspektif pemikiran lainnya.

Masalah kekonkritan yang harus dipaparkan, itu boleh jadi lain kali. Mungkin tidak kali ini.


Salihara,
30 Juni 2013

Comments

Popular Posts