Gundala dan Sukmanya



Gundala. Ya, namanya Gundala dan ia selalu punya cara untuk mendengar bisikan angin yang membawa jawaban-jawaban bersamanya. Kamu dapat bertemu Gundala setiap sore di sekitar taman UI. Gundala selalu duduk di bangku tamannya. Ya, taman yang berada di dekat pohon-pohon besar. Pohon yang didatangkan khusus dari Afrika. Katanya untuk menyamai posisi pohon-pohon yang ditanam Raffles di Kebun Raya. Entah apa hubungannya? Gundala akan selalu duduk di sana, memperhatikan setiap lekukan bangunan perpustakaan yang menurutnya menggemaskan atau ia akan mengalihkan pandangannya ke gedung rektorat yang menjulang sembari mencari arti representasi celah di antara keduanya yang terpisahkan danau di mana dapat kamu temukan banyak mahasiswa tertawa dan bicara seolah-olah mereka mengetahui segalanya. Tidak semuanya. Ada yang bicara tentang mimpi-mimpi mereka, namun tidak sedikit juga yang bicara sekurang-kurangnya debat fana yang mencari kenyamanan dalam intelektualitas palsu satu sama lain. Apapun itu, Gundala menikmati memperhatikannya sambil menunggu angin lewat ke daun telinganya dan menimbulkan suara-suara bisikan sengit yang menggigit. Hari itu Gundala datang dengan pertanyaan besar menghampiri kepalanya. Sukma, perempuan yang menghantui perasaannya, sejenak pergi tanpa permisi. Hati Gundala resah. Bukan resah karena patah hatinya, ia resah karena Sukma menyatakannya begitu baiknya hingga ia tidak punya alasan untuk menolak. Hatinya lega, tapi pikirannya belum bisa menerima. Itulah mengapa ia resah. Ia duduk berharap menemukan jawabannya. Taman itu selalu menjadi tempat favoritnya sebelum banyak unit kegiatan mahasiswa menjadikannya tempat latihan. Tidak bisa disalahkan juga. Itu adalah tempat umum. Gundala tidak bisa memprotes suara-suara yang menjadi polusi, suara-suara yang membenamkan suara angin yang selalu memberikannya jawaban. Sesungguhnya, keresahannya terhadap Sukma hanyalah alasan yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Gundala tahu bahwa ia tidak tahu. Karena ia tidak tahu, ia mencari alasan dengan mencondongkan keresahannya pada Sukma. Ia butuh satu penjelasan riil sebagai titik tuju ledakan-ledakan reseptor yang diakibatkan runtuhnya tembok sebagai tanda keberterimaan yang dilakukannya terhadap kehidupan. Sukma selalu berkata bahwa logika milik Gundala hanyalah satu bingkai yang digunakan Gundala untuk melindungi dirinya sendiri. Gundala tahu ketika Sukma mengatakan hal itu, Sukma sudah menyadari perputaran palsu yang dilakukan Gundala pada dirinya sendiri. Gundala hanya berputar-putar di lingkaran cermin. Lingkaran cermin? Ya, karena Gundala sebenarnya tidak pernah mengelilingi lingkaran itu. Ia hanya berada pada setengah lingkarannya saja. Ia bolak-balik menjalaninya dengan asumsi bahwa ia yakin benar setengah lingkarannya lagi adalah sama. Tapi, apakah benar setengahnya sama? Ataukah asumsi Gundala justru salah karena cerminan yang dibuatnya tidak pernah sama?

Gundala menapakkan kakinya di jalan setapak dari fakultas hukum menuju perpustakaan. Kakinya terasa ringan seringan hari itu. Hari yang cerah untuk duduk di taman dengan secarik kertas yang ia bawa, barangkali ada suara angin yang dapat didengarnya. Suara angin yang ia terjemahkan dalam kata-kata bahasa Indonesia. Bahasa yang dipahaminya. Kode-kode yang diterjemahkannya, berharap agar orang lain merasakan yang sama seperti dirasakannya. Cerminan lingkaran itu membuatnya menjadi ya, namun membuatnya menjadi tidak pula. Iya, orang dapat merasakannya. Orang-orang yang sama seperti Gundala. Orang-orang yang punya asumsi cermin lingkaran sama dan berjalan di setengah jalurnya saja. Tidak, bagi orang-orang yang tersenyum tanpa bicara karena mereka justru telah memutari lingkaran itu dan tidak pernah menyadarinya sampai suatu ketika mereka melihat orang-orang seperti Gundala bicara. Sukma adalah salah satu dari orang yang kedua.

Hari itu angin berbunyi di daun telinga Gundala. Angin menohoknya dengan rangkaian kata yang dengan berat hati dituliskannya.

"Tidak perlu kamu menyaru
Kamu tidak pernah satu
Adalah debu yang diterbangkan aku
Sehingga ia menjadi gagu

Tidak perlu kamu bingung
Akan realita yang terkadang mendengung
Sadari saja jikalau memang tidak ada yang baku
di antara suara-suara gaungan yang menderu..."

Tidak ada yang lebih menyiksa dari penyiksaan yang dilakukan Sukma lewat desiran angin pada Gundala. Suara-suara yang menjadi huruf di kertasnya, frasa-frasa yang menjadi cerita indah berbingkai cerminan lama, paragraf-paragraf yang menjadi satu file dalam desktop yang sembilu berbaur dengan latar belakang laptopnya. Penceritaan itu menyampaikan rasa hangat menyusup dalam dirinya ketika ia sadar, ketika Gundala sadar bilamana Sukma tersenyum di sana. Di tempat yang hanya dapat dilihatnya samar-samar menjauh ke arah danau, kemudian berlari ke atas dengan desauan angin yang menggerakan permukaan air menjadi riak-riak halus menggelinjang. Gundala tahu bahwa ia harus melepas semua bebannya dalam satu hembusan napas. Gundah gulana Gundala seiring berlalu dengan balasan-balasan suara dalam sebersit ataupun kilasan risau seragam biakkan spora yang diterbangkan angin hinggap ke helaian rambut hitam yang kasat mata rontok dari kepala, jatuh ke tanah, dan diinjak seorang mahasiswa yang bicara dengan kekasihnya. Gundala teringat Sukma. Gundala membayangkan Sukma dengan lelucon tak lucunya membuat Gundala tertawa sinis, tawa yang ditahan di ujung bibir, yang selalu membuat Sukma terdiam begitu lamanya. Entah mengapa semua ini jadi jelas saat Gundala mendengarkan dengan saksama detail derauan serak angin. Ada batas begitu besar antara realita-realita yang dibenarkan oleh Gundala, realita yang sesungguhnya lupa ia maknai. Realita macam apa? Macam satu realita. Realita yang realistis hanya ada satu, realita yang selalu ia hindari, realita yang membawanya pergi dari Sukma. Logis atau tidaknya realita semua hanya alasan Gundala. Sejujurnya, ia tahu saat ini sudah waktunya ia berlalu dari semua itu. Namun, Gundala masih diam dan menuliskan apa yang angin katakan padanya.

"Logika, hati, jiwa, pikiran, tubuh, obsesi, rasa malu, semuanya hanya kata sifat. Kata sifat yang mengikat. Ikatan sementara antara kamu dengan dirimu. Semuanya hanya tersusun rapih dalam kericuhan yang sebenarnya sepi. Sepi adalah suatu suara yang paling menyiksa, oleh karena itu orang mengartikan sepi sebagai kekosongan. Alasannya karena mereka tahu suara paling menikam adalah suara sepi. Kekosongan adalah sesungguhnya hal yang berisi. Itulah mengapa aku mampu mengintervensi diammu dan kamu mampu menginterpretasikan semilirku. Karena menjadi kamu adalah kosong, karena menjadi aku adalah bohong, karena kita berdua adalah kenyataan yang dinyata-nyatakan. Perlu kau tahu bahwa tidak ada yang lebih memilukan dari kita, tidak ada yang lebih memilukan dari pertarungan antara yang tidak ada dan yang kita tidak tahu keberadaannya, tidak ada lagi yang lebih memilukan dari keduanya selain perasaan sepi...karena itu sepi selalu mengoyak hati."

Angin seperti mengerti atau Gundala yang memahami? Apapun itu, Gundala tahu bahwa Sukma yang membuatnya begitu. Sukma yang selalu menjadi pelatuk antara komunikasinya dengan angin. Sukma yang menempelkan kesadarannya akan fungsi indrawi di bawah rata-rata. Sukma ibarat gincu yang menghilangkan wajah pucat pasi menjadi cerah berseri. Gincu merah yang merekah, yang selalu menorehkan senyum di wajah Gundala. Angin seperti berbisik menyerupai desibel suara Sukma di mana tamparan atau lompatan logika tidak ada lagi artinya, di mana ia melihat wajah indah di sela-sela buku yang menumpuk di rak usang, di antara buku ensiklopedi lama. Gundala menghirup udara lembab Depok sambil tersenyum, memahami suara Sukma, mengerti gambaran-gambaran yang mampir di kepalanya, dan mengulangi setiap kata dengan senyum bahagia bahwa tidak ada lagi yang diperlukannya kecuali bahagia. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk dirinya sendiri.

Depok,
27 Oktober 2013

Comments

Popular Posts