Social Media: Use It Wisely!

Sebagian orang harus belajar bagaimana meredam diri mereka sendiri sebelum memutuskan untuk bersama dengan orang lain. Sebagian orang harus memahami bahwa emosi adalah hewan liar yang perlu dilatih. Emosi adalah sesuatu yang harus dikuasai, bukan sebaliknya. Adanya media sosial memperparah ekskresi emosi, begitu saya menyebutnya, pada sebagian orang, baik wanita maupun pria. Saya meletakkan wanita di lini pertama karena persentase linimasa saya dipenuhi dengan wanita yang mengemulsikan tindak lack of attention ataupun release of anger pada media sosial. Hal yang serupa juga sangat mungkin dilakukan oleh laki-laki. Saya mencoba memahami, dalam konteks ini, to put my feet into their shoes - I got it. At least, I think I got it. Tanpa mengurangi rasa hormat siapa saja yang mungkin membaca dan merasa tersisih dengan kalimat-kalimat opini ini, saya meminta maaf. Namun sebelum itu, ada baiknya saya bertanya? Bukankah lebih baik menyebarkan satu kalimat yang menjadi akar akan sebuah kedamaian daripada melepas kata yang memaki, mengundang benci, konspirasi atau sejenisnya? Saya mencoba memahami. Saya mencoba memahami sepenuh hati akan perasaan tertinggalkan, ingin dipahami atau yang teman saya sebut beberapa waktu lalu - perasaan takut kesepian. Dampaknya, sebagian orang mencari dan mencari interaksi dan koneksi dengan orang lain untuk mengisi kesepian itu. Untuk selanjutnya, kesepian itu saya sebut dengan pola kekosongan. Itu mengapa (sebagian) orang sulit untuk lepas dari gadget-nya. Kembali lagi, ini hanya opini.

Saya kemudian menempatkan diri saya pada sebuah percobaan. Kembali menerjunkan diri saya ke tiap media sosial yang ada. Setiap media sosial, sebut saja instagram, twitter, facebook, path, wechat, line, whatsapp, dll. Saya tidak melepaskan diri saya barang sedetik untuk bergulat dengan media sosial. Saya sudah melakukannya dari Februari. Dengan kata lain, percobaan ini telah berjalan empat bulan lamanya. Untuk apa? Semata-mata saya lakukan untuk memahami pola kekosongan yang terjadi pada sebagian orang yang menyebarkan kemarahan, kekesalan, iri dan dengki pada media sosial. Apakah kemudian saya menghakimi mereka yang gila-gilan membaharui kegiatan mereka lewat dunia sosial? Tidak. Kecenderungan yang saya lakukan adalah sama dengan orang umumnya. Anda harus memahami bahwa bagi setiap orang yang menjadikan media sosial sebagai poros kehidupannya, sulit untuk tidak mengekspresikan dirinya melalui media terkait. Beberapa orang menjadikan media sosial sebagai catatan kehidupannya, beberapa orang lainnya mungkin menjadikannya sebagai 'field' seperti istilah yang digunakan Bourdieu di mana kekuasaan ditilik dari popularitas postingan dalam media sosial. Ini adalah gejala sosial. Selama empat bulan membiasakan diri untuk aktif di media sosial ibarat virus yang menggerogoti keseharian saya. Dunia virtual menjadi bias batasnya dengan realita. Kode, sarkasme, posisi, intensi, tendensi, benci, rasa cinta, bibit iri, semuanya dapat disebarkan lewat pelbagai media ini. Konsepnya serupa dengan muncul di majalah bagi anak-anak seumuran saya (ketika lebih remaja). Esensi untuk dilihat orang dan mendapatkan apresiasi lebih makin menjadi-jadi dengan akses sebatas jari saja. Saya tidak mengolok mereka yang banci posting, demikian mereka menyebutnya, di satu sisi - saya kagum dengan mereka yang mengekspos kehidupannya. Menarik ketika anda dapat melihat kehidupan seseorang lewat hal yang mereka tampilkan.

Percobaan saya nampaknya mengalami kegagalan. Di bulan keempat, saya ada pada stase di mana media sosial menjadi bagian dari keseharian saya. Sulit untuk tidak menandai dunia maya dengan sesuatu yang indah, apapun itu baik momen, foto, lagu, film maupun buku. Di sela-sela kegundahan saya, berpikirlah saya untuk memilah-milah setiap hal yang baik saya post atau tidak. Apakah postingan ini akan membuat orang iri? Apakah postingan ini akan menyulut kebencian pada pihak tertentu? Apakah intensi saya pure untuk menandai media sosial saya karena ini adalah momen bahagia dalam hidup saya? Atau postingan ini hanya sebagai kode yang saya gunakan untuk menarik perhatian orang lain? Sebagian besar saya menggunakannya untuk menandai momen bahagia, namun tidak sedikit saya menjadikannya kode - baik kode untuk menarik perhatian atau tanda agar 'sesuatu' atau 'seseorang' menjauh - karena saya tidak berani mengatakannya secara langsung. Saya mengalami sendiri bahwa efek negatifnya dalam pembiasan karakter antara dunia maya dan realita adalah intensitas hubungan real yang berkurang. Realita dalam artian membutuhkan kontak mata, kesopanan gaya bicara, pemilihan kata, dan gerak tubuh. Saya berusaha melatihnya lagi dan lagi setiap terlibat dalam publik yang lebih besar (organisasi dan publik yang lebih tua). Karena norma-norma lebih ketat di kedua publik itu daripada publik sebaya. Dunia maya kadang mengobrak-abrik semuanya. Itu terjadi pada saya. I feel like living in the two worlds and I have switch button everytime I get into every room. Something like that. Dunia satu menawarkan kemudahan meluapkan pikiran, kemudahan akses informasi, dan intimasi yang mudah, sementara dunia lain membutuhkan usaha untuk menahan diri dan membelenggunya dalam norma-norma lama yang (katanya) konservatif. But truth to be told, I am a conservative. I still think that perilaku tata krama should be done by everyone.

Saat ini, saya berusaha dengan amat sangat mengurangi intensitas media sosial saya yang mana sulit adanya. Tidak mudah. Mengurangi sedikit demi sedikit intensitas memegang smartphone ibarat tidak mungkin. Namun saya yakin, segala sesuatu yang berlebihan tidak baik adanya - begitu juga media sosial. Untuk itu, saya mengerem diri saya agar tidak burned out. Kemudahan membuat kita hilang akal dan tidak kritis. Kemudahan tidak melatih daya, cipta, rasa, dan karsa kita sebagai manusia. Media sosial alangkah baiknya jangan menghilangkan itu semua. Gunakan media sosial dengan bijak. Bijak yang bagaimana?

Tanpa intensi untuk menghakimi salah atau benarnya, saya hanya menekankan agar bijaklah menggunakan media sosial. Pertanyaan pada paragraf sebelumnya. Bijak yang bagaimana? Benci sangat mudah dipupuk, tapi akibatnya tidak mudah dibenahi. Saya agak risih melihat orang yang judgemental. Mudah sekali menghakimi tanpa mau berpikir dua kali akibat dari aksinya. Contoh lebih dalam lagi, ada dua orang sahabat - yang satu seorang Kristen taat, yang satunya ateis, dan satunya lagi adalah saya. Sang ateis menyebarkan tulisan berkarakter-karakter tentang pemikirannya tentang orang beragama yang omong kosong dan berbuat dosa. Lebih baik tidak beragama katanya. Sementara itu, sang Kristen balik membalas postingan itu dengan gambar Yesus dan ayat Alkitab yang bertuliskan "Tuhan ampuni mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Akhirnya, keduanya terlibat dalam virtual war yang menurut saya...buang waktu. Saya diam, duduk, dan berpikir...lucu juga ketika media sosial menyetir emosi dan aksi kita semudah itu. Ironisnya, kita menjadi hakim yang lebih penuh penghakiman dari hakim itu sendiri. Komentar yang timbul dalam pikiran kita, perkataan kita, omongan kita yang kita diskusikan dengan orang lain (padahal belum jelas kebenarannya) atau apapun itu justru menjadi bumerang bagi kita sendiri....nantinya. Society kills you, so does social media - if you use it unwisely.

Apa yang saya pikirkan lagi? Kasian. Rasa kasian. Menyebarkan isu humanis dapat dengan mudah kita lakukan di media sosial. Begitu pula rasa iri. Iri hati dapat  ditimbulkan juga bukan hal mudah bahkan ketika kita tidak memiliki intensi untuk melakukan hal itu, dan iri hanti sulit luntur tanpa meninggalkan noda. Sangatlah mudah kita menyebarkan gambar atau kata-kata yang mengundang kemarahan serta menimbulkan isu simpang siur. Saya tidak hanya memohon teman-teman untuk bijak dalam mengunggah sesuatu dalam media sosial, tapi juga bijaklah dalam menanggapi segala sesuatunya. Definisi bijak, menurut saya dalam hal ini, adalah tidak terpancing emosi dan justru menjadi distributor rasa benci. Newsfeed Facebook saya dipenuhi dengan isu-isu konspirasi gono-gini soal si A dan B, politik, sosbud, apapun itu isunya penuh dimana-mana. Komentar dalam setiap postingannya lebih-lebih lucu buat saya. Jika kalian butuh hiburan, mungkin kalian dapat mempertimbangkan membaca komentar-komentar dalam setiap postingan isu yang dibuat-buat itu. Lucu.

Bahkan dengan nada sarkas saat ini, saya menggunakan media sosial demi kepentingan diri saya, egoisme saya, untuk mengeluarkan isi kepala saya. Pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa ternyata sulit untuk bijak dan selfless dalam penggunaan media sosial. Setidaknya, saya sudah membangun kesadaran saya untuk lebih terjaga. Tidak ada orang bodoh yang menyadari kebodohan dirinya. Maka, janganlah menjadi tidak sadar. Believe me, don't fool yourself around. It's not cool...totally.

Comments

Popular Posts