The Art of Getting Lost
“Getting lost was not a matter of geography
so much as identity, a passionate desire, even an urgent need, to become no one
and anyone, to shake off the shackles that remind you who you are, who others
think you are.”
Getting lost will help you find yourself. Getting
lost also makes you learn how to let universe works and letting things go. That's
what they said. Saat ini, banyak orang menyebutnya wanderlust sebagai keinginan untuk rehat
sejenak dari rutinitas. Wanderlust bahkan
digolongkan dalam dua kondisi dalam psikologi, entah sebagai neurosis di mana
seseorang dengan bipolar disorder
tidak mampu mengatasi rasa bersalah, depresif, dan merasa harus berjeda dengan
kehidupannya atau kondisi kedua menyatakan bahwa wanderlust adalah menantang diri sendiri untuk mengenal budaya,
gaya hidup, dan sikap sebuah masyarakat dengan hidup bersama dalam suatu
daerah. Adapun yang menyebutnya sebagai escapism. Whatever you called it, getting
lost adds meaning to your life by creating moments.
Pertama
kali yang harus kamu lakukan adalah menjauh dari telepon genggam dan semua gadget yang menghubungkanmu dengan
rutinitas harianmu. I know it will be
hard regarding all your anxiety minds, but try hard to do it. I can guarantee
the difference. Ketika kamu memutuskan untuk getting lost, carilah transportasi yang membuat kamu dapat
memperhatikan sekitarmu selama mungkin. I'd
prefer travel by train than a plane because you can stay like 7-8 hours on a
journey. Berpergian dengan kereta juga membuat kamu berinteraksi lebih
dengan orang lain daripada di pesawat — ketika
orang memilih menghabiskan waktu perjalanan 2-3 jam untuk tidur dengan headset terpasang di telinga mereka.
Lalu,
kamu harus memahami bahwa traveling bukan
tujuan. Traveling adalah proses. Same goes with life, it's a never ending
process. Untuk itu, perhatikan hal-hal kecil yang terjadi di sekitarmu — bukan tujuan yang ingin kamu datangi. Where to go? Ask the locals. They know
better than your guide book. I started to be a wanderlust since I got lost in
Paris two three years ago. Saya adalah tipikal orang yang berpergian
sendiri dan tidak betah dengan keramaian. Hal ini menjadi masalah ketika teman
saya ingin pergi ke pusat belanja di Paris, sementara saya lebih tertarik untuk
pergi ke cemetery, museum atau hanya
tersesat di jalan kota Paris. So, we
decided to split up. It was the best decision I have ever made.
Saya
memutuskan untuk berputar dengan Métro. Dari Belleville (Métro ligne
11) saya mengarah ke Châtelet. Dari Châtelet, saya berjalan menuju Métro ligne 1 di mana saya melewati
pemberhentian Louvre-Rivoli, Palais
Royal-Musée du Louvre, Tuileries, Concorde, hingga akhirnya saya turun di Charles de Gaulle-Étoile. Ketika di
Louvre-Rivoli, saya memutuskan untuk turun karena stasiunnya begitu indah. It's hard to resist not to take photo there.
Akhirnya, saya melakukan hal serupa hingga turun di Charles de Gaulle-Étoile. Tidak sulit untuk Métro di Paris ketika
saya berhenti di setiap stasiunnya, métro selalu lewat kurang lebih lima menit
sekali.
Dari
Métro ligne 1, saya berpindah ke ligne 6 menuju Montparnasse Bienvenue untuk melihat makam pemikir favorit saya:
Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang berada dalam satu nisan.
Perjalanan ini tidak terlupakan ketika saya berjalan sendiri dengan bermodalkan
peta di setiap pemberhentian, selalu ada musisi jalanan yang memainkan lagu
dengan kualitas musik yang baik. Salah satunya yang saya ingat adalah permainan
Careless Whisper dengan saxophone dari seorang bapak tua. What I think? This is it. This is the moment
that I always remember in my life. Not Eiffel Tower, Musée du Louvre, or else.
But this. Tidak ada orang yang saya kenal, tempat yang tidak pernah saya
datangi, hanya saya dengan diri saya sendiri dalam percakapan di dalam kepala
saya. Begitulah saya menghabiskan hari saya, ziarah di makam-makam orang terhebat
yang pernah hidup, dan membaca buku di tempat duduk sekitar makam hingga sore
menjelang. I was scared
to death but it all worth the risk. Was it a escapism from my guilty, that
trip? I must admit it is.
Liburan
ini, saya mencoba, sekali lagi, untuk menjadi tersesat di negara sendiri. Saya memilih untuk rehat sejenak dari Jakarta
dengan hidup di Yogyakarta selama seminggu. Masih dengan peraturan yang sama: no phones, use public transport, no
particular destination, travel by train, and do weird things. Saya hanya
berencana untuk melakukan hal-hal seperti menonton wayang kulit, berjalan-jalan
di toko buku dekat Universitas Sanata Dharma atau Universitas Gadjah Mada, bertanya
pada orang sekitar tentang situs historis, duduk di coffee shop sembari membaca buku, berkenalan dengan orang baru
kemudian tenggelam dalam percakapan sepanjang malam, dan bersepeda dengan pemandangan
sawah yang hijau. This time I do it for
the sake of knowing my own culture. We'll see if I can make it or not.
Comments
Post a Comment