Mula hingga Pada Akhirnya



Mulanya, tidak ada yang bicara untuk mendiamkan suara dirinya masing-masing. Begitu seterusnya hingga sejiwa layaknya dewa. Bersamaan dengan kayu serta batu, ia menyatu dengan alam. Bersemayam dalam dirinya, berjuta keinginan yang dilepaskannya karena hilang fokus yang kemudian membius.

Sepertinya sudah berkali-kali kamu bicara pada dirimu sendiri, mengingatkan dirimu sendiri bahwa ini bukan pertempuran, bahwa kamu tidak ingin digiring, bahwa pengekangan adalah suara sumbang dari kejauhan. Namun, kamu tidak dapat mengelak dari segala sesak. Karena konsekuensi adalah harga mati.

Sungguhpun, tidak ada yang lebih nista dari bicara semua perasaan dalam satu perkataan demi mencari kenyamanan diri sendiri. Bahagia palsu yang dibentuk dalam abu-abu bisu yang mencari wadah untuk ditaruh, mengumpulkan jiwa-jiwa tersesat dengan apresiasi paruh waktu, memeluk hati yang terlalu liar untuk direngkuh.

Pada akhirnya, kita mendengar sembari berdiskusi siapa lebih dulu mencari dan mendoakan tentang arti-arti tiap jalan yang ditempuh. Dengan simpuh, rendah hati, dan tanpa dengki, supaya kita sadar bahwa kita tidak pernah memiliki apapun atau siapapun. Segala sesuatu yang datang dan pergi akan menjadi asa atau mengada dan tetap di sana. Begitu saja sampai kita angkat nyawa.

Comments

Popular Posts