Rindu yang Membawamu Pulang - Ario Sasongko
Ario Sasongko membawa pembaca pada definisi
dua kata penting pada judul novel pertamanya. Rindu dan pulang. Menurut KBBI,
rindu adalah keinginan dan harapan terhadap sesuatu. Rindu diterjemahkan pula
sebagai alpanya kehadiran, sehingga memunculkan hasrat untuk mencari atau
menemukan. Sedangkan pulang memiliki arti pergi ke rumah, balik, atau kembali.
Dalam konteks tertentu, setiap yang pergi tentu selalu ingin kembali. Terlepas
pada kenyataannya, hal itu terjadi atau tidak.
Setiap dari kita, saya yakin memiliki
definisi subjektif terhadap dua kata itu. Entah bagaimana caranya, rindu dan
pulang selalu punya daya magis tersendiri jika ditempatkan dalam sebuah cerita.
Begitu juga dalam Rindu yang Membawamu
Pulang. Buku ini menjadi satu keutuhan sendiri atas sebuah usaha untuk
menemukan kembali arti cinta dalam perbedaan.
Rindu
yang Membawamu Pulang adalah
sebuah kisah cinta berlatarbelakang sejarah. Dengan menempatkan situasi Batavia
pada tahun 1920-an, Ario memunculkan karakter Gun dan Ling sebagai dua tokoh utama.
Gun adalah seorang Bumiputera yang bekerja pada Gubermen Belanda. Sebagai
seorang nasionalis Bumiputera, ia aktif dalam gerakan untuk mengusung adanya
kongres pemuda demi persatuan dan kesatuan. Sedangkan Ling memiliki darah
Tionghoa. Ia adalah guru di Tiong Hwa
Hwee Kwan (THHK). Untuk perempuan pada masa itu, Ling memiliki pemikiran
maju dan terbuka. Kedua hal itulah yang membuat Gun jatuh cinta.
Pada sebuah pagi yang tidak disengaja dalam
perjalanan ke kantor, Gun memilih menaiki trem kelas dua. Di sanalah ia melihat
seorang perempuan Tionghoa. Penulis berhasil mendeskripsikan sosok Gun. Dengan
susunan kalimat yang boleh dikatakan sangat liris, penulis meromantisasi
pertemuan Gun dan Ling. Pembaca akan tertegun dengan deskripsi rambut Ling yang
disapu angin, jari-jemarinya yang lentik, sampai sepasang mata sipit yang
teduh. Sangat sentimental. Selian itu, penulis membangun suasana antara
pertemuan keduanya. Pertemuan ini dapat dikatakan sebagai simpulan
ketidaksengajaan semesta. Hal itu dirajut penulis untuk memberi ruang pada
pembaca. Ruang untuk sedikit berharap pada cinta pandangan pertama. Itulah yang
terjadi antara Gun dan Ling.
Dari dua pilihan antara menganggap itu
kebetulan belaka atau percaya akan impuls sebuah rasa, Gun memilih yang kedua. Ia
mengikuti impuls dari sebuah rasa. Ia percaya bahwa perasaan itu akan bermuara
pada sebuah makna. Dari sanalah kisah dalam buku ini dimulai. Tidak hanya soal
cinta, pada bab yang sama juga sebenarnya penulis sudah memberikan posisi jelas
keduanya. Perbedaan antara Tionghoa dan Bumiputera yang membuat cinta mereka
dalam tanda tanya.
Dalam kisah Gun dan Ling, perbedaan itu
menimbulkan konflik pada keduanya. Perbedaan ras membawa mereka dalam
perjuangan politik kaumnya masing-masing. Konflik itu adalah pergerakan pemuda
Bumiputera dan pergerakan pemuda Tionghoa. Bumiputera bersandar pada keinginan
mereka menyatukan seluruh pemuda Indonesia. Sebuah mimpi untuk berdiri di tanah
lahir sendiri, lepas dari Gubermen, dan menjadi satu demi Ibu Pertiwi.
Sementara itu, kaum Tionghoa percaya bahwa kecintaannya hanya pada tanah
Tiongkok. Kelahirannya di tanah Indonesia tidak membuat mereka memiliki rasa
nasionalis yang sama dengan kaum Bumiputera. Di awal, mereka berjuang
sendiri-sendiri. Namun di akhir buku, siapa yang tahu?
Buku ini memperlihatkan dua sisi yang tidak
terjamah. Eksklusivitas dan tindak rasis Bumiputera terhadap kaum Tionghoa.
Saya kagum dengan cara penulis memaparkan satu per satu friksi dalam setiap
aspek kehidupan yang terjadi lewat berbagai tokoh. Perbedaan akan selalu
membawa friksi. Setiap friksi akan berbuah konflik. Namun tidak banyak penulis
mampu memberikan penyelesaian akan sebuah konflik. Untuk saya, alur dalam buku
ini sedikit banyak menawarkan perspektif soal itu. Alur cerita mengetengahkan akar
masalah sentimen Bumiputera dan Tionghoa, memberikan perspektif kedua sisi,
sehingga penulis mengarahkan pembaca untuk menentukan sendiri perspektif.
Politik etis adalah akar permasalahan
sentimen Bumiputera terhadap Tionghoa. Penulis membahas sedikit tentang
perkembangan politik etis di negeri ini, sehingga menimbulkan sentimen
Bumiputera pada kaum Tionghoa. Sentimen ini tumbuh menjadi kebencian yang
membuat orang-orang Tionghoa tidak bergaul dengan orang-orang selain dari ras
mereka. Putaran kebencian ini melintas dari satu generasi ke generasi
berikutnya, bahkan hingga kini.
Katakanlah bagian pada cerita di mana seorang
Tionghoa yang dipukuli massa karena dianggap tidak becus mengerjakan
pekerjaannya. Tidakkah ini membuat kita kembali mempertanyakan kembali sisi
kemanusiaan kita? Tidak ada yang patut menerima penghakiman massa seperti itu,
bahkan seorang Tionghoa. Hal menarik lainnya yang diangkat oleh penulis adalah
prasangka terhadap orang Tionghoa sebagai pedagang yang hanya mementingkan
bisnis, licik, dan tak punya hati. Bukankah tidak hanya Tionghoa yang dapat
berbuat seperti itu?
Tidak hanya pada masalah pergerakan
nasionalis Bumiputera dan Tionghoa, buku ini juga menyentuh area pernikahan dan
nasib anak-anak dari pernikahan beda ras. Mungkin saat ini, perbedaan itu sudah
tidak kita rasakan. Tapi, penulis sukses lewat buku ini untuk menggambarkan
bagaimana nasib teman Ling, An, seorang anak keturunan Tionghoa-Betawi, tidak
diterima dalam lingkungan Bumiputera maupun Tionghoa. Satu kutipan yang membuat
hati saya tergerus adalah sewaktu An diseret pulang Ayahnya, ia mengatakan pada
Ling untuk terakhir kalinya agar tidak menikah dengan orang yang bukan
Tionghoa. "Ling, jadikan saja ini
pelajaran untukmu. Jangan kau coba kawin dalam perbedaan, Ling. Barangkali
perkawinanmu itu akan indah. Tapi, kau harus juga pikirkan anakmu nanti. Jangan
kau bawa seorang lagi yang bernasib sepertiku." An tidak mampu
mendefinisikan dirinya sendiri. Ia tidak mendapat tempat baik di Bumiputera
maupun Tionghoa. Dulu, mungkin masalah ini adalah ras. Tapi sekarang, bukankah
perbedaan agama menjadi sama bermasalahnya? Ini menjadi semacam refleksi untuk
kita masing-masing dalam memandang setiap perbedaan yang ada.
Hal terakhir yang patut mendapat perhatian
yaitu posisi Ling dalam cerita. Menurut saya, ia memegang peranan amat sangat
penting. Pembaca menyaksikan bagaimana tokoh Ling bertumbuh baik dari segi
pemikiran sampai kontinuitas aksinya dalam pergerakan bangsa. Kita lihat peran
Ling sebagai seorang perempuan dan seorang guru. Sebagai seorang perempuan
yang besar pada zaman itu, ia sadar betul bahwa posisi pendidikan memegang
peranan penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Demikian saya kutip perkataan
Ling yang menjelaskan tentang pentingnya pengetahuan untuk membangun kesadaran
manusia. "Politik tak bisa
dikesampingkan dalam kehidupan. Tugasku adalah mengajar. Dengan mengajar,
artinya pula aku memberikan kesadaran. Itulah buah yang harus dipetik. Tapi tak
bisa juga kau menganggap aku mengajarkan segala perkara politik ini pada anak
murid. Aku hanya mengajarkan paa yang wajib mereka pelajari. Aku haya ingin
membuka pikiran mereka, membikin mereka pandai. Karena itulah pintu dari ilmu
pengetahuan, wawasan, dan kesadaran bukan aku yang mengajarkan, tapi
kehidupan." Politik hanyalah soal kesadaran. Dan untuk membuka
pikiran, diperlukanlah pendidikan. Sisanya biar diajarkan oleh kehidupan.
Keistimewaan buku ini adalah keberhasilan
penulis menjabarkan sebuah kisah cinta berlatarbelakang sejarah dalam bahasa
yang sangat mudah dipahami. Buku ini saya yakin tidak akan mengecewakan
pembacanya. Saya sudah bicara terlalu banyak tentang buku ini. Sisanya, biarlah
saya berikan ruang pada pembaca untuk 'membaca' dan 'mengalami' cerita Gun dan
Ling dalam perspektif mereka masing-masing. Selamat membaca!
Comments
Post a Comment