26



KUNCI Publication, Ruang Seduh Jogjakarta, 2016.

"Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus di sini mencintaimu. Entah kenapa [...] Ajarkan aku. Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap. Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut. Bangun dari ilusi namun memilih tak pergi." — Dee Lestari

Semesta memberikan lagi satu umur pada saya. Dua puluh enam. Saya punya banyak sekali cerita yang berdengung di kepala saya. Cerita-cerita yang menunggu untuk diceritakan. Memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi cerita fiksi yang mumpuni, tapi setidaknya paparan ini ada untuk melegakan jiwa dalam penambahan satu tahun lamanya kehidupan saya.

Tahun ini, saya memutuskan untuk merayakan ulang tahun sendiri. Tanpa lilin untuk ditiup, tanpa orang yang saya kenal di sekitar saya, tanpa ritual yang seharusnya kita lakukan saat berulang tahun. Sedikit berjarak dengan orang yang saya kenal untuk menemukan lagi arti diri. Bukan, bukan berarti saya menyarankan kalian untuk menghabiskan waktu sendiri. Percayalah, kebahagiaan akan terasa apabila dibagi. Lewat tahun ini, saya menguji hal itu. Ada kesenangan memang yang dirasakan ketika kita sendiri dan sibuk dengan kepala kita. Tapi, ada kebahagiaan lainnya yang menunggu apabila kalian bersama dengan orang-orang yang kalian kasihi. Dengan dipenuhi dengan buku dan orang asing, 2016 jadi tahun yang cukup...menyenangkan karena dipenuhi dengan usaha yang nantinya jadi cerita.


Pada kenyataannya, saya harus mau tidak mau percaya pada Paulo Coelho: "Winner stands alone..." Dalam artian, pemenang adalah mereka yang memilih jalan berbeda dengan orang kebanyakan...dan kebanyakan dari mereka...sendirian. Tapi, saya tahu persis bagi beberapa orang kesendirian adalah sebuah seni yang harus diapresiasi. Untuk itu, saya coba menempatkan kaki saya dari sisi itu. Bukan dari sisi orang-orang yang menghakimi bahwa kesendirian berima dengan kesepian dan bersandingan dengan kesedihan. Kemudian, memojokkan orang-orang yang ada di sana tanpa tahu betul keadaannya. Saya tidak mau menjadi orang seperti itu. Oleh karena itu, saya menyendiri kembali...untuk ingat lagi, bagaimana rasanya sepi dan menyerap sebanyak-banyaknya rasa sedih, di saat itulah saya kembali lagi merayakan hidup.

Mungkin saya akan memulai cerita ini dengan sebuah ingatan yang tiba-tiba datang ke dalam kepala yaa. Dulu, saya pernah bertanya pada teman sekamar saya ketika saya masih tinggal di kawasan Salemba. "Mbak, apa rasanya menua di atas 25? Bagaimana memaknainya?" tanya saya. Teman saya tertawa. Tawa miris, namun apa adanya. Itulah senyum yang paling jujur untuk memaknai pertambahan usia setelah dua puluh lima. Teman saya merespon, "Rasanya semua yang kamu lakukan tidak pernah usai. Apapun yang kamu lakukan, rasanya tetap ada yang kosong. Begitu seterusnya. Tidak akan pernah selesai," tuturnya. "Tidak pernah selesai, Mbak? Lalu, kapan berakhirnya?" saya berharap ia punya jawaban pasti akan pertanyaan ini. "Iya. Tidak pernah selesai. Akan selalu ada yang kosong, makanya kita akan terus mencari, mencari, dan mencari. Sementara itu, kita dituntut untuk bersyukur di antara kekosongan itu," jelasnya sambil tertawa dan menatap nanar langit yang saya ingat betul malam itu, tidak ada bintang-bintangnya sama sekali.

2016 merupakan tahun yang panjang dan padat untuk saya. Mungkin saja untuk kalian juga. Alhasil, waktu terasa berlalu bagai jentikkan jari. Sampailah di penghujung tahun, tanpa sadar betul ternyata kita menghabiskan waktu yang cukup panjang, 12 bulan, 53 minggu, 365 hari. Lucu rasanya, ketika waktu lewat begitu saja tanpa kita sadari. Namun saat kita menengok ke belakang, begitu banyak peristiwa yang seharusnya dapat kita maknai lebih dalam (tapi tak bisa karena sudah terlewat begitu saja).

Bagi saya, tahun ini seluruh mimpi besar dalam hidup saya terjadi: lulus S2 di usia 25 dan mendapatkan pekerjaan yang memang saya inginkan. Dua capaian itu merupakan titik balik di mana saya memaknai diri saya sendiri. Lagi dan lagi. Bukan lewat capaian yang saya lalui, tapi dari tantangan yang coba saya lewati. Dari kesulitan demi kesulitan itulah, saya ditempa lebih keras lagi untuk belajar mensyukuri hidup dan merasa cukup.

Proses tidak hanya berhenti di situ. Saya belajar banyak sekali hal tahun ini. Banyak sekali. Mungkin saya akan membaginya dalam tiga poin besar pada tulisan ini. Pertama, saya belajar bahwa saya terpelajar, dan seorang yang terpelajar harus mampu bersetia pada kata hati. Tapi, untuk melakukan hal yang kita yakini itu tinggi sekali tebusannya. Tidak, saya tidak bicara soal material. Saya bicara tentang hal yang lebih dari itu. Saya bicara loyalitas, keberanian mengatakan tidak, kemampuan mencari solusi tanpa melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati orang lain, bagaimana caranya terus membuka kepala akan posibilitas-posibilitas yang ada, dan menebalkan dinding hati dalam menyikapi orang-orang yang dengan pendeknya menghakimi penuh emosi.

I remember my Dad used to say to me, don't get yourself into trouble. But, at the same time, he always says to stand up to what's right. For a little girl, it makes me confused. 

Jadi dosen muda, tinggal di luar kota, jauh dari orang yang dikasihi bukanlah hal yang mudah. Sebesar itulah harga yang saya bayar. Saya tahu bahwa di luar sana, banyak yang perjuangannya lebih sulit dari saya. Perjuangan saya tidak ada apa-apanya, dan merekalah yang memotivasi saya untuk melakukan hal yang saya, menantang diri saya sendiri untuk melakukan hal-hal yang penuh risiko. Saya bosan mendengar pertanyaan 'Mengapa memilih hal yang sulit, ketika dapat melakukan hal yang mudah seperti hidup di Ibukota, gaji besar, dan dekat dengan keluarga. Mungkin saya memang begitu, saya cenderung menghindari pilihan yang mudah dan mencari yang susah. Karena saya mungkin percaya kemudahan tidak menghasilkan orang yang tahan uji, dan orang yang tidak tahan uji seringkali ego-nya besar sekali. Saya tidak mau jadi orang dengan ego besar sekali. Saya inginnya punya empati yang besar sekali, bukan ego. Untuk itulah, saya menyesah diri saya sendiri. Mengingatkan diri saya, bahwa ketika kita di titik terlemah kita, kita masih perlu Tuhan. Kita masih perlu sesama.

Menyesal? Tidak. Ingin menyerah? Sering. Ingin pulang? Lebih dari sering. Tidak berhenti di situ saja, saya pun tidak dapat mengontrol penghakiman-penghakiman yang dijatuhkan orang-orang yang tidak jarang sampai ke telinga saya dan bunyinya amat sangat menyakitkan. Untuk ukuran orang seperti saya, OCD kelas berat dan tingkat kecemasan di atas rata-rata yang punya masalah dengan pola tidur, jadi pengajar itu lebih dari makan ati. Kadang anak-anak lupa bagaimana berproses, sehingga tuntutan mereka tidak berbanding lurus dengan usaha, keluhan sia-sia keluar dari mulut mereka tanpa berpikir bahwa etika yang menentukan sejauh mana mereka mampu belajar menjadi seperti padi. Tapi, toh kita semua belajar di sini, dan setiap proses pembelajaran perlu adanya kesalahan. Saya yakin, pada waktunya nanti, beberapa dari mereka akan merasakan seperti saya.  Ya, saya, yang terinspirasi dengan pengajar-pengajar saya dulu untuk punya 'iman lebih pada kemanusiaan'. Saya lebih yakin lagi, terlepas dari kesalahan yang mereka lakukan, pentingnya  kontinuitas membangun kesadaran itu perlu. Supaya apa? Supaya ketika beberapa dari mereka akan menjadi orang-orang yang dicontoh orang lain, mereka mampu menghantarkan nilai-nilai yang paling dasar: kasih.

Sepanjang tahun ini bekerja, saya mengalami sendiri bagaimana ketidakadilan demi ketidakadilan terjadi. Sama seperti dulu. Saya yakin akan sama saja di manapun kita bekerja. Ketidakadilan selalu ada. Semua tergantung pada kita, mau diam atau bicara. Satu demi satu. Setiap peristiwa apapun itulah, saya selalu mencari ketenangan dengan bercerita pada Ayah saya. Saran yang sama ia berikan pada saya, saat saya masih kecil, "Jangan terlalu forsir fisik dan pikiran untuk pekerjaan. Nggak worth it. Fokusnya ke kesehatan dan keluarga saja," katanya.

Tapi, saya gatal. Saya gatal melihat orang-orang diam saja. Saya gatal melihat orang berkata: "Udahlah, jangan cari masalah. Udah begitu dari sananya." Pernah suatu kali saya bertanya, "Kok sudah tahu tidak betul, malah didiamkan?" dan jawaban yang saya terima: "Ribet nanti kalau dipersoalkan. Masalahnya bisa ke mana-mana." I was like...what? Okay. Tidak banyak orang mengerti dan paham, bahkan orang-orang terdekat saya juga mempertanyakan posisi saya. "Udahlah, jangan diurusin banget," "Jangan kerajinan deh." Saya selalu menerima perkataan-perkataan semacam itu, dan di saat itulah saya merasa terasing dan sendirian. Tidak dimengerti.

Bukan. Saya bukan tokoh-tokoh hebat yang ingin sendiri memperjuangkan kemanusiaan. Tidak sama sekali. Saya memang mengagumi mereka, tapi saya tidak ingin menjadi seperti mereka. Saya tahu saya tidak mampu dengan segala kesendirian dan keterasingan itu. Saya hanya merasa terhibur ketika membaca karya mereka. Mereka membuat saya merasa tidak sendiri. Saya  merasa dipahami. Keterasingan saya menjadi sedikit terhenti. Sejujurnya, siapa sih yang suka merasa terasing seperti ini? Memperjuangkan yang orang-orang kebanyakan katakan sia-sia? Kalau bisa, orang juga memilih yang mudah saja. Usaha sekecil-kecilnya, kenyamanan sebesar-besarnya. Ya bukan? Tapi, saya rasa saya dikutuk untuk tidak menjadi orang seperti itu.

Saya tidak suka konfrontasi. Saya selalu benci dengan orang-orang yang merasa pintar dan benar, kemudian berkoar-koar dengan kata-kata kebencian. Walaupun demikian, kalau saya sudah sampai pada batasnya, saya kadang melakukan itu juga. Selain itu, saya juga tidak suka ada ketegangan yang muncul dari ketidakadilan-ketidakadilan itu. Tapi, saya lebih tidak suka kalau semuanya didiamkan seperti baik-baik saja. Saya selalu diajarkan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang memang membutuhkan mediasi lebih supaya segala pihak 'mampu' dan 'cukup legowo' untuk mengalah dan mengecilkan 'ego' mereka. Tidak mudah. Tidak pernah mudah. Kebanyakan orang hanya menghakimi dan iri. Ya, iri adalah kata yang kuat. Kadang iri dan benci harus kita tarik sampai ke akarnya, agar yang tersisa sungguh hanya sifat rendah hati.

Hal kedua adalah saya belajar menerima kekosongan yang terjadi terus-menerus dalam proses kehidupan. Saya belajar kekosongan bukan untuk diisi. Ya, memang, kadang kala saya berusaha sekuat hati untuk mengisinya. Tapi, kadang kita harus mampu membiarkan yang kosong itu tetap kosong. Pun kosong, masih ada udara di dalamnya, yang mana, dengan kata lain, kekosongan itu tetap berisi. You know, I learn that, after all, we all are just human, having bad thoughts, yet still fighting to bring the best out of ourselves. Kadang, kita memang tidak mampu menahan pikiran-pikiran buruk yang muncul dalam kepala kita tentang orang-orang yang bertentangan dengan kita. Tapi, sejauh mana kita dapat mengontrol emosi kita sendiri ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan di saat yang kita butuhkan?

Bukankah kita selalu berpikir kita mampu menyelesaikan semuanya, kemudian kita merasa besar kepala paling tahu segalanya? Saya menyadari bahwa keangkuhan adalah negasi dari kehidupan. Tak ada yang sudi merengkuh orang yang angkuh. Tidak kehidupan itu sendiri sekalipun. Kita kadang  menghakimi agar kita nyaman dengan diri kita sendiri. Kita kadang membandingkan diri, mereplika eksistensi, hanya agar dapat mereposisi diri kita sendiri. Saya melakukannya, dengan sadar maupun tidak sadar, dan saya menyesal. Kadang rasa penyesalan itu mengendap begitu lamanya, seperti anak kecil yang merasa takut mendapatkan hukuman dari orang tuanya karena melakukan kesalahan yang sama terus-menerus. Kesalahan yang entah mengapa terus saja berulang.

Resistensi adalah pelajaran berharga yang saya dapatkan. Untuk tahu kapan harus tinggal dan pergi, baik dalam satu percakapan mengusik ataupun pertemanan yang sudah bersifat seperti dementor. Jika belum waktunya, baik jangan pergi. Ada yang masih harus dikerjakan dalam membangun kasih, supaya saya tidak menjadi diri saya yang sama dengan sebelumnya. Bukan berarti, saya kemudian tak tahu kapan harus pergi. Mungkin pada saatnya nanti, saya akan mengatakan sampai jumpa lagi di lain waktu, di lain kehidupan, di waktu yang lebih tepat dari ini, ketika kita sudah menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing. Namun seperti kata Dee Lestari, doa saya supaya saya mampu bangun dari ilusi tanpa harus pergi. Pun ketika pergi, saya berdoa itu bukan demi harga diri, tapi demi sesuatu yang lebih hakiki yang saya pun belum tahu itu apa.

Ketika hari ulang tahun saya, teman saya berkata: "Firman hari ini bagus banget, Jes. Ingetin aku sama kamu. Katanya, kita sebenarnya tahu dalam setiap hal yang kita lakukan - ada suara kecil yang menyuruh kita melakukan kebaikan. Tapi, kadang kita nggak ikutin suara itu. Kita tahu kita salah karena kita seharusnya ikutin suara itu," tuturnya. Menyambung dengan poin pertama yang saya paparkan tadi, kekosongan yang sebenarnya memiliki isi itu terjadi karena kita tidak mendengar lebih saksama. Kita tidak lagi mendengarkan diri kita sendiri dengan lebih teliti.

Ketiga, pelajaran yang terpenting adalah kesadaran saya bahwa saya sama clueless-nya dengan orang lain. Saya terharu sekali mendapatkan ucapan-ucapan yang membuat saya heran 'Apa yang saya lakukan sehingga Tuhan sayang sekali dengan saya? Sampai ucapan-ucapan dengan kata-kata saja membuat saya merasa diberkati, disayang, dan diapresiasi?' Kemudian, saya berpikir. 'Apa mereka tahu bahwa saya juga sama tersesatnya dengan mereka?', 'Apakah mereka tahu bahwa saya pun mengalami pergulatan batin yang mungkin tidak sesulit yang mereka hadapi?', 'Apakah mereka tahu bahwa mereka pun tidak sendirian? Bahwa mereka sama hebatnya dengan apa yang mereka katakan dalam doa-doanya pada saya?' Saya terlihat baik-baik saja. Sama seperti saya melihat kalian baik-baik saja. Namun sesungguhnya pertentangan hati siapa yang tahu? So this is what I want to say to you all, we are all in the same battle...trying to get what's better for ourselves. Kalau mereka tidak tahu, biar saya katakan lewat tulisan ini: "Kalian tidak sendirian. Kita berada dalam perjuangan yang sama untuk menemukan makna diri kita masing-masing dalam apa yang kita jalani sehari-hari. So, don't give up on life just yet!"

Dua puluh enam adalah berkat melimpah untuk saya. Saya membunuh bagian diri saya yang lama. Semoga saja saya sudah membunuhnya. Semoga tahun ini saya menjadi versi baru dari diri saya sendiri, layaknya spons yang menyerap sebanyak-banyaknya, layaknya benih yang siap bertumbuh sesaat diletakkan di mana saja.

Setelah tahun sebelumnya, saya diajarkan soal kasih, kerelaan hati, dan bagaimana menyelesaikan hal yang saya awali. Di tahun ini, saya kembali diajarkan untuk menerima, mengasihi, bersyukur, dan yang terpenting adalah menggandeng tangan orang lain, membantu mereka berdiri, dan mengatakan ke setiap orang bahwa "Kamu baik-baik saja. Kamu tidak sendirian. Mari sama-sama berjuang demi kehidupan. Aku ingin hidup, Aku yakin kamu juga."

Untuk setiap kata yang saya ucapkan dalam tulisan ini, saya tutup dengan kalimat yang memuat dua kata favorit saya (kasih dan senantiasa): Semoga kasih senantiasa ada di antara kita!


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts