Minoritas yang Berdaya Cipta: Sebuah Perspektif Foucauldian
― Jean-Paul
Sartre
Pengantar
Tulisan ini
merupakan refleksi penulis atas visi dan misi UKSW. Tulisan ini dibuat untuk
dipresentasikan dalam Rapat Dinas FISKOM pada 27 Januari 2017. Penulis
memfokuskan tulisan ini berdasarkan visi UKSW di mana Universitas bertujuan
menjadi sebuah Universitas Scientarum, untuk
pembentukkan persekutuan pengetahuan tingkat tinggi yang terikat kepada
pengajaran kebenaran (alethea) dan
menjadi Universitas Magistrorum dan
Scholarium untuk pembentukkan minoritas yang berdaya cipta (creative minority) bagi pembangunan dan
pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia.
Dari dua konsep
besar yang tertuang dalam visi UKSW, penulis berangkat dari pertanyaan:
"Apa itu creative minority?",
"Bagaimana kebenaran, kreativitas, minoritas memiliki 'power' yang membawa
perubahan bagi masyarakat?" untuk membangun kerangka tulisan ini. Penulis
memutuskan untuk mengejewantahkannya dalam dua bagian, pertama menlihat
tinjauan historis konsep creative
minority, kemudia menganalis konsep itu berdasarkan perspektif pemikiran
Michel Foucault tentang power and
knowledge.
Tinjauan
Historis 'Minoritas yang Berdaya Cipta (Creative
Minority)
Kurang lebih 26
abad yang lalu, Yeremia menulis kepada salah satu jemaatnya di tanah asing. Ia
menulis kepada seorang Yahudi yang ditawan di Babel setelah kekalahan mereka,
yang mana juga menghancurkan Bait Salomo, simbol kebesaran bangsa mereka dan
tanda kuasa Allah berada di tengah-tengah mereka. Kitab Mazmur merekam jelas
bagaimana perasaan orang-orang yang terasing itu. Demikian tertulis dalam
Mazmur 137: 1,4, "Di tepi sungai
Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion;
Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?"
Perubahan yang
dialami bangsa Yahudi pasca kejatuhan Babel merupakan gambaran nyata dalam
setiap keruntuhan peradaban yang terjadi dalam rentang waktu sejarah 26 abad
setelahnya. Demikian surat yang ditulis Yeremia menjadi valid, seperti tertulis dalam Yeremia 29:5-7, Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati
hasilnya; ambilah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan;
ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan suami bagi anakmu perempuan, agar
di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang! Usahakanlah kesejahteraan
kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab
kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu."
Inilah hal
penting dalam konteks Alkitabiah yang kemudian mendasari bagian terpenting
dalam tulisan ini: ide bagi sebuah minoritas yang berdaya cipta (creative minority)[1].
Yeremia menyatakan bahwa untuk bertahan hidup di tempat asing bukanlah sesuatu
yang mustahil. Hal yang harus dilakukan adalah berkontribusi aktif demi
masyarakat dan berdoa pada Tuhan.
Visi Yeremia dalam ide creative minority menyadarkan bahwa kekuasaan Tuhan dalam sejarah
tidak lagi berada pada nosi 'penaklukkan' wilayah kekuasaan atau bangsa
lainnya. Kekuasaan Tuhan tetap bersama bangsa Yahudi walaupun dalam masa
kekalahannya dan keberadaan mereka di tanah asing.Di titik inilah semangat creative minority menjadi pengingat
bahwa 'harapan' ketika jemaat berada di tanah asing, yang kemudian mendasari
daya juang kaum Kristen yang berdiaspora
bahkan hingga saat ini.
Dalam konteks
ini, bangsa Yahudi sebagai minoritas yang menunjukkan kreativitas dan daya
cipta yang kemudian dipaparkan Jonathan Sacks (2013) dalam Erasmus Lecture tahun 2014. Menurut Sacks, dalam abad modern,
Yahudi diakui sebagai cultural mainstream
of the West. Nama-nama besar dari pemikir barat dan arsiter berasal dari
bangsa Yahudi, baik yang berafiliasi maupun tidak dengan agama, mereka adalah
Spinoza, Marx, Freud, Einstein, Wittgenstein, Durkheim, Lévi-Strauss, dan masih
banyak lagi. Sacks menyatakan bahwa 'Anda dapat menjadi minoritas, hidup di
antara orang-orang dengan agama, budaya, sistem hukum yang berbeda dengan Anda,
namun tetap menjaga identitas anda, hidup dalam iman anda, dan berkontribusi
untuk common good, seperti yang
Yeremia ungkapkan. Kesulitan dalam mencapai tiga hal itulah kemudian sikap
kreatif diuji. Untuk menjadi creative
minority, seseorang diharapkan mampu untuk menghadapi 'disonansi kognitif'
dan kesediaan 'bergulat' dalam finessing
the identity. Bukan tidak berpegang teguh, tapi mencari jalan tengan untuk
mengadopsi nilai pribadi (dengan kreatif) untuk kebaikan bersama.
Hal serupa juga dikatakan oleh seorang tokoh
Kristiani penting di Eropa, Paus Benediktus XIV, pada 13 Mei 2004, Ia
mengonfrontasi fenomena sekularisasi di Eropa setelah terakhir dilakukan
mungkin oleh Constantie di abad ke-3. Ia menyatakan bahwa Eropa kehilangan
sesuatu yang penting: harapan. Tidak hanya itu, dalam situasi nyata, hal ini
mengarah pada hilangnya identitas Eropa yang mengarah pada biasnya fondasi
moral, dan kepercayaan terhadap satu sama lain. Analogi ini kemudian menjadi
relevan melihat situasi Eropa saat ini: 'A
Strange lack of desire for the future'.
Paus Benediktus
XIV menekankan bahwa permasalahan ini bukan hanya berada pada scoop religius dengan merebaknya
sekularitas, tetapi titik di mana sebuah kebudayaan kehilangan 'kepercayaan'
terhadap setiap sendi yang membangun kebudyaan itu sendiri. Sebuah masyarakat
yang berlandaskan creative minority,
dalam semangat Kekristenan, seharusnya mampu bersikap 'proaktif' daalam
merespon krisis kebudayaan, sehingga dapat mengembangkan sebuah kebudayaan.
Paus Benediktus XIV menyebut 'strategi' ini sebagai active believers.
Konsep creative minority kemudian dijelaskan
lebih mendalam oleh dua tokoh sejarawan, Oswald Spengler dan Arnold Toynbee.
Menurut Spengler, kebudayaan layaknya organisme yang hidup. Kebudayaan memiliki
siklus hidupnya sendiri, dari sebuah kebudayaan lahir, tumbuh, mencapai
kedewasaannya, kemudian menua dan mati. Tidak ada pengecualian bagi kebudayaan
apapun.
Sementara itu,
Toynbee berpendapat bahwa ada perbedaan antara dimensi material dan spiritual
dalam sebuah kebudayaan. Toynbee menganggap sebuah akhir dari kebudayaan
melahirkan kebudayaan baru dengan spritual yang sama, namun dengan material
yang lebih baik. Tepatnya, setiap kebudyaan memiliki dimensi spiritual yang
mana dapat dihidupkan kembali oleh 'kemampuan manusia' (human ability). Toynbee menyebut kemampuan manusia itu sebagai
anugerah atau the gift, dan dimiliki
oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai creative
minority. Toynbee menyebutnya history's
great problem solvers. Contoh yang diberikan Toynbee adalah dengan simbol
Cina Yin-Yang, "Yin mendorong
munculnya kreativitas Yang, disertai dengan adanya disintegrasi kembali ke
suatu Yin yang baru. Ritme itu terus berlangsung tanpa akhir, tetapi kelahiran
kembali bukan merupakan pengulangan."
Toynbee membagi menjadi tiga periode utama: geneses, growth, dan breakdown. Toynbee berfokus pada tahapan
ketiga yaitu breakdown. Ia membagi
tahapan ini secara spesifik menjadi disintegrations,
universal states, universal churches, dan heroic ages. Kebudayaan dimulai ketika manusia mampu menjawab
tantangan lingkungan fisik dan tantangan lingkungan sosial. Petumbuhan juga
ditepnuhi tantangan akan pengendalian dari kedua lingkungan itu. Hal yang
menentukan suatu kebudayaan adalah semangat dalam diri masyarakatnya (self-determination) untuk mengatasi
tantangan eksternal, juga tantangan internal bagi setiap individu dalam sebuah
kebudayaan untuk mendorong pertumbuhan spiritualnya.
Munculnya
kebudayaan, dalam siklusnya, ditandai dengan adanya creative minority yang kemudian berkembang dengan teori Toynbee Challenge-response-theory. Toynbee
berpendapat bahwa kebudayaan muncul karena dipicu oleh tantangan. Kebudayaan
tidak muncul secara otomatis sebagai akibat biologi atau geografi. Tantangan
baik dari segi ekonomi, militer, lingkungan yang menjadi ancaman bagi
kelangsungan masyarakat.
Pada saat
itulah beberapa individu ataupun kelompok kecil muncul dengan solusi dan
inovasi yang menjadi inspirasi dan mengarahkan pada 'jalan baru' menuju kesejahteraan.
Pada saat mayoritas menyadari bahwa minoritas telah membuka 'gerbang', maka
mayoritas akan memprosesnya agar dapat terealisasikan. Siklus ini akan terus
terjadi baik dalam lingkungan fisik maupun sosial. Setiap tantangan diikuti
dengan tanggapan yang membuat sebuah kebudayaan berkembang.
Toynbee
menyatakan peranan creative minority menjadi
penting karena kaum minoritasnya yang menghasilkan breakthrough dalam setiap kebudayaan, dan kaum minoritas jugalah
yang mendorong self-determination dalam
sebuah kebudayaan secara spiritual. Tanpa minoritas yang kuat dan mampu
mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.
Dr. O.
Notohamidjojo, SH, dalam Pidato Pembukaan PTPG-KI tanggal 30 November 1965,
menyatakan bawa PTPG-KI memiliki empat dasar yaitu: Souvereinitas,
Normativitas, Aktualitas, dan Sosiabilitas. Keempat dasar ini meletakkan Visi
dan Misi UKSW sebagai 'mercusuar' yang menjadi penuntun bagi kapal-kapal untuk
berlabuh. Dengan pengakuan akan kebesaran Tuhan sebagai pencipta, UKSW mendasari
norma hukumnya sebagai sebuah institusi akademik. Berdasarkan Souverinitas dan
Normativitas itulah, setiap bagian UKSW dituntut untuk tanggap akan perubahan
yang terjadi, peka terhadap masyarakat dan berkontribusi aktif. Dengan nama
Satya Wacana, "Setia kepada Sabda," kalimat ini juga memiliki makna
lain yaitu kesetiaan pada ucapan. Tidak hanya memiliki makna setia pada
perkataan Tuhan tapi juga melafalkannya pada setiap ejaan kita sehari-hari. Creative Minority adalah Creido yang menjadi nafas UKSW sebagai
sebuah organisme hidup yang mendasari setiap sel-sel di dalamnya untuk memiliki
self-determination dalam menjawab
setiap tantangan.
Mengutip
tulisan Haryono Semangun dalam Perkembangan
Visi dan Misi UKSW, "Dalam pasang surutnya suatu kebudayaan, creative
minority memimpin tanggapan terhadap ancaman dengan ritme challenge and
response (tantangan dan jawaban), rout and rally (rally atau menyerang), dan
withdrawal and return (mundur atau maju kembali). Runtuhnya kebudayaan
disebabkan karena terpecahbelahnya dan menjadi lumpuhnya creative
minority itu, sehingga tidak sanggup menghasilkan tanggapan yang memadai
terhadap tantangan yang mengancam kebudyaan." Untuk itu, UKSW hadir
untuk mengusahakan kebudayaan tidak sampai pada kelumpuhan atau bahkan disintegrasi.
Melainkan, memantik api untuk setiap individu dalam menguatkan self-determination
Creative Minority sebagai
Épistème
Setelah melihat paparan historis terkait
pemikiran Arnold Toynbee tentang creative
minority, penulis mencoba melihat creative
minority dari perspektif Michel Foucault untuk memberikan argumentasi lebih
konsep power yang dimiliki oleh kaum
minoritas. Seperi yang dipaparkan dalam pengantar, bagian ini dituliskan untuk
menjawab pertanyaan penulis tentang konteks 'minoritas' pada masa ini.
Bagaimana power yang dimiliki oleh creative minority?
Dalam Visi UKSW, Universitas Scientarum, Magistrorum et Scholarium adalah
dua hal penting yang coba dicapai UKSW. Hal ini juga termasuk ke dalam ppin
ke-5 Visi UKSW yaitu menjadi pelayan dan lembaga pendidikan pelayanan
(diakonia) sepanjang masa mencakup kritik yang konstruktif serta informatif
terhadap gereja dan masyarakat terhadap keadaan masyarakat yang masih terdapat
kemiskinan, ketidakadilan, ketidakbenaran, dan ketidakmaian.
Visi ini
kemudian tertuang dalam Misi UKSW yang membutuhkan satu syarat mendasar yakni kebebasan (dikutip dalam bahan
presentasi Visi Misi tahun 2016 oleh Prof. A. Titaley, Th.D). Kebebasan ini
penulis arahkan pada Misi UKSW pada poin ke-3, "Mendorong dan mengembangkan sikap serta pemikiran yang
kritis-prinsipil dan kreatif-realistis berdasarkan kepekaan hati nurani yang
luhur dan dibimbing oleh Firman Tuhan."
Penulis melihat Visi dan Misi UKSW dapat
diejawantahkan dengan pemikiran Posmodernisme, yakni melalui perspektif Michal Foucault. Hal ini membuktikan bahwa
dalam situasi aktual, Creido UKSW
masih relevan. Bahwasanya, minoritas masih memiliki power untuk mengubah dan mempertahankan sebuah kebudayaan demi
mencapai Visi UKSW.
Foucault
menyatakan bahwa power bukan sesuatu
yang bersifat top-down atau milik
seorang pemimpin saja. Power bukanlah
sebuah hubungan yang berada pada posisi suprastruktur. Dalam artian, tidak ada
oposisi biner antara pihak yang mendominasi dan yang dominan menurut pengertian
Foucault. Power ada di mana-mana dan
tidak dapat dilokalisir.
Manusia adalah
aktor kekuasaan. Power tidak dibangun
seperti layaknya struktur politis yang dipaparkan Hobbes atau Locke, melainkan
tersebar dan tidak dapat dieproleh, dibagikan atau diambil dalam setiap
individu. Setiap individu memiliki kekuasaan mikro yang disebut épistème yang bersifat tidak represif,
melainkan produktif. Épistème sebagai
struktur yang menyatukan, dalam artian mengendalikan cara kita memandang dan
memahami realitas tanpa kita sadari. Foucault beranggapan bahwa identitas
manusia berkembang ditentukan dari 'kebenaran' yang mengambil peran dan
bagaimana kekuasaan terus berkembang di masyarakat.
Manusia
merupakan bagian dari suatu sistem, ia bergantung pada amnesia lainnya, identitas
manusia sebagai suatu bagian dari sistem ditentukan oleh power dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari dominasi
mayoritas terhadap minoritas. Tetapi, tidak berarti minoritas tidak memiliki
andil dalam pembentukkan power. Di
sinilah, konsep creative minority menjadi
relevan. Power, menurut Foucault,
tidak lepas dengan knowledge,
"pouvoir et savoir s'impliquent directement l'un l'autre'. Bahwasanya,
kekuasaan dan ilmu pengetahuan berimplikasi secara langsung satu sama lain dan
tidak dapat dipisahkan.
Untuk itulah,
jika ditilik dari dialektika power and
knowledge menurut Foucault, power adalah
sebuah straegi bukan milik penguasa. Hal ini menegaskan betapa relevannya Visi
UKSW pada saat ini yang tetap menjunjung Scientarum, Magistrorum et Scholarium,
aletheia sebagai pengetahuan tingkat
itnggi dan creative minority sebagai
pemberdayaan masyarakat. Hal itu merupakan strategi seperti yang dipaparkan
Foucault.
Foucault juga
berbicara tentang knowledge, manusia
memiliki pengetahuan dan akal budi, pengetahuan mengenai alam dan kehdupan
manusia di mana terdapat aturan dan permasalahan. berangkat dari hal itulah
yang membuat manusia tidak bergantung pada knowlege,
tetapi juga merupakan aktor yang membentuk kekuasaan. Dengan pengetahuan, setiap individu memiliki power yang mengukuhkan fakta bahwa power tidak hanya berada pada mayoritas saja. Selain itu, power juga berkaitan erat dengan tatanan
disiplin yang membentuk jaringan. Jaringan ini ada di mana-mana dalam setiap
kelompok sosial terkecil baik keluarga, universitas, sekolah, kantor, sampai
negara.
Hubungan power itu bersifat intensional. Power membutuhkan serangkaian tujuan dan
sasaran yang dibentuk dari hasil situasi lokal dan kontekstual. Inilah yang
membentuk spiritualitas kebudayaan seperti
yang dikatakan Toynbee. Foucault menyebutnya anonim, bukan kenyataan subjek.
Bahwasanya, power dibentuk dari
anonim itu yang mengarahkan setiap individu pada seiap strategi. Hal anonim
inilah yang bersifat menyebar dan selalu bergerak pada setiap épistème.
Hal terakhir
yang disampaikan Foucault adalah keberadaan resistensi sebagai afirmasi
keberadaan power yang menyebar. Perlu
dipahami bahwa resistensi bukanlah sesuatu yang berada di luar power dan bersifat melawan power. Resistensi justru berada di dalam
power. Resistensilah yang menyebabkan
power selalu bergerak dan
berproduksi. Hal ini yang dinyatakan Toynbee sebagai solusi dan inovasi
individu dalam menjawab suatu tantangan. Setiap individu memiliki hal anonim
yang harus dipertahankan sebagai sebuah resistensi.
Penutup
Untuk itulah,
peran UKSW menjadi penting sebagai sebuah jaringan dalam 'permainan kebenaran'
menurut Foucault. Lalu, bagaimana pemahaman ini kemudian diaplikasikan dalam
tanggung jawab sebagai dosen? Dalam waktu yang kurang dari satu tahun mengajar,
penulis mencoba untuk seiring dan sejalan dengan Visi dan Misi UKSW, terutama
dengan poin-poin yang telan penulis tegaskan di atas. Dengan konsentrasi ilmu
di bidang Budaya Eropa, penulis mencoba mengembangkan konsep creative minority dalam bidang
pengajaran. Penulis saat ini mengampu mata kuliah seperti Multikulturalisme dan Hub. Internasional, Hak Asasi Manusia dan Hub.
Internasional. Dari kedua contoh mata kuliah itu, penulis mencoba memberi
pemahaman pada mahasiswa bahwa setiap individu merupakan aktor kekuasaan yang
memiliki power selama mereka masih
berproduksi. Kesadaran ini dibangun dengan memancing keingintahuan mahasiswa
mengenai suatu hal melalui media audiovisual, setelah itu diskusi pun
dijalankan oleh pengajar. Diskusi yang dilaksanakan terkait isu-isu aktual yang
dikaitkan dengan mata kuliah yang diampu oleh penulis.
Tidak hanya
itu, penulis merasa bahwa aplikasi tidak hanya harus berhenti di diskusi. Membaca
adalah salah satu cara yang diusahakan penulis kepada mahasiswa. Dengan
terbiasa dengan proses membaca dalam iklim universitas makana Universitas Magistrarum et Scholarium dapat dicapai.
Tantangannya adalah saat pengajar harus terus-menerus mencari buku baru untuk
dibaca dalam setiap semester. Tidak hanya stagnan pada bahan bacaan yang telah
diberikan pada silabus semester lalu. Dengan cara ini, penulis menghindari
adanya knowledge adequancy. Pada satu pertemuan, pengajar membagi materi per bab
kepada mahasiswa dan meminta mereka mendiskusikannya, yang kemudian ditutup
oleh kesimpulan oleh pengajar. Proses ini menyertakan tanya-jawab dalam
diskusi, serta menilai sejauh mana kemampuan mahasiswa untuk membaca kritis.
Untuk mencapai
universitas Scientarum, kreativitas dihadirkan penulis dalam ruang kelas tidak
hanya lewat media pengajaran, bentuk diskusi, tapi juga metode game theory dalam presentasi kelompok.
Setiap kelompok diwajibkan untuk bertanya pada kelompok yang melakukan
presentasi di depan untuk mencuri nilai dari sang presentator. Hal ini
berlangsung hingga akhir kuliah. Metode ini digunakan dan efektif dalam proses
pengajaran dan diskusi. Selain itu, penulis juga meminta mahasiswa untuk
membuat poster yang dibingkai dalam tema 'Multikulturalisme'. Poster ini
merupakan wadah mahasiswa untuk menuangkan pemikirannya secara kreatif.
Adapun tugas
yang diberikan selalu variatif tidak berkisar pada tes saja. Penulis meminta
mahasiswa untuk menuangkan pemikirannya dalam studi kasus atau analisis kasus
berdasarkan hal yang terjadi di sekitarnya ataupun di kampung halamannya dalam
mata kuliah Multikulturalisme dan Hub.
Internasional, Hak Asasi Manusia dan Hub. Internasional. Terakhir, penulis
juga menjadikan proyek media sosial sebagai salah satu variasi pengajaran di
mana mahasiswa diminta untuk membuat video pendek dalam dua mata kuliah itu dan
menulis esai singkat serta mengunggahnya di media sosial masing-masing. Hal-hal
itulah yang menjadi aplikasi penulis dalam menerapkan Visi dan Misi UKSW.
Penulis meminta
maaf atas belum sempurnanya Tri Dharma PT yang dilakukan sebagai aplikasi dalam
waktu kurang dari setahun ini, namun hal itu tidak memberhentikan penulis untuk
berusaha memenuhi tanggung jawabnya.
Referensi
Foucault,
Michel. 2011. Pengetahuan dan Metode:
Karya-karya Penting Foucault [terj.]. Yogyakarta: Jalasutra.
K., Bertens.
2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Lechte, John.
2001. 50 Filsuf Kontemporer dari
Strukturalisme sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Ann. 2008. Michel Foucault dalam
Le Point-Hors Série n.17 Avril-Mai 2008. Prancis:
Hors-Série.
Nell, Rupidara.
2006. Mempertegas Identitas Creative
Minority. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Sacks,
Jonathan. 2014. The 2013 Erasmus Lecure:
On Creative Minority. US: New York University.
Statuta UKSW tahun 2000
[1] Penulis akan menggunakan
istilah creative minority demi
mempermudah pemahaman tulisan.
*) Tulisan dipresentasikan pada Studi Kelembagaan Dosen FISKOM UKSW tahun 2016.
Comments
Post a Comment