28

Salatiga, CdF, 2018.
Saya akan membuka kontemplasi ulang tahun kali ini dengan menyematkan kata pengantar yang saya buat untuk booklet acara Peace Walk Project. Demikian saya kutip:

Beberapa hari lalu, SETARA INSTITUTE merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 dan Salatiga menduduki posisi kedua setelah Kota Singkawang. Seiring dengan ujaran Ketua SETARA Institute yang dikutip dalam Tribun Jateng, Hendardi, bahwa IKT turut mendorong wacana publik dalam pentingnya partisipasi lokal, kegiatan ini adalah salah satu aksi nyata yang dilakukan mahasiswa/i HI UKSW memicu partisipasi lokal, utamanya kaum muda. Untuk apa? Untuk menghadapi tantangan radikalisme dan terorisme yang kian marak di Indonesia. Peace Walk Project dibuat sebagai pengingat bahwa keberagamaan adalah sebuah keniscayaan, tapi sikap toleran ibarat air yang tak boleh berhenti mengalir. Jika air berhenti mengalir, ia hanya akan menjadi sumber penyakit. Untuk itulah, toleransi dalam keberagaman harus terus diusahakan lewat tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini memberikan saya keyakinan yang amat besar atas potensi generasi muda untuk tetap menjaga asa akan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini dapat dilihat dari inovasi dan kreativitas yang menjadi dua kata kunci terselenggaranya kegiatan ini. Ada yang disebut active tolerance di mana toleransi dimaknai bukan hanya sebatas definisi hidup berdampingkan dengan damai, tapi juga telah menjadi pola pikir dan acuan tingkah laku dalam individu, kegiatan ini adalah salah satu bentuk nyata dari usaha pemuda/i untuk membumikan kata toleransi.


Terima kasih pada seluruh panitia atas terlaksananya Peace Walk Project. Ini adalah kerja baik yang dilakukan mahasiswa/i HI UKSW dalam usahanya untuk berpartisipasi memperkuat toleransi beragama di Salatiga. Saya, selaku penanggung jawab kegiatan ini mengucapkan selamat kepada seluruh mahasiswa/i, peserta dengan latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda. Merekalah yang telah mewujudkan acara ini. Melihat usaha mahasiswa/i serta esai-esai yang telah dikumpulkan oleh beragam peserta menyadarkan saya pada fakta bahwa geliat kaum muda untuk mengatasi tindak diskriminatif yang terjadi pada dirinya justru mengarahkan mereka mencari tahu dan memahami lebih jauh tentang perbedaan. Pemuda/i tidak terpaku pada pola pikir dualitas, bahwasanya pandangan dunia (world view) hanya sebatas Us vs Them. Hal ini saya sadari ketika melihat peserta beragama Islam, Protestan, Katolik, Ahmadiyah, dan Buddha menjadi satu. Kunjungan juga tidak dibatasi pada 6 (enam) agama yang diakui pemerintah saja, tapi juga merangkul agama lokal Sapta Dharma. Sekat bukan jadi batasan, tapi titik awal mereka untuk memahami siapa dan apa yang membuat batasan itu ada dan di mana mereka berdiri dan alasan mereka berdiri di titik itu. Tidak hanya itu, mereka mencoba memahami siapa yang berada di balik batas-batas itu dan mengapa mereka ada di sana. Dengan mengusung tema #KITAMINORITAS, kegiatan ini ibarat safe space bagi mereka yang enggan membagi cerita. Kegiatan ini adalah jembatan untuk saling berbagi cerita antara satu pemuda/i dengan yang lain. Dengan narasi-narasi yang dibawa oleh masing-masing orang, pemuda/i diajak masuk dalam komunitas agama dan kepercayaan yang mempromosikan nilai-nilai perdamaian. Sehingga, dialog akan tercipta dan membentuk interaksi aktif yang menghidupkan toleransi antar-umat beragama.  

Kata pengantar ini hanyalah awal bagi teman-teman untuk selalu percaya bahwa 'menjadi minoritas' bukan perkara jumlah. tindak diskriminatif yang pernah dialami atau keberadaan teman-teman yang tak dilihat ataupun tak didengar, tapi menyoal pertanyaan: "Apa yang dapat kita lakukan dengan pertanyaan-pertanyaan sebanyak itu? Apakah kita mampu untuk membongkar sekat prasangka yang dibangun atas persepsi kita saja? Persepsi yang dibangun tanpa pernah mengonfirmasi pada kelompok-kelompok lain di luar batas kita? Apakah kita, sesederhana, punya keinginan dan berniat mencari tahu kebenarannya dengan berinteraksi dengan komunitas itu?" Pertanyaan-pertanyaan menggelisahkan itulah yang dapat menjadi pemicu kita bersama untuk mencapai 'solidaritas sosial'. Kesadaran bahwa kegelisahan-kegelisahan itu membuat kita tidak berhenti pada satu prasangka saja dan enggan membuatnya mengalir (seperti air). Pada akhirnya, semua akan kembali ke teman-teman sekalian untuk terus kritis mempertanyakan sekat yang teman-teman buat. Selamat merayakan toleransi dan ajukanlah pertanyaan sebanyak mungkin untuk mengonfirmasi prasangka yang selama ini berdiam di kepala teman-teman sekalian. Damai di hati, damai di bumi. Enjoy the Peace Walk Project and always be a person that walk the talk!


Salatiga, 10 Desember 2018
Jessy Ismoyo


Memento Mori adalah tema yang saya angkat dalam kontemplasi kali ini. Dibuka dengan kata-kata yang saya tuliskan sebelumnya, tulisan ini tidak akan memaparkan banyak. Lebih kurangnya tentang kehidupan. Tentu akan sangat subjektif. Semua tulisan memang akan subjektif, objektivitas hanyalah kemampuan penulis membangun konteks cerita yang tiba-tiba (dengan cara yang magis) dapat menyentuh hati pembacanya. Saya tidak punya tendensi untuk menyentuh hati pembaca, karena hati adalah kesepian masing-masing, bukan? Seperti nasib, seperti kehidupan, seperti apa yang kita jalani tiap bangun tidur. Kadang saya bertanya? Kita diberitahu lewat kebijaksanaan-kebijaksanaan para pendahulu untuk menghindari kematian, tapi kita tidak pernah ditunjukkan bagaimana caranya untuk menjalani kehidupan? Untuk itulah, terkadang kita tersesat untuk mencari jalan kita masing-masing. 

Mungkin saya akan mulai dari kebenaran. Apa itu kebenaran? Bagaimana 28 tahun kehidupan membuat saya ingin menuliskan tentang kebenaran? Mungkin jalan yang sebutkan tadi adalah cara lain (buat saya) untuk meliuk-liuk sekadar menentukan apa itu yang benar? Pencarian saya akan kebenaran, lucunya, sampai pada momen di mana saya harus membuat acuan kegiatan Critical Thinking di tingkat fakultas. Saya dan rekan saya memutuskan untuk mengundang Romo Moko dan satu bagian dalam penjelasannya, Romo Moko pernah menjelaskan  tentang hakikat kebenaran. Ya, hakikat kebenaran. Mengutip beliau dalam presentasinya, ada empat hakikat kebenaran: kebenaran deskriptif, instrumental, ontologis, dan eksistensial. Kebenaran deskriptif dilandaskan pada pernyataan, proposisi dan kepercayaan. Sementara instrumental diterapkan pada kepercayaan yang mengarahkan pikiran atau tindakan dengan berhasil, jadi sebuah kebenaran harus dapat dibuktikan dan dilakukan dahulu, baru ia dapat dikatakan sebagai kebenaran secara umum.

Kebenaran ontologis mengarah pada hakikat 'ada', 'menjadi', atau realitas. Kebenaran ini mengarah pada 'ada' dan 'keberadaan' dilihat dari hubungan-hubungannya baik interpersonal maupun intrapersonal. Kebenaran eksistensial mengacu pada cara hidup atau komitmen terdalam. kebenaran inilah yang saya jabarkan dalam tulisan ini: kebenaran eksistensial. Kebenaran yang saya alami lewat cara hidup dan komitmen saya terhadap nilai-nilai kehidupan yang saya pegang. Kebenaran yang tidak perlu sampai pada instrumental, terlebih lagi deksripitif. Tulisan ini bukanlah kebenaran ilmiah. Ia benar, setidaknya untuk saya, bagi yang mengalami. Kebenaran yang saya tawarkan pun tidak semata-mata benar adanya bagi saya; karena setahun ini, saya diberondong oleh berbagai persepsi, pernyataan, proposisi, bahkan premis-premis besar tentang hidup, menghidupi, dihidupi, di sela-sela kehidupan. Kadang kita berpikir semuanya hanya soal persepsi, kesadaran kita atas pemahaman pancaindera kita tentang suatu objek atau kejadian, yang akhirnya kita jadikan sebuah 'pernyataan', sebuah opini yang kita yakini sebagai sebuah fakta. Pernyataan ini beragam dari hasrat, preferensi, sampai harapan yang menentukan sikap kita hingga menjadi proposisi; karena ia diulang terus menerus hingga menghadirkan nilai kebenaran atau justru malah nilai kekeliruan. Saya ulang, hasrat, preferensi atau harapan. Tiga hal kunci yang mewarnai setahun hidup saya ini. Untuk itulah, tulisan ini hadir sebagai dasar kesimpulan, premis. Premis mayor dengan kumpulan omong kosong yang jadi premis minor.

Mari kita kembali ke definisi Respice Post Te. Hominem Te Esse Memento. Memento Mori, "Remember (that) you will die." Pernyataan itu adalah refleksi Kristianitas abad pertengahan tentang mortalitas dan usaha memahami kehidupan lewat kesesangsaraan dan kematian. Ingatlah bahwa kita akan mati. Pernyataan yang sekilas sangat dark and twisty, yang kemudian membuat pembaca menghakimi saya sebagai orang yang mengglorifikasi kesedihan dan kehilangan dalam hidup. Ya, tidak apa. Penghakiman pembaca itu adalah murni hak pembaca. Namun hal menariknya, dalam praktik kultural yang tak lekang oleh waktu, filsafat dalam hal ini, Stoicism, misalnya, yang menghadirkan Memento Mori sebagai selebrasi kehidupan. Bahwasanya, tiap hari adalah sebuah amanat untuk dijalankan, kado untuk disyukuri, bukan untuk dilewatkan begitu saja. Epitectus bertanya pada muridnya, pada suatu hari: "Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana kejahatan terbesar dari 'Yang Jahat' dalam manusia, bagaimana jika hal itu adalah bukan kematian tapi ketakutan akan kematian itu sendiri? Yang manusia dapat lakukan adalah membiasakan dan mendisiplinkan dirinya dari rasa takut 'Yang Jahat' itu. Bagaimana manusia dapat mengarahkan dengan membaca pola ketakutan-ketakutan akan kematian; di sanalah manusia memulai untuk mencapai kebebasan." Begitulah Stoic memberi kekuatan dan harapan dalam kehidupan...lewat kematian dan kesengsaraan. 

Dari Stoicism, saya beranjak pada kutipan Jonathan Nolan dalam buku berjudul sama: "You're different. You're more perfect. Time is three things for most people, but for you, for us, just one. A singularity. One moment. This moment. Like you're the center of the clock, the axis on which the hands turn. Time moves about you but never moves you. It has lost its ability to affect you. What is it they say? That time is theft? But not for you. Close your eyes and you can start all over again. Conjure up that necessary emotion, fresh as roses [...] Time is and absurdity. An abstraction. The only thing matters is this moment. This moment a million times over. You have to trust me. If this moment is repeated enough, if you keep trying; and you have to keep trying; eventually you will come across the next item on your list." Inilah yang saya lakukan, mengulang-ulang kontemplasi yang saya tuliskan setiap tahun untuk menanamkan rasa percaya bahwa ada hal yang lebih dalam rancangan saya yang membuat saya menanggalkan semua rencana itu. Sebentar? Apa yang saya ulang? Untuk lebih tepatnya? Mungkin menulis dan membaca, ya? Absurd memang, tapi ya memang begitulah. Setidaknya itu yang saya lakukan, tetap terjebak menulis di blog, tanpa publikasi riil yang sudah saya tahan bertahun-tahun lamanya. Tulisan-tulisan yang tidak akan jadi apa-apa, buku puisi yang saya enggan selesaikan karena saya tidak yakin pada diri saya sendiri (lucu ketika semua orang yakin pada diri anda kecuali diri anda sendiri). Setidaknya, tetap ada tulisan yang dapat saya hasilkan tahun ini: tulisan akademis (kebenaran deskriptif, kalau merujuk dua paragraf sebelumnya). Nah, saya menuliskan banyak kebenaran sepertinya dalam hidup saya beberapa waktu terakhir ini.

 Tahun ini berlalu secepat jentikan jari. Awal tahun, saya boleh diberikan kesempatan mempresentasikan preliminary research senior yang saya segani di Universitas yang tidak pernah saya bayangkan kalau saya boleh berada di sana, Nanyang Technological University. Lalu, pertengahan tahun saya boleh pergi dalam perjalanan jauh ke Amerika Serikat, mengunjungi lima negara bagian. Kesempatan yang tidak didapatkan banyak orang seumuran saya. Saya bertemu dengan orang-orang yang lebih expert dalam bidangnya, yang sangat baik hati menuntun saya dalam riset bidang terkait. Saya mengunjungi begitu banyak komunitas yang berbeda, berdiskusi, dan membuncahkan semakin banyak pertanyaan pada diri saya: "Apakah yang saya sudah lakukan hingga saya pantas mendapatkan kesempatan ini?" Kadang, cara kepala saya bekerja cukup aneh. Ia menempatkan banyak sekali rasa bersalah yang tidak semestinya; ibarat saya bertanggungjawab atas semua yang terjadi di sekeliling saya. Tidak menyenangkan, kadang-kadang. Tapi, hal itu membuat pancaindera saya amat sensitif dengan banyak hal (dan ini saya sangat syukuri sekali). Sebenarnya, hal yang paling saya nikmati adalah perjalanan panjang hampir 24 jam di pesawat. Melintasi Samudra Pasifik, transit di Jepang, dan akhirnya tiba di Chicago, kemudian melanjutkan perjalanan ke Philadelphia. Sebaliknya, pulang dari Washington DC ke Chicago, Narita kemudian Indonesia. Saya suka sekali berlama-lama di pesawat. Hal itu yang kemudian saya sadari. Kenyamanan saya ada di kursi pesawat. Rumah saya, berada jauh dari hal-hal yang akrab untuk saya. Itu juga rumah, setidaknya itulah definisi rumah saya untuk tahun ini. Pulang berarti berada di antara orang-orang asing yang kemudian menjadi keluarga, bersama-sama dengan mereka jugalah saya akan melakukan sesuatu yang punya arti (buat saya dan sekitar saya). Egois sebenarnya, tidak sama sekali altruis. Saya mengorbankan perasaan orang-orang yang sudah saya anggap keluarga dan memaksa mereka memahami definisi saya akan pulang dan rumah yang bertentangan dengan konsep 'tinggal' mereka, yang membuat mereka cemas akan saya. Itu egois, bukan altruis. Tapi, saya belajar, saya berproses...dalam setiap langkahnya, saya mencoba dengan amat sangat untuk negosiasi terhadap ego saya sendiri. 

Apalagi yang terjadi pada saya tahun ini? Oh ya, saya menulis dua publikasi. Satu dalam buku dan satu dalam jurnal ilmiah. Keduanya hampir tidak penting. Setelah saya baca lagi, tulisan saya jelek sekali. Saya menulis kontemplasi saya selama tiga tahun menjadi dosen dan pengalaman pedagogis yang coba saya bentuk tanpa ada tuntunan sama sekali. Saya yang mencari celah dan cara. Tidak ada tuntunan bukan berarti tidak ada dukungan. Justru dukungannya banyak sekali dan saya berterimakasih sekali untuk hal itu. Saya punya ruang untuk trial and error dan kebebasan untuk menentukan metode yang sama sekali perlu pembelajaran lebih. Tapi, saya berpikir bahwa ruang kelas sama seperti kehidupan (seperti yang dikatakan Freire) bahwa tidak ada metode ajeg; yang bisa dilakukan hanyalah memantik stream of consciousness dalam setiap individu. Ini dia yang menyengsarakan. Tidak semua individu di kelas saya menerima, banyak yang menolak, lebih banyak lagi yang menyerah sebelum berjuang. Bahkan, ada yang menyerah dan menghina. Tidak apa-apa, mungkin itulah proses. Saya harus berterima bahwa tidak semua orang berterima dengan usaha yang saya lakukan, dan bukan porsi saya untuk memaksa. Pada akhirnya, saya hanya jadi medium. Pilihan sepenuhnya milik kepala-kepala yang kebetulan berada pada kelas saya. Jika mereka tidak ingin berusaha atau setidaknya menghargai diri mereka sendiri dengan memberikan yang terbaik dari diri mereka, yang semata-mata mereka butuhkan...adalah waktu. Bukan begitu?

Lainnya, saya mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh Arkademy Project dan Kelas Pagi Yogyakarta tentang analisis foto. Saat duduk di ruang kelas, bukan sebagai dosen, saya senang sekali. Selalu menyenangkan menjadi orang yang belajar. Saya bertemu banyak sekali orang hebat dengan macam-macam pengalaman mereka tentang kehidupan. Saya menikmati satu per satu karya mereka; cara mereka memandang kehidupan, cara mereka menumpahkan hal-hal yang tidak terkatakan dalam hati mereka lewat foto. Indah. Lebih lagi, cara tiap orang menafsirkan suatu foto yang ternyata erat kaitannya dengan kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Foto yang meninggalkan kesan mendalam untuk saya adalah cover The Americans oleh Robert Frank (saya selalu salah menyebutkannya dengan Robert Frost, haha). Foto Trolley dengan komposisi sempurna, yang awalnya tidak saya mengerti konteks fotografis dan teknisnya, kemudian saya mendapat sudut pandang jauh dan mendalam terkait hal itu. Foto yang mengungkap sisi diskriminatif Amerika di bawah pemerintahan Eisenhower pasca-PD II di mana Amerika Serikat besar dengan image negara besar pemenang PD II. Masih banyak segregasi sosial yang mengarah pada kekerasan di sana; dan semuanya tergambar dalam sebuah karya visual sempurna. Imagine what you can do with anything you like, you reveal truth in very heartwarming way. Di sela-sela workshop, saya boleh dipertemukan dengan orang-orang hebat yang memperjuangkan isu HAM; mendengarkan perjuangan mereka soal kekerasan terhadap perempuan, kekerasan di Papua, hingga pergulatan sehari-hari yang didepresiasi oleh sekitar mereka...melahirkan kekuatan baru untuk saya...untuk tidak menyerah. Mengingatkan kembali doa dan harapan yang dikirimkan kak Theoresia Rumthe dalam pesan WhatsApp-nya pada saya: "...terus jadi perempuan yang bertahan di dalam segala sesuatu. Ke depan bakalan banyak tantangan, tetap percaya sama diri sendiri, tetap bertahan. Sayang dari Bandung yang hujan."  Manis, ya? Hidup itu memang selalu ada pelukan-pelukan lewat kata-kata yang membuat saya percaya lebih lagi akan keberadaan diri saya sendiri. Itu juga yang menyadarkan saya, lewat project-project yang saya lakukan, saya dipertemukan dengan orang-orang luar biasa yang merawat harapan dan mewartakannya untuk orang lain. Mungkin 'menginspirasi' terdengar seperti glorifikasi buat saya, karena saya belum melakukan hal-hal hebat. Mungkin 'menginspirasi' lebih cocok diberikan pada kehidupan yang menjembatani saya pada orang-orang ini. Duh, Semesta, kamu baik sekali. Saya ingin peluk kamu erat-erat. Terima kasih. Kasih yang tak habis-habis.

Saya juga paham bahwa kita perlu berdamai dengan orang-orang tertentu. Memahami ketidakmampuan mereka, batas mereka, dan menghargai keputusan mereka untuk tidak melewati batas itu. Saya juga perlu paham bahwa kekerasan dan nirkekerasan sama pentingnya dalam memahami setiap tindak serta tutur manusia yang merugikan manusia lain. Saya perlu paham betul bahwa closure itu adalah konsep yang kita buat bagi diri kita sendiri. Bahwasanya, cinta dan komitmen, pun di saat ia patah dan hancur berkeping-keping, tak berarti ia butuh penyelesaian dan penyembuhan yang sama ketika kita memulai perjalanannya. Banyak sekali cerita personal yang membuat saya bertumbuh, waktu demi waktu, dan di titik ini saya enggan membenci - karena saya sadar bahwa saya hanya tidak menerima realita saja. Acceptance is coming when I 'accept' the reality, and that is what I am doing. Nrimo. Menerima bahwa rasa itu tidak hilang, mungkin ia meranggas, tapi saya  masih yakin ada di sana, disimpan baik-baik, dan sekarang benih rasa yang sama dapat  ditanam lebih baik di tanah yang baru. Begitu saja. Hidup baik sekali, ya? Benih-benih itu bermunculan dari kesadaran bahwa hidup saya dimudahkan tiap langkahnya. Setahun ini, semua kebaikan semesta datang pada saya. Benih-benih itu tumbuh begitu saja dan buahnya ingin saya bagikan lewat cara yang saya tahu: menulis. Itu saja.

Memento Mori, ingatlah bahwa suatu saat nanti kita pasti akan mati. Ingat juga bahwa kematian dan kehidupan mewartakan berita-berita kejahatan yang membuat kita pesimis, untuk itulah (mengutip Karlina Supelli), sungguh perlu kita merawat asa. Jangan putus, jangan henti, terus bergerak perlahan...karena kita tidak punya apa-apa, kita tidak berada di mana-mana, kita hanyalah kita...manusia yang punya kehendak. Kehendak yang didasarkan hasrat, preferensi, dan harapan. Untuk memupuk asa, kita hanya perlu melatih hasrat, menentukan preferensi, dan melanggengkan harapan (asa tuh sebenarnya sama artinya dengan harapan sih hehe). Truth to be told, saya juga belum mampu melatih hasrat. Masih perlu banyak belajar. Itulah yang saya usahakan terus. Preferensi sudah jelas, dengan bertemu banyak orang-orang hebat - saya mau lebih banyak lagi melakukan sesuatu yang membuat orang percaya bahwa tidak ada sesuatu hal yang sia-sia. Tidak ada. Hal itu yang saya jadikan harapan.

Akhirnya, 2018 sampai pada Desember. Saya sudah menuliskan kebenaran saya, cukup di sini saja saya rasa. Sisanya, saya hanya punya diri saya dan usaha saya melawan diri saya sendiri. Di antaranya, saya selalu yakin ada kasih di antara kata-kata ini, di antara tatapan mata dan senyum tiap hari. Ulang tahun hanyalah momentum yang saya ciptakan untuk menyampaikan terima kasih ke Semesta. Itu saja. Semoga berkenan, pun tidak semoga damai di hati kalian, semoga kalian menemukan kebenaran kalian masing-masing. Doa saya untuk kalian. Kasih untuk kalian. Semua yang baik untuk kalian.

Peluk hangat,
Jessy Ismoyo





Comments

Popular Posts