What Happened throughout the Year 2019?


Mount Nebo, 2019, Jessy Ismoyo.
"Unus Deus Pater Omnium Super Omnes"
(One God and Father of all, who is above all)
— Ephesians 4:6

Ini refleksi saja. Saya perlu menuangkan banyak hal, jadi inilah hal-hal itu. Mungkin ini adalah penenang atas tulisan kontemplatif tahunan lainnya yang tak kunjung diunggah. Tahun ini, saya belajar yang sungguh besar; percaya kalau semua akan baik-baik saja. Semua akan baik pada waktunya. Sesusah apapun itu, nanti semua akan menemukan kelapangan hatinya sendiri.

Kala hidup mendesak dan menyesak, teruslah yakin dan percaya bahwa kebaikan akan menemukan jalannya. Pahami juga bahwa kebaikan membuat kita lebih kurangnya menjadi berserah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya semakin paham bedanya menyerah dan berserah.

Contoh saja, yang kenal saya, paham kalau cita-cita saya ya sekolah. Tinggi-tinggi, kalau bisa, ya S3. Ambisius, katanya. Ya, tidak apa-apa. Saya tahu maunya apa. Ya, itu. Jadi, lini hidup saya, saya atur dari lulus S2, pindah ke kota kecil, jauh dari rumah, untuk mengajar (lagipula, saya penat dengan Jakarta). Selama tiga tahun, banyak sekali hal terjadi. Tiga tahun yang isinya tantangan saja, yang membentuk saya. Tidak semuanya manis. Tidak semuanya baik. Tidak semuanya mudah. Tidak semuanya (juga) dapat dilalui dengan baik, tapi selalu ada keyakinan yang muncul. Tahu darimana? Dari satu orang ke orang lain, yang (lucunya) sinkron begitu saja, energi baiknya memancar banyak sekali, menular cepat sekali. Enak deh. Dikelilingi energi positif begitu, mengajak kita untuk tahu kapan harus maju dan kapan untuk rehat, berhenti sejenak. Semua harus seimbang. Semua rasa harus dirasakan: sedih, kecewa, bahagia, marah, ragu. Tanpa ‘support system’ yang baik, saya tidak akan jadi saya yang sekarang.

Awal tahun, saya (hampir) memutuskan jadi misionaris. Yang tahu saya, pasti tahu juga alasan saya kenapa ingin menjadi misionaris. Dengan pertimbangan matang, akhirnya saya mengurungkan niat saya. Saya lepas kesempatan untuk ke Afrika/Amerika Latin selama 2 (dua) tahun. Mungkin, yang membuat saya tetap di Indonesia, ya Papa dan Kak Tya. Selain itu, kata-kata Kak Chaken, saya ingat betul, malam itu, di 1915, “Di Salatiga, kamu bisa buat lebih banyak.” Saya harap demikian. Semoga pilihan saya, tepat, dan tidak mengecewakan.

Dengan kembali, usaha untuk sekolah lagi, antara banyak aplikasi yang gagal. Pun, membuat keputusan besar dengan rancangan matang pula. Saya memulai perjalanan baru dalam pencarian diri, Studi Doktoral. Dari mulai saja, tantangannya bertubi-tubi. Tapi, justru makin disesah, saya makin yakin, kalau ini cita-cita saya. Keinginan saya. Seperti yang saya katakan di seleksi wawancara beasiswa: “Saya selalu disebut ambisius, tapi cita-cita saya memang sekolah sampai S3. Saya rancang dan lakukan segala yang perlu. Saya kerja keras untuk itu. Saya mau seperti Kak Abel. S3 sebelum 30 tahun, tapi memulainya sebelum 30 juga tidak masalah.“

Namanya hidup, kalau tidak disesah, bukan hidup namanya. Dari banyak hal yang sulit, mungkin yang tersulit, saya menyerah. Beasiswa diumumkan H-10. Urus berkas H-5. H-3 salah berkas, harus ulang prosesnya.
Betul-betul menyerah. Jatuh. Selesai. Kalau bukan karena Kevin yang bantu, Kak Tya yang antar fotokopi berkas untuk ditandatangani Rektor besok paginya, atau Linda yang marah karena saya menyerah, mungkin itu akan jadi penyesalan terbesar dalam hidup saya, karena saya betul-betul mau berhenti rasanya. Jadi, percayalah semesta bergerak lewat orang-orang yang kamu sayang. Selalu begitu.

Dalam prosesnya, saya berserah. Berdoa pun, hanya minta dikuatkan hatinya kalau tidak diterima. Dikuatkan hatinya, untuk segala tantangan yang mungkin muncul karena tidak dapat beasiswa.

...sampai Desember kemarin, saya tahu kalau saya diterima beasiswa. Saya putar balik kejadian di atas. Ada rasa syukur mengalir deras. Ada pemahaman yang buat rasa hangat merembes ke mana-mana. Ini rasanya ibarat menangis karena adegan akhir “Life is Beautiful” dengan konteks yang berbeda tentunya. Tapi, rasa harunya kurang-lebih sama.

Pendek kata, begini, sedari dulu, saya selalu berpikir bahwa beasiswa itu adalah bukti validasi kepintaran seseorang. Tapi, ternyata dalam perjalanan mendapatkannya, saya justru belajar, ini adalah validasi bagaimana saya dicintai sebegitu besarnya yang mana niat baik, semangat gigih, serta dukungan orang-orang terkasih jadi satu.

Begitulah 2019 saya. Penuh cinta. Layaknya Natal ini: penuh damai sejahtera. Tulisan ini saya hentikan pada momen bahagia ketika mendengar suara Papa dan Mama, yang bilang selamat. Papa dan Mama bangga.

Semesta, kamu baik. Janji, saya akan buat lebih banyak kebaikan dari yang saya sudah lakukan.

With love,
Jessy Ismoyo



PS. Di sela-sela ini semua, saya jatuh cinta. Jatuh cinta dalam proses yang sadar dan menyenangkan. Itulah yang menguatkan saya sebegitunya. Ada orang yang yakin, lebih yakin pada saya, dari saya yakin sama diri saya sendiri. Ganti kata yakin pula dengan kata “tahu, paham, dan sayang.” Yang meyakinkan, kalaupun hal tidak baik-baik terjadi, dia selalu ada, menemani. Dijalani sama-sama. Hidup sudah sulit, apalagi yang bisa saya minta kalau bukan cinta yang macam itu?

Comments

Popular Posts