Pernikahan: Tentang Gereja, Iman, dan Perlawanan





Photos by Visuel Project


Perlawanan tidak melulu soal diam atau melahirkan perubahan signifikan. Kadangkala perlawanan terberat adalah bersetia pada sesuatu hal yang berada di luar kita, di luar ingin, di luar kehendak, di luar rencana, dan di luar semua yang tiba-tiba. Ada perlawanan dari diri sendiri atau pada diri sendiri maupun orang lain. Dalam perlawanan, kita mencari, kita percaya, dan mungkin jika beruntung, kita menemukan. Satu dari antara kita menyebutnya iman. 31 Oktober adalah Hari Reformasi Gereja, mengingat perkataan Luther, dalam tesisnya, ia menyandarkan keimanannya pada perkatan Paulus dalam Alkitab: “The Righteous Shall Live by Faith.” Dalam kata-kata, Luther menuliskan kegelishannya untuk memahami Surat Paulus kepada orang Roma tentang keadilan Allah. Memahami bahwa dirinya adalah orang berdosa dengan segala pergumulan nurani, dan seorang pengikut yang setia. “Therefore, I did not love a just and angry God, but rather hated and murmured against him” (Maka dari itu, saya tidak mencintai Tuhan yang ‘adil’ dan ‘marah’, melainkan marah dan menggerutu padanya). Luther menarasikan perlawanannya sebagai sebuah upaya menerenungi, memahami tidak langsung pada konklusi, tapi membiarkannya melesap pada kata ‘iman’ – yang mana kontestasi dan kontradiksi ‘marah’ dan ‘gerutu’ pada ‘keadilan Tuhan’ merupakan bagian tidak terpisahkan dalam ekspresi dan aksi belas kasihan dan kasih karunia.


Untuk kami, memilih tanggal 31 Oktober dan menjadi Kristen adalah paradoks yang sama. Saya tahu pengalamannya berbeda pada Kevin, tapi pada saya pribadi, proses pemilihan tanggal, gereja, konsep ibadah, pemilihan lagu, dan tetek-bengeknya lebih ke perjalanan pencobaan iman pada gereja, yang mana awalnya membuat saya bertanya-tanya “Kok susah sekali, ya, untuk menyelaraskan ingin dan menumbuhkan rasa berterima?” Berawal dari tantangan wedding organizer, kekeliruan jam dalam pengumuman dua kali dalam ibadah Minggu, sampai perubahan konsep yang membuat saya dan Kevin harus berkompromi banyak sekali – yang membuat saya harus berdamai tidak hanya dengan ekspektasi, tapi juga dengan reaksi ‘penolakan’ tiap konsep yang tidak bersesuaian dengan peraturan gereja. Persoalannya sederhana, pemilihan lagu, antara pujian yang ‘gerejawi’ dan ‘sekuler’, yang semestinya dan tidak semestinya dimainkan di Bait Allah. Di titik itu saya bertanya, apa mungkin saya saja yang meminta dari yang seharusnya? Saya marah. Saya menggerutu… pada gereja, yang buat saya pada saat itu hanya menjadi bangunan. Tidak lebih.

Krisis keimanan, mungkin, yang biasa orang katakan. Tapi, yang mengenal saya, pasti paham, betapa sulitnya saya berkompromi dengan batas-batas tipis selama itu bisa dinegosiasikan.  Perlawanan yang terlalu meletup-letup. Saya lupa, apakah saya berdoa meminta. Tapi, sepertinya tidak. Mungkin karena itu juga. Sampai suatu titik, saya tidak menutup mata – hanya menatap kosong pada bangunan gereja dan meminta dalam hati: “Kali ini saja, boleh saya minta lebih dong, Tuhan.” Tuhan lagi mengajarkan saya untuk sabar. Itu inti dari cerita panjang ini. Sabar karena Kevin bilang kata-kata paling cliché buat saya: “Semua indah pada waktunya” dengan menambahkan kalimat dalam Doa Bapa Kami: “…dan ampunilah kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah pada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat.” Mengampuni dan meminta untuk dilepaskan daripada yang jahat. Buat saya, yang jahat itu adalah ketidaksabaran. Susah memang untuk sabar. Perlu proses lebih panjang buat saya untuk sampai pada belas kasihan dan kasih karunia seperti Luther dalam tulisannya. 

Kontestasi dan kontradiksi itu mengantarkan saya dan Kevin pada rangkaian ibadah indah oleh pendeta, presbiter yang melayani penuh kasih, Yoan sebagai pemandu lagu dan Om Irving sebagai pengiring ibadah. Di tiga hari sebelumnya, saya duduk bersama pendeta, presbiter, orang-tua dan pelayan ibadah, Pak Pendeta Teddy, Om Landy, dan Tante Hanny dengan penuh kasih mengantar ibadah agar sejalan dengan keinginan kami, dalam waktu yang singkat. Dengan menepikan rasa marah dan gerutu pada pihak-pihak yang menurut saya abai, justru krisis tadi berbelok menjadi proses kesadaran yang hangat. Kesadaran bahwa Tuhan itu berdiam pada tiap-tiap orang, bukan bangunan. Bahwa belas kasihan, kasih karunia, doa, tuan dan layan, atau semua kata-kata itu tidak terpisah dari marah dan gerutu. Ia satu, tidak memilih satu dan lainnya, tapi melewati semuanya. Paradoks yang dijalani inilah, yang kemudian membuat saya menangis di tanggal 31 Oktober 2020. Muncul Linda pun, di saat-saat terakhir, membantu segala sesuatu persiapannya H-7, di sela-sela kesibukannya mengurus visa, proposal penelitian, dan urusan studi lanjutnya. Entah apa jadinya, jika Linda saat itu tidak ada. Saat Yoan menyanyikan tiap lagu, dari Here, There, and Everywhere, Bila Kulihat Bintang Gemerlapan, Tenanglah Kini Hatiku, sampai Tinggal Sertaku – saya merasa bahwa marah dan gerutu (atau bahkan krisis keimanan) tadi mengakselerasi rasa hangat dan penuh, yang sudah saya coba urai tapi tidak bisa-bisa dalam kata-kata. Mungkin rasanya seperti pengalaman membaca penggalan dalam buku Porter Taylor dalam From Anger to Zion: An Alphabeth of Faith, “I have called you friends because I want you to enjoy this gift of life. I want you to laugh and play and discover who I am in the midst of you.” Tentang gereja, iman, dan perlawanan, Tuhan bawa saya untuk tertawa, bermain sedikit dengan kehidupan, dan menemukan-Nya dalam proses orang-orang yang saya sayang betul dengan segala usahanya – membantu saya dan Kevin hingga 31 Oktober 2020. Mungkin segala konseptual itu, layaknya filsafat, karya seni, sastra, musik, yang tidak memiliki survival value, tapi justru memberikan value untuk bertahan. Untuk teman-teman terkasih yang membuat saya kembali percaya, kembali beriman pada sesuatu yang jauh lebih di luar nalar saya, terima kasih, Tuhan bekerja lewat kalian nggak kira-kira.

Mungkin buat saya, pernikahan adalah perlawanan kecil. Perlawanan untuk dilepaskan dari segala yang jahat dengan terus belajar sabar serta mengampuni yang abai, dan berserah pada kata-kata: “Semua indah pada waktu-Nya.” 

Itu saja, untuk kali ini, sampai pada yang berikutnya, yang pasti tentu ada.


Dengan kasih karunia yang dibagi-bagi,
Jessy Ismoyo






Comments

Popular Posts