The Road Not Taken: Understanding Life in Bigger Context

Pelabuhan Bajoe, Watampone
Pelabuhan Bajoe, Watampone, Maret 2022 (by: Jessy Ismoyo)


Saya berhutang banyak untuk menulis. Saya menuliskan ini dari Watampone, di tahun ketiga PhD saya, di bulan ke-8 penelitian lapangan saya, di tengah kegundahan saya akan proses PhD saya, di antara banyak rasa gamang, rindu, dan kontemplasi akan tantangan-tantangan riset lapangan ini. Saya memutuskan untuk menuliskan hal yang tidak penting-penting amat di blog ini. Dua tahun untuk dua unggahan tiap umur saya bertambah, serta hutang lainnya untuk tahapan-tahapan kehidupan yang (seharusnya) saya tuliskan. Unggahan ini mungkin  belum mengembalikan apa yang sudah saya terima, tapi setidaknya saya mencoba merangkum hal-hal kecil, momentum-momentum yang luruh dengan waktu dari tahun 2020 ke 2021 — hingga menuju tahun 2022 ini. 

Untuk mengawali tulisan ini, mungkin saya ingin mengetengahkan kembali bahwa ruang ini adalah ruang aman untuk saya melepaskan isi kepala. Saya melewati masa remaja saya, masa awal-awal menjadi adult hingga 'betulan' menjadi adult, dengan waras, tanpa bantuan konseling karena blog ini. Tulisan adalah terapi yang efektif untuk saya dalam melewati ups and downs, sebut saja dari kenaifan akan pencapaian-pencapaian diri, kegagalan-kegagalan aktualisasi diri, perjuangan melawan diri sendiri, first heartbreak, second heartbreak, even when I was questioning my self-worth karena ditolak. Haha. Funny. I know,  bukankah hal-hal itu yang nampaknya tidak penting, tapi punya dampak yang dalam ketika kita berproses menjadi diri kita sendiri. 

Tadinya demikian. Setidaknya itulah tujuan saya membuat blog ini hampir satu dekade lalu. Beberapa hari belakangan, saya membaca kembali tulisan-tulisan saya di blog ini dan perasaan macam-macam kembali melingkupi saya, mengingatkan saya akan apa yang saya rasakan pada tahapan kehidupan yang saya lewati. Namun, hal itu juga yang membuat saya diam dan merasakan sedikit perasaan dingin melingkupi diri saya. Dingin di bagian ulu hati tepatnya, menyadari bahwa 'jangan-jangan' saya sudah tidak lagi menulis di sini karena ketakutan saya untuk membagikan isi kepala dan isi hati saya, sesederhana membagikan apa yang saya rasakan? Ada banyak pertimbangan berputar-putar di kepala saya yang kemudian menjadi batasan tidak terlihat — batasan untuk menyaring apa yang seharusnya, apa yang bisa dan tidak bisa saya katakan di sini, konsekuensi apa yang akan saya hadapi jika menuliskannya di sini. Bukan, bukan jenis pertimbangan sekadar apa yang orang-orang yang bahkan tidak saya kenal akan pikirkan tentang saya jika membaca blog ini; karena kecemasan macam itu sudah selesai di paruh awal umur 20. Batasan-batasan ini lebih pada ketakutan dampak pada orang-orang yang saya sayangi jika saya menuliskan beberapa tulisan dalam ruang aman ini. Sepertinya, isi kepala saya membuat blog ini bukan lagi menjadi ruang aman. Well, in that case, it's fine.

Saya jadi ingat scene-scene film yang saya tonton dulu, yang sudah tidak saya tonton lagi sekarang. Bagaimana depressed movies as such beresonansi sama dengan gelombang-gelombang versi diri saya 10 tahun lalu, dan bagaimana saya meminggirkannya sekarang? I have become adult, those who was trapped in daily life, they said. Terjebak dengan hal-hal monoton, terperangkap dalam hal-hal yang terlihat itu-itu saja. Pembelaan layaknya adult lainnya, tentu saja karena 'tanggung jawab' membuat kita untuk membuat prioritas, masuk dalam mode untuk melakukan semuanya dengan efektif dan efisien. But, I feel more than that. If I could point it out, it's not only that.

Saya merasakan bukan sesederhana menjadi monoton, bukan sesederhana meminggirkan 'hal-hal yang saya pegang betul' saat saya berusia lebih muda, bukan seperti jalan pintas yang kemudian membuat saya memilih bahwa menjadi monoton adalah shortcut seperti yang saya ketahui, seperti yang selalu dikatakan adult kepada versi diri saya yang lebih muda. Perasaan ini lebih kompleks. Saya tidak menyangkal bahwa tanggung jawab membawa pada banyak pertimbangan-pertimbangan. Betul. Tapi, yang kerapkali tidak tertangkap adalah narasi peralihan ini. Narasi bahwa kita tidak tahu apa-apa, pun kita tahu, kita tahu hal-hal yang sifatnya taktis, bukan untuk menangani stream of feelings dalam bentuk yang berbeda ketika kita beralih dari anak-anak ke remaja.

What did I feel? I feel like I have to carry the weight which, honestly not too heavy, but the problem is: I did not know how? Hell, I asked, but the answer I got was confusing. They said you would understand, or even they offered to help. They offered help. I repeat, but they couldn't make me understand the why. They also had difficulties explaining in words 'the question how'. That's new. I never thought, the why is the thing I need to discover myself. That's the time I realized, being an adult is not a matter of losing imagination, but losing the ability to describe how we feel like what's happening to me right now. I stop at feeling the fondness, enjoying the momentum, remembering as best I can the usual everyday things, which...well, aren't really that 'usual' either.

Our emotional spectrum also grows as we get older, which is why I am grateful that I write about parts of my life in this journal and blog. It lives in me. I saw how actually how I walked into this person I wanted to be when I grew up —  bukan dalam versi manusia dengan pencapaiannya ketika muda. Tapi, lebih pada memahami bagaimana pola berulang dalam diri saya ketika berada dalam suatu interaksi atau situasi...yang memang membuat mode otomatis saya untuk menjadi 'efektif' dan 'efisien' versi saya. Contoh: saya tetap orang yang penuh rasa tidak enakan pada orang lain, saya tetap orang yang menghindari konflik, saya juga tetap orang yang keras dengan pendirian saya, saya sulit berkata tidak, saya juga di sisi lain akan terus berkata tidak, awkward in social conversation, tidak bisa diam di satu tempat, butuh waktu sendiri dan ruang sendiri untuk melakukan yang saya inginkan, butuh interaksi dengan orang-orang yang mengisi energi saya, butuh interaksi dengan orang-orang yang tidak mengisi energi saya (tapi harus saya lakukan karena saya selalu anggap hal ini melatih mengurangi ketidaknyamanan saya bicara dengan orang asing). Saya masih versi diri saya yang sama, hanya saja saya lebih cepat beradaptasi dengan perasan-perasaan yang timbul (yang dulu tidak saya pahami). Hal ini mengarahkan saya untuk terbiasa dan paham akan diri saya sendiri, percaya akan diri saya sendiri, dan mengikuti apa yang saya yakini. Bahwasanya, setiap keputusan yang saya ambil sudah saya pertimbangkan betul sesuai dengan konteks waktu dan ruang di mana hal itu terjadi. Terlepas dari benar dan salahnya, saya tetap melihat dan menuliskan perasaan saya dari luaran yang terjadi dari keputusan saya itu. Sounds not fun, but when you're able to elaborate the exact condition, the feelings you've been struggling with, the details of the moment, you can see it from bigger frame. I can see it from bigger frame. So, the phrase 'it is what it is' is not as short as it appears. It is not only what it is when you remember it, it is not only what it is when you try to dig more into yourself and be able to retell that story... and how you emphasize certain points in your narrative, basically shows 'the actual you' to the 'you in several years later' when you revisit that memory. That kind of thing, you know.

Hal ini terlihat meminggirkan banyak hal yang kesannya dulu saya percayai, tapi bagaimana kalau hal-hal yang dulu saya percayai hanyalah sebagaian gambaran dari persepsi orang akan saya? Atau bagian kecil dari usaha saya memahami diri saya sendiri. Ada satu unggahan saya lima tahun lalu, dengan detail menuliskan kecemasan saya, kebahagiaan saya, kekecewaan saya, kemarahan saya, kebodohan saya, betapa pesimisnya saya, betapa optimisnya saya, itulah yang membuat saya sadar — saya lebih dari sekadar 'alasan' atau 'jawaban' yang harus saya berikan kepada diri saya sendiri atau ke orang lain untuk mendapat 'kenyamanan' dari posisi dan peran yang saya lakukan saat ini.

Satu hal lagi, yang perlu saya tuliskan. Saya punya partner yang bisa mendengarkan semua keluhan saya, seabsurd apapun itu. Itu yang membuat saya beradaptasi pada mode baru ini. Bagaimana menyeimbangkan ruang untuk diri saya, untuk partner saya, serta untuk kami berdua.

Semakin jauh saya berjalan, semakin mampu saya mengatur kapan harus berjarak dengan diri saya, kapan harus memeluk diri saya sendiri, saya menyadari bahwa hidup mengajarkan saya banyak sekali hal. Banyak sekali. Pun sudah banyak yang saya pelajari, saya masih diberikan waktu dan tenaga untuk belajar lebih lagi. Kemarin saya menemukan puisi Robert Frost yang dipublikasikan tahun 1916 di Atlantic Press. Judulnya The Road Not Taken. Begini isi puisinya:

 "Two roads diverged in a yellow wood. And sorry I could not travel both. And be one traveler, long I stood. And looked down one as far as I could. To where it bent in the undergrowth; Then took the other, as just as fair. And having perhaps the better claim. Because it was grassy and wanted wear, Though as for that the passing there. Had worn them really about the same, And both that morning equally lay. In leaves no step had trodden black. Oh, I marked the first for another day! Yet knowing how way leads on to way. I doubted if I should ever come back. I shall be telling this with a sigh. Somewhere ages and ages hence: Two roads diverged in a wood, and I. I took the one less traveled by, And that has made all the difference."

Saya mengulang bagian 'Somewhere ages and ages hence two road diverged in a wood....' cantik sekali. Terlepas di manapun kita berada, kita menua, akan selalu ada persimpangan-persimpangan itu, akan selalu ada yang kita pilih, dan akan selalu ada hal yang kita sadari membentuk diri kita. Mungkin, akhir-akhir ini, saya lupa memeluk diri saya sendiri. Saya lupa menjarakkan diri saya dengan diri saya sendiri untuk memahami hal-hal ini. Sampai pada waktu ini, saya menuliskannya di sini. Bahwasanya, untuk memahami hidup dalam konteks yang lebih luas, kita perlu memahami jalan-jalan yang tidak kita raih, hal-hal yang tidak kita dapatkan, mimpi-mimpi yang gagal kita raih. Bagaimana kita menjadi orang yang kalah dalam setiap hal dalam hidup kita, mengajarkan kita bukan untuk apatis, tapi untuk memahami lagi diri kita. Menceritakan perasaan-perasaan itu agar dapat memeluk diri kita sendiri ketika kita membacanya kembali. Mungkin bukan kita, mungkin itu hanya saya saja. Tapi, saya rasa tulisan ini memang saya tuliskan untuk diri saya sendiri saja. So, here it goes.

Saya melewati tahap PhD saya sejauh ini, saya berinteraksi di tempat baru, saya bertemu orang-orang baru, saya berusaha memahami perjuangan hidup mereka. Bukan hanya perjuangan kehidupan, tapi juga perjuangan mereka untuk hidup. Untuk sekadar hidup. Hal ini yang membuat saya terlibat terlalu dalam secara emosional, yang mungkin saya sadari bahwa saya kesulitan untuk menjadi objektif dalam penelitian saya sendiri, yang mana tidak apa-apa. Toh' tidak ada penelitian yang sempurna? (Ini afirmasi saya untuk diri saya sendiri saja). Haha. Tapi, saya belajar banyak sekali di tahun 2022, pengalaman saya dalam penelitian lapangan, mencoba memahami budaya yang asing untuk saya, mencoba memahami norma dan aturan yang betul-betul baru untuk saya. Saya bertumbuh dalam konteks yang jujur pun belum mampu saya jelaskan. Saya menjadi diri saya yang kemudian coba saya pahami, saya belajar bagaimana kemudian menuliskan ini dalam konteks peran dan posisi saya sebagai peneliti, tanpa menghilangkan sudut pandang saya sebagai 'seorang yang memang tidak tahu apa-apa dan belajar' dari mereka yang lebih tahu tentang penelitian saya. Di titik ini, saya baru mempublikasikan satu tulisan, bukan apa-apa dibandingkan standar yang seharusnya dilakukan oleh seorang PhD Candidate. Kadang, saya merasa tidak pantas juga disebut peneliti dengan luaran yang ada saat ini. Namun hal itu juga yang membuat saya terus mencoba dan berusaha, terlepas dari terbatasnya kemampuan saya. Perasaan inilah yang nanti saya ingat, saya pegang, saya revisit ketika sudah berhasil melewati tahapan ini. Perasaan tersesat, perasaan tidak tahu apa-apa, perasaan stressful untuk memahami dan menuliskan apa yang saya ketahui, menuliskan pengalaman orang-orang untuk bertahan hidup dalam goncangan-goncangan yang Demi Tuhan, tidak saya bayangkan betapa kuatnya orang-orang untuk bertahan. Perasaan inilah yang saya tempelkan dalam kepala saya, ketika nanti saya lupa bahwa hidup memberi makna, menawarkan rasa sebegitu dalamnya pada saya, ketika saya memilih untuk menjalani hal ini. Dari Watampone, kamar 4x4, saya menuliskan unggahan ini, dengan harapan bahwa saya punya kekuatan untuk melanjutkan dan menyelesaikannya. Dari Jalan Serayu, saya meyakinkan diri saya bahwa apapun yang saya lakukan, pada akhirnya memberikan saya banyak sekali kebijaksanaan yang tidak saya pahami, yang hanya saya mampu ingat gejolak perasaan dalam prosesnya.

Beberapa waktu lalu juga, saya melakukan phone interview dengan Kedutaan Jerman karena aplikasi saya diterima untuk sebuah program di Berlin. Anehnya, saya tidak berharap banyak. Ketika interview dilakukan dengan Frau Thieler, kami bicara santai sekali. Saya menceritakan bagaimana kehidupan saya dekat sekali dengan konflik. Saya besar dalam nuansa konflik 1998, saya mengalami bagaimana konflik agama di Ambon memakan banyak nyawa, pertemuan dalam hidup saya menjadikan saya saksi ketika Duterte mengumumkan Martial Laws di Davao City saat terjadi penyerangan Marawi. Saya menceritakan bukan pencapaian besar, tapi pencapaian kecil yang membuat saya ingin belajar untuk mencapai apa yang saya percayai: radical peace. Ketika saat ini pun penelitian saya mengharuskan saya menyaksikan bagaimana kelompok minoritas menghadapi ketidakadilan, kekerasan, dan peminggiran membuat saya merasakan banyak hal yang saya tuliskan di sini: rasa sesaknya lebih nyata dari hal-hal yang sebelumnya saya rasakan. Kayak mimpi jatuh dari tingkat tinggi dan kamu nggak bisa apa-apa.  Dalam interview itu, saya tidak mengatakan ambisi-ambisi, mimpi-mimpi, rancangan saya untuk home institution, for my research. Lucunya, tidak. Saya hanya curhat. Frau Thieler sangat kooperatif dan responsnya menyenangkan, interviewnya berjalan seperti percakapan dengan teman lama. Ketika saya mengatakan bahwa saya mengambil kursus daring bahasa Jerman sejak Januari pun dia tertawa, saya juga ikut tertawa, mengingat saya hanya bisa bilang Guten Morgen, Ich Bin Jessy, dan Auf Wiedershen. Sungguh pengetahuan minim, untuk orang yang sudah belajar level A1 dalam waktu hampir dua bulan. Saya menutup percakapan itu pun dengan perasaan senang. Mengingat, sesaat saya menutup telepon itu, saya menghadapi hal yang lebih penting. Persoalan peminggiran kelompok minoritas yang mana saya menyaksikan langsung bagaimana hal itu terjadi. Hal-hal yang boleh jadi kita anggap 'biasa saja', tapi efeknya dalam skala yang lebih serius terasa ketika ulasannya ditulis di media-media. Saya jadi menyadari, bahwa inilah rasanya bagaimana jika kita ada dan hadir dalam pergulatan, pergolakan, perjuangan. Sudah tiga hari saya berkutat dengan tulisan saya tentang kejadian ini, tapi saya belum mampu menyelesaikannya. Semoga saya dapat menyelesaikannya.

Inilah momentum di mana kepala saya memutar lagu The Beatles - In My Life. Tidak semua dari kita mampu menuangkan apa yang kita rasakan dalam kata-kata, dalam musik, dalam guratan kuas pada kanvas, tapi satu hal yang saya yakini, hanya mereka yang jujur dengan dirinya sendiri, dengan berani menuliskan diri tanpa batasanlah, yang mampu memeluk banyak orang dari hal-hal yang mereka buat. Saat ini, saya cuma mampu menulis ngalor-ngidul dalam blog ini. Saat ini, di usia saya ke-31, saya belum sampai di situ. Ya, tidak apa-apa. Saya hanya orang yang merasa bersyukur bahwa banyak orang yang otentik dengan kemampuan memeluk diri saya dalam peralihan fase kehidupan saya. Setidaknya, di titik ini, saya ingin. bilang: tidak apa-apa jadi monoton, tidak apa-apa kalau satu dari kita berpikir mengkhianati versi dirinya yang lebih muda, tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Selama kita masih mampu menjelaskan apa yang kita rasakan, tidak hanya dengan satu atau dua kalimat, tidak hanya dengan 140 atau 280 kata, tidak hanya dengan menimbunnya sendirian.  Saya rasa kita akan baik-baik saja. Semoga kita baik-baik saja.


Peluk hangat,

Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts