Pada Sebuah Persinggahan






Berlin on Analog Camera, Kodak Film, PJI/2022.


Tahun 2022 adalah sebuah persinggahan. Begitu banyak perhentian sepanjang tahun dalam kurung perjalanan. Ternyata, tahun 2022 memang penuh persinggahan. Tidak pernah aku berdiam pada satu kota lebih dari tiga bulan. Hidupku bergerak dari satu kota ke kota lain: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Makassar, Soppeng, Wajo, Bone, Berlin, Postdam, Amsterdam, Leiden, dan Den Haag. Unggahan ini adalah sebuah refleksi tahunan. Bahwasanya, hidup memang menyoal tujuan, tapi dalam langkah, arah boleh berubah-ubah, sebagaimana kita menavigasikan diri pada sebuah jejak.

Ingatanku mendarat pada puisi Subagio Sastrowardoyo, Daerah Perbatasan (1970). "[...] Hidup menuntut pertaruhan, dan kematian hanya menjamin kita menang. Tetapkan hati. Tak boleh lagi ada kebimbangan di tengah kelaliman terus mengancam. Taruhannya hanya mati." Puisi Subagio Sastrowardoyo mengurai risau yang kadang kala tak sempat keluar lewat kata-kata. Setahun penuh ini, pandemi mendekati 'akhir'-nya. Semua kembali 'normal' dengan model adaptasi masing-masing yang sudah kita tentukan. Buatku, sama dengan puisi itu, kita selalu berada di daerah perbatasan antara menang dan mati. Tapi, apakah iya kita tak boleh lagi menghadirkan kebimbangan dalam memilih keputusan? Apakah iya, lebih baik menyerah saja kepada kehinaan dan hidup tak berarti? Seperti Subagio Sastrowardoyo menohok Chairil Anwar tentang hidup seribu tahun lagi? Apakah iya lebih kemuliaan dalam kematian lebih baik dari kekekalan sebuah sesal seribu tahun lagi? Toh' hidup hanya sebuah pertaruhan (dan persinggahan).

Menulis refleksi tahunan tidak semudah biasanya. Perenungan selama setahun lalu menjadi uapan embun dan seolah menghilang. Hal ini menakutkan. Apakah kita menjadi mudah lupa, mudah meregang rasa, mudah tersesat dalam 'kesementaraan segala'? Ku coba merunut apa yang terjadi setahun lalu dengan bantuan foto-foto di gallery iPhone. Apakah ini cara baru untuk mengingat kehidupan? Sungguh menyedihkan. Setelah menikah, banyak sekali yang melontarkan pertanyaan soal pernikahan. "Bagaimana rasanya menikah?" Seringnya ku jawab, bahagia. Tapi, biasanya ada pertanyaan lanjutan, "Bedanya, apa?" Tentu ku jawab, "Nggak ada, sama saja, sama-sama bahagia dan tidak bahagia pada jalannya masing-masing. Disyukuri saja, sama-sama membuat satu sama lain jadi lebih baik." Tapi kok ya yang nanya lebih ke teror setelah mendengar kalimat terakhir. Yang bersangkutan bilang, "Tunggu deh sampai punya anak, rasanya nano-nano." Saya bingung, tapi malas menanggapi. Jadi, mau refleksi saja terkait pertanyaan menyoal kehidupan pernikahan, lewat unggahan ini, mungkin saya bisa menjawab beberapa secara implisit. Love is a verb, love is giving a space to be yourself wholly, to let you lost in search of direction within yourself, but do not let go astray in the destination. Kehilangan diri itu tidak apa-apa, pahami rasanya, tapi jangan sampai proyeksi rasa lebih menjadi-jadi, ketimbang mencatat perjalanan pernikahan mencapai tujuan. Apa tujuannya? Nggak ada yang sama. Nggak perlu sama juga. Hehe...

Sesaat, saya kembali mengingat catatan perjalanan saya. Ternyata PhD dan perjalanan menikah itu sama. Berkelindan dalam memori visual yang perlahan-lahan kembali. Ada beberapa ingatan menempel pada foto-foto yang ku lihat satu-per-satu. Saya memulai perjalanan ini dengan penelitian lapangan. Ini tahun terakhirku studi Doktoral. Katanya, tahun keempat adalah pergulatan dari keseluruhan studi. Pernyataanku di paragraf sebelumnya jadi sekadar spekulasi, mengingat banyak hal yang kulakukan secara bersamaan di tahun 2022. Mungkin itulah yang membuatnya terasa berlalu begitu saja. Tidak hanya penelitian lapangan, presentasi di beberapa konferensi ku lakukan, baik dalam forum UNHI, AIFIS, hingga Universitas Parahyangan. Di sela-selanya, ku ingat (layaknya mahasiswa/i Doktoral lainnya) kita akan berjalinan dengan aplikasi-aplikasi research grant karena risetnya berjalan bersama dengan kerja aktivisme yang dilakukan. Tahun yang sama, aku juga menghabiskan enam bulanku untuk magang di SIDIT sebagai peneliti tamu atau research fellow, menjadi bagian dari Humboldt University of Berlin terlepas dari segala keterbatasan dan ketidakmampuanku (yang ku sadari betul). Lucu sekali, kadang kesempatan hadir pada sesuatu yang tidak kita harapkan, dan tidak pernah muncul di tempat yang kita inginkan/rencanakan.

Tahun 2022 juga menjadi persinggahan memori-memori perjalanan penelitian yang ku tuangkan dalam beberapa publikasi (yang tidak ku banggakan); karena sadar betul, tulisan itu masih jauh dari kata sempurna. Ada tiga publikasi yang ku tulis dalam setahun (salah satunya baru terbit di tahun 2023). Cukup untuk menasbihkan status PhD Candidate, yang beberapa tahun sebelumnya menenggelamkanku pada perasaan ketidakpantasan untuk menyandangnya. Impostor syndrome membuat kita percaya bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu yang harus kita lakukan, dan butuh dua tahun (bagiku) untuk berdamai dengan kecemasannya. Tidak pernah mudah, tentu saja. If it were easy, everyone would do it. 

Bulan pertama, kedua, ketiga, menjadi rutinitas — ke Sulawesi Selatan, singgah di Makassar, kemudian bergegas ke (entah itu) Pangkep, Wajo, Soppeng atau Bone. Lebih seringnya, Bone. Kota itu nampak familiar, entah struktur kota yang serupa dengan kota-kota yang ku tinggali sebelumnya. Menjadi anak 'pinggiran kota' punya anutan sendiri, misalnya, terbiasa hidup dengan komunal (tapi terasing), interaksi satu dengan yang lain menjadi dekat (dan berlomba sekat dengan pembangunan perumahan-perumahan modern yang menawarkan 'ruang privat' untuk berjarak serta membatasi dengan tetangga. Mungkin untuk itulah, aku nyaman dengan Bone (perasaan yang sama dengan Salatiga). Kotanya jauh dari Makassar, dengan struktur 'Kota Kabupaten,' pembangunan hanya hadir di pusat kota; ketimpangan terasa jika kita keluar sedikit dari titik tengahnya. Semua kegiatan hanya terpusat pada satu titik. Geliat kota untuk bersenandung dengan modernitas terlihat dengan kegiatan-kegiatan subkultur yang hidup, aktivisme generasi muda yang tinggi, dan puluhan warung kopi buka sampai pagi untuk tempat kerja, atau sekadar diskusi. Hari-hariku ku habiskan untuk mengikuti setiap interlokutor di setiap ruang, baik keluarga, interaksi dengan komunitasnya, hingga dengan masyarakat pada umumnya. I'm no ethnographer, I know, so, I was doing it based on my writer instict. Bertanya dan menulis ketika aku masih menjadi penulis majalah. Ketika ku baca kembali catatan lapanganku, tidak ada catatan komparasi atau refleksi 'bak etnografer yang membandingkan kultur yang dekat dengannya dengan lokus penelitiannya. Lebih condong, saya bercerita, hal-hal yang membuatku belajar dari setiap percakapan dengan interlokutorku. Bagaimana mereka 'bergulat' dengan perasaan berdosa, bagaimana mereka (setiap harinya) mendekatkan diri pada Tuhan, memohon pengampunan, akan sebuah identitas yang tak mampu mereka definisikan, tapi (harus) mereka jalani setiap harinya. Terlepas dari tuduhan musyrik yang dilemparkan pada mereka.

Saya melewati ritual-ritual besar, yang ku yakin, peneliti-peneliti sebelum diriku sudah melakukannya. Mengunjungi setiap situs sakral yang menjadi bagian ritualnya.  Banyak yang tak bisa ku datangi, tapi hal yang paling menarik adalah bagaimana menempatkan diri di tengah, untuk menjadi 'objektif'. Saya ingat bagaimana sebuah kejadian membuatku menghubungi seorang teman, dan ia minta aku untuk berpikir jernih agar dapat melihat bagaimana narasi dan kontra-narasi mengalir dalam intrik itu. Tapi, aku sadar, keberpihakanku jelas, dan saya tidak merasa hal itu mengaburkan atau membuat penelitianku bias. Justru, keberpihakanku memperlihatkan bagaimana kontra-narasi juga hadir (tanpa/dengan saya menjadi objektif). Justru (juga), posisiku (sebagai outsider) tidak berpengaruh, karena kontra-narasi lebih kuat menggaung dan menumpuk narasi yang coba dihilangkan. Being subjective is not that bad as I used to hear. Dalam beberapa situasi, menjadi objektif (rasanya) salah. Seperti menutup mata akan beberapa elemen yang menjadi pertimbangan. Seperti makan di restoran enak dan merasa bersalah, tapi tidak berbuat apa-apa, ketika di seberang jalan, kita lihat seorang tua meminta-minta. Ada yang salah, tapi kita belum mengerti apa dan mengapa. Atau mungkin, itu saya saja yang gagal mengurai karena segala keterbatasanku. Sungguh, proses perjalanan Doktoral ini menyadarkan begitu banyak tembok-tembok yang tidak saya pahami.

Dalam perjalananku menulis, menjalin kisah, menemukan banyak keluarga baru, saya singgah di banyak pintu rumah yang terbuka, menyambut dengan makanan dan kehangatan. Saya tinggal di tempat yang memberiku ruang sendiri untuk mengurai setiap interaksi. I was, have always been, is fascinated with how researcher doing a comparation with what they know and what they are trying to understand, thus the moment I fall in love into ethnography, not the 'ethno-ehtno', but just a glimpse tase of it. Saya ingat percakapan beberapa tahun lalu, lewat teks dengan Kak Hipo. He said: "Nggak ambil antropologi saja? Ethnography would be your spiritual journey." I remember responding with silence: "I know, Kak. I know. I'm just not sure I'd be good enough doing it." Sampai pada aku, dan pada akhirnya "Oh, nyaman juga ya," menemukan ritme kerja, dan merasa nyaman. Di titik itu juga saya menyadari, saya harus selesai, dan di titik itulah, ada yang ku rasa jatuh. Limbung. Belum berela hati, menerima, kalau prosesnya sudah selesai, dan harus berjuang untuk proses lainnya. Finishing what I have started. 2022 ternyata bukan hanya soal persinggahan, tapi menyadari bahwa rumah bisa lebih dari satu, dan kita bisa pulang, bisa juga bertandang. Definisinya, bisa kita tentukan dan berubah setiap saat.

Tak' harus sama.
Aku, disertasi, dan keresahan yang tak ingin kusudahi.

---

Di sisi lain, setelah singgah di beberapa kota, mencoba mengenal diri sendiri, lebih dalam, tahun 2022 juga membawaku ke Eropa. Ke Jerman lebih tepatnya, kemudian memutuskan untuk ke Belanda (untuk singgah). Mendatangi beberapa tempat yang tak sempat ku datangi. Saya datang lagi, setelah satu dekade lamanya. Eropa tak' sebesar dulu, seperti ingatanku. Mungkin juga karena usia. Menikmati Eropa di usia 19 tahun, tentu tidak sama ketika berusia 31 tahun. Banyak hal yang berubah, tidak hanya kota dan masyarakatnya, tapi diri ini. Banyak nilai-nilai, perspektif, dan yearning to revisit some memories yang justru akhirnya dilakukan. Instead of making the new ones, I revisit old memories. Well, tapi tidak adil juga, karena kadang usaha untuk mengulang memori, mendatangkan memori yang betul-betul baru.

I was staying for a weekend in a friend's. Her house is in the centre of city. Dekat Friedrichstraße. Perempuan asal Iran. Temannya temanku. Mereka dulu sekolah bareng dari tahun 2012-2013. Bahasa Jermannya lancar, baik sekali, ia menceritakan bagaimana ia sampai pada akhirnya tinggal di Jerman dan sudah menetap hampir 10 tahun di Berlin. Sekarang bekerja sebagai interior designer di sebuah perusahaan swasta di kota itu. Perawakannya tinggi kurus, cantik sekali, baru kali ini aku bertemu dengannya. Pesawatku tiba di BER Airport Terminal 2 pukul 22:00 waktu setempat. Sudah sekian lama tidak menginjakkan kaki di tanah asing, banyak cemas merundung. Faktor pertama dan terutama, ini Eropa, setiap orang tidak hanya bicara dengan satu bahasa. Waktu di Prancis, oke, I know the language, but here, I only took three months virtual short course on Deutsch, of course, it's a joke, no one would understand or able to speak with only three months (mind you, virtual, once a week kind of course). Antrian keluar dari imigrasi, seorang perempuan lanjut usia, langsung mengajakku berbicara dengan bahasa Jerman, yang tentu ku balas dengan tatapan nanar "Deutsch kaann ich nicht, I only speak English, sorry." Aku pikir, ia akan mengajakku bicara dengan bahasa Inggris, tapi respon yang keluar, Kok bisa di sini kalau nggak bisa bahasa Jerman. More or less. 

Karena tahu akan ke Berlin, saya membuat sebuah playlist Berlin. Lagu pertamanya adalah The Dangling Conversation - Simon & Garfunkel, beberapa di antaranya Pale Blue Eyes - The Velvet Underground, Both Sides Now - Joni Mitchell, Wish You Were Here - Pink Floyd, dan tentu saja Hallelujah - Jeff Buckley. Playlist ini saya putar beberapa kali, menemani berjalan kaki, di kereta, dan kala bengong duduk di taman.

Transportasi di Jerman bukanlah hal yang mudah. U-Bahn, S-Bahn, Trem, RER. Butuh waktu seminggu (ya, sepanjang saya tinggal di sana) untuk memahami bagaimana transportasi publik bekerja. Saya memesan tiket RE7 ke arah Friedrichstraße station. Dengan jadwal yang berbeda tipis di setiap peron, agak sulit menebak apakah saya berada di peron yang tepat. Padahal iya, sudah tepat, tapi ketidakyakinan saya pada diri sendiri membuat saya harus berlari-lari membawa koper 25 kilogram naik turun tangga di jam 22:30 malam. Biasa. Cerita khas traveler kemarin sore. Masuk dan duduk di dalam kereta, semua taat memakai masker. RER berjalan menjauhi Flughafen, menuju Berlin Ostkreuz... Saya suka Berlin, pertama kali melayangkan kaki di sini, saya suka bagaimana setiap orang berpakaian. Teman saya benar, ketika saya ingin berangkat, dia bilang "You would regret not going with me to Berlin 10 years ago. That city resonates with you." Ketika mengobservasi satu-per-satu, saya paham maksudnya. Setiap orang yang berpakaian di kota ini, persis denganku. "I hate to say you're right, but this time, you're right. I wish I go with you, I wish..." Pesan itu langsung ku ketik dan ku kirimkan padanya lewat Whatsapp setelah melihat sepasang laki-laki dan perempuan, dan perempuan-perempuan, juga laki-laki dan gerombolannya berpakaian serba hitam. Tidak ada warna lain, hanya hitam, totebag, selalu memakai headset, beanie, atau coat hitam dan syal hitam yang 'hipster', dengan beberapa ornamen baik piercings atau tattoo. Damn, I could spend my 20s here, but I chickened out. Setelah menekan send, saya coba mendengar apa yang dikatakan suara berat laki-laki itu ketika menuju stasiun terdekat. Sepertinya saya sudah di Berlin Ostbahnhof, menuju Alexanderplatz. Saya harus turun setelah Alexanderplatz. Aku menikmati 45 menit perjalananku menuju kota dengan percakapan yang tak ku mengerti sedikitpun. Sudah lama aku tidak merasakan kesepian, keterasingan, dan ketakutan sendirian seperti ini. Namun, anehnya nyaman.

Jam menunjukkan pukul 23:30. Temanku membuka pintu, kami bicara sebentar, dan ia menyiapkan ruang tamu agar aku bisa istirahat. Ia menyuguhkanku teh Iran, warnanya merah tua, aku tidak tahu itu apa. Tapi, ia bilang, teh itu resep ibunya, dibawa dari kampungnya. Ia minum untuk menghilangkan rasa cemas dan lelah. It worked. I sleep like a baby, which rarely happened, especially after a long haul flight. Menariknya lagi, orang-orang di sini tidak memulai aktivitas sebelum jam 8 pagi. Mereka bangun bukan jam 5 atau 6 pagi. Jam 7 pagi bisa dikatakan normal... mungkin jam 9 atau mungkin 10, jika mereka menghabiskan malam sebelumnya dengan pesta pora. Malam berikutnya, ia mengajak temannya datang ke apartemennya. Perempuan usia 30-an awal. Tidak ku sangka anaknya satu berusia 12 tahun atau usia sekolah dasar akhir. Mereka bercerita dengan bahasa farsi. Temanku menceritakan bahwa anak temannya membuat podcast yang membahas kondisi politik Iran saat ini, dalam bahasa Jerman, beberapa kali temanku mengatakan bahwa bahasa Jerman anak ini setara dengan yang biasanya ia dengar dari newscaster di TV lokal. Saya hanya mengangguk, tersenyum, dan bingung... "Kok pinter-pinter amat ya?" Lalu, kami duduk di meja makan dan bercerita. Perempuan usia 30-an ini nampak lebih tua dari kami berdua. Tapi, kecantikannya mengendap di mata dan rambutnya. Saya tertarik untuk bertanya lebih jauh tentang kehidupannya, tapi berusaha supaya tidak terlalu "Indonesia" yang nanti malah terkesan sniffing other's matters. Mencium gelagatku, perempuan ini malah dengan mengalir bercerita, sambil makan, seperti mendongengkan kisah hidupnya. Seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Ia bekerja di sebuah lembaga swasta yang membantu perempuan imigran asal Iran untuk menetap, belajar bahasa Jerman, belajar skill untuk dapat bertahan di Berlin. Ia menceritakan beragam latar belakang perempuan yang tidak punya 'akses' untuk pendidikan di kota asalnya. Cerita panjang itu berakhir dengan pertanyaanku, "If you could go back to your country, would you go back?" Teman saya sontak bilang tidak, tapi perempuan ini diam, menarik napas, kemudian tertawa sambil melanjutkan makan... dan menjawab "If the country changes, I would go back, it's my country anyway... but Berlin is like home, you know." Kami tertawa bertiga malam itu. Ia pamit tidak lama kemudian.

Akhir pekan pertama, hari pertama di Berlin, cukup butuh waktu panjang buatku menyesuaikan harus bicara lagi bahasa Inggris, mendengar bahasa Jerman, terkadang Farsi language, bisa juga bahasa lainnya. Ternyata perlu adaptasi mendengar banyak bahasa dituturkan dalam satu melting pot. Sebenarnya sama dengan Indonesia, tapi bahkan di Indonesia, saya tidak pernah mendengar lebih dari tiga bahasa dalam satu tempat. Well, pagi itu kami mengendarai sepeda, mengunjungi Jewish Memorial, Brandenburg-Tor, Museumsinsel, minum kopi pagi-pagi di Einstein Coffee. Oke, Einstein Coffee, enak banget. Sejak pagi itu, beli kopi di situ sudah jadi ritual. Well, orang sana sih bilang itu seperti Starbucks, but I don't mind. Enak. Cocok. Hari Minggu pagi, teman saya mengajak sarapan di rumah pasangannya. Seorang Jerman. Ibunya sudah berumur 70 akhir, tapi masih sehat. Ketika saya bicara tentang Indonesia, hal yang paling relevan bagi mereka adalah film Kon Tiki. Saya tidak tahu filmnya, tapi ketika mereka ceritakan tentang Polynesia, saya sontak mengatakan, mungkin mirip saja, ya. Sebenarnya juga berbeda. Namun, aku malas. Bicara bahasa lain itu melelahkan. Jadi, saya memutar kepala mencari ide pembicaraan. Berujung dengan bertanya pada Ibunya yang (dulu) guru, bagaimana sistem pendidikan di Jerman secara khusus, dan Eropa secara umum. Pertanyaan itu cukup membuatnya bicara 15 menit, tanpa aku harus bicara. Capek bicara, saya hanya ingin menikmati bagel dengan butter dan keju di depanku. Sepanjang hari itu, saya diajak ke Pasar Lokal, beli lavender untuk baju, lilin wangi, dan melihat-lihat baraang-barang vintage yang harganya di atas 50 Euro. Saya mendelik kaget. Norak. Soalnya itu barang-barang yang biasa ku temukan di rumah nenek, hanya berdiam di pojokan rumah, berdebu, dilap tiga bulan sekali, itupun kalau mbok di rumah sedang rajin. Orang-orang di sini memang memberi nilai lebih pada cerita yang dibaptis waktu, apalagi cerita itu berwujud barang. Pikiranku langsung menuju banyak barang-barang di rumah yang bisa saya kurasikan untuk digelar pada lapak-lapak begini. Ah, memang kepala ini suka ke mana-mana isinya. Mungkin karena lapar, pada waktu itu. Saya menutup hari itu dengan mencoba makanan Persia pertama kalinya dalam hidupku. Sebuah restoran terkenal di Berlin. Temanku kenal dekat dengan pemiliknya. Ia mengajak saya ngbrol, ketika tahu dari Indonesia, tentu saja hal pertama ia katakan adalah "I love Bali." Saya selalu pandai menempatkan diri, jadi kali ini dengan excited saya tanyakan apa yang ia suka dari Bali, sudah pernah ke sana belum, dan memberi banyak masukan (padahal saya sudah tidak ke Bali lagi sejak 2014). Upah dari basa-basi itu adalah dapat compliment dari Chef, katanya supaya saya merasakan 'masakan rumah dari Iran'. Sayangnya, saya buruk dalam mengingat nama. Saya sudah mencatatnya di Notes, tapi belum ku temukan. Nanti jika ku temukan, akan ku tambahkan di sini. Satu-satunya yang ku ingat, hanya perkataan temanku. Katanya, saya tidak asik diajak berjalan-jalan. Makanku sedikit. Well, haha, ternyata saya berubah banyak dalam sepuluh tahun ini. Sudah tidak asik jadi traveler/eater.

Akhir pekan pertama, lalu saya pindah ke Mercure Tempelhof, dekat Hermannstraße. Lokasinya tidak jauh dari tempat kami berkegiatan selama seminggu; di Oyoun. Hal baru yang ku pelajari, kota ini dekat Neukoln. Katanya, Neukoln itu kota 'hipster', semua skena yang menengah ke bawah bisa ditemukan di sana. Aku sekali berjalan ke sana, karena tidak jauh dari tempatku menginap. Banyak restoran Vietnam, Chinese Food, dan street culture yang 'berantakan', tapi entah kenapa terasa 'pas'. Karena merasa familiar dengan orang-orang asal Iran, sarapan pertama di hotel, aku menyapa fellow lainnya yang harus berlindung atas nama palsu, karena jika keberadaannya terungkap, ia bisa-bisa dipenjara karena kerja aktivismenya. Ia seorang psikolog, kami bicara panjang, dan berjalan bersama dengan fellows lainnya menuju Oyoun. Tidak jauh, hanya sekitar 15 menit saja. Sepertinya hanya hari pertama, dan beberapa kesempatan saja, saya berjalan bersama fellows lainnya. Sisanya, aku biasanya memilih berjalan sendiri dari hotel ke Oyoun. Mendengarkan lagu, mengingat tidak langkah, tiap sudut, bagaimana musim gugur di sepanjang jalan yang dingin, dan bagaimana setiap orang berinteraksi pada setiap toko yang ku lalui. God, life has never been better than this, I stil can play the walk I had for days there. The normal walk, the ordinary steps, the usual neighbourhood. 

Menarik, Oyoun itu ruang kolektif, pemilik restorannya perempuan asal Iran. Kabur ke Jerman karena kondisi politik di negaranya. Menikah dengan orang Jerman, sudah jadi warga negara sana. Entah kenapa, katanya hubungan dengan suaminya tidak begitu baik, dia berpisah dengan suaminya. Lalu, temannya mengajak untuk membuat restoran itu di Oyoun. Usianya baru 24 tahun. Mendengar ceritanya, mukaku ternganga... Tidak ada cerita mudah ya di tanah tujuan imigran? Hidup kok rasanya menantang nasib? Tapi, tanpa itu bagaimana kita bisa hidup? Bagaimana kita bisa bertahan? Banyak sekali cerita perjuangan hidup yang saya dapatkan dalam waktu kurang dari sebulan. Agak gila juga, tidak sebanding dengan apa yang bisa saya suguhkan sebagai cerita. Satu minggu kegiatan padat sekali, dari pagi hingga sore, workshop yang memakan energi tidak menyempatkan kami untuk menghabiskan waktu, menikmati Berlin. Hingga pada hari terakhir. Setelah acara dengan Kementrian Luar Negeri, perwakilan staf ifa, dan petinggi-petinggi dalam acara formal, saya dan beberapa fellows memutuskan untuk ke bar yang kebetulan malam itu bertemakan salsa. Di situlah, pertama kalinya, saya diajarkan salsa, oleh kedua teman asal Amerika Latin, Meksiko dan Bolivia. My dancing sucks. Tapi, Maria dan Al sepertinya tidak lelah mengajarkanku. Mereka cukup gigih untuk bertahan dan memaksa aku harus bisa salsa dalam semalam. Tentu saja saya menyerah dalam percobaan ketiga dan memilih duduk di pojok sambil memegang sebotol bir Jerman yang sejujurnya saya tidak suka. Tapi, itu yang paling murah. Jadi, ku pesan saja. Masih banyak cerita yang ingin ku ceritakan, sebenarnya, tapi mungkin ku simpan lain waktu.

Minggu lainnya, saya berpindah lagi. Kali ini di Asrama yang banyak mahasiswa/i Indonesia. Daerah Sewanstraße, Friedrichfelde. Dekat Tierpark Center. Lokasinya agak jauh. 11 Kilometer, sekitar 21 menit untuk ke Alexanderplatz. 10 perhentian, dari U Friedrichfelde, Lichtenberg, Magdalenestraße, Franfurter Allee, U Samariterstraße, U Franfurter Otr, U Weberwiese, U Strausberger Platz, U Schillingstraße, sampai ke U Alexanderplatz. Perjalanan jalan kaki dan kereta setiap harinya menenangkan. Biasanya untuk ke stasiun U5 Tierpark, saya menghabiskan waktu 15 menit. Kecuali hari pertama tinggal di sana, saya nyasar, capek jalan, 30 menit baru ketemu stasiunnya. Sisanya, saya menikmati pohon-pohon yang meranggas pada setiap taman yang saya lewati. Banyak sekali gedung-gedung asrama. Kalau sudah di atas jam 7 malam, wilayah ini seperti tidak ada kehidupan. Gelap sekali. Sebagai perempuan, besar di Indonesia, bohong kalau tidak takut pulang malam dan jalan sendiri. Padahal mungkin, daerah ini lebih aman dari Salatiga sekalipun. Tapi, tetap saja, memori dan trauma tubuh itu mengendap. Tidak mudah menenangkan diri saya, tanpa membawa sesuatu dalam tas untuk melindungi diri. Was-was jika tiba-tiba ada yang berjalan di belakang saya. Itu mungkin kesadaran lain yang baru buat saya. I keep giving warning to myself, that everything is okay, but I know maybe at some point it might not, so better be prepared. You know, that kind of feeling. Asing.

Untuk janjian dengan orang, paling mudah di "Alexa." "Bahasa gaulnya gitu, kak." Seorang mahasiswi yang lebih muda dari adik saya paling bungsu menjelaskan. Ia sedang kuliah arsitektur di Jerman. Tahun pertama. Pintar sekali. Saya tanya, kenapa mau sekolah di Jerman. Jawabannya: "Sekolah di Indonesia bosan, kak, kayak semua bisa aku kerjain dengan mudah. Aku nggak tertantang. Bahasa Jerman kan susah, jadi aku tuh kayak... oke aku mau bisa. Makanya aku milih sekolah di sini." Saya melihatnya dengan senyum. Kalimat barusan itu, bertolak belakang dengan wajahnya yang cekikikan ketika menjelaskannya. Saya melihatnya dengan sayang, perasaan 'bangga' yang sama, ku ingat ketika keluargaku melihatku wisuda sarjana. Ia menemani saya berjalan-jalan, makan makanan khas 'Jerman', ke tempat turistik, dan mendengarkan cerita pengalamannya. Usianya baru menginjak 20 tahun. Ia sudah dua tahun di Jerman. Sebelumnya kerja, lalu mulai berkuliah setahun lalu. Pengalaman hidupnya menarik sekali. Saya menikmati berjalan menyusuri Berlin Wall, Checkpoint Charlie, Jewish Museum bersama dengannya. Rasanya yang akan ku ingat-ingat terus, kekaguman akan bagaimana seorang dengan percikan api dalam dirinya, menghangatkanku akan cerita-cerita kecil perjalanan hidupnya.

Tidak pernah sebelumnya, saya pergi ke negara orang, lalu janjian dengan orang Indonesia. Biasanya, saya membiarkan diri melesap dengan perkawanan baru. Saya biasanya malas berkumpul dengan orang Indonesia, gosip soal orang Indonesia lain biasanya. Namun, kali ini banyak yang berubah nampaknya. Jadi, saya menghubungi seorang kawan lama, teman gereja, yang sudah menetap di Jerman selama setahun untuk bekerja. Ia senang sekali dibawakan beberapa makanan Indonesia. Dia tidak minta, saya saja berinisiatif menawari dan membawakan. Perasaanku tentang orang ini baik. dan memang dia baik sekali, tidak nitip seenaknya. Ia hanya minta secukupnya. Justru karena itu, ia kubawakan banyak sekali, termasuk sambal sachet ABC (sungguh Indonesia sekali). And I feel happy by just doing that. Aneh. Never I thought I would be that kind of person who is willing 'dititip-titipin' like this, but well, you know, people change. Mungkin ini poin utama ceritaku, bagaimana kembali pada sebuah persinggahan menyadarkan bahwa saya bergerak dari titik awalku. Dengan membuat koordinat baru, titik baru, tidak menafikan bahwa saya bukan (lagi) saya. Masih sama, hanya saja, berjalan dari persinggahan sebelumnya, menuju persinggahan berikutnya. Hari itu, di musim gugur yang indah, ia mengajak untuk melihat Postdam. Katanya Sans Soucis mengingatkannya padaku, jadi ia ingin sekali membawaku untuk melihatnya. Saya tertawa kecil ketika mendengarkannya. Nama Sans Soucis saja memang sudah mencuri perhatianku. Arti harafiahnya, tanpa kecemasan. Nama yang sangat baik untuk sebuah tempat peristirahatan. Bukankah itu hidup yang kita inginkan, berjarak dengan kecemasan, mendiamkan demon dalam setiap lapis perasaan kita? Perjalanan ke Postdam menjadi ziarah, candaku pada si teman ini, dan betul saja. Ia merancangnya dengan baik, "Kamu harus lewat pintu depannya, Jes. Jalannya memang agak jauh, but it's gonna be worth it." Saya diam, mengikuti sambil tersenyum. Menikmati momennya dan hampir menangis karena ia benar. Saya dikelilingi pohon dengan tinggi lima meter, sepanjang mata kulihat daun berguguran, dan di ujung pandangan mataku, ku lihat kastil kecil berwarna biru luntur, dan pilar-pilar kekuningan, dan tentu saja khas Prancis, kastil itu harus penuh taman bunga dan air mancur. Aku hanya melihat dalam diam. Sudah lama saya tidak dibuat diam lewat kecantikan yang sebegininya. 

Temanku benar (banyak sekali kata ganti teman di sini, mohon maaf, entah ini apa artinya). Saya jatuh cinta pada Jerman, mungkin Berlin lebih spesifik. This city resonates with me. Tanpa rencana, penuh kecemasan, ketakutan, penuh hitam, musik yang tak ku mengerti di setiap bar, tapi ku nikmati di tepi-tepi jalan, kopi, bir tidak enak, pertemanan hangat, aktivisme, museum yang kaku tapi tidak main-main konservasinya (sejujurnya saya tidak terlalu suka pengaturan dalam museumnya), sampai pada tabrakan arsitektur khas Berlin Barat dan Berlin Timur, persinggahan yang membuatku terasing ini membuatku dapat mengalami hal-hal yang sangat berbeda, namun sama, pada saat bersamaan, Sebenarnya ingin ku ceritakan lebih detail perjalanan kakiku menyusuri Alexanderplatz (berkali-kali) berjalan kaki, atau duduk di pinggiran sungai belakang Berlin Dome. Humboldt Forum cantik sekali senja itu. Saya duduk hingga matahari terbenam pada satu hari, dan duduk di sana tengah malam melihat bulan purnama di malam lainnya. Saya tidak banyak menulis, tapi setiap detail visual kuingat dengan segala keterbatasanku.

Sejauh ingatan, saya menghabiskan tiga hari terakhir dengan berjalan, baik sendirian, maupun dengan teman baru. Semuanya dihabiskan dengan berjalan. Ada momen di mana saya berkaca-kaca, mungkin lebih mirip menangis, karena bertemu dengan street musician menyanyikan lagu Hallelujah. Saya selalu meyakinkan diri bahwa ini kebetulan semesta. Saya suka sekali kebetulannya. Kebetulan yang membuatku berkali-kali mendengar lagunya saat aku menyusuri jalan-jalan di kota Berlin. Ya, memang itu lagu Leonard Cohen. Tapi, tidak ada yang mengalahkan kemagisan Jeff Buckley membawakan lagu itu. Rasanya, seperti mengikuti liturgi gereja setelah pengakuan dosa. Lagu ini personal sekali. Menandingi Bridge Over Troubled Water. Mungkin hampir setara. Tergatung momentum. Hallelujah - Leonard Cohen,  Kisah Jeff Buckley personal sekali buat saya. Mungkin Fake Plastic Trees dengan suara falsetto menyayat Thom Yorke tidak mungkin ada kalau pada 'satuan waktu sebab-akibat' itu, mereka tidak melihat Jeff Buckley tampil sederhana dengan gitarnya di salah satu cafe/bar lower Manhattan. Jeff Buckley, he died, drowning in Mississipi River, by the age of 31. Usia yang sama ketika saya menuliskan ini. [Tidak] saya tidak punya keinginan mati. Belum dulu. Banyak yang harus saya lakukan. Setidaknya, demikian saya pikir. Bukan untuk diri saya, tapi untuk orang-orang di sekitar saya. [Baik] [Kembali lagi]. Pasangan Jeff Buckley, Elizabeth Fraser, ya, vocalist Cocteau Twins, menuliskan lagu dan menyanyikannya bersama Massive Attack. Rasa kehilangan diterjemahkan dalam lagu menyayat hati. Judul lagunya Teardrop. Lagu itu, ia buat untuk Jeff Buckley. Ketika ia merekam lagu itu, ia mendengar berita hilangnya Jeff Buckley. "Fearless on my breath, most faithful mirror, you're stumbling in the dark..." Bukan bunuh diri, tapi tenggelam, memori terakhir Buckley, yang dituliskan tentang adalah bagaimana ia menyanyikan Whole Lotta Love - Led Zeppelin sebelum ia hilang, tak ditemukan. "A way down inside, I'm gonna give you my love, I'm gonna give you every inch of my love, wanna whole lotta love..." Semua itulah yang berputar di kepala saya ketika mendengar Hallelujah dikumandangkan di pinggir kota Berlin (dan Amsterdam).

Pada langkah kaki, pada nada dan cinta yang menjadi kata kerja, pada suhu tujuh (hingga sembilan) derajat celcius, saya menyimpan kisah Berlin dan segala keterasingannya dalam senyum sebuah catatan perjalanan. Cerita Amsterdam, Leiden, dan Den Haag akan saya simpan  dan tuliskan kali berikutnya. Biarkan paragraf demi paragraf kali ini mengingatkanku akan terbasuhnya makna.

Kita kembali pada sebuah persinggahan, lepas dari pertanyaan, menggenggam rindu yang ditahan, dengan peluk yang dimintakan.

Sampai bertemu lagi dengan catatan perjalanan lainnya.

Dengan setali kasih,
Jessy Ismoyo


Comments

Popular Posts