Pemikiran Jacques Lacan


Pemikiran Jacques Lacan
            Ketika membicarakan Lacan, kita tidak terlepas dari pemikiran Freud mengenai Id, Ego, dan Superego, dan teori kompleks Oedipus, lalu Lacan merumuskan teori itu ke dalam ranah linguistik. Lacan menyatakan ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa dan semiotika serta linguistik dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. (Lacan, 1977: 155-156 dalam skripsi Stephani Natalia W)
Lacan menyinggung tiga konsep penting; kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Pada ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa. Konsep tatanan simbolik diilhami dari pemikiran Lévi-Strauss tentang hubungan kekeluargaan dalam dunia sosial. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. (Hill, 2002: 8-11)

Yang real
     Tahapan yang real berlangsung dari sang bayi lahir hingga berumur 6-18 bulan. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam artian ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu.
Sang bayi dengan kata lain berada dalam situasi ‘kepenuhan’. Belum ada konsep ‘pribadi’ yang muncul pada tahapan ini, relasi yang terjadi hanyalah keinginan bayi dan objek pemuas yang didapatkan bayi itu. Kepenuhan dapat terjadi tanpa adanya ketiadaan. Perlu dicatat, yang real bukanlah realitas.
Yang real adalah gagasan realitas yang terbentuk dari konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat. Bayi tidak mengenal konsep keterpisahan dengan ibunya (Liyan). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘kediriannya’ dengan kata lain sang bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu.
Tahapan yang real akan terhenti ketika sang bayi menyadari ia berbeda dengan ibunya (Liyan). Ketika dirinya adalah sesuatu yang berdiri sendiri selain sesuatu di luar dirinya, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) sang bayi menjadi permintaan (demand). Kesadarannya akan keterpisahan dengan sang ibu , mengenal Liyan, secara langsung menjadikan ia kehilangan sesuatu dan tidak merasa penuh. Terjadinya ketidakpenuhan yang diakibatkan dari timbulnya permintaan ini menjadi awal mula tahapan imajiner atau le stade de mirroir. (http:// escape.freud.pagespro-orange.fr/topos/psycha/psysem/miroir.htm. diunduh 2 desember 2011 pukul 06.36)

Imajiner
     Fase imajiner ditandai dengan kesadaran sang bayi bahwa ia merupakan individu yang terpisah dari ibunya, atau memasuki tahapan cermin ketika tuntutan permintan mulai muncul karena terbentuknya konsep ‘kedirian’ karena identifikasi ‘diri’ yang dilakukan sang bayi atas gambar pantulan dirinya di cermin. Fase ini terjadi antara usia 6-18 bulan, sang bayi belum memiliki kendali utuh atas dirinya namun ia menyadari dirinya adalah ‘diri’ yang berdiri sendiri.
     Pembentukkan ilusi ego yang terjadi karena adanya identifikasi imajiner atas pantulan diri di cermin itu menjadi ‘pembenaran’ bagi sang bayi sebagai identitas yang terpisah dari ibunya. Hal inilah yang disebut Lacan saat sang bayi mengalami méconnaisance atau kesalahpahaman sang bayi mengenali pantulannya. Sang bayi berpikir pantulan itu adalah dirinya namun sebenarnya pantulan itu bukanlah dirinya, kemudian sang bayi merepresentasikan pantulan dirinya di cermin sebagai ‘diri’ dan darisanalah tercipta ‘ego’.
     Méconnaissance juga menciptakan sebuah pelindung subjektivitas atas sebuah gambaran semu atau ilusi dari kesatuan ‘diri’ yang salah dimengerti. Sebuah penyatuan dan keseluruhan yang melingkupi konsep ‘diri’ yang tidak penuh karena adanya posisi ke’lainan’ (liyan). (Lacan, 2004:306-307 dalam skripsi Stephani Natalia W)
Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ sang bayi terbentuk seperti konsep kompleks Oedipus pada teori Freud di mana sang anak merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan liyan atas identifikasi yang dilakukannya atas pantulan cermin, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan sang anak lalu membuat gambaran tentang ego ideal yang diperolah dari keadaan “Liyan” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.

Tatanan simbolik
     Tatanan simbolik ditandai dengan adanya konsep hasrat (desire). Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebgai individu. Sang anak akan masuk ke dalam dunia simbolik ketika ia mengetahui konsep “Liyan” dan dirinya teridentifikasi dari gambaran pantulan cermin. Sang anak mau tidak mau akan memasuki tahapan simbolik yang merupakan struktur dari bahasa, di mana di dalamnya sang anak akan menjadi subjek yang berbicara.
     Tahapan imajiner dan simbolik dikatakan Lacan bersinggungan, terjadi pada saat sang anak menyadari ‘keakuannya’ saat melihat pantulan cermin dan melihat gambar ‘yang lain’ dalam cermin itu. Bahasa menjadi penting karena dapat diterima oleh akal sehat, begitu pula tatanan simbolik. Tatanan simbolik didasarkan pada suatu hal yang rasional, adanya identitas, sesuatu yang berasal dari logika, sistem yang bekerja secara tepat dan validitasnya terjamin.
     Sang anak sebagai subjek dapat dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik ketika ia merasakan kepenuhan ketika ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik, sama seperti yang dirasakan dalam tahapan imajiner. Namun perasaan akan keinginan untuk mencapai kepenuhan diri tidak akan pernah ditemukan dalam individu, dan disanalah ironi kehidupan manusia. Itulah mengapa Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ‘liyan’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘liyan’; tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Tatanan simbolik dengan kata lain adalah faktor yang menentukan subjektivitas, subjek selalu berada di tataran imajiner dan simbolik, tetapi imajiner hanyalah fatamorgana dari apa yang terjadi pada tataran simbolik.

Phallus (nom-du-père)
     Konsep Lacan mengenai nom-du-père berasal dari kompleks Oedipus Freud yang dikembangkan secara sosial-budaya. Nom-du-père adalah konsep inti dari tatanan simbolik, ketika Freud menyatakan penis sebagai sebuah simbol ‘utuh’ dari sisi biologis dan pembeda antara laki-laki dan perempuan. Lacan menyatakan nom-du-pere adalah Liyan atau sering juga disebut sebagai phallus. Phallus yang dimaksud Lacan bukanlah penis tetapi sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan kepenuhan dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik.
     Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar tatanan simbolik. Seperti dikatakan Lacan sebelumnya bahwa bahasa menjadi penting karena adanya rantai penanda dan petanda yang terikat satu sama lain dan tidak pernah terputus, konsep ini diadaptasi dari Saussurean, namun Lacan mengoreksi Saussure, ia menyatakan petanda merupakan sesuatu yang cair atau tidak tetap, bukan sesuatu yang ‘ajeg’. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, ia adalah pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik, ia adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran, bersifat tidak stagnan, maka dari itu phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas.
     Dalam memahami pengertian phallus, kita harus memahami juga peran kastrasi. Definisi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan dari ketakutan akan kastrasi di mana Lacan menggambarkan individu takut kehilangan sesuatu (dalam hal ini penis), seperti dijelaskan di atas, Lacan mengandaikan phallus pada perempuan sama halnya dengan vagina, payudara, dan klitoris. Konsep penis dapat digantikan sebagai sesuatu kekurangan dalam kebertubuhannya. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect (Robertus, 2008:3)

Jouissance dan desire
     Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’, Lacan menjelaskan hal ini merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga kita akan merasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung.
     Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni, sama seperti dua keping mata uang, kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu. Lacan menjelaskan adanya perasaan ingin mencapai jouissance diakibatkan adanya situasi ‘la manque’ terhadap hal tertentu, bersamaan ketika kita meniadakan rasa itulah, kita mendapatkan kenikmatan dalam tanda-tanda dalam tataran simbolik yang real. (Robertus, 2008:6)
     Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis di mana individu menyakiti dirinya untuk mencapai kepuasan tertentu, hal ini tidak hanya berada pada ranah seksual, tapi juga dalam ranah sosial, seseorang merepresi keinginannya untuk menemukan sebuah kepuasan dari rasa sakit atas penekanannya atas keinginannya itu. Jouissance menjadi alas dari keinginan sehingga kenikmatan dari mengingini sesuatu akan terus terjadi demi proses pencapaian keinginan itu sendiri, karena individu menemukan kepuasan dalam mengingini di dalam ketiadaan kepuasan.


(Tulisan ini merupakan bagian dari uas mata kuliah Dinamika Pemikiran Prancis, dipublish atas keinginan penulis, referensi dicantumkan dalam tulisan berikutnya.)

Comments

Popular Posts