Pornografi dilihat dari Perspektif Psikoanalisa Lacan


ABSTRAK 
         Pemikiran Prancis memasuki masa posstrukturalisme, muncul nama-nama pemikir seperti; Lévi-Strauss, Baudrillard, Bourdieu, Derrida, Lacan, dan Cixous. Lacan adalah salah satu pemikir besar Prancis pasca strukturalisme. Ia mengadopsi pemikiran psikoanalisa Freud dan mengembangkannya menjadi teori baru. Perkembangan pemikiran Lacan juga dipengaruhi oleh konsep penanda-petanda Saussure dan antrtropologi strukturalis Lévi-Strauss. Lacan meminjam teori kompleks Oedipus dari Freud dan menjelaskan bagaimana individu masuk dalam tatanan simbolik.
            Jacques Lacan lahir di Paris, pada tanggal 13 April 1901. Ia berasal dari keluarga borjouis Katolik yang taat. Lacan berkuliah di Sorbonne, dalam bidang kedokteran, dan melanjutkannya di bidang psikiatri pada tahun 1920-an. Ia mendapatkan gelar doktornya dengan tesis mengenai psikosis paranoia. Pada tahun 1934, ia menjadi anggota La société Psychoanalytique de Paris (SPP), dan awal mula ia menjadi sosok kontroversial di kalangan komunitas psikoanalis internasional, karena hal itu juga ia dikeluarkan pada tahun 1962 karena dianggap menyimpang dari praktik psikoanalisa. Pada tahun 1963, ia mendirikan L’École Francaise de Psychoanalyse yang kemudian berganti nama menjadi L’École Freudienne de Paris. Lacan juga menuangkan pemikirannya dalam berbagai tulisan, esai pertamanya “On the mirror stage as formative of the I” terbit tahun 1936. Kumpulan esai-esai Lacan selanjutnya dibukukan pada tahun 1966 dalam Écrits: A Selection. Lacan menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 9 September 1981, di Paris.
            Dengan teori psikoanalisanya, Lacan memberikan banyak pengaruh bagi cultural studies, kritik kebudayaan, dan menjelaskan bagaimana fenomena-fenomena sosial terjadi di sekitar kita. Salah satu teori yang berkaitan dengan cultural studies adalah pembahasan mengenai subjektivitas dan psikoanalisa Lacan dianggap mampu untuk mengkaji secara kritis pembentukkan subjek dilihat dari tahap-tahap perkembangan terkenal Lacan; real, imajiner, dan tatanan simbolik.
            Pornografi di Indonesia telah menjadi kasus yang menarik publik beberapa tahun terakhir, terlebih lagi dengan kasus-kasus video porno di kalangan artis dalam negri, dan keluarnya UU Pornografi yang banyak dikritik berbagai pihak. Penulis menemukan adanya pengaruh subjektivitas maskulin didasarkan dari budaya partiarki yang terjadi pada kasus pornografi di Indonesia. Maka dari itu, penulis berusaha mengaitkan teori tatanan simbolik Lacanian yang membentuk subjektivas maskulin dengan kasus pornografi yang terjadi di Indonesia.

Pornografi
            Secara etimologis, pornografi berasal dari dua kata Yunani, porneia yang berarti seksualitas yang tidak bermoral dan kata grafe yang berarti tulisan, jadi pornografi adalah tidakan seksual tidak bermoral. Pornografi umumnya dapat berupa gambar, tulisan, video, atau apapun yang mengekspos masalah seksualitas, di Indonesia sendiri hal itu dapat berupa penampilan sesorang yang merangsang dengan pakaian minim atau gerakan-gerakan yang merangsang. (http://sabda.org/artikel/pornografi)
          Pembicaraan pornografi tidak lepas dari diskusi tentang tubuh perempuan. Di Indonesia sendiri telah diberlakukan represi terhadap tubuh dan seksualitas dengan legitimasi negara dalan UU No. 44/2008 mengenai Pornografi. Pasal yang menyatakan pelarangan kepada orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, dll pornografi secara eksplisit maupun implisit seperti persenggamaan menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.
            Masalah pornografi menjadi momok dalam dunia sosial, terlebih lagi UU ini menempatkan posisi perempuan yang terdesak, karena terlihat dengan jelas bahwa UU ini menjadikan perempuan sebagai objek pada budaya patriarkal. Kontroversi yang terjadi pada diskriminasi perempuan dimuat dalam opini Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua DPD RI dalam Kompas (27/3/2010) mengenai kasus Karang Anyar, Jawa Tengah, di mana seorang perempuan yang seharusnya dilindungi justru dipidana lima bulan menggunakan pasal-pasal dalam UU Pornografi. Banyaknya kerancuan dalam pasal-pasal UU Pornografi menimbulkan misintrepretasi yang dapat menjebak perempuan sebagai korban, apalagi di tengah kondisi Indonesia yang memang budayanya kental dengan subjektivitas maskulin dan cenderung misoginis.
          Contoh kasus lain yang memperlihatkan subjektivitas maskulin dalam kasus pornografi di Indonesia terjadi di Bali, DPRD Bali dengan tegas menolak berlakunya UU Pornografi di sana, (Konferensi Pers DPRD Bali di Jakarta, 26/11/08) tidak hanya di Bali, penduduk di Papua pun melakukan hal yang serupa (Konferensi Pers Perwakilan Masyarakat Papua Menolak RUU Pornografi di Jakarta, 25/09/08). Hal ini jelas dilakukan karena UU Pornografi cenderung dinilai ambigu dan berbenturan dengan budaya Bali dan Papua yang dianggap mempertontonkan ketelanjangan di depan publik, dalam hal ini adalah kebiasaan perempuan yang tidak mengenakan penutup untuk menutupi payudara mereka. UU Pornografi dinilai tidak relevan bagi pluralitas yang terjadi di Indonesia, dan kembali lagi bahwa UU Pornografi ini hanya merupakan kerugian bagi perempuan karena berangkat dari subjektivitas maskulin. (http://www.sejuk.org/kolom/gender/75-tubuh-perempuan-dan-pornografi.html)

Pornografi dipandang dari psikoanalisa Lacan
            Pornografi merupakan salah satu kritik kebudayaan yang dapat dilihat dari sudut pandang Lacanian. Berikut dijelaskan bagaimana subjektivitas maskulin terbentuk dalam tataran simbolik yang menyatakan posisi perempuan yang diobjekkan dalam segala macam bentuk pornografi. Mengutip Bracher dalam bukunya Jacques Lacan: Diskursus dan perubahan sosial, “Sarana pornografi merupakan sebuah praktik sosial yang menerapkan kode-kode tertentu pada tubuh perempuan yang teraniaya, diperkosa, dan terbunuh.” (39-40)
Dengan kata lain, pornografi menempatkan posisi perempuan yang terdegradasi karena mereka dijadikan objek hasrat (desire) dari laki-laki. Pornografi secara umum diperuntukkan bagi kaum laki-laki heteroseksual. Laki-laki ditempatkan dalam posisi subjek aktif dan perempuan dalam objek pasif. (125) Bracher mengutip Kappeler bahwa yang ditunjukkan dalam analisis kaum feminis terhadap struktur pornografis adalah semata-mata objektifikasi perempuan demi kepentingan eksklusif subjektifikasi laki-laki. Laki-laki adalah subjek murni dalam artian ia tidak dapat menjadi objek. (50) Lacan memaparkan bahwa hasrat (desire) yang ditampilkan dalam pornografi adalah hasrat anaklitik atau hasrat yang semata-mata ada untuk mendapatkan kenikmatan seksual, bukannya hasrat narsistik (hasrat untuk dicintai). Hasrat ini dijelaskan lebih rinci dalam tiga tahapan Lacanian: yang real, imajiner, dan simbolik.
Dalam yang real, posisi perempuan ditempatkan sebagai Liyan yang menjadi objek bagi hasrat maskulin ataupun menjadi subjek yang berhasrat untuk menjadi objek hasrat maskulin. Dalam imajiner, hasrat pada perempuan diperlihatkan sebagai bentuk tubuh indah semampai yang berfungsi sebagai objek seksual, dan citraan laki-laki sebagai alter ego ataupun pesaing. Dalam simbolik, masyarakat, alam, dan Tuhan ditempatkan sebagai yang menghasratkan bentuk kenikmatan tertentu dan memberikan legitimasi pada setiap identitas seksual.
Fakta-fakta yang terjadi bahwa dalam setiap kasus pornografi ditemukan unsur-unsur yang membuktikan degradasi nilai perempuan yang semakin memperkuat budaya patriarki, fakta-fakta itu antara lain: setiap pornografi menampilkan perempuan sebagai sosok yang menikmati tindakan perkosaan, kenikmatan yang dirasakan perempuan dari tindakan yang dilakukan laki-laki selama bersenggama, pemujaan penis, dan deskripsi rinci terhadap tubuh perempuan (eksploitasi tubuh perempuan). (Bracher, 2005: 128-129)
Tatanan simbolik mengatur masyarakat sedemikian rupa lewat norma-norma yang diberlakukan di masyarakat dan hal ini tertanam di bawah sadar kita. Individu ada di dunia dengan tatanan sosial yang sudah terbentuk dalam masyarakat, kita masuk sebagai subjek, dan harus ‘berbicara’ dengan bahasa yang sama (dalam artian mengikuti tatanan sosial itu) untuk dapat masuk dalam masyarakat. Bahasa yang bersifat maskulin membentuk subjektivitas dalam tataran simbolik phallogosentris sehingga subjek mendapatkan subjektivitasnya dalam tatanan simbolik untuk berbicara sebagai subjek dalam bahasa. Setelah melewati ketiga tahapan perkembangan itu, subjek terpaku pada aturan-aturan yang berpusat pada maskulinitas atau nom-du-père dengan phallus sebagai penanda.
Sebuah sistem sosial bahasa maskulin terbentuk dari budaya patriarkal, yang menjadikan perspektif laki-laki sebagai satu-satunya perspektif yang diperhitungkan dalam dunia sosial, dan menempatkan perempuan pada posisi inferior dengan memperlihatkan adanya dominasi pada ‘Liyan’. Dalam nom-du-père, posisi dominan laki-laki terpaparkan dengan amat jelasnya membentuk stereotip dalam masyarakat pada setiap jenis kelamin dalam struktur sosialnya.
Melihat contoh kasus di atas, terlihat jelas bahwa adanya usaha atau praktek pornografi menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan sebagai Liyan (the other). Setiap tindakan pornografi yang terjadi seharusnya menyadarkan publik bahwa perempuan dijadikan pihak yang dirugikan karena menjadi objek dari hasrat ‘imajiner’ laki-laki sebagai diri (self).
Keberadaan UU Pornografi terlihat melindungi perempuan atas ekploitasi tubuh perempuan, tetapi tidak begitu menurut penulis. UU ini membatasi gerak perempuan dan secara tidak langsung mengiyakan posisi perempuan yang memang menjadi objek hasrat laki-laki (terlihat jelas dalam hal ‘dilarang memperlihatkan segala sesuatu yang dapat merangsang).
Realita yang terjadi adalah UU ini didasarkan secara sosiologis atas mayoritas Indonesia yang beragama muslim, dan negara mencampuradukkan norma agama dengan peraturan negara yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan privat masyarakat. Hal yang berangkat dari norma agama ini dianggap sebagai sesuatu yang melegitimasi ideologi patriarki di mana negara membuat suatu tirani atas sebuah perspektif yang mendiskriminasikan perempuan sebagai objek dalam UU itu.
Terlebih lagi, UU ini tidak bekerja secara baik karena pada dasarnya masyarakat Indonesia cenderung berbudaya misoginis (menyalahkan perempuan atas aktivitas seksual laki-laki), hal itu menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang disalahkan atas hasrat laki-laki yang timbul, sehingga adanya UU Pornografi dalam prakteknya justru digunakan untuk menempatkan perempuan pada posisi disalahkan, bukan menjamin posisi perempuan sebagai minoritas.

KESIMPULAN
Psikoanalisa Lacan adalah salah satu buah pemikiran posstrukturalisme yang menggabungkan psikoanalisa Freud, antropologi strukturalis Lévi-Strauss, dan konsep semiotika Saussure. Pemikiran Lacan menekankan bahwa konstruksi wacana sama seperti alam bawah sadar yang terdiri dari tiga tahap perkembangan: Yang Real, Imajiner, dan Tatanan Simbolik. Yang real adalah tahapan di mana individu terpaku pada kebutuhan (need) dan merasakan kepenuhan, sementara tahapan imajinaer atau fase cermin terjadi ketika kebutuhan (need) menjadi permintaan (demand) atau kesadaran individu akan ‘kediriannya’, sementara itu tahapan terakhir memegang peranan penting pada subjektivitas individu yang terjadi dalam siklus kehidupan sosial di mana nilai-nilai masyarakat terkondendasi. Keadaan dalam tatanan simbolik seperti bahasa yang memaksa individu menjadi subjeknya, individu akan melakukan hal itu untuk mencapai suatu ‘kepenuhan’ seperti tahap yang real. Dalam tatanan simbolik, Lacan menjelaskan adanya phallus yang menjadi simbol dalam tatanan itu, simbol yang dimaksudkan Lacan tidak hanya penis, perlu ditekankan bahwa penis hanyalah salah satu contoh phallus. Keadaan individu yang rela untuk merasakan rasa sakit untuk mencapai ‘kepenuhan’ inilah yang dimaksudkan Lacan dengan jouissance.
      Pornografi merupakan salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia, Lacan melihat fenomena ini sebagai degradasi dari nilai perempuan dilihat dari tiga tahapan perkembangan. Pornografi menjadikan perempuan objek hasrat (desire) dari keinginan laki-laki, dan adanya UU Pornografi tidak membantu melindungi hak perempuan, justru malah melegitimasi ideologi patriarki dilihat dari subjektivitas maskulin yang bersifat phallogosentris terjadi di Indonesia, dengan kata lain mengukuhkan budaya misogini. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pornografi yang merugikan pihak perempuan. Teori Lacan hanya mampu menjelaskan posisi inferior perempuan dalam kasus pornografi akibat subjektivitas maskulin yang terbentuk pada budaya patriarki. Kesimpulan yang didapatkan adalah budaya Indonesia yang masih bersifat phallogosentris dinilai sudah tidak relevan melihat adanya ketidakadilan bagi perempuan, untuk itu dibutuhkan perombakan tatanan simbolik yang mengacu pada subjektivitas feminis. 

REFERENSI
Bracher, Mark. 2005. Jacques Lacan: Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: Jalasutra.
Hill, Philip. 2002. Lacan untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
Natalia W, Stephanie. 2009. Keterasingan perempuan di dalam subjektivitas maskulin: sebuah analisa kritis atas tatanan simbolik Jacques Lacan. DEPOK: Universitas Indonesia.
Robet, Robertus. 2011. “Provokasi Lacan terhadap Seksuasi dan Tindakan Etis”  dalam Kuliah Umum Seksualitas di Salihara.
(http:// escape.freud.pagespro-orange.fr/topos/psycha/psysem/miroir.htm. diunduh 2 desember 2011 pukul 06.36)
(http://www.sejuk.org/kolom/gender/75-tubuh-perempuan-dan-pornografi.html diunduh 5 Januari 2012 pukul 23.43)
(http://sabda.org/artikel/pornografi diakses 5 Januari 2012 pukul 23.55)

Comments

Popular Posts