Dekonstruksi Sosial dalam Kekerasan Domestik: Studi Kasus Video Kampanye Kekerasan terhadap Laki-laki oleh Mandkind Initiative


PENDAHULUAN
Feminisme begitu berkembang dari waktu ke waktu. Dimulai dengan feminisme liberal, kemudian diikuti feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, hingga ekofeminisme yang membangun kesadaran masyarakat meruntuhkan budaya patriarki untuk menuju sebuah kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki. Namun fakta menyatakan adanya ketimpangan dengan stereotip yang dibentuk dalam sebuah konstruksi sosial bagi laki-laki. 

Hal ini didukung oleh video  yang dibuat oleh ManKind Initiative di mana masyarakat cenderung tidak merespon akan perempuan yang melakukan tindak kekerasan terhadap laki-laki (https://www.youtube.com/watch?v=u3PgH86OyEM). Data dari ManKind Initiative menyatakan bahwa 40% dari korban kekerasan domestik di Britania Raya adalah laki-laki. Sekitar 720,000 laki-laki meyakini bahwa mereka mengalami kekerasan domestik selama 2012-2013. Definisi kekerasan domestik menurut HASC (Home Affairs Select Committee)  adalah tindakan penyiksaan apapun baik secara psikologis, seksual, atau emosional, dalam sebuah hubungan (menikah, kohabitasi maupun berpacaran). HASC menyatakan bahwa 'kebanyakan' kasus menempatkan laki-laki di posisi 'pelaku' dan perempuan di posisi 'korban' (www.societyguardian.co.uk/domesticviolance).

Berdasarkan fakta itu, tulisan ini dihadirkan sebagai bentuk dekonstruksi pada stereotip laki-laki dalam kekerasan domestik. Penulis akan menggunakan teori dekonstruksi Derrida mengenai pada pembanding oposisi biner agar memperlihatkan blind spot dalam persepsi masyarakat mengenai kekerasan domestik yang selalu menempatkan perempuan di posisi korban. Selain itu, penulis juga menambahkan perspektif feminis melalui teori Gilligan mengenai Etika Kepedulian (Ethics of Care) sebagai solusi,  kemudian dilanjutkan dengan penutup.

MANKIND INITIATIVE DAN KAMPANYE #VIOLANCEISVIOLANCE
Mankind Initiative adalah sebuah lembaga nasional yang menawarkan akses bantuan untuk laki-laki korban kekerasan domestik. Pada 21 Mei 2014, ManKind Initiative melakukan kampanye #ViolanceIsViolance dalam setiap media sosial yang memfokuskan masyarakat untuk mempertanyakan kembali stereotip laki-laki dalam kekerasan domestik.

Awalnya, organisasi ini terinspirasi dengan kasus penyerangan Jay Z yang dilakukan Solange Knowles. Video ini tersebar di seluruh media sosial yang didokumentasikan oleh TMZ. Sikap Jay Z yang tidak melawan ketika Solange Knowles memukulinya memberikan perspektif lain terhadap nosi 'perempuan cenderung menjadi korban kekerasan'. Oleh karena itu, ManKind Initiative membuat sebuah kampanye #ViolanceIsViolance sebagai aksi dana untuk organisasi mereka sekaligus memberikan kesadaraan kembali pada masyarakat bahwa kekerasan tetaplah sebuah kekerasan baik dilakukan perempuan dan laki-laki. Kampanye yang menggunakan video di mana pasangannya adalah aktor dan aktris. Video ini bertujuan untuk melihat reaksi masyarakat di Somerset, Taunton, dalam menanggapi posisi laki-laki dalam kekerasan domestik. 

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam memahami 'dogma' bahwa perempuan tidak pernah dilarang untuk memukul laki-laki. Sementara itu, laki-laki selalu diajarkan untuk tidak memukul perempuan. Hal ini diperlihatkan dalam video sepanjang 1 menit 50 detik di mana masyarakat cenderung lebih mudah bereaksi apabila melihat perempuan sebagai korban kekerasan baik psikologis maupun fisik. Tidak segan-segan seorang perempuan menegur laki-laki itu dan memaksanya menghentikan apa yang dilakukannya pada sang perempuan. Kemudian, banyak perempuan berkumpul untuk menasihati sang laki-laki.

Jill Radfort, seorang feminis asal Inggris, menyatakan bahwa kekerasan domestik terjadi bukan karena dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Kesempatan terjadinya kekerasan terlepas dari konteks patriarki. Kekerasan dilakukan karena struktur kekuasaan yang dimiliki individu baik ras, kelas sosial, umur dan status. Oleh karena itu, kemungkinan perempuan untuk melakukan kekerasan sama besarnya dengan pria. Intensi kekerasan itu dapat menyebar dengan mudah di publik dipicu beberapa faktor seperti stres, gangguan psikologis, alkohol, obat-obatan, sistem dominasi yang dibentuk sistem patriarki. Fakta bahwa kekerasan dapat terjadi terlepas dari konteks patriarki, perempuan dan laki-laki dapat menjadi 'pelaku' maupun 'korban'. Bahwasanya, laki-laki juga dapat menjadi korban kekerasan domestik.

Hal berbeda terjadi ketika laki-laki dan perempuan itu berganti peran. Masyarakat hanya diam dan tertawa melihat sang perempuan memaki, mendorong, bahkan memukul sang laki-laki. Tidak ada yang bereaksi dan membela sang laki-laki seperti yang terjadi pada skenario pertama. Masyarakat justru merasa terhibur dengan adegan itu, diam dan melihat saja sembari menertawakan kejadian di mana sang perempuan melakukan tindak kekerasan pada pacar laki-lakinya.

Hasil dari akting yang dilakukan kedua pasangan itu memperlihatkan bahwa kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki cenderung tidak menggerakkan masyarakat untuk bertindak. Video ini adalah memperlihatkan ketimpangan yang terjadi dalam konstruksi sosial terkait kekerasan domestik (maupun dalam berpacaran). Gerakan ini bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan terhadap laki-laki dan perempuan. ManKind Initiative tidak hanya menyoroti laki-laki sebagai korban, tapi menuntut untuk menghilangkan tindak kekerasan bagi kedua gender. Adanya ketimpangan konstruksi sosial mengarah pada sterotip laki-laki dalam kekerasan domestik disinyalir akibat nilai-nilai yang tertanam pada laki-laki untuk tidak memukul perempuan. Dalam bab berikutnya, hal itu akan dipaparkan lebih rinci menggunakan dekonstruksi Derrida.

Reaksi ini membuat pengumpulan data statistik berdasarkan info dari ONS (Offical for National Statistic) untuk memperlihatkan lebih dari 1/4 bagian laki-laki mengalami kekerasan. Pada Februari 2014 bahwa dari 38% korban kekerasan domestik adalah laki-laki. Hal ini tidak terduga setelah selama ini fakta kekerasan domestik selalu diasosiasikan dengan perempuan sebagai korban. Data memperlihatkan bahwa pada setiap lima korban, dua diantaranya adalah laki-laki. Fakta lainnya memperlihatkan bahwa 30% dari perempuan dan 16.3% (sekitar 1 dari 6) laki-laki mengalami kekerasan domestik dari umur 16 tahun tanpa menyadarinya atau sekitar 4.9 juta korban perempuan dan 2.7 juta korban laki-laki.

Pada tahun 2012-2013, sekitar 5.2% perempuan atau sekitar 845.000 jiwa serta 3.1% laki-laki atau sekitar (517.000) mengalami kekerasan domestik. ManKind Initiative memperlihatkan bahwa isu ini sudah terjadi lama di Inggris, namun tidak disadari oleh masyarakat. Data memperlihatkan penurunan secara signifikan pada kekerasan domestik terhadap laki-laki jika dibandingkan dengan tahun 2004-2005 di mana 6.7%  perempuan adalah korban (menurun ke 5.2%) serta 5.0% laki-laki juga menjadi korban (menurun ke 3.1%).

ONS juga mencatat bahwa kekerasan domestik lebih banyak dialami oleh kalangan muda. Pada tahun 2012-2013, 7.5% laki-laki berusia dari 16-19 adalah korban dari kekerasan domestik dan 3.6% adalah korban kekerasan dalam berpacaran. Selain terjadi pada usia muda, tendensi kekerasan domestik yang terjadi pada laki-laki lebih banyak terjadi pada laki-laki yang sudah menikah atau berkohabitasi. Persentase menunjukkan laki-laki menikah (1.5%) dan laki-laki yang berkohabitasi (4.0%) lebih banyak daripada perempuan menikah (1.3%) dan perempuan yang berkohabitasi (3.4%).

Dengan situasi yang berbeda, laki-laki (5.7%) dengan disabilitas fisik atau penyakit yang melumpuhkan cenderung lebih mudah mengalami kekerasan berpacaran daripada perempuan (5.2%). ManKind Initiative memaparkan bahwa kekerasan dalam berpacaran menjadikan 22% laki-laki dan 24% perempuan trauma, dengan 5% mengalami luka-luka memar, 35% laki-laki serta 45% perempuan stres dan mengarah pada kelainan psikologis akibat kekerasan yang dialami. Di antara 25-35% peresentasi kedua gender, 3% laki-laki dan 5% perempuan cenderung melakukan usaha bunuh diri.

Kecenderungan laki-laki untuk tidak mengungkapkan emosinya di tempat umum yang memicu persentase tingkat ketidakstabilan psikologisnya. ONS mendukung fakta ini dengan jumah 29% korban laki-laki tidak akan bicara mengenai kekerasan berpacaran, hanya 10% dari laki-laki korban kekerasan akan melaporkan pada polisi, 22% melaporkan pada pihak berwenang, dan 10% melaporkannya pada tenaga kesehatan profesional.

Berdasarkan data di atas, pentingnya kepedulian terhadap adanya kekerasan domestik (maupun berpacaran) perlu kembali didekonstruksi. Tidak hanya perempuan yang 'selalu' menjadi korban. Adanya kesadaran bahwa kekerasan adalah kekerasan terlepas dari gender merupakan kesetaraan yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Saat ini, di Britania Raya, 12 organisasi sosial menyediakan tempat penampungan untuk korban kekerasan dengan total 86 tempat, di mana 25 di antaranya ditujukan untuk laki-laki saja. Akses untuk laki-laki dinilai kurang jika dibandingkan dengan 260 organisasi yang menyediakan wadah untuk korban kekerasan perempuan sebanyak 4.000 ruang.

DEKONSTRUKSI SOSIAL PADA KEKERASAN DOMESTIK
Dekonstrusi Derrida memandang teks atau wacana sebagai sesuatu yang harus dicurigai atau mengandung makna lebih. Derrida dalam pemikirannya menunjukkan bahwa teks-teks memiliki ambiguitas dan konfliktualitas terkait unsur-unsurnya. Dalam hal ini, stereotip laki-laki dalam kekerasan domestik dianggap menjadi sebuah 'wacana' atau 'teks' dan adanya video kampanye #ViolanceIsViolance yang dilakukan oleh ManKind Initiative adalah sebuah proses dekonstruksi dalam proses memahami konstruksi sosial yang berlaku di Britania Raya.

Dekonstruksi adalah sebuah proses pemahaman teks dengan menganalisa koherensi, kontradiksi, dan keragaman yang ditemukan dalam teks sendiri. Tujuan dekonstruksi antara lain menawarkan teknik mengindentifikasi kontradiksi dalam teks, sehingga memperoleh kesadaran lebih tinggi dari bentuk-bentuk inkonsistensi. Dekonstruksi terhadap stereotip laki-laki diharapkan berhasil untuk mengubah teks, sehingga memilki teks memiliki makna baru.

Dekonstruksi dilakukan untuk membongkar nilai-nilai dalam masyarakat, dalam kasus ini terjadi di Britania Raya. Penulis berusaha melihat sesuatu yang dianggap absolut yakni keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pihak 'pelaku' dalam kekerasan domestik (maupun dalam berpacaran). Struktur sosial seperti ini mulai menjadi momok yang mengikat kebebasan individu yang memaksa individu terjerat dalam struktur dan sistem itu. Mengutip Derrida, dekonstruksi bukanlah sebuah hal yang menghancurkan struktur dari luar. Dekonstruksi dioperasikan dari dalam, meminjam semua strategi serta melakukan subversi dari struktur lama (1997:32). Derrida mengemukakan agar dekonstrusi dilihat sebagai sebuah keterbukaan terhadap adanya the other dan menolak bentuk suatu pengetahuan absolut.

Seperti dituliskan pada bagian pendahuluan, dekonstruksi wajib menentukan 'pusat' teks yang baru dari yang umum dilihat oleh pembaca 'teks' awam. Penulis berusaha menggeser 'pusat teks' dari tengah menuju pinggir teks. Untuk melihat adanya pergeseran 'pusat teks' dapat diperlihatkan dengan oposisi biner. Dalam kasus kekerasan domestik, berikut oposisi biner antara pihak laki-laki dan perempuan terlampir pada bagan di bawah ini:

No.
Laki-Laki dalam Kekerasan Domestik
Perempuan  dalam Kekerasan Domestik
Oposit Makna
(Dekonstruksi)
1.
Pelaku
Korban
Perempuan dan laki-laki punya  kemungkinan sama untuk menjadi korban dan pelaku.
2.
Aktif
Pasif

Kekerasan dapat dilakukan secara pasif, lemah, lembut (terselubung) dan melibatkan emosi di dalamnya.
3.
Kuat
Lemah
4.
Rasional
Emosional
5.
Tangkas
Lembut
6.
Tabu untuk menangis
Tidak masalah jika menangis
Menangis kadang digunakan untuk passive-aggressive behaviour
7.
Dogma untuk tidak memukul perempuan
Dogma untuk menuruti laki-laki
Tindakan pemukulan tidak boleh dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan dan tindakan untuk menuruti dilandaskan atas ke
8.
Dominasi
Opresi
Sistem akan selalu bergerak menyeimbangkan diri antara dominasi-opresi dan superior-inferior dalam prosesnya karena tidak ada sesuatu yang absolut.
9.
Superior
Inferior

 Dalam hal ini, struktur dan sistem menempatkan posisi laki-laki yang superior, kuat, aktif, tangkas, dan rasional, mengarah pada stereotip pihak yang 'mampu' melakukan kekerasan dibandingkan perempuan yang berasosiasi dengan kata lemah, pasif, emosional, dan lembut. Struktur dan sistem membentuk ajaran bahwa laki-laki tidak pernah diperkenankan memukul perempuan dalam keadaan apapun. Stereotip laki-laki sebagai seorang sosok yang disebutkan di atas ddukung oleh tulusan Ann Lloyd dalam Doubly Deviant Doubly Damned (1955) di mana laki-laki dikatakan cenderung agresif daripada perempuan. Stereotip yang menempel pada setiap gender juga melibatkan faktor sosio-kultural dan lingkungannya (Llyod 1995:26). Stereotip ini menjadikan laki-laki berada pada posisi dominan dan superior dengan tugas untuk melindungi perempuan.

Stigma ini yang membentuk perspektif masyarakat untuk tidak bertindak apabila melihat kekerasan pada laki-laki. Stereotip 'kuat' membuat masyarakat beranggapan bahwa laki-laki dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dalam hubungannya dengan perempuan terkait. Anggapan itu kemudian menjadi absolut. ManKind Initiative mengkritisi hal itu dengan melihat sebuah pengetahuan baru di mana semua orang tidak dibenarkan melakukan tindak pemukulan, baik itu laki-laki atau perempuan.

Argumentasi atas dekonstruksi sosial terkait korban kekerasan domestik pada laki-laki yang menjadi fokus dalam bagian ini. Penulis menemukan bahwa tindakan passive-aggressive kerapkali dilakukan perempuan sebagai bentuk kekerasan domestik yang tidak disadari baik oleh 'pelaku' maupun 'korban'. Stereotip perempuan yang selalu ditempatkan pada posisi inferior membuat perempuan memiliki kecenderungan untuk memiliki passive-aggressive behaviour yang justru secara tidak sadar adalah bentuk kekerasan secara terselubung. Passive-aggressive behaviour adalah bentuk kekerasan domestik yang tidak mudah terlihat karena ditutupi dengan tindakan dan perhatian serta kasih sayang selayaknya pasangan saling mencintai. Namun orang dengan perangai passive-aggressive cenderung melakukan hal ini untuk mencapai keinginannya.

Passive-aggressive berakar pada masalah untuk mengekspresikan rasa marah dengan cara yang benar. Opresi yang terjadi pada perempuan atau banyaknya isu kekerasan terhadap perempuan membentuk persepsi perempuan untuk menyalahkan laki-laki atas sesuatu yang dilakukannya (http://proactivechange.com/relationships/passive-aggressive.htm). Perilaku ini biasanya terjadi perempuan dengan ciri-ciri umum yaitu: ambiguitas. Passive-aggressive akan diam dan menunda untuk bertindak. Hal ini dilakukan sampai pasangannya merasa stres dan memahami sudut pandang individu terkait. Passive-aggressive juga cenderung pendendam dan menyalahkan pasangannya, ia menggunakan kejadian di masa lalu untuk membebaskan dirinya dari rasa bersalah dan menumpahkan rasa bersalah itu ke pasangannya. Passive-aggressive juga tidak akan pernah terlihat marah di depan publik. Ia akan terlihat mengikuti semua keinginan pasangannya dan berdalih pada nosi 'habisnya titik kesabaran'.

Satu ciri yang terlihat pada perempuan modern adalah keinginannya untuk mandiri, hal ini berkaitan dengan kecenderungan untuk memiliki passive-aggressive behaviour, seperti dinyatakan oleh Scott Wetizer, perempuan ingin terlihat mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri, dan menghindari intimasi untuk terlalu terikat dengan seseorang. Dalam kasus lebih lanjut, perempuan menggunakan kemampuannya untuk 'menahan hubungan seksual' sebagai bentuk punishment apabila ia merasa sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya.

Individu dengan ciri passive-aggressive behaviour juga selalu menempatkan dirinya pada pihak korban. Ia akan selalu menyalahkan dirinya terus-menerus agar terhindar dari rasa bersalah. Sifat obstruksionis juga dimiliki oleh individu dengan passive-aggressive behaviour  di mana ia akan selalu mengiyakan suatu hal, namun tidak pernah melakukannya. Hal paling signifikan yang dapat dilihat apabila seseorang melakukan tindakan passive-aggressive adalah perlakuan silent treatment yang dilakukan apabila keinginannya tidak terpenuhi (http://divorcesupport.about.com/od/abusiverelationships/a/Pass_Agg_2.htm). Tidak hanya perempuan yang memiliki perangai ini (walaupun banyak terjadi pada perempuan), namun fakta ini dipaparkan setalah tabel oposisi biner sebagai dekonstruksi sosial dengan tujuan untuk meminimalisir tindak kejahatan. Tindakan passive-aggressive adalah faktor besar dalam setiap permasalahan domestik yang berujung pada kekerasan terselubung. Oleh karena itu, kesadaran akan adanya isu kesetaraan gender untuk tidak lagi melakukan tindak kekerasan dianggap perlu.

Sesuai dengan pemaparan pada tabel di atas, dekonstruksi Derrida ditujukan untuk meniadakan hirearki. Sistem dan struktur dirombak dari dalam. Perempuan punya kesempatan sama besarnya dengan laki-laki untuk menjadi 'pelaku' dalam kekerasan domestik. Adanya oposisi biner antara laki-laki dan perempuan konstruksi masyarakat perlu diperbaharui karena Derrida meyakini bahwa tidak ada yang lebih tinggi posisinya dari suatu yang lain.

PERSPEKTIF FEMINIS: ETHICS OF CARE OLEH GILLIGAN
Dekonstruksi lanjutan Derrida terkait situasi sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam sebuah ketimpangan sosial, kemudian ditilik kembali melalui kacamata feminis yaitu Carol Gilligan dengan etika kepedulian. Gilligan memfokuskan kritiknya pada masyarakan yang berbasis etika yang khas pada intuisi perempuan. Pemikiran ini merupakan kritik dari 'etika keadilan' yang diusung oleh Lawrence Kohlberg. Etika keadilan dianggap mempengaruhi pembentukan moral kaum patriarki yang menginginkan adanya keadilan, dalam konteks ini adalah kesetaraan gender.

Apabila dikaitkan dalam kasus kampanye #ViolanceIsViolance yang dilakukan oleh ManKind Initiative, etika kepedulian dianggap mendukung dekonstruksi Derrida. Kampanye #ViolanceIsViolance dianggap mendekonstruksi sistem dan struktur patriarkal dari dalam. Hal itu menjelaskan alasan pola pemikiran 'keadilan' sebagai bentuk prinsip abstrak laki-laki dalam sikap moralnya. Kampanye yang bertujuan menolak kekerasan bersetuju dengan unsur moral yang dimaksudkan Gilligan di mana kepedulian menjadi basis konkret sebuah kehidupan sosial. Kepedulian didasarkan oleh empati, kebaikan hati, dan belas kasihan, bukan pada pengetahuan akan sebuah prinsip keadilan.

Oposisi biner yang dipaparkan di atas juga dapat dijelaskan dari kacamata Gilligan terkait epistemologi perempuan. Perbedaan non-jasmaniah antara laki-laki dan perempuan dihasilkan oleh budaya, bukan merupakan faktor bawaan. Stereotip yang muncul pada kedua gender disebabkan proses belajar sosial yang membentuk identitas gender melalui norma sosial. Identitas gender ini juga seringkali menjadi stereotip gender dalam masyarakat.

Pola pendidikan anak berperan besar dalam pembentukkan moral berdasarkan 'etika keadilan'. Kohlberg memecahnya menjadi tiga tahapan, yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Pada tahap pra-konvensional, anak-anak dididik dengan perintah dari beberapa otoritas seperti orang tua (di rumah) dan guru (di sekolah). Didikan mengarah untuk membentuk anak menjadi patuh pada norma. Kepatuhan diusahakan lewat adanya ancaman dan hukuman.

Pada tahap konvensional, individu berusaha melakukan hal-hal yang bersesuaian dengan norma. Demikian terjadi untuk menghindari ancaman dan hukuman yang terjadi pada tahap sebelumnya. Kecenderungan individu untuk membutuhkan persetujuan orang lain membuatnya beriorientasi untuk patuh hukum dan merespon tugas sebagai sebuah kewajiban terlepas dari benar salahnya tugas itu. Sedangkan pada tahap pasca-konvensional yang tidak tercapai oleh mayoritas orang dewasa. Tahapan ini  kesepahaman atas dasar kebersamaan dan kesejahteraan menjadi tuntutan nurani individu. 

Video kampanye yang menempatkan sudut pandang lain di mana laki-laki dapat berada di posisi 'korban' memperlihatkan adanya ketimpangan dan NGO ini berusaha untuk mecapai sebuah kesetaraan dalam situasi sosialnya. Dalam hal ini, kampanye #ViolanceIsViolance merupakan implementasi dari pemikiran Gilligan tentang etika kepedulian. Gilligan menyatakan bahwa perempuan tidak diciptakan inferior dalam konstruksi sosialnya. Perempuan hanya berbeda dari laki-laki, sama halnya laki-laki berbeda dari perempuan.  Untuk itu, tahapan-tahapan Kohlberg dikritik oleh Gilligan. Pada tahapan Pra-Konvensional, tujuan merupakan cara bertahan individu. Etika keadilan ke etika kepedulian mengubah keegoisan terjadi menuju tanggung jawab terhadap orang lain.

Pada tahap Konvensional, pengorbanan diri adalah sebuah kebaikan. Transisi terjadi dari anggapan 'pengorbanan' perbuatan mulia menjadi sebuah pengetahuan bahwa 'korban' adalah manusia juga sama dengan 'pelaku'. Pengorbanan yang dimaksud dalam sebuah hubungan adalah toleransi untuk mengalah dengan perilaku kekeresan terselubung pasangan. Sementara pada tahap Post-Konvensional, prinsip anti-kekerasan berarti tidak menyakiti orang lain maupun diri sendiri. Apabila dikomparasikan dalam tabel, maka perbandingan antara etika keadilan dan kepedulian akan terlihat seperti berikut:

Etika Keadilan
Etika Kepedulian
Penekanan pada 'otonomi'
Penekanan pada 'hubungan'
Pengarahan peraturan dan prinsip
Tergantung pada konteks
Fokus pada integritas
Fokus pada reaksi kepedulian

Etika kepedulian menekankan akan relasi antarmanusia. Hal ini serupa dengan tujuan kampanye #ViolanceIsViolance yang fokus pada reaksi kepedulian. Etika kepedulian adalah solusi untuk mengatasi setiap stereotip gender maupun tindak kekerasan yang mungkin terjadi lepas dari gender apapun itu. Etika kepedulian yang tidak mengarah pada peraturan dan prinsip juga mendukung teori dekonstruksi. Peraturan dan prinsip adalah bagian dari struktur dan sistem yang hendak didekonstruksi. Sementara itu, etika kepedulian menekankan pada konteks di mana adanya kemungkinan laki-laki menjadi 'korban' dalam kekerasan domestik.

Untuk menutup bab ini, penulis akan memaparkan empat tahapan etika kepedulian Gilligan. Tahapan ini dapat diimplementasikan sebagai tindak lanjut pasca-kampanye video yang tersebar di Internet. Pertama adalah moral attention, individu harus memperhatikan kompleksitas situasi dari informasi dan berbagai macam perspektif tentang isu terkait. Adanya video yang berdasar analisis statistik akurat memperlihatkan kompleksitas situasi di Britania raya, sehingga menghasilkan perspektif lain untuk masalah kekerasan domestik. Kedua adalah simpati dan kesepahaman di mana individu melihat lebih detail, bersimpati dan bersepaham dengan pihak lain. Kesepahaman dan simpati terlihat dari banyaknya viewers video ini pada media sosial baik Twitter, YouTube, tingginya rating video ini pada situs sosial seperti guardian.com, dailymail.co.uk, maupun thoughtscatalogue.com. Ketiga adalah kesadaran dalam hubungan di mana dibutuhkannya akuntanbilitas dan komunikasi yang baik. Terakhir adalah terjalinnya harmoni di mana individu merespon dengan pemahaman yang sudah diperoleh sebelumnya. Sedangkan untuk tahapan ketiga dan keempat, penulis tidak melihat signifikansi situasi sosial masyarakat yang terlihat melalui media sosial di mana kampanye itu diberlakukan.
                                                     
PENUTUP
Ketimpangan gender adalah salah satu fenomena sosial yang sering dijumpai. Hal ini membentuk persepsi masyarakat dalam sebuah konstruksi patriarkal. Dengan di dukung oleh riset yang dilakukan beberapa lembaga di Britania Raya, nosi pria cenderung menjadi 'pelaku' daripada 'korban dalam kasus kekerasan domestik pun dapat dibenarkan terjadi pada kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ini dianggap telah melesap dalam pemahaman masyarakat, sehingga perlu adanya dekonstruksi untuk membongkar nilai-nilai stereotip laki-laki dalam situasi sosialnya.

Dekonstruksi melihat isu ini dari perspektif lain. Laki-laki juga dapat menjadi 'korban' dalam kekerasan domestik, justru posisi laki-laki yang diasosiasikan dominan dan superior cenderung tidak menyadari apabila sedang berada dalam kekerasan terselubung. Passive-aggressive adalah salah satu contoh umum yang paling sering terjadi dalam kekerasan terselubung dan paling banyak dilakukan oleh  perempuan dalam sebuah hubungan. Tindakan passive-aggressive sesuai dengan asosiasi nilai budaya yang dipaparkan dalam penjelasan oposisi biner untuk menemukan pusat teks baru dalam konteks situasi sosial masyarakat.

Dekonstruksi masyarakat juga sejalan dengan pemikiran Gilligan tentang etika kepedulian. Pemikiran Gilligan juga menjelaskan visi dan misi kampanye anti-kekerasan yang dilakukan oleh ManKind Initiative di media sosial. Etika kepedulian mengedepankan hubungan antara pasangan untuk saling memahami. Gilligan menekankan untuk tidak fokus pada prinsip dan aturan jika berlawanan dengan nilai moral atau empati individu.

(Tulisan ini dibuat sebagai TUGAS AKHIR Mata Kuliah Filsafat Eropa, Kajian Wilayah Eropa Pascasarjana Universitas Indonesia)

REFERENSI
Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology (corrected edition) (Gayatri Chakravorty Spivak, penerjemah). Baltimore and London; The John Hopkins University Press. Lanham: Rowman & Littlefield.
Magniz- Suseno, Franz. 2013. "Etika Kepedulian: Kritik Terhadap Kant" dalam Seri Kuliah Filsafat Salihara (http://cdn.salihara.org/media/documents/2013/02/16/2/0/2013-02-16_-_etika_kepedulian_kritik_terhadap_kant_-_franz_magnis-suseno.pdf)
Manning, Rita. 1992. Speaking From The Heart: A Feminist Perspective On Ethics.
Mayer, Cathy. 2014. "Passive Aggressive Behaviour: A Form of Covert Abuse" dalam about.com Divorce Support (http://divorcesupport.about.com/od/abusiverelationships/a/Pass_Agg_2.htm)
Press Release kampanye #ViolanceIsViolance "Mankind Challenge Stereotypes of Domestic Abuse" dalam ManKind Initiative pada 22 Mei 2014 (http://www.mankind.org.uk/pdfs/25%20Key%20Facts_Feb%202014%20(final).pdf)
"Shocking Video Shows How Members of the Public Intervene when They See Man Attacking his girlfriend... but stand by and LAUGH when the roles are reversed" dalam dailymail.co.uk pada 25 Mei 2014 (http://www.dailymail.co.uk/news/article-2638752/Shocking-video-shows-members-public-intervene-man-attacking-girlfriend.html)
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.03 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.01 and 4.02 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.01 and 4.02 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.01 and 4.02 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.03 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.01 and 4.03 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.04 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.04 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.09 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.09 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
Parliamentary questions http://tinyurl.com/73etslm and CPS http://www.mankind.org.uk/pdfs/CPS%20Prosecutions.pdf, and ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.26 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
British Crime Survey 2008/09 Table 3.07 (page 76) - http://tinyurl.com/7u7nvm4
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 
2.05 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg
Department of Children, Society and the Family 
http://www.dcsf.gov.uk/research/data/uploadfiles/DCSF-RR128.pdf (page 26)
Partner exploitation and violence in teenage intimate relationships 2009: http://tinyurl.com/n2y2xtj
ONS BCS Focus on Violent Crime and Sexual Offences 2012/13 http://tinyurl.com/nb4xga; Table 4.03 on Appendix Table: http://tinyurl.com/qgxb7xg


Comments

Popular Posts