Antara Hari yang Bukan Rabu, Tabu, dan Kelu


Hari ini bukan hari Rabu, tapi hasrat tetap saja menggebu. Hari ini bukan Rabu Abu, tapi masih saja sama - kelabu. Sepertinya juga, tidak ada yang mengenakan baju abu-abu - mengapa lidah ini tetap kelu? Sulit untuk menolak terjaga ketika malam datang. Sama sulitnya seperti menahan laju di jalan tol, di mana menginjak rem adalah tabu. Malam selalu datang dengan cerminan nyata pendaran cahaya remang-remang lampu kuning di pojok kamar bercat biru. Tidak ada yang menyadari bahwa ada cicak mati di atas lampu itu. Lampu gaya jaman Victoria yang jadi tempat cicak meninggalkan jejak akhirnya di dunia. Wangi kamar bercat biru itu anyir. Bukan anyir darah. Tapi anyir tak ada udara. Sepertinya sudah lama kamar itu tidak dibuka pintu, jendela, maupun ventilasinya. Semuanya dibiarkan tertutup rapat dengan air conditioner yang dinyalakan terus-menerus.

Tumpukkan buku dan sepatu berada di mana-mana. Debu sudah tak usah lagi ditanya. Gambar Einstein terlihat di dinding sebelah kiri dekat lampu di mana sang cicak mati. Seluruh deskripsi ruang ini membuat Diandra papah pada memorinya sendiri. Bukan seperti itu ia mengingat malam. Bukan dalam kamar yang tanpa udara dan membuat batuknya tak berhenti seperti orang tua saja. Bukan perasaan ini juga yang seharusnya dirasakan ketika ia terjaga tiap malamnya. Ia selalu berkata bahwa iman hanya sejauh doa. Entah barisan doa yang mana, ia sudah pura-pura melupakannya. Doa menjadi suatu pembicaraan hakiki dan pribadi. Doa yang tak akan dijelaskannya di sini. Tidak untuk siapa-siapa kecuali suara di dalam kepala dan hati. Tidak pernah secarik kertas lepas dari tangannya untuk mencoba mendeskripsikan ruangan itu, namun ia selalu gagal. Kegagalan membawanya pesimis pada dirinya sendiri. Bukankah menyedihkan ketika seseorang meragukan diri? Seperti dijagal dalam wilayah sendiri.

Sulit untuk menolak terjaga ketika malam datang. Sama sulitnya dengan menyelesaikan buku yang nampak sudah tidak menarik lagi dibaca. Tapi, disitulah usahanya. Bukankah kita harus menyelesaikan setiap hal yang kita mulai. Kadang kita merasa hal itu tidak penting atau kita terlalu menyepelekan luncuran makna dalam kepangan kisah yang terputus-putus dalam kepasrahan detik yang menggelitik? Kita lupa mengapa, apa, bagaimana. Kita lupa menjabarkannya dalam tiap satuan kata tanya. Semua terasa dekat, melekat, tapi di saat bersamaan...menyayat.

Sudah hilang deskripsi tentang hal-hal sederhana yang mengingatkan pada esensi kehidupan. Semua fokus pada yang besar. Ambisi, ambisi, ambisi yang menari dalam kebohongan opini. Entah bisa apa lagi nanti tiap-tiap perangkai kata membeberkan kebenaran lewat tinta. Apa yang lebih menyedihkan perasaan berterima yang fana. Ketika terlihat tidak tertolak pada pertemuan pertama, namun kemudian berkecil hati karena terintimidasi pemikiran yang luas, pustaka yang membentang, dan kritik bagai pengeras suara? Kadang menjadi realistis adalah menelan kepahitan yang ada. Namun bukankah menelan dan diam saja  adalah dosa? Atau itu adalah partisipasi untuk mengubah segalanya dengan sangat lambat?

Toh metaforanya obat pahit juga harus ditelan agar seseorang dapat sembuh dari segala penyakitnya? Mungkin saja iya. Mungkin saja tidak. Jawaban penutup ini terasa seperti harapan palsu. Namun kembali lagi pada pengertian yang menempatkan segalanya menjadi berarti. Bahwasanya tidak ada yang palsu ketika masing-masing menyadari posisi dan diri. Kepalsuan ada ketika sesuatu atau seseorang tidak menyadari di mana dirinya dan posisinya terhadap sesuatu atau seseorang.

Tanpa kata, semuanya sia-sia.
Di sisi lain, dengan kata jua, semuanya menjadi kabur makna.
Keduanya hanya stigmata yang merengkuh diri untuk lepas dari realita.
Keduanya hanya jarak tanda agar tulisan ini dapat terbaca.
Itu saja. Cukup. Tidak lagi, untuk saat ini, deskripsi ditulis demi memuaskan perasaan diri sendiri.
Tidak. Untuk. Saat. Ini.

Cibubur, 3 Agustus 2014

Comments

Popular Posts