Before Trilogy: Boundless Ambivalence

"Love is in the talking and the walking"

Richard Linklater's Before Trilogy shows that a movie could grow a love fantasy into a meaningful, difficult, true-life love story.

I would open this writings with one particular question: "Do you believe in soulmate? It's a question that happened to be in everyone's mind in their twenties. Entah benar atau tidak, kita selalu mendefinisi dan meredefinisi cinta. Dalam prosesnya, kita tidak jarang membentuk kerangka peristiwa romansa yang terjalin dalam setiap kebetulan-kebetulan semesta.

Banyak buku serta film berusaha mengartikan cinta dan belahan jiwa. Ada yang menawarkan kisah Cinderella di mana pernikahan adalah suatu akhir bahagia atau kisah di mana salah satu pasangannya jatuh sakit kemudian mati. Dari segala kemungkinan narasi dalam film, pilihan saya jatuh pada Before Trilogy karya Richard Linklater.

Satu alasan saja, Linklater menyuguhkan hal paling nyata dari sebuah film. Kenyataan bahwa cinta, belahan jiwa, dan koneksi di antara kedua individu adalah sebuah hal nyata. Tanpa drama yang dibuat-buat atau percakapan membosankan, Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight menyuguhkan ambivalensi antara cinta dan logika, konflik, kecemasan, dan kekecewaan. Demikan layaknya sebuah realita. That's not just that, this movie also taught me about many things: travel a lot by train, engage in many conversation, discover a lover who reads, love the one who gives you that spark, commit to that one person, and enjoy your choice.

Truth to be told, kenyataan memang akan selalu sama. Bahwasanya, rasa akan selalu ada bagi mereka yang mencari makna. Mungkin ada beberapa dari kamu belum mengetahui latar belakang Linklater terkait film ini. Amy Lehrhaupt adalah nama perempuan yang menjadi inspirasi Linklater. Mereka bertemu pada musim gugur tahun 1989 dan menghabiskan waktu sedari tengah malam hingga jam enam pagi dengan berjalan-jalan, bercakap-cakap mengenai segala hal, well maybe kissing, and a little bit further than that.

Mengutip Linklater dalam wawancaranya, "I am going to make a film about this. Just this. This feeling. That thing that's going on between us."  Lehrhaupt meninggal lima tahun kemudian dalam kecelakaan motor. Hal itu terjadi lima minggu setelah Before Sunrise mulai masuk dalam proses filming. Ironic. Namun itu bagian terbaik dari film ini; menghidupkan kembali kupu-kupu di perut kita masing-masing. Linklater succeeded giving me that feeling everytime I watch those films.

Berawal dari Before Sunrise (1995), Linklater datang dengan ide paling delusional yang pernah ada. Dua orang traveller muda bertemu di kereta dari Budapest menuju Vienna. Saat itu, Jesse (Ethan Hawke) sedang membaca buku All You Need Is Love karya Klaus Kinski, sementara Céline (Julie Delpy) tengah menikmati kumpulan cerita pendek erotis karangan George Bataille. Semua nampak seperti sebuah ketidaksengajaan sampai suatu ketika keduanya merasa terhubung satu sama lain dalam percakapan pendek, lalu memutuskan untuk menghabiskan malam demi percakapan yang lebih panjang sembari menyusuri kota Vienna.

Jesse dan Céline  menanamkan ide tentang cinta romantis di mana dua remaja 23 tahun sedang mengumpulkan jejak makna dalam kebetulan yang paling tidak disengaja. Cinta dan kebebasan dalam sebuah bingkai arti. Ide tentang traveling dengan kereta di Eropa, latar dengan pemandangan indah, pertemuan dengan orang asing yang diawali dengan pertanyaan 'What book do you read?', jaminan kosong akan kejelasan hubungannya, dan kejutan seperti pertemuan dengan peramal garis tangan atau penyair jalanan.

Sembilan tahun kemudian, Linklater merilis Before Sunset (2004). Kali ini Linklater melibatkan Ethan Hawke dan Julie Delpy dalam penulisan naskahnya. The conversation becomes more witty and poignant. It just shows more the chemistry between Hawke and Delpy. Jesse dan Céline kembali bertemu ketika keduanya berumur 32 tahun. Dengan kondisi bahwa Jesse sudah menikah dan mereka tidak bertemu lagi enam bulan sesuai dengan janji sebelumnya, Jesse menulis buku tentang pengalaman satu harinya bersama Céline di Vienna untuk menemukan kembali perempuan itu. Ia percaya bahwa bukunya akan menjadi best-seller dan itu adalah jalan untuk menemukan Céline. And magically they meet again.

Dengan latar awal toko buku tua Shakespeare and Company dan keindahan kota Paris sepanjang film, bobot percakapan dalam Before Sunset berkisar pada masalah yang dihadapi keduanya serta kesalahan mereka di masa lalu. Setelah dibuai fantasi, sinisme dimunculkan melalui dialog-dialog sarat penyesalan, kecemasan dan kekecewaan seperti: "You know what? Reality and love are almost contradictory for me," "I guess when you're young, you just believe there'll be many people you'll connect with. Later in life, you realize it only happens a few times," "You can never replace anyone because everyone is made of such beautiful details," atau "What does it mean, the right man? The love of your life? The concept is absurd. The idea that we can only be complete with another person is evil!" Walaupun penuh dengan kepesimisan tentang konsep belahan jiwa, Linklater menutup film kedua dengan adegan di mana Céline menyanyikan lagu ciptaannya tentang Jesse, A Waltz For A Night. Before Sunset mempertanyakan kembali apakah penonton adalah seorang hopeless romantic atau cynic?

Berlanjut pada film ketiga, Before Midnight (2013) mengetengahkan realita dari fantasi cinta dibandingkan dua film sebelumnya. I should say this one is the most realistic of all. FIlm ini penuh dengan memori dan pengandaian masa lalu serta pertengkaran pasangan yang telah menikah sembilan tahun. Friksi dan konflik diperlihatkan sebagai gambaran nyata diperlukannya kompromi sekalipun sebuah hubungan diawali dengan roman paling picisan yang mungkin terjadi. Love is about responsibility, and it needs compromise.

Kali ini, Linklater menjatuhkan pilihannya pada kota Yunani. Céline bekerja sebagai aktivis lingkungan dan Jesse berprofesi sebagai penulis dianugerahi dua anak perempuan kembar. Things are getting more and more complicated. Sekilas topik yang dibicarakan terdengar membosankan, tapi bukankan memang terkadang realita terasa membosankan? Di antara kebosanan itu, pasangan ini membangun kemagisan di mana chemistry justru semakin nyata dalam setiap adu argumentasi.

Permasalahan datang dari masalah anak laki-laki Jesse dari pernikahan sebelumnya, kerisauan Céline, seorang aktivis, dalam keputusannya untuk bekerja di pemerintahan, serta krisis paruh baya yang ditanggapi dengan kesatiran Céline. Pertengkaran keduanya mencapai puncak ketika Céline melontarkan pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan kecemasan akan eksistensi pribadinya. Dengan kecenderungan neurotic-nya, ia menunjukkan keinginannya untuk dicintai dan menolak terdominasi oleh laki-laki secara bersamaan. Semua hanya masalah perbedaan perspektif. They might be lost in each other perception. Itulah yang membuat Before Midnight menarik.

Di antara trilogi yang membahas tentang ambivalensi cinta, film ketiga ini menawarkan jawabannya. Mungkin itulah makna sebuah perjalanan: fantasi, kebosanan, idealisme dan perjuangan dilekatkan dalam sebuah keputusan. And at its sweetest closure, you can find that Jesse's approaching Céline after their big fight. He still does it even that girl is being such a pain in the ass. Cinta dan logika tidak lagi bersifat paradoks. Sempurna bukan lagi jadi konsep ideal. Belahan jiwa adalah pilihan seseorang ketika persepsi mengenai pengorbanan menjadi berharga adanya.

Untuk menutup artikel ini, saya menyelipkan kutipan dari penulis favorit saya, Charles Bukowski: 'Find what you love and let it kill you.'  Mungkin kisah ini tidak sempurna, namun setidaknya ini nyata. That's the best part of love. The fact that they stand still together after the moment they fall out of love. Jika seseorang menolak melihatnya demi sebuah kesempurnaan, biarkanlah itu menjadi sebuah pilihan.

(Tulisan ini dipublikasikan pada NYLON bulan Februari 2015)

Comments

Popular Posts