Mengapa Kita Memilih Jatuh Cinta Pada Jiwa Daripada Raga?


"Sebab usia tak melengangkan jiwa, sungguhpun bijaksana hanya ada bagi mereka yang paham betul bagaimana menjadi tiada." (Ismoyo, Jessy)


Jam menunjukkan pukul empat pagi, namun masih banyak hal yang harus diselesaikan. Layaknya tempat dengan nestapa tak sudi tuk disinggahi, begitu pula pekerjaan. Sebuah buku menuliskan serentetan kata di mana semesta mendengar setiap jiwa, entah dalam tanya, luka, suka, maupun posisi antara. Sungguhpun setiap lenguhan ataupun dengkuran dihitung semesta sebagai timbal balik yang mampu diberikan manusia. Ada kalanya kita lupa bahwa semesta bicara di balik rintik hujan, gemiricik air, gerak stagnan awan, rotasi bumi, pantulan cahaya bintang, senyuman orang asing atau suara kertak gigi. Setiap intensi kita akan kembali pada semesta. Karena energi itu kekal, kita pun dibawanya terkadang menjadi bebal.

Semesta menanam cita, rasa, karsa dalam tiap jiwa. Jiwa-jiwa inilah yang bersemayan di tubuh kita. Jiwa terdiri dari pelbagai suara, tak hanya dari manusia saja. Namun juga dari benda seperti batu, buku, gantungan baju, gelas, jendela, pintu bahkan aspal sekalipun. Jiwa juga merupakan anyaman dari pilah-pilhan satuan kesadaran pohon dan hewan. Jelas mengapa setiap manusia mampu menempatkan dirinya menjadi benda hidup maupun mati. Jelas mengapa setiap manusia terkadang punya indera lebih seperti beberapa jenis hewan dan tanaman. Jelas juga mengapa manusia mencoba memelajari dirinya sendiri melalui semesta yang menorehkan kehidupan dari banyak makhluk. Kita kadang lupa mencermati setiap gerak, setiap energi, setiap jiwa, setiap raga, setiap fisik untuk memahami. Mungkin juga kita sadar, kita paham, kita mengerti, namun kita pura-pura tuli. Tak mendengar sekadar sedenting kabar. Semesta mengirimkan pesan setiap detik untuk bersyukur. Kita malah sibuk mempertanyakan eksistensi pencipta yang mana membuat lupa dari mana kita. Kita terlalu sibuk dengan mengapa, sehingga kata tanya lain tak jadi soal. Kita membuang energi terlalu banyak untuk sesuatu yang tak layak seperti kamuflase jiwa.

Semesta bertahan begitu lamanya, sementara kita hanya tujuh puluh tahun saja. Cukupkah waktu kita untuk menghakimi semesta yang sudah begitu tuanya? Terkadang tikus dalam tempurung pun mampu pundung mendengar kita yang begitu walahnya mencari pemahaman menyeluruh. Kita bertanya ini dan itu. Kita berusaha mempertahankan akal budi, lalu menomorduakan yang hakiki. Kita membuat diri kita merasa hebat pada sesuatu yang kita sendiri tak tahu itu apa dan untuk apa. Kita melilit diri kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan sambungan...sungguhpun tak pernah sampai ia ke jawaban. Sampai kapan?

Ada yang memilih untuk protes melalui karya, ada juga yang meyakini bahwa protes adalah bagian dari karya. Ada yang dielu-elukan karena namanya begitu luar biasa, ada juga yang kasat mata namun tindakannya sungguh menyita rasa dalam jiwa. Tidak ada waktu untuk menggugat, namun kita tak mampu untuk minggat dari semua dorongan itu. Dorongan palsu yang nampak nyata karena semua orang melakukannya. Tak henti pidato maupun khotbah beredar untuk mengingatkan kita kembali, namun kadang semua menjadi tawar makna. Untuk itu konsep doa ada, bagaimanapun bentuknya hubungan kita dengan diri kita sendiri membuka kesadaran akan sesuatu yang tak tergapai. Apa? Jiwa. Kita tak akan pernah mampu menggapai jiwa, walaupun kita pikir kita bisa. Di saat kita berpikir itu lah, kita gagal. Kita menjadi sundal logika dalam pencarian jiwa yang tak mungkin bisa. Doa adalah seruan kita pada jiwa dan pernyataan pada semesta. Ia menggerakan kosmis dalam setiap peristiwa. Tak kamu duga ada berapa seruan di semesta yang disampaikan setiap pendoa. Tak harus doa, setiap kata yang diucapkan dengan kata 'semoga' atau 'ku harap' mampu menggerakkan setiap atom dalam kosmos. Tidak lain dan tidak bukan adalah pembagi di semesta. Kita terlalu jumawa untuk percaya sistem kosmik dengan menganggapnya kebetulan belaka. Sungguhpun itu nyata, pendoa tak pernah tersungkur satu dua kali untuk hikmat serta kebijaksanaan.

Semesta dan waktu berjalan simultan. Untuk itu, waktu meneguhkan semua yang ada di semesta. Begitu pula untuk ucapan-ucapan yang diserukan pada semesta. Keinginan, harapan, kemarahan, kebencian, semuanya menguap seperti awan dan akan jatuh seperti hujan. Kadang kita alpa. Kadang kita gila. Ya. Gila. Kita seperti itu karena menganggap setiap hal berhubungan pada akhirnya. Tapi, percayalah bahwa setiap orang yang paham akan diam. Mereka akan diam dan bergerak dengan senyum. Diam mereka merupakan lunturnya kekecewaan terhadap diri mereka sendiri. Di situ mereka tenang, kedamaian melingkupi hati mereka. Ketika itulah, setiap tindakan mereka tulus. Pun segala sesuatu yang dilakukan dengan tulus, betapa kecil tindakannya, akan memengaruhi manusia lainnya. Begitu seterusnya. Semua tetua, semua yang bijaksana, semua yang telah hidup dimakan usia, pasti percaya bahwa semesta punya jalannya dan segala sesuatunya akan baik-baik saja. Legitimasi hanyalah janji hitam di atas putih. Segala yang perlu bukti, cenderung tak berani. Segala yang berjanji, cenderung mengingkari. Segala yang berusaha ditunjukkan, cenderung bersifat seperti kemaluan.

Begitu pula jiwa setiap dari kita. Kita percaya bahwa jiwa tak terlihat dan kita merasa dihubungkan satu dengan yang lain lewat jiwa. Itu kenapa mata memegang jalan pintas menuju jiwa. Retina dan pupil kita dirancang sebegitu sensitifnya sehingga sedikit cahaya saja dapat mengubah posisi otot mata kita untuk beradaptasi dan memberikan penglihatan. Hanya mata yang mampu bergerak mengirim impulsi sebegitu cepatnya pada organ lain di tubuh manusia, termasuk otak. Kita jatuh cinta dengan jiwa, bukan dengan mata. Namun beberapa dari kita menutup jejaknya hanya pada mata. Sudah cukup pada mata dan apa yang kelihatan oleh kepala. Jiwa urusan belakangan saja. Bukan menjadi suatu masalah. Kalaupun kita ingin mata dan pura-pura buta sungguh tak apa-apa. Itu kita, dan itu jangan dijadikan perkara.

Namun siapa mampu menolak ketika jiwa menggelak sebegitu hebatnya? Itu ketika kita membuka jiwa. Mencoba memahami diri kita dan menajamkan kelima indera. Di situlah, kita nantinya akan menengok ke bawah tak selalu ke atas, tak lagi merana, dan tak lagi kecewa. Karena jiwa yang menggelak tanpa selak adalah tanda semesta berbaik hati membuat kita mengerti. Ketika itu, sungguh tak ada lagi yang perlu selain keberlanjutan rasa yang sama. Kalau sudah merasa sampai di sana, selamat menjaga apa yang telah ada. Kalau kata pohon pinus yang berdesing karena angin, "Tak ada yang lebih sulit dari menjaga; karena pada saat itu kamu harus melupa dan merasa di saat yang sama."


Cibubur,
21 Maret 2015
7:55 AM


Comments

Popular Posts