Pohon Ketiga
"Aku harus lari. Aku tak mau mati di
sini," pikirku.
Tiga meter dari pintu itu, aku melihat tiga pintu
lain bersamaan dengan dua lorong. Aku harus memutuskan pintu mana yang kubuka,
namun aku takut. Dengan napas pendek, aku memilih pintu di sebelah kananku. Aku
melihat sekitar dua puluh wanita lanjut usia sedang tidur beralaskan tikar. Aku
panik. Tempat apa ini. Aku berjalan lebih cepat untuk membuka pintu lainnya.
Ada yang tidak beres dengan rumah ini, dengan ruangan-ruangan ini atau
denganku? Gagang pintu kedua kuraih perlahan. Kubuka pintunya. Aku sontak
meunutup mulut. Ruangan itu sangat gelap dan berbau. Aku dikagetkan oleh sang
Ibu yang memegang pundakku.
"Lari, Nak. Kamu harus lari. Kamu nggak
seharusnya ada di sini," ucap sang Ibu terbata-bata.
"Loh, kenapa?" Aku tidak pernah suka
diminta pergi dengan rasa takut begini.
"Nggak bisa pokoknya, Nak. Kamu nggak
seharusnya di sini. Kamu harus lari yang jauh. Pergi, nak. Pergi. Sebentar lagi
akan ada serombongan pemuda yang mengejarmu. Ingat kata Ibu, mereka akan
membunuhmu. Mereka akan membunuhmu karena kebencian yang tak terkatakan. Kamu
lari sekarang. Nggak ada waktu untuk menjelaskan dan paham semuanya. Kamu akan
mati kalau memahami semuanya sekarang dan Ibu nggak mau kamu mati. Kamu
lari!" pekik si Ibu.
Aku tak punya pilihan lain selain mengikuti saran
sang Ibu. Aku berlari mencari jalan keluar. Lucunya, kepanikanku justru membawa
langkah kakiku berjalan ke arah dapur. Aku melihat begitu banyak perempuan
tertidur di lantai beralaskan tikar.
"Ada berapa perempuan di rumah ini? 20? 30?
Apa yang mereka lakukan?"aku tidak dapat berhenti berpikir.
Mereka tertidur pulas. Aku iri. Kenapa tidak aku
saja yang tertidur begitu? Kenapa aku yang akan dibunuh? Kenapa tidak yang
lain. Tapi, aku tak punya banyak waktu merengek. Aku akan mati. Rengekan itu
kusimpan dalam hati saja sambil berlari. Aku menemukan jalan ke pintu belakang.
Perlu usaha lebih untuk membuka pintu-pintu rumah biru ini tanpa menimbulkan
suara yang dapat membangunkan seisi rumah. Pintu belakang ternyata dapat aku
buka dengan mudah. Bagian belakang rumah ini buntu, aku hanya melihat sepetak
tempat cuci dan jemuran baju. Tak ada jalan keluar. Aku berlari kembali ke
dalam, lalu kudengar suara teriakan beberapa pemuda.
"Cari dia!" suara lantang dari perempuan
pertama.
Aku tahu bahwa tak mungkin melewati pintu depan.
Aku kembali berlari ke belakang. Di saat itulah, aku bertemu kembali dengan Ibu
tadi. Aku melihatnya melambai dan berkata: "Hati-hati, Nak. Semoga kamu
selamat."
Ingin aku menangis rasanya. Aku tidak mau sendirian
begini lari menyelamatkan diri. Tidak begini. Aku takut.
Aku kembali ke ruang cuci. Ruangan itu dikelilingi
tembok sekitar dua meter tingginya. Tembok sebelah kanan berbatasan langsung
dengan rumah yang lebih tinggi. Aku memanjat tembok itu. Beberapa ember aku
tumpuk di atas kursi untuk bisa memanjatnya. Aku menunduk dan merayap di atap
setinggi tujuh meter itu. Aku melihat ada cahaya obor. Tidak satu. Dua. Tiga.
Lima. Tujuh. Sepuluh. Lima belas. Tak tahan aku ingin menangis. Tapi, rasa
penasaran mengalahkan rasa takutku. Aku mencoba mencaritahu darimana cahaya itu
berasal.
"Perempuan itu tidak mungkin lari jauh,"
kata laki-laki pertama.
"Betul. Tak usah serius-serius
mencarinya," laki-laki kedua menimpali.
"Ia akan sama saja seperti yang lainnya.
Sejauh-jauhnya ia lari, paling hanya sampai batas pohon besar desa kita,"
suara laki-laki ketiga terdengar agak samar.
Aku masih bingung. Kenapa mereka mencariku? Kenapa
aku harus lari? Aku bergerak menjauh dari kerumunan itu sambil berharap ada
orang yang bisa aku tanyai soal ketidakjelasan ini. Aku tak suka berlari
menjauh dari apa yang aku tahu. Aku melihat ke kiri dan kanan, tak ada satupun
tanda kehidupan perempuan yang bangun. Semua laki-laki memegang obor, yang
harus kukatakan bahwa mereka mencariku. Mungkin mereka ingin membunuhku.
Kemudian cahaya obor itu menjauh. Semuanya menggelap. Entah rombongan laki-laki
itu pergi atau aku yang terlelap karena kelelahan.
Dari semua jenis bangun dari tidur. Terbangun
dengan rasa kaget menelungkupimu adalah tipikal yang paling kubenci. Dan dalam
situasi genting seperti ini, aku harus terbangun kaget. Kepalaku berat dan aku
terhuyung jatuh. Satu hal aneh yang kusadari. Aku bukan lagi di atas atap.
Tidak ada genting berwarna bata di sekitarku. Aku berada di sebuah kebun raya.
Kupikir tadinya ini adalah Kebun Raya Bogor, tapi bukan. Warnanya abu-abu
seperti gambar yang kau kurangi saturation-nya.
Aku tidak memahami alasannya aku ada di sana.
Ada tiga pohon besar di dekatku. Kurasa usianya
ratusan tahun atau lebih. Aku tak pandai menerka. Aku masih ling lung. Tak
mengerti kenapa aku di sini. Nampaknya waktu tak memberikan celah, suara
kerumunan laki-laki dan obor mereka terdengar dari kejauhan. Mereka mengejarku.
Aku harus sembunyi. Sembari menahan isak tangis, aku mencari tempat
persembunyian. Aku kesal dan ingin marah pada orang lain. Tak seharusnya aku di
sini. Kenyataan bahwa aku tak bisa memanjat pohon mengesalkan lebih dari
sebelumnya.
Aku sungguh tak tahu harus berbuat apa dan
ketidaktahuan ini meradang dalam kepalaku yang berdenyut-denyut. Suara itu
semakin mendekat. Waktuku menipis. Kepalaku berdenyut semakin kencang dan aku
tak berhenti menyalahkan orang lain. Entah siapa yang aku salahkan. Aku tak
pernah tahu. Aku mengutuk langit, rumput, pohon, bahkan diriku sendiri yang
terbangun pada tempat ini. Tiga pohon besar yang tidak memungkinkanku
bersembunyi.
Aku berlari dari pohon satu ke pohon lainnya.
Mencari celah yang mungkin bisa aku masuki. Suara itu semakin mendekat. Aku
tidak punya banyak waktu. Aku akan mati. Mereka akan membunuhku. Kumpulan
laki-laki itu akan menempatkan aku pada sebuah rumah kosong dan mereka akan
membunuhku. Aku tidak pernah tahu darimana pikiran itu, tapi aku yakin bahwa
mereka akan menyiksaku perlahan. Aku menyerah. Aku duduk, menangis, terjembab
di tanah. Aku menangis sejadinya. Air mataku jatuh begitu saja. Aku berusaha
menahan isakan karena suaranya akan menarik perhatian kumpulan laki-laki itu.
Aku membiarkan diriku teronggok bak daun yang jatuh dari salah satu pohon besar
itu.
Kemudian, angin semilir. Aku bisa merasakan air
mata yang bergerak naik akibat angin. Aku tersedak. Suara itu seperti di
belakangku. Cahaya obor juga sudah terlihat beberapa meter dari pohon ketiga.
Aku memohon. Permohonan singkat.
"Beri aku celah lagi untuk bersembunyi,"
pintaku.
Di situlah aku menemukan lagi kekuatanku untuk
berdiri. Aku kembali meneliti jengkal demi jengkal tiga pohon besar yang ada di
hadapanku. Pohon pertama berdiri dengan kokohnya. Banyak luka di batangn pohon
bekas tulisan orang-orang yang meninggalkan jejak keberadaannya di sana. Tak
mungkin kupanjat pohon pertama. Daunnya tak rimbun, orang akan lebih mudah
melihatku.
Aku beralih pada pohon kedua. Sebelumnya,
pandanganku tertuju pada pohon ketiga. Pohon itu ringkih. Tua sekali. Tak
berdaun dan hampir mati. Tak mungkin ada celah bersembunyi di sana. Pohon kedua
mungkin untuk dipanjat. Daunnya lebat. batangnya kokoh, bahkan akarnya menonjol
ke permukaan tanah. Aku mungkin bisa sembunyi di sana. Aku sudah menyelipkan
diriku diantara akarnya dan menutupi badanku dengan kumpulan daun kering.
"Cari di antara pohon-pohon. Ia pasti tak jauh
dari situ," teriak laki-laki dalam kumpulan.
Aku ingat aku menangis lebih kencang lagi. Aku tahu
aku tak mungkin sembunyi di situ. Telentang di antara akar pohon kedua akan
membuatku ditemukan oleh kumpulan laki-laki itu. Hanya butuh sejam bagi mereka
untuk melihat perempuan bodoh menutupi dirinya dengan dedaunan kering.
Aku bangun dengan sigap menuju pohon ketiga sambil
memohon pada pohon itu.
"Beri aku celah di batangmu untuk aku
bersembunyi. Aku tak mau mereka menemukanku. Aku tak mau mati," pintaku
dalam hati.
Mungkin ini mimpi. Pada pohon ketiga, aku menemukan
celah pada batangnya. Tanpa pikir panjang, aku menyelipkan tubuhku di sana. Aku
memaksa bahuku yang bidang agar masuk ke dalam batang itu. Sepuluh menit
kemudian, kumpulan laki-laki itu memeriksa pohon pertama. Pohon kedua.
Aku menangis. Aku menutup mulutku agar suara
tangisku tak terdengar. Mataku berair dan tak mampu kuseka air matanya.
Pandanganku kabur. Aku hanya bisa melihat cahaya obor bolak-balik di depanku.
Kakiku gemetar. Udara dingin menusuk tulangku. Jantungku berdebar.
"Tak bisakah aku mati saja?" pikirku.
Sejam berlalu. Kumpulan itu duduk-duduk di situ
masih sambil mencari setiap pohon. Mereka mencariku. Begitu relanya mereka
menghabiskan waktu mencari satu perempuan di dini hari.
"Dia tidak ada di sini," ucap seorang
laki-laki di kerumunan.
"Iya, dia mungkin berlari masuk ke
hutan," balas laki-laki lainnya.
"Kita cari dia lagi besok. Tak mungkin ia bisa
berlari jauh. Cukup pencarian kita untuk hari ini," perintah laki-laki
ketiga yang kutebak sebagai pemimpinnya.
Aku bisa sedikit tenang. Mereka memutuskan untuk
pergi. Aku bisa lari sehabis ini. Rasa terima kasih tak hentinya aku sampaikan
dalam hati. Aku bisa selamat dari kumpulan laki-laki ini. Di kepalaku, aku lega
sekali. Aku sudah merencanakan untuk lari ke hutan, mengumpulkan makanan, dan
membuat kemah kecil di dekat danau yang tidak diketahui kebanyakan laki-laki
yang mengejarku. Aku tersenyum dalam tidurku di antara celah pohon ketiga.
Aku teringat aku tidur pulas. Aku tidur dalam
bahagia. Aku terbangun pun tanpa rasa kaget dan masih berada di tempat yang
sama. Aku masih berada di celah pohon ketiga. Bedanya, aku tak bisa
menggerakkan diriku. Setiap hela nafas yang kutarik dan kulepaskan membuat
pohon ini bergerak. Namun aku tak bisa keluar menjauh. Kepanikan menyergapiku.
Ada yang salah dengan tubuhku. Aku tak bisa bergerak! itu yang salah. Kupikir
itu saja yang salah. Tidak hanya itu. Aku bisa merasakan sesuatu yang lain
dalam tubuhku menjauh. Aku menjauh. Aku menjauh dari tubuhku. Aku kembali ingin
menangis, tapi kali ini aku tak bisa menangis. Aku berusaha lebih keras untuk
menangis dan teriak, tapi gagal. Aku tak bisa. Gerak tubuhku di luar kontrol.
Tangis dan suaraku sendiripun lumat dihabisi angin sayu.
Kemudian, aku harus terkejut. Ini jenis bangun yang
tak pernah kuharapkan. Aku semakin tak mengerti. Aku melihat tubuhku menyatu
dengan pohon ketiga. Aku melihat 'aku' di dalam pohon itu. Dan aku yang
sekarang berdiri menatap nanar diriku sendiri. Aku sungguh tak mengerti. Satu
yang aku sadari. Di detik aku melihat tubuhku sendiri. Aku tahu, aku bermimpi.
Dan aku sadar betul ini mimpi. Kusangsikan ketakutanku akan hilang begitu aku
bangun. Sekarang, aku bangun. Aku sudah tidak di mimpi, tapi rasa itu
menghinggapi tanpa kendali. Sama seperti di mimpi. Aku menangis ketakutan, tapi
tetap isakan saja tak mampu kurengkuhkan.
Comments
Post a Comment