Supernova
Sebagai pembaca secara umum, saya selalu
menyelipkan alasan dalam setiap buku yang akan saya baca. Sebagai pembaca Dee,
alasan itu berlipat ganda pada setiap bukunya. Jujur saja, Supernova adalah buku yang saya hindari selama beberapa tahun ini.
Sejak duduk di bangku SMA, buku itu sudah merajalela di kalangan teman-teman
saya. Mereka membacanya dengan lahap sama seperti buku Harry Potter. Sementara itu, saya mengelak jauh. Saya memilih Filosofi Kopi sebagai buku pertama Dee
yang saya dalami. Pilihan saya tidak salah. Filosofi
Kopi membuat saya jatuh cinta dengan setiap kata indahnya. Saat membaca
prakatanya, tak heran karena Dee terinspirasi dengan Sapardi Djoko Damono. Saya
melihat rekam jejak beliau dalam karyanya, yang mana bagus karena meninggalkan
rasa serupa. Setelah Filosofi Kopi,
saya terus mengelak dari Supernova. Saya bertengger pada Perahu Kertas, Madre, dan
Rectoverso. Namun saya merasa penulisan Dee tidak lagi meninggalkan kejutan
seperti saat saya membaca Filosofi Kopi.
Saat itu, saya memutuskan membaca Filosofi
Kopi setiap rindu dengan hangatnya diksi seorang Dee.
Akhirnya, datanglah waktu itu. Waktu di
mana semesta mengarahkan saya untuk membaca Supernova. 2015. Tahun itu saya
tandai betul di kepala saya. Pada suatu malam di bilangan Kemang, dalam
percakapan warung kopi, teman saya berkata, "Sudah membaca
Supernova?" sontak saya menjawab, "Belum siap. Belum ada alasan kuat
bagi saya untuk membacanya." Teman saya kembali bertanya,
"Kenapa?" Saya menjawab dengan antusias, "Jadi begini, menurut
saya, kita sebagai pembaca punya bagasi sendiri di dalam kepala kita.
Pengetahuan ini akan memudahkan kita memahami konteks yang dipaparkan penulis.
Saya merasa bagasi saya belum cukup untuk membaca Supernova. Saya percaya pada Dee dan saya tidak mau hanya karena
bagasi saya yang belum cukup, kemudian saya tidak memahami apa yang coba
disampaikannya dalam Supernova. Buku
bagus harus dibaca di saat yang tepat." Teman saya tersenyum, sembari menyalakan
sebatang rokok, ia berkata dengan nada rendah, "Kamu akan jatuh cinta pada
Supernova. Percaya pada saya.
Mulailah dari Partikel. Kamu akan
melihat betapa jeniusnya seorang Dewi Lestari dalam proses penulisannya. Ia
berkembang dari satu buku ke buku selanjutnya. Ide yang ditawarkannya orisinil,
tidak pernah ditawarkan oleh penulis dalam negeri lainnya. Masalah bagasi, saya
rasa kamu siap."
Setelah malam itu, anggapan saya pada
Supernova sedikit-sedikit bergeser. Waktu delapan tahun menunda saya rasa
cukup. Itu adalah waktu yang lama dalam pemenuhan bagasi saya untuk membaca
Supernova. Saya rasa saya sudah cukup bijak untuk tidak menghakimi Dee dalam
setiap ide delusionalnya. Saya rasa saya sudah cukup kritis untuk mencari 'Apa
yang sebenarnya coba Dee sampaikan', saya rasa saya juga sudah cukup tahu diri
dan menjadi penikmat Supernova layaknya pembaca lainnya. Tidak lama setelah
itu, saya meminjam buku Partikel milik laki-laki saya. Keputusan benar
nampaknya. Rasa yang sama persis sesaat saya membaca Filosofi Kopi, saya rasakan lagi. Kejutan ketika kita membaca buku.
Partikel mendatangkannya lagi pada pengalaman membaca saya.
Saya beringsut. Partikel mencacah jiwa
saya. Tokoh Zahra menghadirkan penolakan nyata pada konsep konvensional. Saya
mencium bau 'obsesi' dari awal membuka halaman buku ini. Didikan ayahnya
mengantarkan Zahra menjadi perempuan kritis — kegilaan ayahnya pada fungi menjadikannya 'gila' oleh
pandangan masyarakat. Dee sukses mengarahkan pembaca akan konsep normal dan
ketidaknormalan. Wacana yang selalu saya sukai. Kepintaran di atas rata-rata
menjadi bumerang bagi Zahra di lingkungannya. Saya terkesima dengan fakta-fakta
mengenai fungi di muka bumi. Ide gila tentang konsep makhluk lain selain
manusia. Cetusan soal kemampuan manusia masuk ke dirinya sendiri melalui jamur
untuk menyeberangi portal kesadarannya. Untuk ide-ide itu yang tertuang di
dalam cerita, saya angkat topi untuk Dee. Ini kali pertama saya membaca karya
seorang penulis Indonesia yang cukup apik menuangkannya dalam novel.
Pembaca, saya untuk lebih spesifiknya, dibuat
merasakan konflik internal Zahra di keluarga dan lingkungan sosialnya di mana
berlaku pula norma yang sama. Penolakan akan sistem umum membuat kita
tersisihkan dan tidak lain menimbulkan asumsi buruk atau mistis apabila hal
buruk menimpa kita. Dalam Partikel, obsesi akan aturan sekolah konvensional dan
agama dibawa ke permukaan. Zahra adalah contoh nyata dari pembangkangan sistem,
hasil obsesi ayahnya. Tidak menggantung pembaca dengan jalur di luar sistem,
lewat Zahra, saya dituntun untuk memahami bahwa berada di luar 'kenormalan'
membutuhkan energi dua kali lipat. Zahra bekerja keras untuk menghidupi dirinya
sendiri. Zahra belajar lebih dari anak-anak seusianya. Belajar bukan dalam
konteks akademis, tapi dalam konteks sosial. Ia harus 'memahami' bahwa banyak
nilai-nilai sosial yang mengharuskan kita 'diam' sebagai tanda 'menghormati'.
Zahra harus belajar banyak untuk tidak mempertanyakan sesuatu seperti tuhan dan
ketuhanan atau aturan yang sudah rigid di masyarakat. Zahra membuka lagi
kesadaran saya akan hal ini.
Efek Partikel
untuk saya begitu dalamnya. Tidak hanya sekadar seorang perempuan yang
mempertanyakan tuhan bukan karena ia tidak percaya atau ateis, tapi hanya
sekadar bertanya tanpa harus terjerat dengan penghakiman publik. Partikel bukan hanya perihal seorang
perempuan yang memutuskan untuk pergi begitu saja ke Kalimantan untuk menjadi
relawan Orang Utan. Bagaimana keberaniannya memberikan begitu banyak
kebijaksanaan dan cerita untuk disampaikan. Hidup adalah tentang mengambil
risiko, pengorbanan, prioritas, aktualisasi diri, ini jalan Zahra. Saya
diajarkan untuk memahami jalan saya sendiri. Zahra memberanikan dirinya tinggal
di Kalimantan, kemudian memberikannya kesempatan pergi ke UK untuk menjadi
fotografer alam liar. Saya suka bagaimana kebetulan kosmis hadir dalam hidup
Zahra. Semua karena rasa ingin tahu, ketekunan, dan kerja keras perempuan itu
untuk mencari ayahnya.
Saya suka apa yang coba Dee sampaikan di sini. Nilai
keluarga yang kuat. Hubungan anak dan Ayah yang sangat dalam terlepas dari dari
logika cerita, kausalitas plot, atau teknik menulis. Sejauh ini, Partikel
memang kepingan Supernova favorit
saya. Saya menikmati proses membacanya. Saya mencatat banyak sekali kutipan
yang disematkan Dee dalam setiap penceritaannya. Bagaimana Dee menyentil dengan
halus humanitas manusia pada setiap konsep. Saya akui saya jatuh cinta lagi
pada karya Dee setelah Filosofi Kopi
dan pilihan saya menunggu delapan tahun berujung pada salah satu pengalaman
membaca paling indah yang pernah saya alami.
“Kita, manusia, adalah virus terjahat yang
pernah ada di muka bumi. Suatu saat nanti, orang-orang akan berusaha
mayakinkanmu bahwa manusia adalah bukti kesuksesan evolusi. Ingat baik-baik,
Zarah. Mereka salah besar. Kita adalah kutukan bagi bumi ini. Bukan karena
manusia pada dasarnya jahat, melainkan karena hampir semua manusia hidup dalam
mimpi. Mereka pikir mereka terjaga, padahal tidak. Manusia adalah spesies yang
paling berbahaya karena ketidaksadaran mereka.” (hal.71)
“Semua pertanyaan selalu berpasangan dengan
jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu.” (hal. 69)
Tidak berhenti di situ, obsesi saya akan
Supernova menjadi. Tidak beberapa lama dari Partikel — laki-laki saya datang dan membawakan Akar untuk saya baca. Kali ini saya
tidak perlu menunggu lama untuk membacanya. Buku ini membawa saya dalam
perjalanan gila Bodhi Liong. Kesejatian hidup, itulah tema yang ditawarkan Dee
dalam Akar. Pemilihan buku kedua
Supernova terjadi lebih pada ketidaksengajaan dan peristiwa ini ternyata
berujung manis. Keterikatan saya dengan tema Akar membawa setiap isu Bodhi menjadi personal. Bahwasanya,
kesejatian hidup ada pada setiap kerikil yang terinjak saat menyusuri jalan
kehidupan. Bahwasanya, kesejatian hidup ada pada selembar daun kering yang
gugur. Bahwasanya, kesejatian hidup ada di manapun kita menjejakan kaki. Semua
hanya masalah bagaimana kita memberi nilai besar pada hal-hal kecil yang luput
dari pandangan mata.
Bodhi hadir di sini untuk mencari kesejatian,
pemurnian bathin, pemenuhan dirinya. Laki-laki ini mengisi hidupnya dengan
pengalaman di luar kepala. Dee kali ini meracuni saya untuk menjadi backpackers dan menelusuri Thailand,
Laos, hingga Kamboja, tinggal di hostel dengan
pengelana-pengelana berjiwa bebas dengan cerita yang membuka cara pandang
terhadap hidup ini. Bagaimana akhirnya Bodhi menjadi seniman tattoo, bekerja di ladang ganja,
kemudian menjadi penjinak bom yang membawanya pada pengalaman seksual bersama
perempuan bernama Ishtar Summer, dan
alunan Alan Parson Project - Eye in the
Sky mengiringi pembacaan saya akan Akar.
Dengan selipan cerita Gio yang bertemu Chaska di Bolivia seiring usahanya ke
Amazon mencari Diva. Meskipun saya merasakan keanehan akan potongan cerita Gio,
saya yakin Dee meletakannya di sana untuk suatu rencana yang baik.
Saya merasa bahwa perjalanan Bodhi merujuk pada
setiap keputusan yang dibuatnya. Tanda-tanda yang ditinggalkan baik setiap
tempat yang dikunjungi, setiap orang yang ditemui, cerita yang dituturkan,
membentuknya menjadi seorang pribadi utuh. Kemudian, mengarahkannya pada tujuan
yang lebih besar. Mengutip yang dikatakan Kell, tujuannya adalah untuk
menemukan Bodhi saja. Sesederhana itu hingga saatnya ia dapat pergi dengan
tenang. Akar memang tidak lebih
menggetarkan dari Partikel, namun
buku ini mampu membangkitkan kembali kepercayaan saya akan sesuatu, yaitu: pertemuan
orang baru akan menghasilkan cerita yang penting. Semakin lama saya hidup,
semakin saya menyadari bahwa kungkungan waktu, tempat, dan orang yang itu-itu
saja membuat cara pandang saya terbatas. Ada sesuatu yang lebih harus dilihat
dan harus dilakukan. Panggilan-panggilan seperti itu nyata, hanya saja kita
harus melihat lebih teliti akan tanda-tanda. Akar menjelaskan lagi pada saya soal itu, sejatinya manusia harus
punya arti bagi manusia lain.
Sekitar dua bulan kemudian, saya tidak tahan
untuk tidak membaca Gelombang.
Awalnya, saya sudah memutuskan akan membaca Petir
setelah Akar. Namun semesta
berkata lain. Saya bertemu teman saya, kali ini teman yang berbeda, tapi masih
dalam bingkai percakapan warung kopi. Saya menceritakan pengalaman 'aneh' saya
belakangan itu. Bagaimana kebetulan semesta datang pada saya lewat mimpi, kartu
tarot, pertemuan dengan orang yang merasa telah mengenal kita untuk waktu lama,
atau hal seperti dimensi-dimensi magis yang sebagian orang tidak percaya. Saya
selalu dihantui mimpi yang sama. Tempat yang sama, lingkar waktu yang sama,
orang yang berbeda. Pengetahuan saya akan mimpi tidak sebaik itu. Pun saya
mencoba mengandalkan teknologi, saya tidak pernah puas akan raungan suara di
tiap mimpi saya. Gangguan pola tidur yang saya alami pun tidak dapat dikatakan
insomnia. Saya selalu tidur cukup. Ini jelas bukan masalah insomnia, tapi mimpi
itu selalu ada. Orang mengatakannya high
level anxiety, tapi itupun tidak menjawab persoalan saya.
Tidak hanya mimpi, semesta akhir-akhir itu
mengarahkan saya pada cerita dalam lingkar relasi saya yang boleh saya katakan magical. Beberapa waktu sebelum saya
bertemu dengan teman saya ini, saya menyempatkan diri untuk bertukar cerita
dengan teman saya yang lain. Di kesempatan itu, ia bercerita tentang keputusan
besar yang diambilnya. Bagaimana keputusan itu membuatnya bahagia konstan
mengagetkan saya. "Ternyata keberanian tokoh fiksi dapat saya temukan di
dunia nyata dan itu adalah teman saya," begitu pikir saya. Ceritanya soal
reinkarnasi, bagian jiwa yang bersemayam dalam fisik manusia, mimpi, dan tujuan
hidup. Ketika saya mendengar ceritanya, saya seperti dihisap masuk dalam cerita
Supernova. Is that really happening? Semua
memang kembali ke keyakinan kita masing-masing. Saya, sebagai orang yang
menghargai semua kemungkinan yang ada, sangat terkesima mendengarkan cerita
itu. Bayangkan, tubuh kita saat ini adalah jiwa-jiwa tua di kehidupan
sebelumnya. Kita bisa saja bukan manusia, tapi tumbuhan, elf, protozoa, atau makhluk yang bahkan belum kita ketahui
eksistensinya kini.
Saya selalu dihadapkan dengan kebetulan indah
dalam hidup saya, dalam titik ini saya bersyukur, sehingga banyak sekali cerita
yang dapat saya bagikan. Ketika saya mendengar cerita itu, saya tidak sengaja
mencari fakta tentang beberapa cerita dalam dunia game, mitologi kuno, politeisme, semuanya memiliki akar budaya
serupa. Cerita itu seperti berulang, hingga saya menyimpulkan mungkin saja
konsep itu ada benarnya. Bagaimana mimpi sebenarnya adalah potongan terlupa
dari ingatan kehidupan kita sebelum reinkarnasi. I know, in this moment, I sound like a delusional person, a crazy whose
mind is fuckloaded with shit thoughts. Ini menjadi menarik untuk disimak.
Bahwasanya, nilai moral yang diajarkan dari mitologi kuno, cerita rakyat,
sampai novel moderen akan selalu berulang. Human
always changes yet humanity still where it is. Tidak hanya itu, kebetulan
mengarahkan saya pada konsep moon child di
mana setiap individu memiliki tujuan lebih di dunia ini. Tujuan yang
memberatkan hidup mereka karena mereka melihat yang tidak dilihat orang
kebayakan, mereka merasakan yang tidak dirasakan orang lain, indra mereka lebih
sensitif dari orang 'normal'. Setiap moon
child memiliki radar satu sama lain, tidak heran apabila satu moon child akan menyadari kehadiran moon child lainnya. It's like you know them for the rest of your life. That explains all the connection in
Supernova, don't you think?
Setelah menceritakan kegilaan itu, kemudian
teman saya dengan celetukan renyahnya mengatakan: "Jes, coba baca Gelombang. Gue yakin lo akan jatuh
cinta. Sama seperti lo jatuh cinta pada Partikel."
I should thank Alexander for all that!
He's right. Gelombang membuat saya diam. Saya habiskan buku itu dalam
sehari tanpa henti. Saya ingat terakhir kali saya menjadi pembaca eksesif
seperti ini adalah saat umur 15 tahun ketika berkutat dengan Harry Potter. Saat
halaman terakhir saya menutup Gelombang, saya
tidak berhenti berterimakasih karena saya membaca buku ini pada saat yang
tepat. Fiksi mungkin memang pelarian saya, tapi pelarian satu ini terjadi
begitu manis. Saya tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana penjelasan-penjelasan akan mimpi punya perspektif lain untuk
dikonsumsi. Saya menggolongkan Alfa sebagai seorang moon child. Berdasarkan ceritanya, tidak heran itu terjadi di
Nusantara, bagaimana seorang anak terpilih memiliki garis leluhur penjaga. Kali
ini, Dee dengan tepat memilih kepercayaan Batak dalam penceritaannya. Alfa
jelas berbeda, seperti tokoh utama dalam Supernova lainnya. Ia begitu suka menyendiri,
membenamkan dirinya dengan buku Kho Ping
Hoo atau bermain TTS. Ia dewasa sebelum waktunya. Kesadarannya akan
tanggungjawab, keberaniannya, dan sensitivitasnya melebihi anak-anak pada
usianya. Jelas itu terjadi akibat pengalamannya secara spiritual maupun fisik
juga lebih keras. Ingat adegan di mana ia coba dibunuh oleh tetua kampungnya.
Di situ Dee melihat celah, ia mengembangkan ceritanya ke arah Oneironaut dan Dreamescapist, orang-orang yang memiliki kemampuan menggali alam
bawah sadarnya. Menurut saya, kemampuan menjalin setiap kausalitas dengan
melihat potensi cerita seperti itu adalah kejeniusan tersendiri. Perlu riset
yang dalam untuk menghidupkan tokoh seperti Alfa.
Lupakan masuk akalnya Alfa mampu mengeyam
pendidikan di Cornell atau bekerja di Wall Street, padahal statusnya adalah
imigran gelap. Daripada fokus ke logika cerita, saya lebih suka melihat
bagaimana Dee menjabarkan pengalaman Alfa yang menghindari tidur. Itu
membuatnya menjadi pekerja keras. Ia bekerja dua kali lipat dari orang lain. Saya
tersenyum simpul karena kepala saya secara otomatis menangkap nilai moral
berharga dari sana, kesuksesan datang dari mereka yang bekerja keras,
kebijaksanaan datang dari mereka yang melihat banyak, dan kebanyakan orang
pintar cenderung memilih bekerja sendirian. Kehidupan Alfa memperlihatkan
bagaimana kegigihan dirinya membawa keluarganya untuk hidup yang lebih baik.
Saya melihat lagi nilai keluarga yang cukup kuat dalam novel ini. Khas budaya
Timur di mana keluarga menjadi pusat kehidupan. Bukan saja keluarga kecil, tapi
dari generasi ke generasi. Ikatan inilah yang diangkat Dee ke permukaan lewat
tokoh Alfa.
Saya juga mengagumi teknik Dee memaparkan
keberadaan Dr. Nicky dan Dr. Colin dari klinik gangguan tidur Somniverse, dan perjalanannya ke Tibet.
Semua terasa sangat rapih. Ada dua sisi pendapat layaknya mata uang berlawanan
untuk ini. Di satu sisi, kerapihan menimbulkan kebosanan dan alur yang
tertebak. Di sisi lain, saya menghargai yang dipaparkan penulis untuk menjelaskan
lokasi, waktu, alur dan pengaluran dalam bingkai yang lebih apik. Mungkin itu
pula yang menyebabkan saya lebih cepat membacanya ketimbang buku Supernova
lainnya. Selain itu, saya tercengang dengan buku Milem Bardo dan eksistensi Dr. Kalden Sakya.
Saya lantas mencarinya di internet dan yang
saya temukan adalah buku The Life of the
great Mahasiddha Virupa karya penulis yang sama. Itulah kehebatan fiksi,
pembaca dapat dibuat mempertanyakan batas tipis realita cerita. Buku itu dijual
seharga $ 9.95 di toko buku online. Jauh dari batas konvensional, buku itu
persis mengisahkan kehidupan seorang biksu yang melakukan meditasi sepanjang
hidupnya karena diganggu serangkaian mimpi buruk. Sesuai instruksi
spiritualnya, ia akhirnya sampai pada ketenangan diri dengan kekuatan spiritual
yang melindunginya dari 'hal jahat'. Buku ini memaparkan Tradisi Sakyapa dari Tibetan Buddhism. Pengetahuan baru yang
tertuang indah dalam Gelombang, I must
say. Menariknya, Dr. Sakya menulis buku ini untuk anak perempuannya sebagai
petunjuk dalam menjalani hidup. God, I
learned a lot from Gelombang.
Sisanya, saya masih ditinggalkan dengan tanda
tanya. Konsep Harbinger, Infiltrant, dan
Sarvara. Adanya Asko, Antarabhava, dan Bumi. Konsep Buddhism yang kental membawa saya ke pencarian lebih jauh mengenai
reinkarnasi, Antarabhava sebagai
perantara fase hidup dan mati, jenis-jenis meditasi, delapan etika Buddha, dan
jalan kebaikan. Boleh jadi, Dee menawarkan hal baru pada saya, sebuah
sistematika yang menarik untuk ditilik. Sulit untuk merangkum enam halaman
tulisan saya pada sebuah penutup karena Supernova belum boleh ditutup dengan
sebuah kesimpulan. Saya hanya mampu mengakhiri tulisan ini dengan keinginan
untuk membaca Petir dan Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sembari
menunggu rampungnya Intelegensia Embun
Pagi. Satu yang mampu saya katakan, Dee menarik saya lebih jauh dalam
setiap konsep pengetahuan yang ditawarkannya dalam Supernova ketimbang cerita
itu sendiri dalam entitasnya sebagai novel. Now,
I really have a lot of questions in mind related all those things. For that, I
congratulate her for being a very good author.
Tautan tambahan:
http://www.buddhanet.net/e-learning/budethics.htm
http://jayarava.blogspot.com/2014/07/the-antarabhava-or-interim-state-as.html
https://alkupra.wordpress.com/2014/10/23/book-club-gelombang-kepingan-terbaru-saga-supernova/
Comments
Post a Comment