Museum Rally bersama Anak-anak Rumah Pintar Ciangsana








Seminggu setelah perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia, saya dan beberapa teman memutuskan untuk mengajak anak-anak Rumah Pintar Ciangsana berjalan-jalan ke Kawasan Kota Tua. Ide ini sebenarnya sudah ada sejak setahun lalu, namun karena satu dan lain hal harus tertunda lama hingga sebulan lalu dapat terlaksana. Ada beberapa hal menarik yang ingin saya bagi dalam merancang program jalan-jalan ini. Tujuan kegiatan ini sebenarnya adalah mengajak anak-anak untuk mengunjungi museum. Setidaknya akan lekat di ingatan mereka pernah pergi ke kawasan Kota Tua dan mengetahui sedikit banyak soal sejarah. Sesederhana itu saja, tanpa ada tujuan lebih. Bonusnya kalau memang anak-anak tertarik untuk belajar lebih dalam soal sejarah. Itu soal lain lagi.

Dengan mengajak beberapa teman, akhirnya saya berhasil mengajak 10 orang untuk bergabung bersama saya menjadi kakak relawan. Tugas mereka adalah mendampingi anak-anak selama perjalanan di kawasan Kota Tua. Dana dari kegiatan ini saya dapat dari kegiatan kepemudaan gereja atau yang dikenal dengan PELKES (Pelayanan dan Kesaksian). Tujuannya untuk berbagi. Karena kami diajarkan untuk menjadi berkat untuk sesama, untuk itulah kami diharuskan untuk berbagi kebahagiaan. Reaksi yang saya dapatkan bermacam-macam, dari anak-anak yang tidak diijinkan karena khawatir akan keselamatan anaknya, sampai ke seorang nenek yang secara pribadi berterimakasih pada saya. Saya masih ingat betul perkataannya. "Makasi ya, Dik. Makasi sudah ajak cucu saya jalan-jalan ke museum daripada dia main terus. Semoga dia jadi anak pinter." Sesederhana itu saja. Saya tersenyum dan balik mengatakan pada sang nenek, "Saya yang harusnya makasi, Bu. Cucunya sudah boleh diajak main jauh-jauh sama kami. Kami seneng sekali."

Saya sengaja menuliskan pengalaman ini di blog dalam rentang waktu yang lama. Seperti biasa, saya ingin membiarkan kenangannya meresap agak lama dan terdistorsi dengan memori saya. Sehingga, peristiwa yang saya ingat dapat diam lama dan dituliskan dengan indah. Semoga saja, tulisan ini memang tertuang dengan indah. Kami pergi bersama 15 anak-anak yang terbagi atas 4 kelompok. Sehari sebelumnya, saya bertandang ke RPC untuk membagikan beberapa kaos peserta. Saya ingat betul ada dua anak yang tidak boleh pergi karena ada lomba 17-an di sekolahnya, sebut saja namanya Diah dan Wulan.

Diah: "Kak, aku tuh mau banget pergi. Tapi, aku besok ada lomba di sekolahku."
Wulan: "Iya, Kak. Trus gurunya galak banget. Aku nggak bisa bolos."
Saya: "Ya, jangan bolos. Masuk sekolah aja. Nanti aja lain kali jalan-jalannya."
Wulan: "Yah, Kak. Kakak aja ke rumah gurunya minta ijin!"
Saya: (Diam)
Diah: "Iya, Kak. Kakak minta ijin ya. Waktu itu aku sakit trus bawa surat, eh suratnya malah dirobek-robek sama gurunya."
Saya: "Kamu tulis sendiri ya suratnya?"
Diah: "Nggak kak! Aku beneran sakit. Kakak minta ijin ya ke rumah gurunya." (Merengek)
Wulan: "Ya, Kak. Aku pengen banget pergi. Aku belum pernah ke museum." (Ikutan merengek juga)
Saya: "Ya, nggak bisa dong. Harus orang tua yang minta ijin. Nggak bisa kakak. Kalian coba ngomong sama Bapak Ibu kalian dulu aja."
Wulan: "Ih! Kakak mah! Bapak Mama mah bolehin pergi. Yang galak tuh gurunya, nggak bolehin pergi!"
Diah: "Iya, Kakak! Ayo dong! Kakak minta ijin! Aku mau banget pergi!" (Mata berkaca-kaca)
Saya: (Mulai nggak bisa nolak, tapi ya nggak mungkin juga ke rumah gurunya) "Gini aja. Kalian pulang, bikin surat, minta orang tua tanda tangan, besok dikasihin ke gurunya."
Diah & Wulan: "AH! Kakak mah! Dibilangin nggak bisa.
Saya: "Nggak boleh gitu. Belum dicoba udah nggak bilang nggak bisa."
Diah: "Kakak tuh nggak tau galaknya gurunya. Dia pernah nendang ember, Kak! Sampe airnya ke luar-luar kena murid!"
Saya: "Iya. Kakak emang nggak tau. Tapi, nggak sopan kalo Kakak yang minta ijin. Harus orang tua kalian. Ayo sana minta surat ke orang tua!"
(Mereka pun diam dan langsung pulang. Minta surat ke orang tua)

Perhatian saya tertuju pada kalimat "Saya nggak pernah ke museum sebelumnya." Mungkin untuk sebagian kita, ini biasa saja. Untuk saya, ada bagian yang saya tidak bisa jelaskan ketika mendengar kalimat itu. Masuk museum tergolong murah, aksesnya tidak susah, lantas apa yang membuat anak-anak ini tidak pernah ke museum? Mungkin dana. Tidak murah untuk membawa anak-anak karyawisata pergi ke museum dengan biaya gono/i. Kemudian, saya dan teman-teman bersyukur dapat berbagi bersama mereka. Sebenarnya, semua orang dapat melakukannya. Mengorganisir hal seperti ini sama mudahnya dengan membuat satu event. Tergantung niatannya saja. Andai banyak anak muda, mau membuat satu proposal untuk mengajak anak-anak di sekitarnya jalan-jalan ke museum, mengajukan dana sekitar 6 juta sudah bisa mengajak 20 anak-anak. Sungguh tidak sulit. Dana pun saya yakin mudah didapatkan, karena begitu banyak sponsor yang mau mendanai kegiatan sosial seperti ini. Kembali lagi, hanya masalah niat. Begitu dana didapatkan, teman-teman tinggal mengajak beberapa relawan, membuat publikasi, membuat dokumentasi, dan menyebarkan tindak baik ini lewat tulisan supaya lebih banyak lagi yang melakukannya. Bukan untuk memperlihatkan aktifnya kegiatan sosial kita, tapi agar kegiatan seperti ini makin banyak lagi. Karena tidak semua orang pernah ke museum kan? Mungkin kita punya pilihan 'mampu ke museum, tapi malas' - tapi tidak semua orang seperti kita.

Saya sejujurnya tidak dapat berbagi banyak dalam tulisan ini. Terima kasih dan usaha besar itu saya berikan pada teman-teman saya yang sudah membantu atas terlaksananya acara ini dengan lancar. Kunjungan ke tiga museum: Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, dan Museum Keramik pada hari itu juga sangatlah menyenangkan. Di setiap museumnya, anak-anak memerhatikan perkataan tour guide dengan saksama. Ketika di Museum Keramik, mereka ikut workshop pembuatan keramik. Mereka membuat keranjang dari tanah liat. Ada beberapa yang bosan, tapi ada beberapa yang sangat semangat menyelesaikan prakaryanya. Dila berkata bahwa Museum Keramik adalah tempat favoritnya karena dia bisa melihat keramik dari luar negeri. Lain dengan Ersa, Museum Keramik tetap favoritnya karena ia bisa melihat piring Jepang dan membuat keranjang dari tanah liat.

Hal lainnya adalah kekaguman saya dengan teman-teman saya. Jujur saja, saya kaget dengan beberapa respon 'Iya' dari teman-teman saya. Awalnya, saya sudah skeptis bahwa tidak banyak orang-orang yang mau panas-panasan dan menemani anak-anak yang tidak mereka kenal untuk jalan-jalan. Tapi, hal yang terjadi justru sebaliknya. Teman-teman yang biasanya saya temui duduk-duduk ngopi di kafe, makan cantik di tempat-tempat rekomendasi Zomato, yang saya inapi rumahnya kemudian bercerita semalaman. Kali ini, saya melihat sisi lain dari mereka. They really love the kids as I do. I mean, it warms my heart that I almost cry. They accompanied the kids, taking care of them very gently and lovingly, they basically treated the kids like their own brothers and sisters. I see the other side of my friends that I never figured it out before and I express so much gratitude for they are here, in this universe, being my friends. Saya kembali diingatkan, kegiatan bersama Rumah Pintar Ciangsana itu adalah reminder untuk saya bahwa 'Berbagi adalah kunci'. Humanity does exist in any circumstances. All you need to do, is not judge. Pelajaran lainnya untuk saya, sepertinya.

Selain itu, saya berpikir untuk mengadakan kunjungan museum selanjutnya. Mungkin ada ide? Bagi teman-teman yang ingin membuat kegiatan yang sama atau punya ide, saya dan teman-teman lainnya dengan senang hati mau berpartisipasi. Semoga hari kalian menyenangkan.

Comments

Popular Posts