Kekerasan seksual adalah isu
yang harus mendapat perhatian lebih. Mengapa? Karena kejahatan seksual bukan merupakan kejahatan kesusilaan,
melainkan kejahatan kriminal. Angka kekerasan seksual cukup
mengkhawatirkan. Terbukti dari angka kasus kekerasan yang naik pada tahun 2016,
berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan. Tahun lalu kekerasan seksual menempati
peringkat ketiga, tahun ini naik di peringkat dua, yaitu dalam bentuk perkosaan
sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus),
dan pelecehan seksual 5% (166 kasus) dengan total mencapai 321.752 kasus pada
ranah personal. Sementara pada ranah komunitas, sebanyak 31 % (5.002 kasus) di
mana jenis kekerasan seksual mencapai 61% sama seperti tahun sebelumnya (data
tahun 2014 dan 2013), dengan kasus perkosaan sebanyak 1.657 kasus, pelecehan
seksual 268 kasus, dan kekerasan seksual lain 130 kasus.APAKAH KEKERASAN
SEKSUAL DISEBABKAN OLEH PATRIARKI?
Isu
kekerasan seksual dinilai rumit dalam peta kekerasan terhadap perempuan karena
membutuhkan perspektif khusus dari perempuan. Hal itu terjadi karena adanya
persoalan perbedaan relasi kuasa antara pelaku dan korban yang menjadi sebab
utama pelecehan seksual terhadap perempuan. Ketimpangan ini diperparah ketika
pelaku memliki kendali lebih terhadap korban seperti pengetahuan. ekonomi,
sampai ke penerimaan masyarakat (status sosial). Kendali juga termasuk seperti
hubungan bos-klien, orangtua-anak, guru-murid, tokoh masyarakat-warga, dan
aparat-penduduk sipil. Adapun dalam tulisan ini akan membahas bentuk pelecehan
seksual sebagai salah satu tindak kekerasan seksual yang terjadi.
Sebagaimana
dikutip dalam Perempuan dalam jeratan
Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan
selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005 pada tahun 2009 serta rumusan
yang dikembangkan Rifka Annisa Women's Crisis Centre dalam Lusia Palulungan, "Bagai Mengurai
Benang Kusut: Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian
Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar
Pelayanan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang
disampaikan melalui kontak fisik maupun non-fisik dan menyasar pada bagian
tubuh seksual atau seksualitas seseorang, termasuk dengan menggunakan siulan,
main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh,
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak
nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan (2010:9).
Jika ditarik
lebih dalam dari hubungan relasi kuasa itu, penulis mengarah pada budaya
misoginis yang langgeng akibat sistem patriarki. Definisi misoginis itu sendiri
adalah kebencian atau ketidaksukaan terhadap perempuan. Perwujudan misoginis
dapat terjadi lewat berbagai cara misalnya, diskriminasi seksual, fitnah
perempuan, kekerasan terhadap perempuan (yang kemudian meluas menjadi prasangka
terhadap perempuan) dan objektivikasi seksual perempuan (Kramarae, 2000:
1374-1377). Michael Flood, sosiolog dari Universitas Wollongong, menjelaskan
bahwa misoginis dilakukan oleh kaum pria pada umumnya. Namun tidak menutup
kemungkinan juga dilakukan oleh kaum perempuan pada perempuan lain ataupun pada
dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat didominasi dengan sistem
patriarki yang menempatkan pria pada posisi superior dan perempuan pada posisi
subordinat, sehingga perempuan memiliki akses terbatas terhadap kekuasaan dan
pengambilan keputusan (Flood, 2007: 20).
Akibatnya,
kedudukan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Perempuan ditempatkan di
ranah domestik (pekerjaan rumah) dan laki-laki berada di ranah pu blik
(pekerjaan di luar rumah). Patriarki secara harfiah berarti kekuasaan bapak (patriarkh, patriarch). Sebutan patriarkh pada awalnya ditujukan untuk
keluarga yang terdiri dari perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan
pelayan rumah tangga, di bawah kepemimpinan seorang laki-laki dewasa. Dari
sanalah, anggapan masyarakat tentang peran laki-laki berawal dan berkembang.
Patriarki adalah sistem yang tidak dapat diubah. Seiring berkembangnya zaman,
anggapan ini ditentang. Patriarki merupakan konstruksi sosial. Dengan kata
lain, sistem dapat diubah karena itu merupakan buatan manusia (Bashin, 1996: 27).
Bagaimana
kemudian kekerasan dapat terjadi dari sebuah budaya misoginis atau sistem
patriarki? Posisi laki-laki yang superior menimbulkan distorded perception dalam
komunikasinya dalam perempuan. Itulah alasannya laki-laki terlalu menganggap sikap
ramah sebagai sikap penggoda atau bersetuju dengan kode-kode yang disampaikan
laki-laki baik secara lisan maupun non-lisan. Laki-laki juga menganggap
perempuan yang bersikap tegas sebagai tidak permusuhan. Selain itu, laki-laki
menganggap diam berarti tidak ada penolakan. Dengan kata lain, perempuan juga
mau dan menginginkan hal yang sama. Sementara menyatakan tidak, dianggap tindak
permusuhan dari perempuan.
Persepsi di
atas yang nantinya mengarahkan seorang laki-laki untuk melakukan pelecehan
seksual. Ambil contoh sederhana pada pakaian, pola pikir masyarakat (baik
laki-laki dan perempuan) yang mengasosiasikan pakaian dengan objektivikasi
seksual adalah tindak misoginis. Adanya hipermaskulinitas yang menempatkan
perempuan sebagai pihak yang bersalah, sehingga perempuan dianggap menggoda
dengan memakai pakaian terbuka. Penting
untuk diingat bahwa data yang didapatkan Komnas perempuan menyatakan hampir
seluruh korban kasus perkosaan tidak berpakaian seksi.
POTENSI MISOGINIS
(YANG TIDAK DISADARI) DALAM GEREJA
Penulis melihat
adanya kemunculan kecil dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menjadi potensi
pelecehan seksual non-fisik dan alpa dari mata gereja. Beberapa waktu lalu,
dalam sebuah ibadah sore, penulis melihat bagaimana sekumpulan kaum bapak
menggerutu tentang kesopanan pakaian seorang perempuan (saat sang perempuan
berjalan maju ke depan untuk memberikan persembahan di dekat altar) dengan
bertukar pandang melecehkan dan memberi tanda dengan kedua tangan mereka untuk
menjelaskan betapa 'seksi' bentuk tubuh perempuan muda itu. Objektivikasi
seksual juga terjadi di kalangan kaum pemuda seperti candaan pemuda gereja pada
pemudi seperti dijelaskan dalam dua skenario berikut:
A: "Nggak tau mau duduk di mana ya?
B: "Iya."
A: Sini gue pangku."
A: "Lain kali jangan pake baju kayak gitu ya."
B: "Kenapa?"
A: "Iya. Gue cowok soalnya, gue tau cowok-cowok mikir apa kalo
liat cewek bajunya terbuka kayak lo gitu. Gue kan temen lo, gue nggak mau lo
dicapnya murahan."
Tidak hanya
lewat prasangka dan objektivikasi seksual secara lisan, kekerasan seksual yang
terjadi di gereja pernah saya temukan lewat fisik, seperti siulan, godaan
sekumpulan kelompok pemuda pada pemudi di lingkungan gereja (kadang saking
terbiasanya godaan ini, pemudi lainnya menimpali dengan santai seperti tidak
keberatan dengan objek tubuh yang ditengahkan dalam candaan itu), sampai
terparahnya adalah uninvited touching (sentuhan
berintensi seksual) yang tidak menyamankan perempuan seperti di punggung dan
menjalar ke belakang pinggang. Hal ini terjadi dan dilakukan oleh beberapa
orang yang penulis kenal tanpa ada kesadaran dari perempuan terkait untuk
protes, sehingga skenario-skenario kecil terjadi terus-menerus. Hal ini tampak
kecil, tetapi penulis beranggapan peristiwa-peristiwa kecil inilah yang
melanggengkan budaya misoginis di gereja. Melalui tulisan ini, penulis
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang budaya misoginis dari sistem
patriarki dalam ruang lingkup gereja. Penulis berusaha untuk tidak menghakimi,
melainkan menjabarkan informasi dan fakta yang terjadi berdasarkan kumpulan
data yang ditemukan.
Tulisan
kemudian dibagi dalam tiga bagian besar yaitu, bias gender dalam beberapa tafsir
biblika. Kedua, tafsir kekerasan terhadap perempuan. Terakhir, penulis memaparkan kembali kasus
kekerasan seksual yang dilindingi institusi gereja (dalam hal ini gereja
Protestan), seperti dituliskan pada laporan Komnas Perempuan. Tujuannya untuk membawa
pembaca agar lebih memahami tentang kekerasan terhadap pihak yang dirugikan
(dalam konteks ini adalah perempuan). Penulis juga mengharapkan pembaca dapat
menempatkan dirinya sebagai korban dalam menghadapi momok stigma sosial di
masyarakat saat menghadapi pergulatannya untuk membela dan memulihkan diri.
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DALAM ALKITAB
Ajaran Kristen yang utama dan
terutama adalah kasih. Berangkat dari pemahaman itu, komunitas gereja
seharusnya menjadi komunitas anti-kekerasan yang melarang kekerasan jenis
apapun terjadi di dalam gereja termasuk kekerasan seksual. Kasus kekerasan
terhadap perempuan bukanlah hal baru di lingkungan umat Kristen dan
gereja-gereja di Indonesia. Kasus ini tampak seperti hal minor karena anggapan
merugikan bagi para korban yang enggan menerima penghakiman sosial terlebih
lagi di lingkungan spiritualnya. Tidak jarang jemaat gereja melontarkan
komentar seperti "Kenapa dia
mau!" atau "Itu kan
pilihannya, tidak usah mempermasalahkan orang lain!" kepada korban
yang membuat korban bungkam. Tidak adanya laporan ini memupuk kekerasan untuk selalu
terjadi. Komunitas gereja diharap untuk menyadari hal ini dan bersikap proaktif
untuk mengubah persepsi misoginis terhadap kaum perempuan.
Subbab ini
akan membahas akar dari ketidakpedulian jemaat tentang kekerasan seksual yang
terjadi dalam tubuh gereja yang kemudian menjadi batang misoginis dalam tubuh
gereja. Hal itu dimulai dari bias gender dalam tafsir Alkitab. Dari sana,
perempuan dibebani dengan stereotip, marginalisasi, dan subordinasi yang
mengakibatkan kekerasan yang mereka alami dianggap 'aib' yang tidak perlu dibicarakan di ranah publik.
Seperti
disebutkan di atas, hal yang melanggengkan misoginis serta kekerasan adalah
ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan ini
terjadi karena masalah bias gender yang terjadi karena pemimpin gereja
menafsirkan teks Alkitab dan aturan-aturan yang bias gender, sehingga
meminggirkan peran perempuan dalam gereja. Sebagai contoh, dalam Efesus 5:22
disebutkan perempuan seolah-olah hanya merupakan hamba laki-laki yang tunduk
pada suami. Persepsi ini dikukuhkan dengan anggapan 'tidak tepat' di mana
penciptaan Hawa berasal dari Adam. Selain itu, Hawa selalu disalahkan atas
kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kejadian 3:6). Tidak berhenti sampai di situ,
beberapa tafsiran kekerasan Alkitab di bawah ini juga membuktikan bahwa adanya
ketimpangan yang melanggengkan budaya misoginis.
Tafsir
Alkitab tentang kekerasan perempuan memegang peranan penting. Mengutip Mowbray
dalam Contemporary Literary Reflection on
the Function of Violence in the Old Testament Narrative Art, yang dikutip
dalam laporan Komnas Perempuan, kekerasan dalam sastra biblika memegang
fungsi-fungsi tertentu. Paling banyak dipaparkan dalam Perjanjian Lama,
kekerasan, khususnya terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, maupun
verbal melalui narasi, pelabelan, dan pilihan kata-kata. Hal itu muncul sebagai
hal yang 'tidak dipermasalahkan'. Perempuan-perempuan korban kekerasan dalam
Alkitab ditampilkan sebagai korban kekerasan yang rela, pasif, dan bungkam.
Tidak hanya itu, kekerasan terhadap perempuan seperti perkosaan bukan dilihat
sebagai suatu kejahatan yang merugikan sang perempuan (kejahatan kemanusiaan),
melainkan dihubungkan dengan martabat kaum lelaki, klan, suku, identitas, dan
nasionalisme bangsa itu. Kasus perkosaan juga dianggap kegagalan untuk
menghormati tanggung hawab terhadap perjanjian (Kejadian 38) dan hukum
kepemilikan (2 Samuel 13).
Sebagai
contoh, seperti dikutip dalam Biblical
Perspective on Sexuality, kitab Ulangan 22:23-29 memaparkan bahwa hukum
tentang perkosaan dihubungkan dengan pelanggaran properti laki-laki dan
tanggung jawab laki-laki. Kesalahan bukan dititikberatkan pada perempuan
korban, tapi pada lelaki karena mengingini dan melanggar hak kepemilikan orang
lain (Jacobson: 1989). Pembungkaman dan pembiaran seperti ini menempatkan
Alkitab menjadi teror untuk pembaca kritis.
KASUS KEKERASAN
SEKSUAL DI GEREJA
Budaya misoginis bukan hanya
terjadi dalam konteks biblika. Potensi yang penulis sebutkan di awal tulisan,
kemudian membangkitan rasa cemas pada kemungkinan kasus-kasus kekerasan seksual
tak terungkap di gereja. Pemaparan di bawah ini adalah contoh bahwa potensi
sekecil apapun tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebagai bagian tubuh gereja,
sikap harus diambil.
Subbab ini penulis buka dengan
pertanyaan, 'Apakah menyelamatkan pelaku pelecehan berarti mencoreng kekudusan
gereja?'. Menurut laporan Komnas Perempuan, dua kasus pelecehan seksual berikut
dilakukan oleh seorang pendeta sebuah gereja yang tergolong tertua dan terbesar
di tanah air. Tulisan selanjutnya penulis kutip sama dengan isi laporan Komnas
Perempuan. Inisialnya Pdt. MS. Kasus pertama diselesaikan dengan cara
memutasikan pelaku menjadi pendeta pada jemaat di kota lain untuk "menyelamatkan" pelaku.
Hingga
naskah ini ditulis, korban pertama yang kini telah menikah dan memiliki seorang
putri masih mengalami trauma. Dia tak lagi bersedia membicarakannya. Menurut
Tim Pendukung Korban yang terbentuk dalam Acara 'Gelar Dukungan bagi Korban'
tanggal 24 Agustus 2008 di YAKOMA-PGI yang hanya dapat bertemu dengan mertua
korban, korban menganggap buku hitam telah dikunci dan dikubur. Upaya
mempertemukan korban pertama dan korban kedua demi menegakkan keadilan tidak
berhasil.
"Perempuan-perempuan
korban tanpa suara" nyata terjadi di kehidupan sejak dahulu kala hingga
kini karena catatan hitam terus ditutup karena beban moral dari lingkungan
sosial yang tidak mampu dipikul korban. Dua korban dengan pelaku yang sama
tidak mendapat keadilan karena kasus pelecehan seksual dianggap terlalu sepele dibandingkan dengan masalah lain
dalam gereja. Kebenaran yang seharusnya ditegakkan oleh lembaga gereja dan
pendeta justru dikubur.
Kasus
pertama terjadi pada tahun 2002 ketika Pdt. MS bertugas di Jemaat Ptj, Jakarta.
Kasusnya tersiar di media massa ibukota. beberapa ornop serta perguruan tinggi
teologi telah mengeluarkan surat keprihatinan untuk mendesak pemimpin gereja
agar menindak pelaku dan menegakkan keadilan terhadap korban. Namun pelaku
justru dimutasikan ke jemaat di kota
lain. Kasus ini kemudian terlupakan oleh jemaat. Korban tampak menjalani hidup
normal, namun tetap dihantui trauma masa lalu.
Tahun 2007,
kasus yang sama terjadi kembali. Korban kali ini merupakan salah seorang
anggota stafnya, seorang calon pendeta dengan inisial RS, STh. Sama dengan kasus
pertama, ada indikasi bahwa pelaku yang dini menduduki posisi kunci dalam
organisasi gerejanya coba diselamatkan oleh sesama rekan pendeta, pemimpin
gereja termasuk para perempuan pendukungnya. Berikut dikutip cerita dari korban
pertama dan kedua.
(1)
Derita
dan Cacat Rohani Seumur Hidup
Berat nian menuliskan kesaksian dan
pengakuan ini sebagai seorang gadis. Rasanya tiap kata yang saya tuliskan ini
sangat sulit berlanjut. Saya sering berhenti menuliskannya serta menangisi
pengalaman yang sangat buruk ini dari seseorang yang saya duga sebelumnya akan
mendapat siraman rohani, ternyata sebaliknya: darinya justru datang malapetaka
kehidupan.
Februari 2000, Selasa tanggal 15,
antara pukul 18.30-19.00, Saya menemui Pdt. MS di ruang administrasi jemaat. Saya
ingin membicarakan pengunduran diri saya sebagai anggota pengurus Pemuda Jemaat
Petojo karena tenaga saya sangat dibutuhkan untuk membantu mama saya di rumah.
Mama menderita penyakit yang kelihatannya berkepanjangan. Pengunduran diri ini
sesuai dengan peraturan kepengurusan Jemaat Petojo yang mewajibkan si
bersangkutan melapor dan meminta persetujuan Pdt. MS. Peraturan itu hingg kini
masih berlaku. Saya juga bermaksud memanfaatkan pertemuan ini untuk konseling,
mohon doa atas beban berat yang diderita oleh keluarga kami atas berbagai
peristiwa atau kejadian yang dialami orangtua saya yang berdampak langsung
terhadap masa depan kehidupan pribadi saya.
Sekitar pukul 18.30 saya naik ke
atas, ke rumah Pdt. MS, untuk meminta beliau meluangkan waktu berbicara
sebentar. Permintaan ini disetujui. (Saya takin seluruh gadis tanpa kecuali
berpikir bahwa menemui seorang pendeta kapan dan di manas aja tidak akan
menjadi masalah sebab mereka adalah personifikasi Tuhan di Bumi, tempat di mana
kita berlindung dan mengadu. Lagipula, kita menemuinya di rumahnya sendiri).
Pdt. MS meminta agar kami berbicara
di ruang administrasi gereja di bawah. Saya mengikutinya menuruni tangga.
Ruangan tersebut gelap. Lampu tidak dinyalakan. Waktu sekitar pukul
18.30-19.00. Ketika saya minta agar lampu dinyalakan, Pdt. MS berusaha
menyalakannya. Setelah dicari-cari stop kontak lampu tidak ditemukan. Biarlah
gelap, tidak apa-apa karena cuma sebentar. Ruangan hanya mendapat sinar sedikit
dari lampu luar. Setelah kami duduk berhadapan dengan meja tulis di
tengah-tengah sisi ruangan (dalam ruangan administrasi terdapat tiga stel meja
tulis), saya mulai mengajukan maksud kedatangan saya mengundurkan diri dari
kepengurusan Komisi Pemuda dan mengemukakakn alasan-alasannya. Biasanya
konseling dibuka dengan doa. Kali ini tidak demikian. Kemudian saya lanjutkan
dengan konseling mengenai masalah pribadi dan keluarga dengan keyakinan bahwa
henya kepada pendetalah hal ini dapat saya bicarakan.
Saya sedang bicara, Tiba-tiba Pdt.
MS berdiri dari tempat duduknya, mendekati saya, dan menyergap saya tanpa
sempat saya hndari. Beliau langsung mencium saya (bukan pipi). Saya sangat
terkejut. Tidak menduga. Saya berdiri dan sangat marah. "Apa-apaan
ini?". Namun beliau tidak memedulikannya, malahan memeluk saya lebih erat
lagi. Saya berontak dan melepaskan diri secepat mungkin. Saya melihat wajahnya
seperti kesetanan. Akibatnya, saya sangat takut dan akhirnya lari terburu-buru
ke luar meninggalkan ruang administrasi. Takut dikejar, saya masih sempat
membalikkan diri dan melihatnya menaiki tangga kembali ke rumahnya dengan
tenang.
Pada Minggu, 15 Oktober 2000 saya
terkejut membaca selebaran gelap tentang apa yang disebut sebagai pelecehan
terhadap seorang perempuan oleh Pdt. MS yang kemudian dipertegas lagi dalam rapat
Komisi Pemuda pada Senin, 16 Oktober 2000 yang dipimpin penatua. Semula saya
berpikir bahwa pelecehan terhadap perempuan yang dimaksud bukanlah saya,
melainkan perempuan lain. Ternyata selebaran tertuju kepada diri saya.Untuk
menghindari simpang-siur karena muncul upaya-upaya yang menyatakan bahwa
selebaran tersebut final dan menyudutkan saya, bahkan keluarga saya. Akhirnya,
saya memutuskan menuliskan kejadian tersebut dengan sejujurnya dengan
konsekuensi apapun.
Respon
terhadap berita pelecehan tersebut sungguh memojokkan saya. Terutama dari kaum
ibu yang justru masih punya beberapa anak gadis seperti saya, dan menyalahkan
saya mengada-ada cerita. Juga langsung memvonis bahwa pelukan dan ciuman di
pipi oleh Pdt. MS yang sebagian dialami oleh mereka sendiri adalah hal biasa
dan lumrah dari seorang pendeta sebagai ungkapan kasih sayang
"malaikat." Artinya tidak boleh ditafsirkan lain. Adalah sebuah
penghinaan apabila ungkapan kasih sayang itu ditafsirkan lain. Lagipula, tidak
ada saksi. Mereka tidak pernah menanyakan jenis pelukan apa dan bagaimana hal
itu dilakukan oleh Pdt. MS. Perlakuan yang saya sebut sebagai pengalaman
malapetaka kehidupan ditanggapi negatif. Mereka lupa bahwa tidak akan ada
seorang gadis yang mau bercerita pengalaman sejenis hanya untuk mengada-ada
karena itu justru akan membawa kehidupan buruk baginya.
(2)
"Berjuang
Menegakkan Kebenaran dan Keadilan: Semangat Tak Pernah Surut"
Pada Jumat, 4 Mei 2007 saya dipanggil ke
ruang Pdt. MS. Sejak semula saya sudah merasa takut karena hati saya tidak
tenang melihat cara Pdt. MS memandang yang lain terhadap saya. Saya datang ke
ruang kerja beliau dan tiba-tiba dia mencoba..., dan dia mencium mulut saya,
bahkan meraba pantat saya dan memukul pantat saya tiga kali.
"Kenapa Bapak melakukan itu?
Saya sudah bersuami. Bapak seorang hamba Tuhan."
'Suamimu 'kan tidak tahu!"
Kemudian dia mencoba merangkul saya
kembali. Saat itu Y datang dan Pdt. MS melepaskan saya. Y adalah sesama anggota
staf di Kantor Distrik. Saya melihat dia terkejut dan Pdt. MS melepaskan
tangannya. Saya langsung keluar berlari.
"Kak Diakones, di sana saya
ketakutan."
'Kau kenapa, Dik?"
"Takut aku, Kak! Aku mau cerita
sama kau. Takut aku ke ruang itu," kata saya.
'Pergilah, tak apa-apa itu!"
kata kak Diakones.
Saya datang ke ruang Pdt. MS dan
perbuatan yang sama hampir terulang lagi. Entah apa yang menyelamatkan saya.
Saya pun keluar. Saya takut dan bersembunyi di kamar mandi. Saya tak mau keluar
lagi sampai Pdt. MS dan Y pergi.
Karena terus dicekam rasa takut,
Sabtu tanggal 5 Mei saya katakan pada suami, "Pak, aku tidak mau
ngantor."
"Kenapa?" tanya suami
saya.
"Kurang enak badan aku,"
kata saya.
Sebetulnya saya malu bercerita
kepada suami. Saya tak ingin kepercayaannya kepada pendeta hilang. Hari Senin
saya masuk kantor. Saya beranikan diri walaupun terus dicekap rasa takut. Suami
saya tidak tenang. Sepertinya dia membaca sesuatu.
Tanggal 7 Mei 2007, saat hendak
berangkat ke konven pendeta, Pdt. MS bilang, "Kamu tak usah ikut. Tinggal
saja di sini meneman Mri."
"Kenapa , Pak. Saya mau
ikut," kata saya.
"Tidak. Kau di sini saja. Bukan
kau yang mengatur, aku yang mengatur," katanya.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya
di kamar Mri."
Lalu, saya minta kunci pada Nuna dan
pergi ke kamar Mri. Namun, Pdt. MS memanggil saya lagi. "Sini dulu."
Bahkan mencium saya, menarik-narik saya.
"Pak, jangan!" lalu saya
lari.
Saya coba tegarkan hati karena masih
menghormati dia. Saya tak mau ribut. Saya malu. Kenapa mesti hamba Tuhan yang
melakukan itu? Lalu Pdt. MS mengatakan, "Kamu di sini, guntingi dulu koran
ini." Lalu dia buka pintu kamarnya. Saya buka jendela dan pintu kamar.
"Sinilah kau," kata Pdt. MS agar saya masuk ke ruangannya.
"Nggak, Pak. Di sinilah
Bapak."
Saya takut. Bapak itu terus memangil
saya. Saya berdiri di samping meja Nia dan Pdt. MS juga berdiri di situ. Kami
duduk berdekatan. Dia mencoba meraba saya lagi, tapi saya elakkan. Tiba-tiba Bu
Min datang. Dia terkejut. "Terima kasih, Tuhan! Engkau masih
menolongku."
Bu Min bertanya, "Dimana Pak
Min?" Yang menjawab Pdt. MS, "Di atas cari sana, mana ada di
sini." Saya ambil koran dari Pdt. MS. Saya guntingi koran di meja tempat
saya biasa bekerja. Pdt. MS hendak keluar.
"Tutuplah pintu ini, Pak.
Tutuplah, Pak!" kata saya
"Tidak, mesti kau yang menutup
pintu," jawabnya.
"Bapak saja!"
Lalu Pdt. MS ke luar. 'Tutuplah
ini," katanya. Saya takut dan saya berdiri. Pdt. MS menutup pintu, saya
berdiri pas dekat pintu itu. Tiba-tiba dia merangkul saya kuat-kuat, memeluk,
dan menciumi saya.
"Jangan, Pak! Lepaskan!"
ucap saya.
"Mana bibirmu!" Katanya.
"Jangan, Pak!"
Saya tumbuk dadanya sambil menangis.
Lalu dia melepaskan saya dan pergi. Saya terduduk di kursi saya. Saya merasa
tak percaya pada apa yang telah terjadi pada diri saya. Saya berdoa.
"Tuhan mampukan saya menghadapi semua ini. Saya tidak mau menjadi
hamba-Mu. Kenapa saya harus diperlakukan begini?"
Setelah berdoa, saya menelepon suami
saya. "Saya mau ketemu, Pak. Pulanglah dulu, pak. Saya nggak kuat."
Lalu kamu ketemu di Medan Plaza. Saya ceritakan semuanya. Langsung suami saya
marah.
Suami saya naik pitam, tetapi saya
mencoba meredam. "Bukan hanya seorang pendeta dipermalukan, tetapi seluruh
pendeta gereja," katanya. Saya bilang, "Biarlah kita cari dulu jalan
penyelesaiannya." Suami saya menyuruh menghubungi Pak SHBG. Namun dia
malah memojokkan saya. "Harusnya kamu seorang pelayan bisa memperkecil
masalah, bukan memperbesar masalah." Mungkin bagi Pak SHBG masalah ini
kecil, tetapi bagi saya ini masalah besar.
Hari Selasa Pak SHBG mengatakan pada
saya, "Minta tolong jangan sampai ke luar, biarlah dulu diselesaikan di
dalam. Percayakan dulu sama saya, Inang," katanya. "Sebab bukan hanya
dia yang malu, juga kami para pendeta di sini yang sudah berumur."
"Baiklah, Pak, saya hargai
Bapak sebagai orang tua. Saya juga ingin masalah ini diselesaikan oleh Pdt. MS.
juga Pdt. MS minta maaf pada saya dan suami saya, dan dia berjani tidak
mengulangi pada saya maupun pada yang lainnya," kata saya.
Dari kedua penuturan korban di atas dapat dilihat
bahwa pengalaman kekerasan dan perempuan korban kekerasan harus 'bungkam'
karena pertimbangan etis dalam memaknai keadilan. Jika dilihat dari perspektif
korban, perempuan korban kekerasan menyatakan bahwa Alkitab mengutuk kekerasan.
Dua korban menuliskan sendiri dan seorang lagi menyatakan secara jelas
keyakinan ini.
Menurut
mereka, Alkitab mendorong mereka bersuara dan berjuang walau akhirnya kandas.
Perjalanan dua korban pelecehan seksual, EB dan RS, dalam mencari keadilan
melalui hukum formal (pengadilan) terbentur pada soal saksi-saksi untuk
menegakkan keadilan. Dimensi keadilan bagi korban telah direduksi sebatas
mekanisme, taitu 'tidak adanya saksi' dan meminggirkan aspek 'hati nurani'.
Hukum di Indonesia terkait kasus perkosaan belum peka gender. EB, sebagai
korban menyatakan bahwa penderitaan terdalam justru dialaminya, bukan
keluarganya. Derita Pdt. MS dan istrinya hanya sebatas malu, tetapi saya hidup
dalam trauma akan pelecehan seksual yang terjadi oleh seorang pendeta,"
kata EB. Korban menyadari keadilan tidak dapat ditegakkan oleh pihak gereja.
Dalih tidak ada saksi yang dijadikan alasan serupa dengan kasus pengadilan
tanpa saksi yang tertulis di Kitab Suci sebagaimana dikutip EB.
Pertama,
pembunuhan Abel oleh Kain. Kain ditanyai Tuhan, "Dimana Abel adikmu
itu?" Jawabnya, "Aku tidak tahu. Apakah aku penjaga adikku?"
Firman-Nya, "Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah!"
Akhirnya Kain mengaku, "Hukumanku itu lebih besar daripada yang dapat
kutanggung..." Artinya, yang melahirkan pengakuan adalah hati nurani Kain
sendiri. Tuhan yang dulu menanyai Kain adalah juga "Tuhan yang sekarang
ini, yang berada di gereja kita" yang menanyai Pdt. MS dengan
perbuatannya, yang juga tetap menanyai kita dalam semua perbuatan kita, yang
melakukan dosa hampir tiap jam [...] Semuanya itu praktis tanpa saksi.
Kedua, Arti
kokok ayam yang ketiga bagi Petrus. Petrus yang berbohong menyangkal Tuhannya,
bukankah tanpa saksi? Yang menjadi saksi hanyalah kokok ayam jantan yang ketiga
kalinya di tengah malam. Kokok ayam jantan yang ketiga kalinya membangkitkan
rasa bersalah di dalam diri Petrus. Dalam konteks kekerasan seksual ini,
jeritan korban disangkal. Korban bahkan diteror oleh beberapa kaum ibu kerabat
Pdt. MS. Tidak hanya itu, upaya Pdt. MS mencoba membungkus perbuatannya dengan
ayat-ayat Injil melalui tulisan di Warta Jemaat (No. 48/X/2000), tanggal 29
Oktober 2000) sebagai 'pembenaran' atau 'pembersihan' nama baiknya sebagai
pendeta.
Sejauh ini,
gereja cenderung tidak menyadari atau menutup bahkan mengubur kasus pelecehan
seksual yang dilakukan oleh tubuh gereja. Sikap ini secara tidak langsung
memihak pelaku demi hal yang dianggap 'kekudusan gereja'. Dalam hal ini, gereja
meminta korban pelecehan untuk ikhlas beradaptasi dengan traumanya. Seharusnya,
kekudusan gereja menyadarkan para orang-orang yang bekerja dalam tubuh gereja
bahwa kekudusan tidak boleh digunakan
sebagai justifikasi bagi kekuasaan eksklusif gereja untuk berbuat hal-hal demi
kepentingan sendiri. Kekudusan adalah misi yang membutuhkan proses, bukan
kondisi yang harus dijaga terus-menerus dan meminggirkan noda-noda yang merusak
kondisi sempurna itu.
Gereja yang bersikap bungkap
akan berdampak pada lingkup kemanusiaan yang lebih besar. Dengan kata lain,
gereja mengambil andil dalam transormasi masyarakat, nilai interpersonal maupun
politis. Pembiaran atau pembungkaman terhadap kekerasan berarti memupuk benih
tindakan kekerasan dan menghilangkan makna spiritual gereja di dunia.
Keadilan dan
kebenaran memang akan melukai citra baik, tapi lewat itulah pembelajaran akan
kesalahan datang. Gereja seharusnya mampu mengambil sikap. Dengan penuturan
kasus ini pada Komnas Perempuan, PGI melakukan hal yang tepat setelah
bertahun-tahun Sinode tidak pernah mau menyelesaikan kasus ini. Selanjutnya,
gereja perlu mengupayakan agar perempuan tidak lagi dilecehkan secara seksual
dalam komunitas gereja agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa
mendatang.
APA YANG HARUS
DILAKUKAN GEREJA?
Setelah membaca pemaparan
tentang potensi misoginis di gereja Protestan hingga kasus kekerasan seksual
yang terjadi oleh seorang pendeta, gereja memiliki tugas berat untuk dilakukan.
Penulis beranggapan, potensi ini dapat diredam dengan menumbuhkan kesadaran
yang tidak bias gender pada jemaat. Gerakan ini seharusnya diberi perhatian
lebih oleh pimpinan-pimpinan gereja baik dari kaum muda sampai kaum tua.
Pemahaman bias gender merupakan kunci untuk mengubah perspektif jemaat kembali
selaras dengan kasih (yang merupakan ajaran Kristus). Selain itu, gereja juga
harus menegaskan pelarangan atas segala bentuk kekerasan yang terjadi.
Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun, walaupun sesederhana
pelecehan seksual (siulan, pandangan mata, celetukan seksis) adalah dosa.
Kekerasan bertentangan dengan iman Kristen dan kesaksian Alkitab bahwa manusia
adalah citra Allah (Imago Dei) dan
dipanggil untuk membangun kehidupan yang bebas dari kekerasan.
Gereja
diharapkan memiliki crisis center untuk
para korban kekerasan. Adanya crisis
center diharapkan dapat membentuk komunitas antikekerasan yang memulihkan
di lingkungan gereja. Perlu ada komunitas ini, sehingga korban tidak merasa
dikucilkan oleh gereja. Dengan cara ini, pembiaran dan peminggiran dapat
dihentikan. Gereja tidak boleh abai memberikan hak korban untuk pemulihan,
mendapatkan keadilan, dan menuntut kebenaran. Pelayanan ke perspektif korban
harus ditingkatkan, sehingga tidak hanya sebatas wacana di dalam khotbah atau
penelahaan Alkitab dalam pelayanan kategorial.
Selain itu,
para pempimpin pelayanan kategorial, kakak layan, sampai calon pendeta dan
pendeta harus mendapatkan sosialisasi gender melalui pelatihan,
studi/penelahaan Alkitab, penerbitan modul yang dibagikan untuk dipelajari,
serta penyampaian secara kontinu pada jemaat lewat mimbar gereja. Dengan
inilah, kesadaran gender dapat ditingkatkan, potensi misoginis dapat ditekan,
dan kekudusan gereja kembali.
Melalui
tulisan ini, penulis mengharapkan isu kekerasan disikapi secara serius oleh
gereja. Tulisan ini merupakan kasus tahun 2008, yang mana sudah delapan tahun
lalu. Tentu banyak perubahan yang terjadi dalam delapan tahun. Melihat potensi
yang ada, ketakutan penulis muncul. Apakah selama ini kasus ini dikubur oleh
korban karena malu dan dianggap bukan masalah besar? Dengan kecenderungan kaum
bapak yang bersikap misoginis, dimanakah posisi gereja untuk menegur hal itu?
Dengan kecenderungan kaum pemuda melontarkan candaan seksis secara lisan maupun
sosial media, bagaimana gereja mempertahankan kekudusannya? Tanpa adanya korban
yang bersuara, tidak ada solusi yang dapat dicari bersama, keadaan akan stagnan
dan tidak mengalami perubahan untuk korban. Jadi, bicaralah! Dengan diam, kita membuka peluang kekerasan yang sama terjadi ke generasi
selanjutnya.
REFERENSI
Amiruddin, Mariana. "Kekerasan
Seksual: Bukan Kejahatan Kesusilaan melainkan Kriminal" dalam Jurnal Perempuan edisi 71 tentang
Perkosaan dan Kekuasaan.
Hutabarat, Rainy MP dan
Apituley, Sylvana. 2007. Memecah
Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan
(Respon Protestan). Jakarta: Komnas Perempuan.
Lembar Fakta Catatan
Tahunan (CATAHU) 2016. Kekerasan terhadap
Perempuan Meluas: Mendesak Negara Hadir Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan
di Ranah Domestik, Komunitas, dan Negara.
Mantik, Maria Josephine
K. 2009. "Perempuan, Budaya, dan Agama" sebagai bagian dari bahan
ajar Mata Kuliah Agama Kristen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia, Depok.
PS. Apabila membutuhkan referensi sebagai bahan atau sekadar berbincang mengenai tulisan ini lebih jauh, dapat mengontak penulis di petsyjessy@gmail[dot]com.
Comments
Post a Comment