Dikotomi Moral: Ihwal Kekerasan Terhadap LGBT

Marc Jacobs (Instagram)

Beberapa hari lalu, saya memutuskan untuk menyampaikan materi mengenai subaltern dalam mata kuliah Multikulturalisme. Keputusan ini boleh dibilang berat, mengingat saya harus mendobrak perspektif dikotomis mahasiswa yang (biasanya) berputar antara benar atau salah, moral atau amoral dilihat dari agama atau budaya mereka. Saya agak ragu, apakah kemudian memberikan mereka pemahaman soal LGBT dari sudut pandang subaltern dapat menjadikan mereka pribadi yang tidak menghakimi? Apakah kemudian mahasiswa dapat menerima perbedaan gender layaknya mereka menerima perbedaan agama, ras, maupun etnis?

Memelajari studi poskolonial adalah hal yang baru bagi saya. Terakhir saya membacanya pada tahun 2010. Pemikiran Edward Said tentang Orientalisme ketika saya mengambil mata kuliah lintas fakultas ke Program Studi Antropologi di Universitas Indonesia. Sisanya, saya jelas tidak tahu apa-apa soal studi poskolonial sampai suatu ketika seorang teman yang sedang menempuh studi lanjutan di Sanata Dharma menjelaskan mengenai subaltern. Saya merasa bahasan ini akan sangat menarik dalam multikulturalisme. Untuk apa? Untuk mengingatkan kembali bahwa setiap ketidakadilan yang terjadi, seseorang harus bangkit dan bicara melawan ketidakadilan itu.

Namun beberapa keraguan timbul. Alasan keraguan itu: pertama, saya paham betul bahwa studi subaltern adalah ranah studi lanjutan soal sosial-budaya. Kedua, riskan rasanya memberikan materi ini pada mahasiswa tahun kedua. Ketiga, di antara kedua keraguan itu - entah mengapa saya percaya bahwa mahasiswa dapat merespon positif. Tujuan saya juga hanya satu: kesetaraan untuk semua. Hal itu berlaku sama bagi kaum tertindas yang menurut saya terwakili oleh pemikiran Gayatri Spivak mengenai subaltern. Saya rasa, memberikan pemahaman lebih tidak ada salahnya. Walaupun itu artinya sedikit mendobrak atau mendekonstruksi dikotomi moral: hitam >< putih, benar >< salah, dan moral >< amoral itu.

Pemikiran Gayatri Spivak berangkat dari konsep hegemoni milik Antonio Gramsci tentang hegemonik. Gramsci menyatakan bahwa kelompok superior atau kelompok berkuasa menjadikan kelomok inferior sebagai subjek hegemoni. Adapun kelompok inferior ini termasuk petani dan buruh. Gramsci juga menyebut subaltern sebagai mereka yang termarginalisasi. Dari Gramsci, Spivak mengadopsi pemikiran Ranajit Guha tentang elit dan subaltern. Guha menjelaskan bahwa dikotomi penindasan tidak hanya dilakukan oleh 'kelompok luar', tetapi juga oleh 'kelompok dalam'. Guha menekankan pentingnya mengetahui 'Siapa kawan, siapa lawan?'. Dalam artian, Guha menyebutnya sebagai kelompok elit.

Dalam Studies I, Guha menjelaskan bahwa secara historiografis, nasionalisme India telah didominasi oleh elit kolonial dan elit nasionalis-borjuis. Para kaum elit menyebarkan prasangka bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk nasionalisme India. Pada kenyataannya, kaum elit adalah bagian dari neo-kolonial yang menjadi perpanjangan tangan kolonial Inggris. Kelompok elit dibagi menjadi tiga, dominan grup asing, dominan grup asli India dalam level nasional, dan dominan grup India dalam level regional dan lokal. Di luar kaum elit, Guha menyebutkan adanya eksistensi kaum subaltern.

Gayatri Spivak dalam esainya 'Can the Subaltern Speak?' menjelaskan mengenai subaltern di aman identik dengan penekanan terhadap suatu kelompok tertentu. Spivak mengandaikan keberadaan subaltern seperti kue tart yang dibagikan dalam sebuah kelompok. Seseorang yang tidak mendapatkan 'potongan kue' adalah subaltern. Kaum subaltern bekerja dalam suatu mekanisme pendiskriminasian. Spivak memaparkan bahwa subaltern tidak dapat memahami keberadaannya, tidak mampu menyuarakan aspirasinya, dan tidak memiliki ruang untuk itu. Tidak hanya itu, pun kaum subaltern berbicara - mereka jarang dan hampir tidak didengarkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Spivak menjelaskan kaum subaltern harus diwakilkan. Perwakilan suara ini merupakan tanggung jawab kaum intelektual untuk mengumandangkan suara-suara 'mereka yang terdiskriminasi'.

Spivak memberikan contoh subaltern lewat tradisi Sati dalam esainya. Sati adalah tradisi Hindu yang terjadi di beberapa daerah di India. tradisi ini mengharuskan seorang istri yang ditinggalkan suaminya ikut mati. Jadi, sang istri diminta mengorbankan dirinya dengan melompak ke dalam kobaran api ketika jasad suaminya dikremasi. Spivak mencoba mengkritik kolonial Inggris yang membaca tradisi Sati sebagai 'wacana' bahwa sang perempuan ingin mati dan dipahami sebagai 'upaya penyelamatan Inggris dari ketidakberadaban tradisi India'. Upaya yang coba dilakukan Inggris pada abad ke-19 itu merusak tatanan budaya di India. Inggris dinilai tidak memberikan pemahaman alternatif. Inilah yang dikatakan 'salah' membaca tradisi timur ketika menggunakan kacamata barat.

Spivak menjelaskan, Sati seharusnya dipahami sebagai kesalahan pembacaan budaya. Hal ini menjelaskan mengapa upacara Sati tidak dilakukan secara universal di India. Sati hanya dipraktekan oleh sebagian kelompok di India. Spivak, dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida, mencoba medekonstruksi hieroglyphist prejudice dalam Rg-Veda dan Dharmasãstra yang menyebabkan salah kapral dalam pemahaman Sati.

Dharmasãstra menjelaskan mengenai wacana 'hukuman mati' dan 'bunuh diri' dan perbedaan antara keduanya. Tafsir umum teks menyatakan bahwa 'bunuh diri' adalah tindakan tercela. Hal ini berbeda dengan 'hukuman mati' di mana kematian menghadirkan tatvajnãna (pengetahuan akan kebenaran). Tat tva salah diinterpretasikan sebagai ãtmaghãta atau 'aksi bunuh diri' yang justru menghilangkan esensi dari tatvajnãna. Spivak menekankan perbedaan antara 'aksi bunuh diri' dan 'pengorbanan diri' di mana seharusnya bukan ãtmaghãta, melainkan ãtmadãna yang dimaksudkan dalam kitab Dharmasãstra.

Kekeliruan ini kemudian seiring menjadi tradisi yang disampaikan secara oral, dari mulut ke mulut. Dalam penyampaiannya, terjadi bias pengetahuan atara sruti (yang didengar) dan smirti (yang diingat). Hal inilah yang kemudian menjelaskan alasan Sati hanya dilakukan di beberapa tempat di India, tidak secara umum. Spivak juga kemudian mengkritik bagaimana dominasi maskulin terjadi karena situasi sosial melanggengkan nilai 'keharusan' dalam tradisi sati bagi perempuan sebagai pembuktian kesetiaan bagi suaminya.

Studi subaltern kemudian menjadi permasalahan ketika terjadi pengotakan tentang siapa yang menjadi subaltern dan siapa yang bukan. Apakah kaum yang dapat mewakili dirinya sendiri tidak dapat dikatakan subaltern walaupun mereka terdiskriminasi? Kadang kaum intelektual terjebak dalam definisi, sehingga lupa esensi sebuah pemikiran. Begitu ucap Spivak dalam kuliah umumnya ke Indonesia pada 10 tahun lalu, yang ditulis Maria Hartiningsih dan Ninuk Pambudi pada Kompas 12 Maret 2006.

Apa kemudian arti 'tidak dapat bicara' atau 'tidak ada yang mendengarkan'? Spivak menjelaskan bahwa kedua kalimat itu adalah metafora untuk 'absennya keadilan di dunia ini'. Masyarakat tidak menaruh perhatian pada 'wacana' subaltern. Hal inilah yang menyebabkan subaltern tidak dapat biacara. Klaim-klaim yang berusaha menjadikan kelompok subaltern sebagai sesuatu yang 'satu'. Mengutip ucapan Spivak, "Di berbagai tempat di dunia, di sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara. Sedihnya, hal itu selalu berhubungan dengan situasi saat ini. Selalu ada orang-orang yang dibungkam. Itu sebabnya saya katakan, jangan menjadi mayoritas yang bungkam, tak bersuara."

Dalam penyampaian materi, saya memberikan dua contoh video mengenai dekonstruksi gender antara perempuan dan laki-laki serta heteroseksual dan homoseksual. Dalam All You Need Is Love, definisi 'normal' diputarbalikkan. Menjadi heteroseksual adalah hal yang 'tidak normal', sementara 'homoseksual' adalah hal yang normal. Sementara itu, Oppressed Majority memperlihatkan laki-laki sebagai kaum minoritas di mana feminis memegang kendali dalam masyarakat. Kedua film ini mencoba menggambarkan hal-hal normal yang kita alami sehari-hari, kemudian menjadi 'jengah', 'jijik', 'menggelikan' ketika diperlihatkan dalam perspektif sebaliknya.

Kita terkadang menganggap catcalling adalah sesuatu yang biasa, begitu pula melecehkan perempuan dari bentuk tubuhnya baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Kita juga secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar memberikan penilaian yang didasarkan pada stereotip dan prasangka pada  kaum perempuan. Bukankah kita menghakimi moralitas perempuan hanya berdasarkan selaput daranya saja? Bukankah juga kita menilai perempuan dari cara berpakaiannya? Sekilas itu menjadi wajar. Namun apakah yang 'wajar' memang 'wajar'?

Sama halnya dengan LGBT. Kita selalu terjebak dengan dikotomi moral di mana menempatkan homoseksualitas sebagai hal yang ditentang agama karena tidak wajar atau merupakan tanda akhir jaman. Tidak ada yang salah dengan dogma agama tentang homoseksualitas. Kekeliruan ada pada para pengikut agama yang serta-merta menghakimi, menyebarkan hate speech ataupun hate act pada sekitarnya tentang LGBT. Penyebaran kebencian ini menyulut kekerasan yang terjadi atas nama moral. Bukankah agama tidak pernah sekalipun mengajarkan kita untuk melakukan kekerasan? Apakah kemudian 'menjadi benar' sangat penting, sehingga kita punya hak untuk menghukum yang 'tidak benar'?

Kasus penyerangan di Klub Malam Orlando pada 12 Juni 2016 cukup mengejutkan saya. Apalagi kejadian ini terjadi beberapa waktu selang saya memberikan kuliah tentang LGBT. Inilah yang dapat terjadi dan akan terus terjadi apabila penghakiman tak berkesudahan menggerogoti kemanusiaan. You only see human with no humanity. Perbedaan agama, ras, etnis, maupun gender seharusnya tidak membuat perpecahan dan menyulut konflik. Pehamaman tentang perdamaian, sukacita, dan damai sejahtera memang tidak dapat diwujudkan dalam semalam.

Tapi, setidaknya, tanggal 16 Juni 2016, saya mendapat kabar bahwa PGI telah mengeluarkan pernyataan mengenai LGBT. Kabar baik. Pernyatan ini agak mengejutkan saya (dalam artian positif) karena mereka memilih untuk tidak menghakimi LGBT dengan 'tendensi-tendensi Alkitabiah'. Sebaliknya, PGI mengajak kembali kita untuk merangkul LGBT tanpa prasangka negatif. Berikut pernyataan PGI saya kutip:

"Menyikapi kontroversi yang muncul dan berkembang di kalangan gereja-gereja dan di tengah masyarakat menyangkut keberadaan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender), Majelis Pekerja Harian PGI menyampaikan beberapa pertimbangan sebagaimana tertera di bawah. Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai hal ini sangat beragam, dan pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan untuk menyeragamkannya. Pertimbangan-pertimbangan ini justru sebuah ajakan kepada gereja-gereja untuk mendalami masalah ini lebih lanjut. MPH-PGI akan sangat berterima kasih jika dari hasil pendalaman itu, gereja-gereja dapat memberikan pokok-pokok pikiran sebagai umpan balik kepada MPH-PGI untuk menyempurnakan sikap dan pandangan PGI mengenai masalah ini.

Pengantar
Manusia adalah gambar dan citra Allah yang sempurna. Sebagai citra Allah yang sempurna, manusia memiliki harkat dan martabat yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Allah menciptakan manusia, makhluk dan segala ciptaan yang beranekaragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, gender, orientasi seksual dan agama. Keanekaragaman ini adalah sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang seharusnya bisa kita terima dengan sikap positif dan realistis.

Bersikap positif dan realistis dalam keanekaragaman berarti kita harus saling menerima, saling mengasihi, saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain. Bersikap positif dan realistis terhadap keanekaragaman yang Allah berikan berarti kita berupaya memahami dan menerima dalam kasih segala perbedaan yang ada. Bersikap positif dan realistis terhadap kenekaragaman berarti kita melawan segala bentuk kebencian, ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan penindasan terhadap sesama manusia, segala makhluk dan segenap ciptaan Allah. Sebaliknya kita berupaya mendialogkan segala perbedaan itu tanpa prasangka negatif. Bersikap positif dan realistis berarti kita menjaga dan memelihara persekutuan manusia yang beranekaragam ini agar mendatangkan kebaikan bagi umat manusia, bagi segala makhluk dan bagi bumi ini.

Titik Tolak
Membicarakan kaum LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya.

Keberadaan manusia dengan kecenderungan LGBT merupakan sebuah fenomena yang ada sejak masa lalu. LGBT bukan produk kebudayan modern; bukan juga produk kebudayaan Barat. Fenomena LGBT ini ada dalam masyarakat kita dan secara sosio-antropologis LGBT ini sudah sejak dulu diakomodasikan dalam budaya beberapa suku di dalam masyarakat kita.

Ketika kita menghadapi persoalan moral, salah satu masalah terbesar muncul dari cara kita melakukan interpretasi terhadap teks Kitab Suci. Penafsiran terhadap teks Kitab Suci yang tidak mempertimbangkan maksud dan tujuan dari teks yang ditulis oleh para penulis Kitab Suci berpotensi menghasilkan interpretasi yang sama sekali berbeda dari tujuan teks itu ditulis. Berkenaan dengan LGBT, Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tetapi Alkitab tidak memberikan penilaian moral-etik terhadap keberadaan atau eksistensi mereka. Alkitab tidak mengeritisi orientasi seksual seseorang. Apa yang Alkitab kritisi adalah perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk yang dilakukan kaum heteroseksual, atau yang selama ini dianggap ‘normal’. Pesan utama ceritera penciptaan Adam dan Hawa (Kejadian 1:26-28; 2:18, 21-24), misalnya, adalah tentang cikal bakal terjadinya institusi keluarga dan bahwa manusia diberi tanggungjawab untuk memenuhi dan memelihara bumi. Ceritera ini sama sekali tidak ditujukan untuk menolak keberadaan kaum LGBT.

Ada beberapa teks lain dalam Alkitab yang diinterpretasikan secara kurang tepat sehingga ayat-ayat itu seolah menghakimi kaum LGBT. Padahal melalui interpretasi yang lebih akurat, kritikan Alkitab dalam ayat-ayat tersebut justru ditujukan pada obyek lain. Contohnya: Alkitab mengeritisi dengan sangat keras ibadah agama kesuburan (menyembah Baal dan Asyera, Hakim-hakim 3:7; 2Raja-raja 23:4) oleh bangsa-bangsa tetangga Israel pada masa itu, yang mempraktekkan semburit bakti yaitu perilaku seksual sesama jenis sebagai bagian dari ibadah agama Baal itu (Ulangan 23:17-18); demikian juga terhadap penyembahan berhala Romawi di zaman Perjanjian Baru (Roma 1:23-32). Alkitab juga mengeritisi sikap xenofobia masyarakat Sodom terhadap orang asing dengan cara mempraktekkan eksploitasi seksual terhadap mereka yang sesama jenis. Tujuannya adalah mempermalukan mereka (Kejadian 19: 5-11 dan Hakim-hakim 19:1-30). Oleh karena itu bagian-bagian Alkitab ini tidak ditujukan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan kaum LGBT. Teks-teks Alkitab lainnya, yang sering dipakai menghakimi kaum LGBT adalah Imamat 18:22; 20:13; 1Kor 6:9-10; 1Tim 1:10). Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab itu adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif, yang dilakukan oleh siapa pun, atas dasar apa pun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapa pun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak.

Rekomendasi
PGI mengingatkan agar kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penelitian mutakhir dalam bidang kedokteran dan psikiatri yang tidak lagi memasukkan orientasi seksual LGBT sebagai penyakit, sebagai penyimpangan mental (mental disorder) atau sebagai sebuah bentuk kejahatan. Pernyataan dari badan kesehatan dunia, WHO, Human Rights International yang berdasarkan kemajuan penelitian ilmu kedokteran mampu memahami keberadaan LGBT dan ikut berjuang dalam menegakkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993) bahwa LGBT bukanlah penyakit kejiwaan. LGBT juga bukan sebuah penyakit spiritual. Dalam banyak kasus, kecenderungan LGBT dialami sebagai sesuatu yang natural yang sudah diterima sejak seseorang dilahirkan; juga ada kasus-kasus kecenderungan LGBT terjadi sebagai akibat pengaruh sosial. Sulit membedakan mana yang natural dan mana yang nurture oleh karena pengaruh sosial. Meskipun demikian, bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukanlah merupakan pilihan, tetapi sesuatu yang terterima (given). Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.

Gereja, sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai keluarga Allah, harus belajar menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai “Tubuh Kristus”. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan secara spiritual.

PGI menghimbau gereja-gereja agar mempersiapkan dan melakukan bimbingan pastoral kepada keluarga agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga mereka yang LGBT berpotensi menciptakan gangguan kejiwaan, menciptakan penolakan terhadap diri sendiri (self-rejection) yang berakibat pada makin meningkatnya potensi bunuh diri di kalangan LGBT.

Selama ini kaum LGBT mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, dan spiritual karena stigamatisasi agama dan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan dan didiskiriminasi bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus berjuang agar kaum LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Para pemangku negara ini harus menjamin agar hak-hak asasi dan martabat kaum LGBT dihormati! Kaum LGBT harus diberikan kesempatan hidup dalam keadilan dan perdamaian.

PGI menghimbau agar gereja-gereja, masyarakat dan negara menerima dan bahkan memperjuangkan hak-hak dan martabat kaum LGBT. Kebesaran kita sebagai sebuah bangsa yang beradab terlihat dari kemampuan kita menerima dan menolong mereka yang justru sedang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Meskipun demikian, PGI sadar bahwa gereja dan masyarakat Indonesia belum bisa menerima pernikahan sesama jenis. PGI bersama dengan warga gereja dan segenap warga masyarakat masih memerlukan dialog dan percakapan teologis yang mendalam menyangkut soal ini.

Penutup
LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kitalah yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif. Oleh karena itu dibutuhkan sikap yang matang, rendah hati, rasional serta kemampuan bersikap adil dalam menyikapi kasus ini. Kita harus menjauhkan diri dari kecenderungan menghakimi atau menyesatkan siapa pun. Sebaliknya, kita harus belajar membangun persekutuan bangsa dan persekutuan umat manusia yang didasarkan pada kesetaraan dan keadilan.

Demikianlah pernyataan pastoral ini kami sampaikan pertama-tama kepada gereja-gereja di Indonesia, dan juga kepada masyarakat Indonesia seluruhnya. Kiranya gereja-gereja terus mengarahkan diri pada tuntunan Roh Kudus untuk memperdalam pemahaman dan memperkuat komitmen iman menyangkut penerimaan kaum LGBT.


Jakarta, 28 Mei 2016
Majelis Pekerja Harian PGI


---

Bicara soal LGBT, saya mencoba mencari prasangka buruk masyarakat (homofobia) yang tersebar di masyarakat Indonesia. Informasi dari tulisan Mario Rustan di magdelene.co menyatakan terdapat lima stigma umum mayoritas terhadap LGBT. pertama, LGBT adalah alasan mengapa Indonesia terus diserang oleh musibah dan wabah penyakit. Kedua, LGBT adalah tanda akhir jaman karena hubungan sesama jenis akan memusnahkan prokreasi. Ketiga, laki-laki homoseksual adalah pedofil. Keempat, LGBT adalah budaya impor dari barat yang seharusnya dihindari. Terakhir, LGBT rentan dengan HIV/AIDS.

Bicara soal identitas transgender, informasi yang saya dapatkan dari buku Titik Widayanti terkait pergulatan identitas waria di Yogyakarta mungkin dapat menjadi pengetahuan kita bersama. Titik memaparkan bahwa identitas transgender ada dalam budaya Nusantara. Ia memaparkannya dalam 3 (tiga) contoh. Penari Sadati dari Aceh, Warek dan Gemblak dalam kesenian Reog Ponorogo, dan Tledek dalam kesenian Ludruk.

Titik mengutip Hurgronye dalam tulisannya yang menyatakan bahwa laki-laki Aceh menggemari budak-budak remaja lelaki dari Nias sebagai penari (Sadati) untuk 'melayani nafsu tak alamiah' mereka. Penari Sadati ini sebagian berasal dari anak-anak orang miskin daerah pedalaman. Tidak hanya itu, puisi Sadati juga terkenal dengan erotismenya; yang sebagian besar jelas-jelas mengacu pada hubungan sesama jenis.

Sementara itu, dalam Reog Ponorogo, kita mengenal Warok dan Gemblak. Warok dikenal memiliki ilmu kanuragan atau kekebalan. Demi menjaga kesaktiannya, ia harus jauh dari perempuan.Itulah alasannya mengapa harus ada Gemblak. Gemblak adalah pemuda berumur 10-17 tahun yang menemani sang Warok. Seorang Gemblak akan dipinang oleh Warok di hadapan orang tuanya. Kontrak yang dilakukan biasanya selama dua tahun.

Dalam Ludruk pun, terdapat hal yang serupa. Tledek dalam kesenian Ludruk adalah seorang laki-laki yang berperan sebagai seorang perempuan atau biasa diperankan oleh seorang waria. Adanya waria atau penggunaan atribut perempuan oleh seorang laki-laki diawali ketika pencipta ludruk melihat seorang laki-laki berpakaian perempuan untuk mengelabui anaknya agar merasa seperti digendong ibunya.


---

Banyak pemahaman yang keliru mengenai LGBT. Di sini, saya tidak dapat menjelaskan semuanya. Tapi, hal mendasar yang harus saya terangkan adalah adanya perbedaan mengenai jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual. Dahulu, identitas seksual hanya mengenal jenis kelamin saja: perempuan dan laki-laki berdasarkan kepemilikian penis dan vagina. Sekarang, ada gender dan orientasi seksual yang ikut menjadi identitas seseorang. Gender dibedakan menjadi feminin dan maskulin di mana berkaitan dengan konstruksi sosial yang dibangun atas jenis kelamin tertentu. Misalnya: feminin cenderung lemah lembut, lebih halus, dan menggunakan perasaan ketimbang logika. Sementara itu, maskulin bersifat sebaliknya. Perlu diingat bahwa tidak harus seorang laki-laki bergender maskulin dan perempuan bergender feminin. Orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang pada orang lain; apabila ia tertarik dengan sesama jenis - dapat dikatakan ia adalah seorang homoseksual. Jika ia tertarik dengan lawan jenis, ia adalah heteroseksual.

Pentingnya pemahaman itu akan mengantarkan kita pada definisi LGBT. Lesbian dan gay (homoseksual) adalah pengelompokan berdasarkan orientasi seksual. Biseksual juga termasuk orientasi seksual, namun ia menyukai baik feminin maupun maskulin. Sementara itu, transgender adalah pengelompokan yang berbeda. Transgender adalah shifting jenis kelamin perempuan ke laki-laki ataupun sebaliknya. Di Indonesia, kita lebih mengenalnya dengan sebutan waria.

Seperti yang saya katakan sebelumnya di atas, fokus saya adalah menghindarkan kekerasan yang dapat terjadi karena perbedaan - termasuk perbedaan gender. Saya merujuk pada informasi yang dipaparkan Devi Asmarani dalam magdalene.co terkait kekerasan terhadap kasus homoseksual. Laporan ini berasal dari National LGBT Community Dialogue yang diselenggarakan pada Juni 2013 di Bali atas kerja sama UNDP dan USAID.

            Pertama, seorang transgender berusia 26 tahun harus mengubah penampilannya supaya ia bisa bekerja di salon ketika ia melihat temannya dikeroyok oleh ‘geng’ (20 orang) dan tidak dibawa ke RS oleh polisi yang menyelamatkannya. Lalu adapun kasus seorang pria gay berusia 19 tahun bekerjah sebagai petugas kesehatan harus pindah dari kostnya karena tetangga melaporkannya pada pemilik kos. Kasus berikutnya melibatkan mahasiswa 23 tahun yang dipermalukan oleh dosennya di depan kelas dan dipaksa untuk membaca Quran karena telah menjadi seorang banci. Sang dosen berkata di depan kelas: “Kalau ia masih feminin, mari kita pukul sama-sama sampai ia waras.” Terakhir, seorang 32 tahun lesbian diusir dari rumahnya ketika ‘coming out’ di media dan langsung dibawa ke Ulama serta ke dukun untuk ‘disembuhkan dari penyakit menjijikan’.

Dari kasus-kasus itu, saya ingin mengajak kita berpikir kembali tentang penghakiman-penghakiman yang kita buat di kepala kita tentang benar atau salah, moral atau amoral tentang sesuatu. Apakah seperlu itu kita memberikan label 'benar' dan 'salah' akan sesuatu? Kemudian mendidik generasi berikutnya juga untuk menghakimi? Daripada untuk menahan reaksi dan menyebarkan kasih? Soal LGBT, saya menutup tulisan ini dengan pernyataan Pope Francis pada tahun 2013 lalu: “On the occasion I said this: If a person is gay and seeks out the Lord and is willing, who am I to judge that person? I was paraphrasing by heart the Cathechism of the Catholic Church where it says that these people should be treated with delicacy and not be marginalized.” Siapakah kita, sehingga kita harus menghakimi?


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts