Dari saya, menyoal 'Menjadi Indonesia'

Picture by Soundquarium

Beberapa waktu lalu, di kelas yang saya ampu, kami mendiskusikan tentang Multikulturalisme di Indonesia. Kasus yang diangkat begitu beragam, tapi pembahasan tidak jauh lari dari wacana ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Kasus kekerasan yang terjadi di luar Pulau Jawa baik di Poso, Ambon, maupun Papua. Kekerasan yang terjadi dari ranah struktural, fisik, maupun simbolik itu dibahas lewat pengalaman mahasiswa sendiri yang memang berasal dari daerah konflik.

Momen itu mengarahkan saya pada satu pertanyaan: "Apakah definisi 'Menjadi Indonesia'?". Pertanyaan itu kemudian saya lemparkan di kelas. Menariknya, dengan kelas yang mayoritas berasal dari mahasiswa luar Jawa (yang dikenal dengan sebutan 'Seberang') dan etnis Tionghoa, mereka menyebutkan bahwa 'Menjadi Indonesia' adalah Pancasila dan berpedoman pada Bhinekka Tunggal Ika. Pertanyaan selanjutnya yang saya tanyakan adalah: "Apakah kalian merasa sudah 'Menjadi Indonesia'?" dan jawaban yang saya terima cukup mencengangkan (setidaknya untuk saya sendiri). "Saya tidak merasa menjadi bagian dari Indonesia," begitu saya kutip dari reaksi seorang mahasiswa. 

Ketika saya tanyakan lagi alasannya, mereka menjawab dengan sederhana. Selama mereka hidup 20 tahun ini, mereka tidak merasakan efek langsung Pancasila dan Bhinekka Tunggal Ika dalam kehidupan mereka. Ketidakadilan yang mereka alami mengarah pada kegagalan negara untuk menjamin kesejahteraan hidup orang-orang yang tinggal di luar Pulau Jawa. Ini jadi refleksi sendiri untuk pribadi saya. Saya mempertanyakan kembali, apa yang salah dengan negeri ini? Sehingga nosi 'persatuan dan kesatuan' seolah-olah luntur.

Saat itu, secara teoritis mungkin saya dapat menganalisis bahwa kekerasan yang terjadi di Indonesia adalah akibat politik identitas etnis yang menjamur serta kekuasaan yang tersentralisasi di Jawa, khususnya Jakarta. Bagaimana perbedaan etnis bertabrakan dengan konsep negara-bangsa, sehingga memunculkan adanya distingsi antara Jawa (self) dan Luar Pulau Jawa (Other). Jarak itu yang kemudian memunculkan timbulnya diskriminasi yang mengarah pada ketidakberaturan serta kekerasan. Bagaimana identitas komunal membentuk keinginan kolektif untuk melakukan tindakan separatis agar tidak lagi dianggap sebagai the Other di negaranya sendiri. Konflik demi konflik pun terjadi karena lemahnya pemerintah pusat dan daerah. Gerakan radikal dan ekstrimis serta intevensi asing memperparah nasionalisme negeri ini. Namun hal itu hanya terjadi secara hitam di atas putih. Orang-orang yang berada di kelas saya saat itu yang sebenarnya mengalaminya secara langsung. Saya kembali mempertanyakan paparan yang saya buat tentang Multikulturalisme di Indonesia.

Pertanyaannya adalah mengapa hal itu dapat terjadi? Kembali lagi, secara teori, desentralisasi adalah awal mula politik lokal tumbuh dan berkembang. Dengan kontrol negara yang beralih pada daerah, politik identitas dan perbedaan semakin menjadi-jadi. Sebut saja kekerasan yang terjadi baik di ranah agama maupun etnis. Konflik di Ambon (1999-2002), Poso (1998-2001), Sampit (2001), sampai di Papua. Semuanya berada di luar Pulau Jawa. Politisasi atas dasar perbedaan etnis makin menjadi-jadi dan membuahkan intoleransi, sehingga mengarah pada ilusi 'berpisah' adalah jalan terbaik untuk mengakhiri wacana ketidakadilan yang terus-menerus dilakukan oleh negara. Ya, benar memang kalau saya mampu mengetengahkan konteks historis penyebab 'keterasingan' penduduk yang mengalami ketidakadilan karena perlakuan negara.

Saya akui, saya pesimis sejak saat itu. Lucunya, saya menemukan oase di tengah maraknya nasionalisme yang digaungkan di hari kemerdekaan ini. Ibaratnya, keyakinan saya akan nosi dasar 'Menjadi Indonesia' kembali dengan cara yang menarik. Pagi tadi, seorang teman mengirimkan saya sebuah lagu karangan Ibu Sud, Tanah Airku, yang dilantunkan indah oleh AriReda. Katanya, "Tidak usah Dilawan. Menangis saja." Ya, harus saya akui, beberapa tetesan air mata jatuh pagi ini. Bukan tetesan air mata kesedihan, tapi lebih pada refleksi kembali bagaimana musik dapat mengembalikan keyakinan untuk percaya pada negeri ini.

Keyakinan saya bahwa 'Menjadi Indonesia' tidak akan pernah mudah. Wacana ketidakadilan yang dilakukan negara mungkin tidak akan usai dalam waktu dekat, tapi selalu ada kelompok-kelompok yang berusaha mengingatkan kita kembali akan 'ingatan kolektif' di mana konsep persatuan dan kesatuan bukanlah sebuah ilusi. Ingatan yang didasarkan dari sejarah kolektif ini membangkitkan empati di mana perbedaan tidak mengarah pada pemisahan, melainkan pemahaman yang lebih tinggi untuk melawan wacana ketidakadilan. Karena kalau kita sudah menyerah dalam pikiran, berpikir melepas persatuan dan kesatuan adalah jawabannya, apa lagi yang harus kita perjuangkan? Hidup perlu perjuangan untuk mencapai sebuah makna hakiki, begitu juga negara, bangsa, dan rakyatnya. 

Tidak pernah mudah memang. Di perjalanannya, ketidakpercayaan akan sebuah keadilan digerus habis waktu demi waktu, tapi selalu ada jalan untuk memilih. Di antara jalan itu, saya memilih untuk kembali percaya. Percaya bahwa konsep Tanah Air adalah bentuk dari kesadaran akan ingatan panjang yang menyakitkan. Percaya bahwa Tanah Air akan selalu terkenang, walalupun saya pergi jauh (dalam artian pesimisme saya terhadap negara ini), saya mencoba lagi dan lagi untuk mencintai dan menghargai rumah dan kampung di mana nilai-nilai kebersamaan dijunjung tinggi. Itu yang coba saya pegang saat ini. Mudah-mudahan, saya tidak lagi kalah dengan kenyataan untuk menyerah pada Indonesia. Semoga kesadaran yang sama juga melingkupi hati dan pikiran teman-teman sekalian dan tidak pernah lelah mendefinisikan dan meredefinisi kembali konsep dari 'Menjadi Indonesia'. Mengutip orang kesayangan saya, harapan itu harus selalu ada bukan?

Selamat hari kemerdekaan Indonesia. Selamat melawan wacana ketidakadilan dalam diri kita masing-masing. Semoga kita diberi cukup keberanian untuk berdiri tegak melawan lewat akal pikiran dan mengekstrasikannya lewat perbuatan.


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts