ADA APA DENGAN PAPUA?*
Selama bertahun-tahun, Pemerintah Indonesia kerap
bergelut dengan isu Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua yang tak
kunjung selesai. Isu tersebut mengemuka baik dalam lingkup nasional maupun
internasional. Seperti dikutip dari Kompas.com (19/7/2016), Koordinator
Jaringan Damai Papua, Neles Tebay menekankan pentingnya audit HAM di tanah
Papua. Adapun hal ini penting dilakukan sebagai restorasi hubungan antara masyarakat
Papua dan pemerintah.
Tebay menyatakan bahwa episentrum masalah HAM di
Papua adalah rasa curiga pemerintah terhadap 'semua' pihak yang bicara soal
HAM. Pemerintah seringkali mencap pihak-pihak itu sebagai pendukung gerakan
separatis yang dimotori oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sehingga, negara
hanya melakukan pendekatan keamanan dengan menempatkan setiap usaha penegakan
HAM sebagai gerakan separatis.
Di sisi lain, OPM atau kelompok yang selama ini
merasakan diskriminasi dari pusat melihat pemerintah sebagai penjajah. Maka,
setiap tindakan yang dilakukan baik diplomasi maupun aksi-aksi kekerasan adalah
demi usaha dekolonisasi. Relasi inilah yang menjadi akar dari
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Selama tidak ada perubahan
relasi antara kedua pihak, sulit untuk menciptakan iklim demokrasi di tanah
Papua.
Dapat dilihat bahwa konflik di Papua menempatkan dua
kubu besar, yaitu Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi slogan 'NKRI
Harga Mati' dan gerakan separatis Papua dengan memoria passionis yang mencoba menuntut lepas dari Indonesia. Kedua
kubu, khususnya Pemerintah seolah menghilangkan posisi dan peran pihak ketiga
yaitu pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia yang terus melakukan advokasi
politik untuk menciptakan iklim demokrasi di Papua. Ketika posisi kelompok ini
seharusnya dapat menjadi mediator antara negara dan civil society, keterlibatan mereka dalam advokasi justru sering
disalahkaprahkan sebagai potensi ancaman separatis Gerakan Papua Merdeka (Richard,
2011).
APA ITU
SEPARATIS?
Dinamika sosial-politik di Papua diwarnai dengan
ketakutan akan pengaruh asing. Negara memilih tidak melibatkan pihak asing dalam
penyelesaian konflik Papua. Hal ini terlihat jelas dari posisi negara yang
dikeluarkan Luhut Binsar Pandjaitan, pada saat menjabat sebagai Menko Polhukam
pada Kompas.com. Beliau yakin bahwa permasalahan di Papua dapat diselesaikan
tanpa keterlibatan pihak asing. Hal serupa juga dipaparkan Wiranto yang
sekarang menggantikan jabatan Luhut. Tidak hanya itu, Freddy Numberi, Gubernur
Papua periode 1998-2001 (Kompas.com, 18/10/2016) menyatakan bahwa tidak perlu
untuk terlalu menanggapi dunia internasional terkait isu pelanggaran HAM di
Papua. Oleh karena itu, penting untuk mengetengahkan definisi separatis dalam
tulisan ini agar dapat melihat apakah advokasi HAM dan upaya demokratisasi di
Papua merupakan sebuah potensi separatis?
Demikian dipahami untuk memberi penekanan pada fakta
bahwa semua advokasi HAM dan demokrasi yang dilakukan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat)/NGO (Non-Governmental
Organization) bukanlah usaha untuk mengoyak kesatuan NKRI. Dengan begitu,
negara bisa berpikir ulang terkait kebijakannya menutup akses NGO dalam usaha
untuk mereduksi ketimpangan yang terjadi di Papua.
Separatis, atau dikenal dengan istilah insurgensi,
diartikan sebagai perjuangan antara pihak yang tidak berkuasa terhadap pihak
penguasa, di mana pihak yang tidak berkuasa menggunakan secara sadar kemampuan
politiknya. Adapun kemampuan politik dilakukan untuk mencapai legitimasi
politik. Dalam hal ini, legitimasi merupakan pernyataan yang digunakan untuk
memposisikan 'yang benar' dan 'yang salah' dalam populasi tertentu. Tipe
gerakan separatis dibagi menjadi tujuh: anarkis, egalitarian, tradisionil,
pluralis, secessionis, reformis, dan
konservasionis.
Pada dasarnya, penyebab gerakan separatis adalah
akibat kurangnya keterlibatan kelompok minoritas dalam pengambilan keputusan
politik serta ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi. Spencer Metta dalam
tulisan JP Solossa berjudul Otonomi
Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI, mengelompokan
tujuh faktor utama sumber separatis yaitu: kecemburuan tidak berdasar terhadap
kaum pesaing, pelanggaran HAM termasuk di dalamnya pelanggaran hak-hak kebudayaan,
sosial, ekonomi, dan agama, upaya pemimpin politik untuk membakar rasa
kebencian rakyat terhadap rezim kekuasaan tertentu, adanya dominasi kelompok
tertentu yang enggan membagi kekuasaan, pengeksploitasian yang membuat kaum
minoritas rugi secara ekonomis, upaya melindungi kebudayaan dari dominasi
kebudyaan nasional, serta harapan akan modernisasi yang ditentang oleh kaum
minoritas.
NGO SEBAGAI
SALAH SATU AKTOR KONFLIK PAPUA
Muridan Widjojo, dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and
Securing the Future (2009: 20-21, 27), memaparkan bahwa setiap konflik
dalam ranah politik melibatkan keberadaan aktor-aktor yang menghadirkan wacana
dan kepentingan yang berbeda. Jadi, posisi pekerja HAM dan gerakan sosial baik
dalam lingkup nasional maupun internasional tidak serta-merta dapat
diterjemahkan sebagai potensi gerakan separatis.
Kehadiran NGO memang sebagai aktor dalam Konflik Papua dengan kepentingan demokratisasi
di Papua lewat wacana HAM, gender, dan good
governance. Namun, konflik yang terjadi terjadi justru disebabkan oleh
permasalahan kekerasan politik, pelanggaran HAM, inkonsistensi Otsus, dan
kegagalan pembangunan.
Penelitian LIPI (2004) memaparkan bahwa
kelompok-kelompok tengah (Merah Muda, Biru Muda, atau Merah Biru) tidak
ditempatkan dalam oposisi biner karena berada di wilayah abu-abu. Dalam tulisan
ini, konteks pekerja HAM yang dimaksud (kelompok-kelompok tengah) adalah
keterlibatan NGO dan organisasi sosial seperti: ALDP (Aliansi Demokrasi untuk
Papua), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), YALI (Yayasan Lingkungan), Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), SPP (Solidaritas Perempuan papua),
DAP (Dewan Adat Papua), Kepala-kepala Suku, Gereja Katolik, Gereja Protestan,
Media Massa, dan akademisi (LIPI 2004: 133-142).
Selain itu, International
Non-Governmental Organization (INGO) juga hadir sebagai aktor seperti: Amnesty International (AI) , Human Rights Watch (HRW), Institute for Papuan Advocacy and Human
Rights (IPSR/ELSHAM), (Asian Legal
Resource Centre) ALRC, Asian
Indonesia and Tribal People Network (AITPN), International Crisis Group, Human
Rights First (HRF), Australia West
Papua Association (AWPA), Pacific Caucus,
Reporteur Sans Frontiers (RSF), International
NGO Forum on Indonesian Development (INGOFID), Churches on International Affairs of the World Council of Churches (CCIAWCC),
Justice and Peace Netherlands, West-Papua
Network Germany, United Evangelical Mission (UEM) juga dapat dikategorikan
sebagai kelompok tengah atau abu-abu.
Sementara itu, dua kubu besar lainnya disebut sebagai
kelompok-kelompok pro-kemerdekaan (MS = Merah Sekali) dan kelompok-kelompok
pro-NKRI (BS = Biru Sekali). Adapun kubu MS terdiri dari OPM, TPN (Tentara
Pembebasan Nasional), DEMMAK (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), PDP
(Presidium Dewan Papua), Panel Papua, Satuan Tugas Papua, Dewan Revolusioner
OPM, Kelompok Internasional Pro-Kemerdekaan (LIPI 2004: 124-128).
Sementara itu, kubu BS terdiri TNI (Komando Daerah
Militer, Komando Pasukan Khusus, Komando Strategis Angkatan Darat), Kepolisian
Republik Indonesia (Polri), Barisan Merah Putih, Milisi Laskar Jihad, dan
kerukunan Kluarga Sulawesi Selatan (KKSS) (LIPI 2004: 128-131).
Namun keberadaan kelompok tengah seringkali hilang
karena mereka dianggap tidak mendukung strategi kedua kelompok, baik MS maupun
BS. Posisi netral kelompok tengah menjadikannya lemah sebagai aktor dalam
konflik Papua. Sehingga, keberpihakan rakyat dan kelompok internasional
mengarah pada kelompok MS (Widjojo, 2009: 22).
NGO DI
PAPUA: PERSPEKTIF DAN PERAN
Sebagai respon dari pelanggaran-pelanggaran HAM, NGO
lokal maupun internasional hadir untuk mengusahakan kondisi yang lebih baik
bagi masyarakat Papua. Pada level lokal, NGO di Papua terlibat dalam monitoring dan investigasi pelanggaran
HAM, advokasi korban, kampanye penegakan HAM, pendidikan dan penyelenggaraan
konferensi dan workshop (Tebay, 2005:
25). Sementara pada level internasional, NGO berusaha untuk mempublikasi
Konflik Papua dan melakukan negosiasi dengan pemerintah.
Pencapaian sebuah sistem di mana HAM dihargai secara
universal merupakan tujuan utama dari setiap NGO. Walaupun demikian, tujuan ini
selalu dikaitkan dengan wacana self-determination
di Papua. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam prakteknya, situasi di Papua menghadirkan
beberapa tingkatan bagi promosi HAM dan keefektivitasan NGO yang bergerak dalam
HAM.
NGO yang bergerak di bidang HAM bertujuan untuk
memberi masukan dalam terkait pembuatan kebijakan, terutama isu seputar self-determination. NGO juga berguna
untuk melakukan usaha pendekatan efektif untuk mempromosikan dan
mensosialisasikan HAM.
Self-determination
atau penentuan hak sendiri merupakan
perdebatan kebijakan di antara NGO. Dalam praktiknya, gerakan NGO di Papua
sejalan dengan filosofi liberal, namun usaha NGO dalam mengacu pada tindak self-determination jelas memiliki
ramifikasi politik yang memperlihatkan adanya 'perspektif realisme' yang hadir
dalam tindakannya (Gilbert, 2008: 96).
Jika dilihat konteks historis NGO di Papua, dalam
periode antara PEPERA pada tahun 1969 dan kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998,
aktivitas NGO dalam mempromosikan HAM di Papua sangat terbatas. Pada periode
ini, hanya sedikit NGO yang mempublikasikan pelanggaran-pelanggaran HAM di
Papua dalam tataran internasional. Kondisi politik antara penduduk Papua juga
mempersulit efektivitas struktur organisasi NGO. Pemerintah Indonesia, pada
saat itu, bergerak cepat dan brutal dalam 'membungkam' pihak oposisi (Riker,
2000), sehingga advokasi HAM justru dilakukan oleh organisasi berbasis agama.
Di Papua sendiri, agama Kristen memiliki pengaruh besar pada civil society di Papua. Keberadaan
gereja dan NGO lokal dalam gambaran tahun 1998 merupakan refleksi dari
Kristianitas dalam budaya di Papua.
Hubungan antara NGO lokal dan internasional menjadi
penting dalam konstelasi politik di Papua. Dalam hal ini, mekanisme NGO yang
memiliki jaringan kerja global tentu melibatkan NGO HAM di seluruh dunia.
Informasi yang didapatkan dari NGO lokal akan disebarluaskan ke NGO
internasional. Setelah itu, data pelanggaran akan disampaikan pada Badan-badan
PBB dan Special Raporteur yang
memantau masalah HAM (Richard, 2011).
Selain itu, NGO internasional juga aktif mengangkat
isu pelanggaran HAM di Papua ke forum PBB untuk menekan pemerintah Indonesia
agar segera menyelesaikan Konflik Papua. Beberapa isu pelanggaran HAM Papua
yang diangkat NGO dalam forum PBB, antara lain: Kasus kekerasan
dan penyiksaan, Kasus Abepura (Desember 2000), Wasior (Juni 2001), Wamena
(April 2003), Abepura Berdarah (Maret 2006), Pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001)
dan Opinus Tabuni (2008). Pembangunan
Papua yang tidak dialaskan nilai-nilai lokal, diskriminasi orang Papua dalam
dunia kerja, perampasan tanah adat karena Transmigrasi dan pembangunan kamp
militer tanpa kompensasi pada masyarakat adat. Kekerasan
simbolis akibat pengibaran bendera Bintang Kejora yang diakhiri penangkapan
oleh aparat dari tahun 1998-2008, Operasi di Paniai (1998), Puncak Jaya (2004),
dan Tolikara (2005), dan kegagalan Otsus
Namun seiring perkembangannya, pemerintah justru
membatasi bahkan menutup akses NGO Internasional ke Papua (HRW, 2015). Laporan
terakhir dikutip dari Ellva Rori, selaku Koordinator Oxfam wilayah timur
Indonesia: "Kebijakan dari Kementerian Sosial menyatakan bahwa semua izin
kerja sama dari semua NGO Internasional tidak dapat diperpanjang lagi. Hanya
dapat bekerja di Papua sampai Desember 2015" (BBC, 13/12/2015).
Beberapa contoh lain terkait pembatasan negara
terhadap NGO, yaitu: Peace Brigades
International dipaksa untuk mengakhiri pekerjaannya di Papua pada tahun
2011, dengan menolak travel permit para
volunteer ke daerah pedesaaan. Dalam
beberapa tahun terakhir, visa yang diajukan Amnesty Internasional dan HRW
selalu ditolak. Pada tahun 2010, NGO Cordaid dihentikan karena dianggap
mendukung aktivis Papua (kelompok MS). Pada tahun 2009, pihak otoritas memaksa International Committee of Red Cross untuk
menutup kantornya di Papua.
Pembatasan akses negara pada NGO sunguh disayangkan. Demikian
terjadi karena kegiatan yang dilakukan NGO Internasional bersifat katalis dalam
pembangunan. Sebagai contoh, Oxfam Internasional, bekerja sama dengan KIPRa
(Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat), berupaya meningkatkan
kesejahteraan petani kakao dengan memberi penyuluhan, pembinaan, dan penyediaan
peralatan penunjang lainnya.
REKOGNISI SOVEREIGNTY LEWAT ADVOKASI SEBAGAI
SOLUSI
Pada konteks hubungan internasional saat ini, permasalahan
Papua dan usaha yang dilakukan NGO memberi pemahaman bahwa adanya advokasi HAM
dan kedaulatan negara justru mengarah pada konflik. Dalam kasus Papua dan Pemerintah
Indonesia, bentuk legitimasi negara adalah sebuah realitas politik yang tidak
mudah dinegosiasikan, baik lewat perjuangan internal maupun usaha melobi
komunitas internasional. Dari peristiwa ini, maka dapat disimpulkan bahwa
penolakan pemerintah atas 'bantuan pihak asing' dan represi militer bukanlah
solusi dari usaha untuk de-eskalasi konflik. Pemerintah perlu merekognisi
konsep sovereignty lewat advokasi
sebagai solusi alternatif Konflik Papua.
Kedua, perlu adanya perhatian lebih akan dialog HAM
di Papua dalam lingkup internasional terutama yang melibatkan pemerintah. Untuk
menjembatani solusi kedua, posisi kelompok tengah menjadi penting dalam
menjembatani konflik antara kelompok MS dan BS di Papua, tanpa menimbulkan
'ancaman separatis' dalam konteks kepentingan Indonesia.
Usaha NGO lokal rentan dikategorikan dengan ancaman
separatis, sementara kampanye internasional dapat menciptakan ruang politik
lebih besar dan lebih bersifat netral. Mekanisme ini dapat merefleksikan
implementasi dari pemahaman 'realistic
liberalism'. Oleh karena itu, keberadaan NGO internasional dan dibarengi
dengan kontribusi NGO lokal serta civil
society yang berorientasi pada solusi konflik Papua tentu dapat menciptakan
iklim 'terbuka akan dialog'. Hal ini perlu terus diusahakan agar level 'ancaman
separatis' di mata negara dapat menurun.
Dapat dilihat bahwa pendekatan perdamaian dalam level
internasional justru membawa dampak positif daripada menimbulkan potensi
separatis. Salah satu contohnya adalah UN
Review 2005: West Papua Action Special.
Hal itu merupakan kampanye internasional yang dilakukan untuk mengkaji
ulang PEPERA dan mencuri banyak perhatian kalangan NGO HAM Internasional sehubungan
Konflik Papua. Selanjutnya pada level domestik, usaha untuk mengelaborasi
kampanye internasional dapat dilakukan dengan membedakan antara non-political dan political rights. Pembedaan itu perlu dilakukan untuk mereduksi konsekuensi politik negatif yang mungkin timbul.
Perlu ditekankan bahwa generalisasi potensi ancaman
separatis di kalangan NGO domestik bukanlah sesuatu yang bijak. Banyak aktor
dalam Konflik Papua yang melakukan pendekatan 'menolak kekerasan' dan
mengadvokasi dialog sebagai alternatif kampanye HAM pada level domestik. Awalnya,
dorongan untuk melakukan dialog justru hadir di kelompok tengah sebagai usaha demokratisasi
di Papua. Hal ini tetap menjadi 'gaung' dalam pergerakan kelompok tengah (Bonay
& McGrogy, 2004: 40; Faith-Based Network on West Papua, 2005; Catherine
Scott & Tebay, 2005; Tebay. 2006).
Sebagai contoh, pergerakan NGO lokal dan civil society group ketika mengadakan
konferensi Papua: Land of Peace di
Jayapura pada Oktober 2002. Dalam konferensi ini, baik dari kelompok MS dan BS
menyatakan bahw segala bentuk kekerasan di Papua sebagai sebuah tindakan yang tidak
solutif dan justru memperparah dialog yang mengarah pada Papua damai.
Selain itu, usaha 'dialog' juga terlihat dari
pemerintah dan NGO di pada tahun 2008, LIPI mengeluarkan Papua Road Map sebagai pemetaan konflik dan usaha mencari solusi
alternatif di Papua. Dalam proses pencapaiannya, LIPI bekerjasama dengan JDP
(Jaringan Damai Papua) yang dengan konsisten membangun usaha dan pendekatan
dialog Jakarta-Papua.
Usaha-usaha rekonsiliasi terus dilakukan NGO yang tertuju
pada pemerintah agar dapat mengurangi kehadiran militer di tanah Papua.
Sementara itu, dukungan internasional terus berjalan lewat usaha untuk membuka
ruang politik dalam agenda kampanye internasional. Contohnya, laporan-laporan
yang dikeluarkan HRW sebagai NGO Internasional yang memiliki pengaruh besar di
dunia internasional. Berikut beberapa laporan terkait pelanggaran HAM yang
terjadi di Papua yang dikeluarkan HRW: Kopassus Siksa Orang Papua di Merauke
(2009), Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua (2007), Violence and Political Impasse in Papua (2001),
Endemic Abuse and Impunity in Papua's
Central Highlands (2007), dan Something
to Hide? Indonesia's Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in
Papua (2015).
ADAKAH
PROGRES DALAM PROSES PERDAMAIAN DI PAPUA?
Adanya progres terlihat dalam pemerintahan Jokowi
saat ini seperti dikutip dalam Kompas.com (01/07/2016) dalam diskusi bertajuk "Merumuskan Kebijakan Konstruktif dalam
Upaya Penyelesaian Konflik Papua," Jaleswari Pramodharwardani, Deputi
V Bidang kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan Keamanan dan
HAM Kantor Staf Presiden, menyatakan
bahwa Jokowi tidak lagi melakukan pendekatan militer, namun pendekatan
pembangunan yang fokus pada kesejahteraan. Usaha untuk menyelesaikan
pelanggaran di Papua juga dilakukan. Pemerintah menyatakan sedang menangani
kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014). Apresiasi patut
diberikan, namun proses ini harus terus dipantau agar tidak jalan di tempat.
Tantangan akan usaha penyelesaian juga berada pada
jajaran birokrasi yang memiliki pengetahuan yang minim tentang Papua. Hal
inilah yang harus diberikan perhatian lebih agar tidak menghambat pendekatan
kesejahteraan. Untuk itu, usaha untuk melakukan dialog harus terus dilakukan.
LIPI, dalam hal ini, terus mengusahakan dialog dan solusi akan Konflik Papua
yang dirangkum dalam Papua Road Map jilid 2. Peluncuran Papua Road Map 2 dilakukan
tanggal 14 Oktober 2016 lalu.
Empat agenda yang ditawarkan dalam Papua Road Map
jilid 2, seperti ditulis dalam Papua Post (17/10/2016) yaitu: rekognisi yang
berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas
marjinalisasi dan diskriminasi, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi
pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan
publik, dialog berlandaskan rasa saling percaya sebagai upaya berdamai dengan
sejarah masa lalu dan menyamakan persepsi dalam memandang masa depan, dan
rekonsiliasi yang mengarah pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan
pelanggaran HAM serta kesediaan otoritas negara untuk mengakui kekeliruan masa
lalu
Di luar progres positif, satu kritik perlu
disampaikan pada pemerintah dalam usahanya mencari solusi terhadap Konflik
Papua. Apabila pemerintah memang melakukan pendekatan pembangunan yang fokus
pada kesejahteraan Papua, pemerintah seharusnya tidak perlu menutup
keterlibatan pihak asing sebagai katalis pembangunan. Perlu ditegaskan bahwa
keberadaan NGO dan komunitas internasional bukan sebagai ancaman separatis bagi
kedaulatan NKRI. Peran NGO dan komunitas internasional justru dapat membantu
pemerintah 'mempercepat' pembangunan di Papua.
*) Tulisan dibuat untuk Majalah Lentera edisi November 2016
Comments
Post a Comment