2018: Segala yang Mampu, Membisu

"Sudah tiada lagi rindu, ia mengawang di awan dan kita kira kita bisa mati tumpas di antaranya," (PJI/MANADO/2017)


“Biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah dia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri. Bagiku, kata-kata hiburan hanya sekadar membasuh kaki. Memang menyegarkan. Tapi tiada arti. Barangkali pada titik inilah kita berpisah...” 
― Pramoedya Ananta ToerArus Balik 


2017 sungguh menyenangkan. Saya tidak pernah menyangka mengalami sendiri fiksi-fiksi yang pernah saya baca (saya tidak berani menuliskannya di sini, tapi saya rasa beberapa orang akan paham konteksnya). Karena saya menutup akhir tahun dan mengawalinya dengan buku Pramoedya yang saya tahan-tahan betul untuk saya baca, demikian tulisan ini saya buka dengan kutipan dari buku itu: "Barangkali pada titik inilah kita berpisah..."

Pada akhirnya, perbuatan manusia yang menentukan; yang mengawali dan mengakhiri. 2017 mungkin penuh dengan kata-kata hiburan: menyegarkan, tapi tiada arti. Oleh karena itu, saya banyak sekali berhenti pada titik untuk mengucapkan perpisahan. Menjadi 27 mengajarkan saya banyak hal, tapi kebebalan saya membuat saya maju mundur seperti ular tangga. Tapi, itu menyenangkan. Tanpa ledakan, tanpa ketegangan, kita tidak pernah tahu bahwa kita bertumbuh dengan kesempatan-kesempatan untuk lebih mampu mengontrol ego diri, menyerah pada idealisme diri sendiri, misalnya? Bahwasanya, berdamai dengan kehidupan berarti mampu menjadi realistis dan bukan berarti apa yang kita perjuangkan berhenti. Selalu ada banyak cara, pun itu tidak mengajar. Entahlah. Begitu banyak yang saya pertanyakan tentang kehidupan dan tidak saya temukan jawabannya kecuali dalam diri saya sendiri. Terlalu banyak opsi memang membuat kita tak mampu membedakan pasrah dan berserah. Sungguh.

Mungkin 2018 akan menawarkan hal yang jauh lebih baik, apapun itu, mengajar atau tidak, hidup di kota kecil yang saya pilih dua tahun lalu atau tidak, perlahan mengobati ego yang patah (ya, bukan hati karena hati tentu lebih mudah diobati daripada ego), atau melepaskan fiksi-fiksi yang saya bangun dalam kata-kata.

Segalanya memerlukan kebijaksanaan dalam memilih dan memilah tentang apa yang dibagi pada setiap unggahan. Menulis di jurnal menjadi pilihan saya lagi setelah sejak 2008, saya menulis segalanya dalam blog ini. Mungkin 2018 adalah tahun terakhir saya berkutat pada blog ini. Mungkin. Kita tidak pernah tahu, tapi begitulah rencananya. Setidaknya, saya pamit perlahan. Seperti yang selalu saya lakukan jika memang sesuatu hal punya arti lebih untuk saya.

Semoga juga saya bertumbuh lagi dan lagi untuk memaafkan. Seperti yang penah saya tulis dalam kumpulan tulisan saya tiga atau empat tahun lalu: "Kemampuan untuk bertumbuh menandakan kita telah sembuh." Memaafkan dan ikhlas adalah hal tersulit (lebih sulit daripada tidak memaki ketika nonton Ayat-ayat Cinta 2, misalnya?). Pada akhirnya, semoga yang tersakiti oleh perkataan dan perbuatan saya sengaja maupun tidak disengaja, mampu menolerir apapun yang menyinggung hati mereka. Kadang menjadi jujur, lisan maupun tulisan, bukan menjadi budaya kita...dan itu menyulitkan saya. Mungkin itu juga yang harus saya ubah.

Yang terutama dari usaha memulai tahun 2018, kemampuan untuk mengerti dan memahami kekurangan orang lain. Perihal ketidakmampuan orang untuk menjadi sesuatu, pemakluman-pemakluman yang harus dibuat dalam setiap segi interaksi. Semakin dewasa, semakin saya merasa harus memahami kalau tidak semua orang sempurna, tidak semua orang pandai, tidak semua orang luwes, tidak semua orang jujur. Semua perlu dimaklumi. Namun bukan berarti pemakluman disejajarkan dengan 'diam' yang berbalut dalam kesopanan. Di antara segala pemakluman, ketidakjujuran tak perlu diagihkan dalam diam dengan pemakluman.

Semoga saya mampu melihat batasan tipis antara keduanya.

Tulisan ini tanpa tendensi apapun, hanya mengikuti jari yang bergerak di pukul empat pagi WITA. Hanya mengikuti impuls hati yang tiba-tiba gegabah karena ada luka yang mencuat begitu saja di antara riuhnya pergantian tahun. Dua tahun lalu, saya membuat puisi dalam hitungan mundur tahun baru. Saya katakan: "Tiga...dua...satu...setahun aku merindumu." Tahun ini, saya hanya mampu mengucapkan beberapa kata dalam hati, entah puisi, entah janji: "Di antara kembang api, ada luka bersemai karena puisi tentang harapan atas kisah, di antara kembang api, di waktu yang tak jauh berbeda, ada luka menganga atas pembacaan puisi tadi. Aku mohon diri, mungkin setahun merindu tak lagi mampu kau maklumi. Seperti langit biru, aku melepasmu di antara awan-awan. Karena kita semua tentu pantas mendapatkan harapan, bahkan harapan atas sesuatu yang belum selesai atau belum pernah dimulai..."

Semoga kita bahagia,
dan
semoga kebahagiaan kita tidak menjadi pilu dan kelu orang lain.

Selamat tahun baru 2018,
selamat menghidupi hidup.

Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts