Fides Quaerens Intellectum: Dialog di Persimpangan Agama dan Politik

Gambar diambil oleh Annisa Heningtyas, UK, 2018.


Beberapa narasi besar kembali meruncing sejak lima tahun terakhir: intoleransi, radikalisme, keberagaman, kebangsaan, hingga dialog antar-agama. Politik identitas menjadi perbincangan yang tidak dapat dihindarkan jelang Pemilu 2019, baik dalam ranah akademisi sampai obrolan warung kopi. Hal ini membuat saya merunutkan kembali definisi-definisi dari banyak narasi dan mencoba menceritakan kembali dalam tulisan ini. Apakah memang benar dialog antaragama adalah sebuah kebutuhan yang mendesak? Saya mencoba menjawab pertanyaan itu lewat tulisan ini. Tulisan yang saya bagi menjadi tiga bagian, fenomena intoleransi dan radikalisme, persimpangan keberagaman dan kebangsaan, dan dialog antar-agama sebagai titik temu dalam dialektika pendidikan agama, utamanya agama Kristen di Indonesia.

Benarkah intoleransi antar-umat beragama meningkat? Bagaimana posisi negara, kebangsaan, agama dan politik di Indonesia pada saat ini? Apa yang dapat kita lakukan? Cherian Gaorge (2017) dalam buku Pelintiran Kebencian menjelaskan bahwa propaganda kebencian yang menjadi awal mula konflik berasal dari primordialisme, berakar dari psikologi kesukuan dan diperkuat oleh ujaran para nabi dan pengkhotbah; keduanya bermuara pada tafsir manusia akan firman Tuhan. Gaorge menjelaskan pelintiran kebencian adalah kebebasan atas nama demokrasi yang menggerogoti nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini terlihat dari bagaimana agama digunakan sebagai strategi menghina dalam pertarungan politik; yang menyebabkan kita sampai pada penyalahgunaan kekuasaan dengan hadirnya perundang-undangan terkait penistaan agama yang kontraproduktif, yang menempatkan 'klaim ketersinggungan' sebagai 'kekuatan koersif' negara (hal. vii).

Selain itu, banyak temuan di daring yang mengungkap intoleransi dan radikalisme sebagai fenomena sosial yang dihadapi bangsa ini, sebagaimana dipaparkan LIPI (Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan/IPSK) lewat temuan awal risetnya yang meripakan Program Prioritas Nasional Bappenas tahun 2018 yang disampaikan dalam "Sosialisasi dan Diskusi Temuan Awal Penelitian Intoleransi dan Radikalisme" pada 30 Oktober 2018. Utamanya, media sosial yang menjadi ladang ujaran kebencian serta memberi ruang  mewabahnya disrupsi informasi. Tendensi muncul karena perasaan terancam dengan keberadaan kelompok lain. Perasaan terancam kemudian menjadi ujaran kebencian dengan meliyankan kelompok yang dianggap 'lain'. LIPI berusaha menyikapi fenomena ini dengan mengumpulkan 1.800 responden di sembilan provinsi dan menganalisis diskursus serta jaringan dalam media sosial dalam survey nasional. Hasil studi LIPI menyebutkan dua hal utama penyebab tingginya intoleransi di Indonesia yaitu, 'fanatisme agama' dan 'iliterasi media sosial'.

Azyumardi Azra, PPIM UIN, berpendapat bahwa penyebab utama maraknya intoleransi adalah 'psike intoleran' yang dapat dilihat dari penerapan 'standar ganda' dalam setiap kelompok. Apa itu standar ganda? Suatu hal yang berlaku bagi kelompok saya, bukan berarti berlaku bagi kelompok anda. Standardisasi ganda tidak hanya terjadi pada yang berbeda agama, tapi juga pada yang berbeda denominasi. Hal ini merebak ibarat tangga eskalasi intoleransi. Pertanyaannya kembali pada kemampuan individu memahami 'teks' dalam agama serta meletakkannya dalam konteks masyarakat, termasuk posisinya dalam negara. pehamaham 'teks' kitab suci dalam kompleksitas masyarakat modern yang majemuk ini tidak dapat diperloeh secara naif, melainkan lewat interpretasi. Jika tidak, tegangan 'Siapa yang paling benar?' hanya berputar dalam 'standar' setiap kelompok, yang mengarah pada eksklusivitas dan segregasi 'pemahaman' masing-masing.

Narasi Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dan beragam menempatkan pemahaman keliru tentang 'kebebasan' bagi beberapa kelompok, sebagai individu, utamanya menyoal interpretasi. Hal inilah yang memupuk tiga hal yang dijelaskan sebelumnya sebagai akar intoleransi dan radikalisme (fanatisme agama, iliterasi media, dan psike intoleran dalam penerapan standar ganda). Nosi kebenaran menjadi pusat dalam politik identitas. Individu menempatkan seolah-olah kebenaran sifatnya absolut. Bahwasanya, dikotomi kebenaran adalah sesuatu yang baik dan sifatnya 'pemahaman' kelompoknya saja yang 'terbaik' dan benar, sehingga menjadikan 'liyan' sebagai hal yang salah, buruk, dan berdosa.

Contoh saja, peristiwa pemotongan salib makam saat pemindahan Ibadah Arwah salah satu umat di Paroki Pringgolayan, 18 Desember 2018, di Yogyakarta; sebelumnya, dua peristiwa yang sama juga terjadi sampai pada ancaman kekerasan fisik. Dalam penyelesaiannya, muncul istilah 'harmoni sosial semu' yang kemudian mempertanyakan kembali apakah 'intoleransi' bersinonim dengan 'harmoni sosial semu'? Apakah demokrasi dan keberagaman memberikan ruang multiinterpretasi yang memberi benefit pada kelompok tertentu untuk mempelintirkan nosi 'kebenaran'? Pertanyaan tentang kebenaran membuat saya kembali menilik perihal sofisme, yang menganggap kebenaran yang sebenar-benarnya tidak mungkin tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah (Hatta, 1964: 2-3). Diawali dengan begitu banyak retorika sebagai alat pembela kebenaran dielu-elukan, sofisme mengantarkan Athena pada kelenyapan paham. Kebenaran hanya sebatas jumlah orang yang mengakuinya sebagai kebenaran. Apa bedanya hal itu dengan 'harmoni sosial semu' dalam peristiwa yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu lalu?

Untuk mendefinisikan demokrasi dalam konteks keberagaman, perlu memahami juga kesalahpahaman dan ketidakpahman, tidak berhenti sekadar pada 'pemahaman' saja. Mengutip F. Budi Hardiman (2015) soal keberagaman dan kebangsaan, dalam masyarakat majemuk yang berada pada proses demokratisasi dan globalisasi, perlu digarisbawahi adanya perbedaan signifikan dalam kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Terkait standar ganda, batasan itu kadang menempatkan 'liyan' pada kesalahpahaman atau pemahaman 'seberang' adalah pemahaman yang keliru; padahal itu hanyalah ketidaksepahaman di mana 'liyan' seharusnya dilihat sebagai fenomena tidak terhindarkan dalam masyarakat yang beragam. Dalam percakapan politik dan agama, Hardiman pun menjelaskan, 'memahami' nampak tidak mungkin karena tidak segalanya perlu dipahami, tapi setidaknya orang akan mencoba memahami 'batas-batas' pemahaman (hal. 22-23) (Hatta, 1964: 1-9).

Di titik inilah, saya menempatkan argumen utama saya akan pentingnya dialog sebagai usaha membangun serta merawat narasi Damai dan kebangsaan di tengah keberagaman, lewat komparasi pentingnya 'dialektika' Socrates, yang menjadi titik tolak kebangkitan Athena pasca-Sofisme. Diawali dengan menanggalkan 'absolutisme kebenaran', maka pemahaman dapat dilakukan dengan dua metode: metode induksi dan metode definisi; di mana induksi menjadi dasar dari definisi. Metode Socrates dikenal dengan maieutik yang bertujuan untuk mencapai daimonion (Tuhan yang dirasai sebagai suara dari dalam; yang menjadi bimbingan dalam perbuatan). Metode pembelajaran dalam Filsafat Yunani Klasik yang digunakan di Academia dan menjadi dasar peradaban modern. Dalam menyasar permasalahan yang kerap terjadi dalam dialog, saya mencoba mendudukan penyebab psike intoleran lebih dahulu, yang kemudian mengarah pada standar ganda, lalu fanatisme agama, dan berakhir pada pemahaman pentingnya dialog antaragama.

Perlu dipahami, bahwa psike intoleran merupakan kesadaran yang dibentuk dalam waktu panjang. Dalam buku Seni Memahami, Hardiman menjelaskan bahwa agama merupakan sebuah Weltanschaung atau wawasan dunia yang secara menyeluruh mengendap dalam batin para pemeluknya dan menjadi identitas. Weltanschaung berasal dari kitab suci. Hal ini mengarah pada literalisme skriptural sebagai hal menantang untuk dijelaskan. Apa kaitan kitab suci, literalisme skriptural dengan psike intoleran? Kitab suci dianggap sebagai sumber otoritas dalam penilaian religius dan moral masyarakat. Sehingga, kitab suci dianggap sebagai kebenaran final yang sifatnya absolut. Hardiman menyatakan bahwa dampak non-literal dari hal ini adalah orang yang tidak percaya pada kitab suci dianggap tidak patuh pada otoritas; yang menjadi psike intoleran.

Sejak abad ke-11, fideisme muncul sebagai pandangan yang menolak peran nalar dan memutlakkan iman dalam menanggapi kitab suci. Fideismelah yang memporak-pondakan pemahaman tentang hubungan agama dan potilik, yang menjadi sebab langgengnya psike intoleran. Aksi-aksi intoleran mulai muncul untuk melayani kekuasaan. Psike intoleran melepaskan nalar dari iman, sehingga pemeluk agama tidak perlu mempertanyaan otoritas (Hardiman, 2015: 311-314).

Akibat otoritas dalam penggunaan kitab suci, psike intoleran mengarah menjadi fanatisme agama. Nalar yang tak digunakan pun tumpul. Hardiman pun menyatakan hal serupa dalam bukunya, "Literalisme sebagai sumber tekstual ekstremisme agama" (2015: 315). Radikalisme agama bermunculan pasca 9/11 sebagai fenomena global. Literalisme skriptural menjadi masalah praktis ketika ayat-ayat yang mendukung kekerasan menjadi Weltanschauung. Paul Cliteur menjelaskan bahwa kaum ekstrimis bertumpu pada kesetiaan otoritas kitab suci, bukan persoalan interpretasi mereka. Itu adalah dua hal berbeda. Dalam fanatisme agama, kitab suci tidak hanya bersifat absolut, tapi juga otoritatif. Ketaatan pemeluk agama menjadi kepentingan-kepentingan politis untuk mengontrol mereka, sehingga teks-teks yang diambil hanya yang dianggap mendukung idelogi kekerasan (dalam psike intoleran). Pemahaman dalam setiap kelompok inilah yang membentuk dikotomi in-group dan out-group yang mengarah pada eksklusivitas.

Ralph W. Hood dalam buku The Psychology of Religious Fundamentalism yang dirujuk dalam Seni Memahami menjelaskan model intertekstual yang dapat dipraktekkan dalam dialog antaragama yang digambarkan sebagai berikut:


Dalam persimpangan agama dan politik, kita menasbihkan sebuah kebenaran dalam ketersesatan psike intoleran kita. Pertanyaan menariknya, dalam kasus pemotongan salib misalnya, mengapa masyarakat dapat membuat kesepakatan yang sifatnya berlawanan dengan konstitusi berdasarkan mayoritas pemeluk agama di wilayah itu? Mengapa psike intoleran dapat begitu nyata menjadi fanatisme agama dalam peristiwa itu? Kasus Pemakaman Umat Berbeda Agama di Kotagede adalah contoh baik dalam melihat perbedaan antara kebenaran relatif dan kesalahpahaman dalam intertekstualitas persimpangan agama dan politik (seperti yang digambarkan pada model intertekstualitas fundamentalisme agama oleh Hood).

Dalam kasus Kotagede, FKUB menyimpulkan salah satu faktor yang menyebabkan peristiwa itu terjadi adalah situasi psikososial masyarakat setempat yang memunculkan kesepakatan lisan untuk menerima pemakaman warga non-Muslim dengan persyaratan tidak ada simbol salib agar tidak menimbulkan kegelisahan warga kampung setempat. Marilah kita analisis kasus ini lebih jauh,  lihatlah 'Simbol Salib' sebagai sebuah teks sakral (dalam model Hood) yang diasosiasikan pada agama Kristen, sementara 'Situasi psikososial yang memunculkan kesepakatan lisan' sebagai kebenaran relatif. Bagaimana mayoritas Muslim dapat membuat kesepakatan yang sifatnya berlawanan dengan konstitusi negara membuktikan bagaimana analisis Wood dalam psikologi fundamentalisme agama adalah tepat.

Bahwasanya, intertekstualitas hanya digunakan antara kebenaran relatif dan teks sakral, tanpa menghubungkannya dengan keyakinan-keyakinan periferi. Ketika intertekstualitas terperangkap dalam lingkaran Hood, di situlah psike intoleran berkembang biak. Hal itu menjelaskan situasi psikososial yang terjadi dalam kasus Kotagede. Alpanya dialog yang mempelajari sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteks (keyakinan periferal). Masyarakat Kotagede menepikan konteks sejarah dan kebudayaan, lebih luasnya lagi konteks demokrasi dan toleransi umat beragama yang dirangkum dalam konstitusi negara ini.

Untuk itulah, penting untuk melepaskan fideisme dalam usaha memahami agama dan politik, dengan kata lain, untuk menginisiasi dialog. Perlu adanya nalar dalam iman, fides quaerens intellectum. Dialog seharusnya menempatkan iman untuk mencari pemahaman. Dialog seharusnya tidak melepaskan keyakinan periferal, dalam usahanya menafsirkan intertekstual teks sakral. Pierre Bayle dalam Hardiman menyatakan bahwa irisan iman dan kepentingan kekuasaan terletak pada suara hati dan nalar. Distingsinya jelas pada melepaskan ayat-ayat kekerasan sebagai pembenaran, sehingga persekusi dan diskriminasi dapat diminimalisir.

Hal ini mengarahkan pada poin terakhir saya, iliterasi media sosial. Saya pikir merupakan hal yang penting untuk memahami kembali arti literasi dan pentingnya literasi dalam dunia pendidikan. Mengutip Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal, literasi dalam pendidikan melibatkan 4 (empat) aspek penting: kognitif, sosial, bahasa, dan emosi. Dalam dua poin awal, saya sudah menjelaskan terkait proses kognitif antara persimpangan politik dan agama. Dalam literasi, saya mencoba menyentuh aspek sosial, bahasa dan emosi yang terkadang menjebak individu dalam perdebatan politik identitas tak berujung. Apa yang sebenarnya perlu dilatih dalam literasi? Logika dan penalaran. Terkait dengan emosi, sosial dan bahasa, merunut sebab-akibat sebagai argumentasi dalam praksis (sikap) dan leksis (tuturan) baik dalam realita dan virtual.

Menurut J. Dewey, dikutip dalam Haryatmoko, ada lima hal yang perlu dilakukan untuk melatih literasi, yaitu: status questions atau kesadaran akan suatu masalah dalam situasi tertentu; kedua, mengamati fakta, mencari definisi dan mengklasifikasikannya; ketiga, mencari solusi yang dianggap mungkin; keempat, menimbang konsekuensi dari solusi yang ditawarkan pada poin ketiga; terakhir, memverifikasi konsekuensi dalam poin keempat apakah kemudian sesuai dengan poin ketiga atau tidak. Kelima langkah inilah yang kemudian dapat diaplikasilan dalam etika menggunakan media sosial. Dialog dapat terjadi jika kita mampu mengaplikasikan model intratekstual Wood dan lima langkah Dewey, sehingga titik temu antara agama dan politik adalah toleransi dan rasa hormat akan tiap perbedaan pemahaman.

Secara khusus, sebagai pendidik, dialog seharusnya menjadi basis pengajaran. Tidak hanya terbatas dalam konteks dialog antaragama, tetapi dalam menanggapi nosi ketidakadilan yang terjadi akibat kesenjangan identitas, baik itu agama, ras, etnis maupun gender. Sesuai dengan temuan riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah menciptakan inklusivitas dalam aspek materi pengajaran. Diskusi dengan kelompok yang berbeda perlu diadakan untuk mengurangi prasangka in-group dan out-group. Selain itu, perlu adanya aktivitas pengajaran yang menempatkan peserta kelas dalam kemajemukan sejak dini. Fokus pada aspek tenaga pengajar dengan penyediaan pelatihan pendidikan lintas-agama, lintas-etnis, lintas-gender.

Terkhusus pada agama, saya mencoba mengintegrasikan metode Hood dan Dewey pada sebuah Project-Based-Learning. Misalnya, dalam konteks agama dan politik, dialektika antara teks, konteks dan kontekstualisasi perlu dihadirkan dalam kelas. Pengajaran diarahkan bagi peserta kelas untuk melatih keempat aspek terkait literasi: kognitif, emosi, sosial, dan bahasa.  Untuk mencapai tujuan itu, pendekatan yang dilakukan harus menempatkan peserta kelas pada problematika saat ini.  Hal paling penting dalam keberhasilan dialog dalam project-based-learning adalah kuatnya jejaring komunikasi antara tiap agensi dalam dialog, lalu dialog harus terjadi dalam ruang dengan basis kelompok akar rumput yang tidak bias agama dan politik.

Dengan menyakini bahwa ilmu, agama dan wawasan kebangsaan sifatnya integratif dan tidak dapat dilepaskan dari peran peserta kelas dalam keluarga, kelompok, hingga warga negara, saya menyasar lembaga pendidikan non-formal gereja untuk memfokuskan pengembangan pendidikan integratif dalam pemahaman intertekstualitas antara 'teks sakral' dengan 'keyakinan periferal'-nya. Oleh karena itu, setiap Pelayanan Kategorial di gereja diharapkan dapat melibatkan komunitas beragama lainnya lewat aktivitas sederhana dan beragam dari kesenian, baik fotografi, kegiatan musik, bincang film, hingga diskusi untuk lebih mengenal aspek primordial yang kerapkali menjadi pangkal ketidaksepahaman. Bukan lagi terjebak dalam nosi hubungan antarjemaat dalam gereja saja, tapi gereja harus mampu berjalan lebih jauh dan berdialog lintas-agama, lintas-ras/etnis, hingga lintas-gender, dalam ruang apapun, baik virtual maupun realita. Gereja harus terus mengusahakan dialog. Gereja harus turut ambil bagian untuk melatih logika dan penalaran agar runut. Gereja juga harus terus mengusahakan agar ujaran dan aksi berimbang, ingroup dan outgroup.

Referensi

Atmasari, Nadia, 2018, "Ketua RT Jelaskan Alasan Warga Potong Nisan Salib Makam Purbayan" dalam HarianJogja.com, (Online), https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/12/19/510/959798/ketua-rt-jelaskan-alasan-warga-potong-nisan-salib-di-makam-purbayan diakses pada 4 Februari 2019, 15:05 WIB.
Azra, Azyumardi, 2015, "Toleransi Keagamaan" dalam PPIM UIN Jakarta, (Online), https://ppim.uinjkt.ac.id/category/2/post/intoleransi-keagamaan, diakses pada 4 Februari 2019, 16:45 WIB.
BBC Indonesia, 2018, "Dikubur di Makan Kampung Muslim,  Nisan Salib Dipotong, Doa Batal" dalam Nasional BBC Indonesia, (Online), https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46604707 diakses pada 4 Februari 2019, 14:35 WIB.
Convey Indonesia, 2018, "Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan" dalam Convey Indonesia, (Online), https://conveyindonesia.com/gen-z-intoleransi-dan-pembaharuan-pendidikan-agama/ diakses pada 4 Februari 2019, 16:05 WIB.
Gaorge, Cherian.  (2017). Pelintiran Kebencian. Jakarta: PUSAD Paramadina.
Hardiman, F. Budi. (2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Haryatmoko. (2016). Analisis Wacana Kritis. Depok: Rajawali Press.
Hatta, Mohammad. (1963). Alam Pikiran Yunani. Djakarta: Tintamas.


*) TULISAN INI DIBUAT UNTUK PUBLIKASI PGI (PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA)

Comments

Popular Posts