Fides Quaerens Intellectum: Dialog di Persimpangan Agama dan Politik
Beberapa narasi besar kembali meruncing sejak lima tahun
terakhir: intoleransi, radikalisme, keberagaman, kebangsaan, hingga dialog
antar-agama. Politik identitas menjadi perbincangan yang tidak dapat
dihindarkan jelang Pemilu 2019, baik dalam ranah akademisi sampai obrolan
warung kopi. Hal ini membuat saya merunutkan kembali definisi-definisi dari
banyak narasi dan mencoba menceritakan kembali dalam tulisan ini. Apakah memang
benar dialog antaragama adalah sebuah kebutuhan yang mendesak? Saya mencoba
menjawab pertanyaan itu lewat tulisan ini. Tulisan yang saya bagi menjadi tiga
bagian, fenomena intoleransi dan radikalisme, persimpangan keberagaman dan
kebangsaan, dan dialog antar-agama sebagai titik temu dalam dialektika
pendidikan agama, utamanya agama Kristen di Indonesia.
Benarkah intoleransi antar-umat beragama meningkat? Bagaimana
posisi negara, kebangsaan, agama dan politik di Indonesia pada saat ini? Apa
yang dapat kita lakukan? Cherian Gaorge (2017) dalam buku Pelintiran Kebencian menjelaskan bahwa propaganda kebencian yang
menjadi awal mula konflik berasal dari primordialisme, berakar dari psikologi
kesukuan dan diperkuat oleh ujaran para nabi dan pengkhotbah; keduanya bermuara
pada tafsir manusia akan firman Tuhan. Gaorge menjelaskan pelintiran kebencian
adalah kebebasan atas nama demokrasi yang menggerogoti nilai-nilai demokrasi
itu sendiri. Hal ini terlihat dari bagaimana agama digunakan sebagai strategi
menghina dalam pertarungan politik; yang menyebabkan kita sampai pada
penyalahgunaan kekuasaan dengan hadirnya perundang-undangan terkait penistaan
agama yang kontraproduktif, yang menempatkan 'klaim ketersinggungan' sebagai
'kekuatan koersif' negara (hal. vii).
Selain itu, banyak temuan di daring yang mengungkap
intoleransi dan radikalisme sebagai fenomena sosial yang dihadapi bangsa ini,
sebagaimana dipaparkan LIPI (Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Kemanusiaan/IPSK) lewat temuan awal risetnya yang meripakan Program Prioritas
Nasional Bappenas tahun 2018 yang disampaikan dalam "Sosialisasi dan
Diskusi Temuan Awal Penelitian Intoleransi dan Radikalisme" pada 30
Oktober 2018. Utamanya, media sosial yang menjadi ladang ujaran kebencian serta
memberi ruang mewabahnya disrupsi
informasi. Tendensi muncul karena perasaan terancam dengan keberadaan kelompok
lain. Perasaan terancam kemudian menjadi ujaran kebencian dengan meliyankan
kelompok yang dianggap 'lain'. LIPI berusaha menyikapi fenomena ini dengan
mengumpulkan 1.800 responden di sembilan provinsi dan menganalisis diskursus
serta jaringan dalam media sosial dalam survey nasional. Hasil studi LIPI
menyebutkan dua hal utama penyebab tingginya intoleransi di Indonesia yaitu, 'fanatisme agama' dan 'iliterasi media sosial'.
Azyumardi Azra, PPIM UIN, berpendapat bahwa penyebab utama
maraknya intoleransi adalah 'psike
intoleran' yang dapat dilihat dari penerapan 'standar ganda' dalam setiap kelompok. Apa itu standar ganda? Suatu
hal yang berlaku bagi kelompok saya, bukan berarti berlaku bagi kelompok anda. Standardisasi
ganda tidak hanya terjadi pada yang berbeda agama, tapi juga pada yang berbeda
denominasi. Hal ini merebak ibarat tangga eskalasi intoleransi. Pertanyaannya
kembali pada kemampuan individu memahami 'teks' dalam agama serta meletakkannya
dalam konteks masyarakat, termasuk posisinya dalam negara. pehamaham 'teks'
kitab suci dalam kompleksitas masyarakat modern yang majemuk ini tidak dapat
diperloeh secara naif, melainkan lewat interpretasi. Jika tidak, tegangan 'Siapa
yang paling benar?' hanya berputar dalam 'standar' setiap kelompok, yang
mengarah pada eksklusivitas dan segregasi 'pemahaman' masing-masing.
Narasi Indonesia sebagai bangsa yang demokratis dan beragam
menempatkan pemahaman keliru tentang 'kebebasan' bagi beberapa kelompok, sebagai
individu, utamanya menyoal interpretasi. Hal inilah yang memupuk tiga hal yang
dijelaskan sebelumnya sebagai akar intoleransi dan radikalisme (fanatisme
agama, iliterasi media, dan psike intoleran dalam penerapan standar ganda). Nosi
kebenaran menjadi pusat dalam politik identitas. Individu menempatkan
seolah-olah kebenaran sifatnya absolut. Bahwasanya, dikotomi kebenaran adalah
sesuatu yang baik dan sifatnya 'pemahaman' kelompoknya saja yang 'terbaik' dan
benar, sehingga menjadikan 'liyan' sebagai hal yang salah, buruk, dan berdosa.
Contoh saja, peristiwa pemotongan salib makam saat pemindahan
Ibadah Arwah salah satu umat di Paroki Pringgolayan, 18 Desember 2018, di
Yogyakarta; sebelumnya, dua peristiwa yang sama juga terjadi sampai pada
ancaman kekerasan fisik. Dalam penyelesaiannya, muncul istilah 'harmoni sosial
semu' yang kemudian mempertanyakan kembali apakah 'intoleransi' bersinonim
dengan 'harmoni sosial semu'? Apakah demokrasi dan keberagaman memberikan ruang
multiinterpretasi yang memberi benefit pada kelompok tertentu untuk mempelintirkan
nosi 'kebenaran'? Pertanyaan tentang kebenaran membuat saya kembali menilik
perihal sofisme, yang menganggap kebenaran yang sebenar-benarnya tidak mungkin
tercapai, maka tiap-tiap pendirian boleh benar dan boleh salah (Hatta, 1964: 2-3).
Diawali dengan begitu banyak retorika sebagai alat pembela kebenaran
dielu-elukan, sofisme mengantarkan Athena pada kelenyapan paham. Kebenaran
hanya sebatas jumlah orang yang mengakuinya sebagai kebenaran. Apa bedanya hal
itu dengan 'harmoni sosial semu' dalam peristiwa yang terjadi di Yogyakarta beberapa
waktu lalu?
Untuk mendefinisikan demokrasi dalam konteks keberagaman,
perlu memahami juga kesalahpahaman dan ketidakpahman, tidak berhenti sekadar
pada 'pemahaman' saja. Mengutip F. Budi Hardiman (2015) soal keberagaman dan
kebangsaan, dalam masyarakat majemuk yang berada pada proses demokratisasi dan
globalisasi, perlu digarisbawahi adanya perbedaan signifikan dalam
kesalahpahaman dan ketidaksepahaman. Terkait standar ganda, batasan itu kadang
menempatkan 'liyan' pada kesalahpahaman atau pemahaman 'seberang' adalah
pemahaman yang keliru; padahal itu hanyalah ketidaksepahaman di mana 'liyan'
seharusnya dilihat sebagai fenomena tidak terhindarkan dalam masyarakat yang
beragam. Dalam percakapan politik dan agama, Hardiman pun menjelaskan,
'memahami' nampak tidak mungkin karena tidak segalanya perlu dipahami, tapi
setidaknya orang akan mencoba memahami 'batas-batas' pemahaman (hal. 22-23)
(Hatta, 1964: 1-9).
Di titik inilah, saya menempatkan argumen utama saya akan pentingnya
dialog sebagai usaha membangun serta merawat narasi Damai dan kebangsaan di
tengah keberagaman, lewat komparasi pentingnya 'dialektika' Socrates, yang
menjadi titik tolak kebangkitan Athena pasca-Sofisme. Diawali dengan
menanggalkan 'absolutisme kebenaran', maka pemahaman dapat dilakukan dengan dua
metode: metode induksi dan metode definisi; di mana induksi menjadi dasar dari
definisi. Metode Socrates dikenal dengan maieutik
yang bertujuan untuk mencapai daimonion (Tuhan
yang dirasai sebagai suara dari dalam; yang menjadi bimbingan dalam perbuatan).
Metode pembelajaran dalam Filsafat Yunani Klasik yang digunakan di Academia dan menjadi dasar peradaban modern. Dalam
menyasar permasalahan yang kerap terjadi dalam dialog, saya mencoba mendudukan penyebab
psike intoleran lebih dahulu, yang
kemudian mengarah pada standar ganda,
lalu fanatisme agama, dan berakhir
pada pemahaman pentingnya dialog
antaragama.
Perlu dipahami, bahwa psike intoleran merupakan kesadaran
yang dibentuk dalam waktu panjang. Dalam buku Seni Memahami, Hardiman menjelaskan bahwa agama merupakan sebuah Weltanschaung atau wawasan dunia yang
secara menyeluruh mengendap dalam batin para pemeluknya dan menjadi identitas. Weltanschaung berasal dari kitab suci.
Hal ini mengarah pada literalisme skriptural sebagai hal menantang untuk
dijelaskan. Apa kaitan kitab suci, literalisme skriptural dengan psike
intoleran? Kitab suci dianggap sebagai sumber otoritas dalam penilaian religius
dan moral masyarakat. Sehingga, kitab suci dianggap sebagai kebenaran final
yang sifatnya absolut. Hardiman menyatakan bahwa dampak non-literal dari hal
ini adalah orang yang tidak percaya pada kitab suci dianggap tidak patuh pada
otoritas; yang menjadi psike intoleran.
Sejak abad ke-11, fideisme
muncul sebagai pandangan yang menolak peran nalar dan memutlakkan iman
dalam menanggapi kitab suci. Fideismelah yang memporak-pondakan pemahaman
tentang hubungan agama dan potilik, yang menjadi sebab langgengnya psike
intoleran. Aksi-aksi intoleran mulai muncul untuk melayani kekuasaan. Psike
intoleran melepaskan nalar dari iman, sehingga pemeluk agama tidak perlu mempertanyaan
otoritas (Hardiman, 2015: 311-314).
Akibat otoritas dalam penggunaan kitab suci, psike intoleran
mengarah menjadi fanatisme agama. Nalar
yang tak digunakan pun tumpul. Hardiman pun menyatakan hal serupa dalam
bukunya, "Literalisme sebagai sumber tekstual ekstremisme agama"
(2015: 315). Radikalisme agama bermunculan pasca 9/11 sebagai fenomena global.
Literalisme skriptural menjadi masalah praktis ketika ayat-ayat yang mendukung
kekerasan menjadi Weltanschauung. Paul
Cliteur menjelaskan bahwa kaum ekstrimis bertumpu pada kesetiaan otoritas kitab
suci, bukan persoalan interpretasi mereka. Itu adalah dua hal berbeda. Dalam
fanatisme agama, kitab suci tidak hanya bersifat absolut, tapi juga otoritatif.
Ketaatan pemeluk agama menjadi kepentingan-kepentingan politis untuk mengontrol
mereka, sehingga teks-teks yang diambil hanya yang dianggap mendukung idelogi
kekerasan (dalam psike intoleran). Pemahaman dalam setiap kelompok inilah yang
membentuk dikotomi in-group dan out-group yang mengarah pada
eksklusivitas.
Ralph W. Hood dalam buku The
Psychology of Religious Fundamentalism yang dirujuk dalam Seni Memahami menjelaskan model
intertekstual yang dapat dipraktekkan dalam dialog antaragama yang digambarkan
sebagai berikut:
Dalam persimpangan agama dan politik, kita menasbihkan sebuah kebenaran dalam ketersesatan psike intoleran kita. Pertanyaan menariknya, dalam kasus pemotongan salib misalnya, mengapa masyarakat dapat membuat kesepakatan yang sifatnya berlawanan dengan konstitusi berdasarkan mayoritas pemeluk agama di wilayah itu? Mengapa psike intoleran dapat begitu nyata menjadi fanatisme agama dalam peristiwa itu? Kasus Pemakaman Umat Berbeda Agama di Kotagede adalah contoh baik dalam melihat perbedaan antara kebenaran relatif dan kesalahpahaman dalam intertekstualitas persimpangan agama dan politik (seperti yang digambarkan pada model intertekstualitas fundamentalisme agama oleh Hood).
Dalam kasus Kotagede, FKUB menyimpulkan salah satu faktor
yang menyebabkan peristiwa itu terjadi adalah situasi psikososial masyarakat
setempat yang memunculkan kesepakatan lisan untuk menerima pemakaman warga
non-Muslim dengan persyaratan tidak ada simbol salib agar tidak menimbulkan
kegelisahan warga kampung setempat. Marilah kita analisis kasus ini lebih jauh,
lihatlah 'Simbol Salib' sebagai sebuah
teks sakral (dalam model Hood) yang diasosiasikan pada agama Kristen, sementara
'Situasi psikososial yang memunculkan kesepakatan lisan' sebagai kebenaran
relatif. Bagaimana mayoritas Muslim dapat membuat kesepakatan yang sifatnya
berlawanan dengan konstitusi negara membuktikan bagaimana analisis Wood dalam
psikologi fundamentalisme agama adalah tepat.
Bahwasanya, intertekstualitas hanya digunakan antara
kebenaran relatif dan teks sakral, tanpa menghubungkannya dengan
keyakinan-keyakinan periferi. Ketika intertekstualitas terperangkap dalam
lingkaran Hood, di situlah psike intoleran berkembang biak. Hal itu menjelaskan
situasi psikososial yang terjadi dalam kasus Kotagede. Alpanya dialog yang
mempelajari sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteks (keyakinan
periferal). Masyarakat Kotagede menepikan konteks sejarah dan kebudayaan, lebih
luasnya lagi konteks demokrasi dan toleransi umat beragama yang dirangkum dalam
konstitusi negara ini.
Untuk itulah, penting untuk melepaskan fideisme dalam usaha
memahami agama dan politik, dengan kata lain, untuk menginisiasi dialog. Perlu adanya nalar dalam iman, fides
quaerens intellectum. Dialog
seharusnya menempatkan iman untuk mencari pemahaman. Dialog seharusnya tidak
melepaskan keyakinan periferal, dalam usahanya menafsirkan intertekstual teks
sakral. Pierre Bayle dalam Hardiman menyatakan bahwa irisan iman dan
kepentingan kekuasaan terletak pada suara hati dan nalar. Distingsinya jelas
pada melepaskan ayat-ayat kekerasan sebagai pembenaran, sehingga persekusi dan
diskriminasi dapat diminimalisir.
Hal ini mengarahkan pada poin terakhir saya, iliterasi media sosial. Saya pikir
merupakan hal yang penting untuk memahami kembali arti literasi dan pentingnya
literasi dalam dunia pendidikan. Mengutip Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal,
literasi dalam pendidikan melibatkan 4 (empat) aspek penting: kognitif, sosial,
bahasa, dan emosi. Dalam dua poin awal, saya sudah menjelaskan terkait proses
kognitif antara persimpangan politik dan agama. Dalam literasi, saya mencoba menyentuh
aspek sosial, bahasa dan emosi yang terkadang menjebak individu dalam
perdebatan politik identitas tak berujung. Apa yang sebenarnya perlu dilatih
dalam literasi? Logika dan penalaran. Terkait dengan emosi, sosial dan bahasa,
merunut sebab-akibat sebagai argumentasi dalam praksis (sikap) dan leksis
(tuturan) baik dalam realita dan virtual.
Menurut J. Dewey, dikutip dalam Haryatmoko, ada lima hal yang
perlu dilakukan untuk melatih literasi, yaitu: status questions atau kesadaran akan suatu masalah dalam situasi
tertentu; kedua, mengamati fakta, mencari definisi dan mengklasifikasikannya;
ketiga, mencari solusi yang dianggap mungkin; keempat, menimbang konsekuensi
dari solusi yang ditawarkan pada poin ketiga; terakhir, memverifikasi
konsekuensi dalam poin keempat apakah kemudian sesuai dengan poin ketiga atau
tidak. Kelima langkah inilah yang kemudian dapat diaplikasilan dalam etika
menggunakan media sosial. Dialog dapat terjadi jika kita mampu mengaplikasikan
model intratekstual Wood dan lima langkah Dewey, sehingga titik temu antara
agama dan politik adalah toleransi dan rasa hormat akan tiap perbedaan
pemahaman.
Secara khusus, sebagai pendidik, dialog seharusnya menjadi
basis pengajaran. Tidak hanya terbatas dalam konteks dialog antaragama, tetapi
dalam menanggapi nosi ketidakadilan yang terjadi akibat kesenjangan identitas,
baik itu agama, ras, etnis maupun gender. Sesuai dengan temuan riset PPIM UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah
menciptakan inklusivitas dalam aspek materi pengajaran. Diskusi dengan kelompok
yang berbeda perlu diadakan untuk mengurangi prasangka in-group dan out-group.
Selain itu, perlu adanya aktivitas pengajaran yang menempatkan peserta kelas
dalam kemajemukan sejak dini. Fokus pada aspek tenaga pengajar dengan
penyediaan pelatihan pendidikan lintas-agama, lintas-etnis, lintas-gender.
Terkhusus pada agama, saya mencoba mengintegrasikan metode Hood
dan Dewey pada sebuah Project-Based-Learning.
Misalnya, dalam konteks agama dan politik, dialektika antara teks, konteks
dan kontekstualisasi perlu dihadirkan dalam kelas. Pengajaran diarahkan bagi
peserta kelas untuk melatih keempat aspek terkait literasi: kognitif, emosi,
sosial, dan bahasa. Untuk mencapai
tujuan itu, pendekatan yang dilakukan harus menempatkan peserta kelas pada
problematika saat ini. Hal paling
penting dalam keberhasilan dialog dalam project-based-learning
adalah kuatnya jejaring komunikasi antara tiap agensi dalam dialog, lalu
dialog harus terjadi dalam ruang dengan basis kelompok akar rumput yang tidak
bias agama dan politik.
Dengan menyakini bahwa ilmu, agama dan wawasan kebangsaan sifatnya
integratif dan tidak dapat dilepaskan dari peran peserta kelas dalam keluarga,
kelompok, hingga warga negara, saya menyasar lembaga pendidikan non-formal
gereja untuk memfokuskan pengembangan pendidikan integratif dalam pemahaman
intertekstualitas antara 'teks sakral' dengan 'keyakinan periferal'-nya. Oleh
karena itu, setiap Pelayanan Kategorial di gereja diharapkan dapat melibatkan
komunitas beragama lainnya lewat aktivitas sederhana dan beragam dari kesenian,
baik fotografi, kegiatan musik, bincang film, hingga diskusi untuk lebih
mengenal aspek primordial yang kerapkali menjadi pangkal ketidaksepahaman.
Bukan lagi terjebak dalam nosi hubungan antarjemaat dalam gereja saja, tapi
gereja harus mampu berjalan lebih jauh dan berdialog lintas-agama, lintas-ras/etnis,
hingga lintas-gender, dalam ruang apapun, baik virtual maupun realita. Gereja
harus terus mengusahakan dialog. Gereja harus turut ambil bagian untuk melatih
logika dan penalaran agar runut. Gereja juga harus terus mengusahakan agar ujaran
dan aksi berimbang, ingroup dan outgroup.
Referensi
Atmasari, Nadia, 2018, "Ketua RT Jelaskan Alasan Warga Potong Nisan
Salib Makam Purbayan" dalam HarianJogja.com, (Online), https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/12/19/510/959798/ketua-rt-jelaskan-alasan-warga-potong-nisan-salib-di-makam-purbayan
diakses pada 4 Februari 2019, 15:05 WIB.
Azra, Azyumardi, 2015, "Toleransi Keagamaan" dalam PPIM UIN
Jakarta, (Online), https://ppim.uinjkt.ac.id/category/2/post/intoleransi-keagamaan,
diakses pada 4 Februari 2019, 16:45 WIB.
BBC Indonesia, 2018,
"Dikubur di Makan Kampung Muslim,
Nisan Salib Dipotong, Doa Batal" dalam Nasional BBC Indonesia,
(Online), https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46604707 diakses pada
4 Februari 2019, 14:35 WIB.
Convey Indonesia, 2018,
"Gen-Z, Intoleransi dan Pembaharuan Pendidikan" dalam Convey
Indonesia, (Online), https://conveyindonesia.com/gen-z-intoleransi-dan-pembaharuan-pendidikan-agama/
diakses pada 4 Februari 2019, 16:05 WIB.
Gaorge, Cherian. (2017). Pelintiran Kebencian. Jakarta: PUSAD
Paramadina.
Hardiman, F. Budi.
(2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari
Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Haryatmoko. (2016).
Analisis Wacana Kritis. Depok: Rajawali Press.
Hatta, Mohammad. (1963).
Alam Pikiran Yunani. Djakarta: Tintamas.
*) TULISAN INI DIBUAT UNTUK PUBLIKASI PGI (PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA)
Comments
Post a Comment