Missionary as Humanity Work: A Stepping Stone
"Speak up for those who cannot speak for themselves; ensure justice for those being crushed."
— Proverbs 31: 8
Akhir-akhir ini, Semesta sedang baik-baiknya. Sebelumnya, saya ingin berbagi kabar bahagia: saya diterima untuk presentasi di Council for World Mission untuk bicara soal Agama dan Gender di Indonesia. Selebihnya, banyak pula penolakan yang terjadi dalam aplikasi beasiswa dan fellowship. Tapi, ada satu yang benar-benar membuat saya mempertanyakan kembali semuanya. Saya akan paparkan dalam tulisan ini. Tulisan ini murni deskripsi, mungkin lebih pada refleksi. Hari Selasa, Jam 2 pagi. Dini hari. Saya merasa harus kembali menulis lagi. Jadi, di sinilah saya, mencoba menuliskan sekiranya apa yang berputar-putar dalam benak saya di jam-jam kecil. 11 Februari 2019, saya baru saya menerima dua panggilan wawancara untuk menjadi misionaris. Seharusnya, saya tidak menuliskannya di sini. Kenapa? Karena jika saya mendapatkan fellowship ini, artinya saya harus meninggalkan pekerjaan saya yang sekarang. Ada dua hal yang mengganggu pikiran saya sejak dua minggu lalu, sesaat saya menerima pengumuman bahwa saya lolos tahap administrasi Global Mission Fellow 2019. Pertama, apakah ini yang ingin saya lakukan? Kedua, apakah saya mampu melakukannya? Masih dalam ranah pertanyaan pertama, saya berat melepaskan pekerjaan saya sekarang, dengan pertimbangan bahwa saya masih harus menyelesaikan banyak hal.
Tiga tahun adalah waktu yang sebentar untuk 'bertumbuh' bersama komunitas dan mengembangkan potensi yang ada dalam komunitas itu, bersamaan dengan mengembangkan kapasitas diri saya dalam peran apapun yang saya emban dalam komunitas. Saya merasa harus tinggal lebih lama. Di sisi lain, saya merasa ada bagian diri saya yang meminta lebih, menuntut lebih, ingin lebih, dalam hal pengembangan diri. Bukan berarti tempat saya berada saat ini tidak memberikannya pada saya. Justru sebaliknya, tempat ini membuat saya nyaman lebih dari yang saya perkirakan. Saya bertemu dengan banyak orang-orang yang memberikan saya inspirasi untuk melakukan lebih; orang-orang yang percaya dan memberikan tanggung jawab besar sekali. Terkadang, saya berpikir, Semesta baik sekali pada saya. Diberikannya saya, segala yang saya perlukan. Walaupun, saya disesah dalam jalan yang tidak mudah. Poin kedua saya gumuli dengan amat berat. Sebelum wawancara pagi tadi, saya sudah membatalkan wawancara pada tanggal 30 Januari 2019. Saya berniat untuk tidak hadir pada wawancara pagi tadi. Saya tidak yakin, itu alasannya. Buat saya pribadi, aneh rasanya jika saya harus menjadi misionaris yang tidak yakin pada diri saya sendiri. Lebih lagi, saya seringkali meragukan apa yang saya imani. Saya merasa bukan kandidat tepat. Never crossed in my mind to apply to be missionary. Tapi, di sinilah saya, menuliskan apa yang menjadi pergumulan saya. Mungkin dalam paragraf selanjutnya, pembaca tidak akan menemukan hal signifikan tentang pergumulan saya. Dalam unggahan ini, saya hanya berbagi saja. Terlepas dari kepercayaan pembaca, saya yakin bahwa dalam setiap titik balik dalam kehidupan kita, kita berbagi keresahan dan ketidakyakinan yang sama.
Keputusan
untuk mendaftar kegiatan ini timbul paruh akhir tahun 2018. Ketika mendengar
program Global Mission Fellow di
bawah United Methodist Church, saya
mencoba mencari informasi tentang denominasi dan misi-misi kemanusiaan yang
mereka lakukan. Mungkin prasangka saya di awal, saya selalu mengidentifikasi
misionaris sebagai pekerjaan suci, yang melibatkan keyakinan tinggi dan
orang-orang terpilih untuk melakukannya dalam nama gereja. Jujur saja, saya
adalah orang yang skeptis dengan gereja. Saya melihat bagaimana gereja
mengeksklusifkan dirinya dan memotong jembatan dengan permasalahan-permasalahan
nyata yang dihadapi masyarakat. Seperti saya katakan, pernyataan saya itu
didasari prasangka. Seperti kata Pram, "Adil
lah sejak dalam pikiran." Untuk itu saya menahan banyak sekali
prasangka saya, kemudian memutuskan untuk terlibat dalam kegiatan pengembangan
komunitas pemuda gereja. Saya mulai aktif sejak 2008. Hampir sebelas tahun.
Saya memulai dengan pikiran bahwa gereja seharusnya membawa perubahan nyata
bagi masyarakat. Saya banyak belajar dan bertumbuh dalam gereja, terlepas dari
ketidaksepahaman saya tentang bagaimana gereja menanggapi perbedaan dengan
penggunaan moral superiority yang
dibungkus oleh Alkitab. Contoh: dualitas surga dan neraka ketika kita
membicarakan orang yang pindah agama, bagaimana khotbah kemudian memandang 'rendah'
denominasi gereja lain, sindiran tentang bergereja tidak boleh pindah-pindah,
sampai pada teguran 'keras' pemimpin agama tentang nosi 'sesat' bagi penganut
kepercayaan lokal. Dulu, saya tidak paham di mana salahnya. Saya hanya merasa
seharusnya narasi-narasi itu tidak timbul bagi orang-orang yang berada dalam
gereja. Masih banyak lagi cerita lainnya, singkat cerita, hal itulah yang
memutuskan saya untuk lebih jauh masuk ke dalam pelayanan gereja. Apakah demi
Tuhan? Demi gereja? Jujur, tidak. Saya melakukannya demi nilai kemanusiaan
universal yang justru saya dapatkan di kampus lewat filsafat; kajian budaya dan
humaniora. Kesadaran itu justru membawa saya pada keputusan bahwa 'menjadi
Kristen' adalah memegang tinggi 'Kasih' sebagai panduan hidup, dan 'Kasih'
selalu berselaras dengan nilai kemanusiaan universal. Saya tahu alasan saya
menjadi Kristen. Saya memilih menjadi Kristen, walaupun banyak sekali
pertanyaan tentang filsuf idola saya yang notabene Atheis.
Dari
titik itulah, saya melihat bagaimana gereja adalah pergulatan dalam narasi
kehidupan sehari-hari. Semakin saya terlibat, semakin saya sadar bahwa
perubahan itu tidak datang dari keputusan besar. Perubahan datang justru dari
keputusan-keputusan kecil yang saya buat. Semisal, bagaimana gereja kadang
tidak menyadari potensi pemuda dalam membawa perubahan di luar komunitas
Kristen. Gereja seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat, terlepas dari
identitas 'Kristen' yang ada dalam gereja, dalam hal ini, saya bicara soal
GPIB. Keputusan saya untuk bekerja sama dengan GKI, membantu apa yang dapat
saya bantu dalam membentuk Rumah Pintar, mengarahkan saya pada keputusan
lainnya untuk mengajar teman-teman saya yang berbeda kepercayaan. And they are happy about it. Saya
menjadikan pelayanan 'gereja' tidak terbatas pada 'gereja', dan menghapus
stigma bahwa pengembangan komunitas, khususnya pendidikan, merupakan tanggung
jawab gereja. Saya ingat betul, khotbah salah satu Pendeta ketika kegiatan yang
kami lakukan sukses. Ia berkata: "Hal ini adalah hal yang baik, tapi
jangan sombong karena kalian sudah melakukan hal seperti ini." Perkataan
itu tepat dan mengena di hati saya hingga saat ini. Ketika kita melakukan hal
yang dianggap baik bagi kemanusiaan, kesombongan adalah hal yang harus
dijauhkan. Sesaat ketika orang-orang mengelu-elukan nama kita, di saat itu pula
kita diuji dalam kemampuan kita terus berada dalam pengembangan komunitas. Apa
yang saya lakukan? Saya menggunakan momen itu untuk mengajak makin banyak
pemuda/i untuk bergabung. Tapi, persoalan serupa. Tidak banyak yang ingin
menjadi kader untuk diribetkan melakukan rancangan kegiatan jangka panjang
macam itu. Pergumulan saya masih sama hingga saat ini; kaderisasi. But we all are working for it, right?
Cukup
untuk pergumulan saya bersama pemuda. Semakin tua, pergumulan juga semakin besar.
Dengan pergumulan yang semakin banyak, berkat yang diberikan juga semakin
melimpah sebenarnya. Saya mengalami itu. Tapi, semakin jauh saya berjalan; saya
justru semakin tidak yakin dengan apa yang saya lakukan. Bukan dengan misinya,
tapi dengan kemampuan saya untuk melakukan hal itu. Jadi, ketika orang berpikir
bahwa seorang yang ahli tidak punya pergumulan yang dialami orang yang baru
belajar, saya rasa itu tidak tepat. Kemampuan untuk meragukan diri sendiri jadi
penting untuk membuat kita sadar, posisi kita dalam usaha kita membangun
kemanusiaan. Dalam konteks ini, pelayanan. Dari basis cerita saya di atas, saya
menjadi pengajar. Tidak perlu saya ceritakan di sini bagaimana pergulatan saya
hari lepas hari selama tiga tahun terakhir. Saya banyak bercerita dalam
unggahan sebelumnya. Perjalanan saya sebagai pengajar inilah yang membawa
dampak paling besar dalam kehidupan saya. I
learn three most valuable things: resilience
(learn the difference between giving up and surrender), take a step back from
every conflict (you don't have to engage in every battle), also breath and walk
slowly everytime you feel everything is too much (enjoy life, complain but also
be grateful). Tiga tahun terakhir ini, saya disesah menjadi pribadi yang
(masih) keras kepala untuk tidak tunduk pada otoritas apalagi jika otoritas
salah, saya tahu apa yang saya inginkan, dan saya berusaha sebaik mungkin pada
setiap tugas yang diberikan pada saya. Tapi, di saat bersamaan, saya diajarkan
kapan untuk diam dan mengerjakan apa yang harus saya kerjakan. Hidup tidak
se-ideal itu, dan saya harus berkompromi dengan banyak hal. Satu-satunya yang
tidak saya kompromikan adalah "respect
is earned, not given voluntarily."
Pada
satu titik kehidupan saya, tahun lalu tepatnya, saya merasa 'kurang'. Dalam
artian, ada yang kosong dalam rutinitas saya selama mengajar tiga tahun ini.
Saya merasa jika saya dalam situasi seperti ini terlalu lama, saya akan besar
kepala, dan hal itu tidak baik. Saya tidak ingin besar kepala, saya tidak mau
dilabeli 'Oh anak ini bisa diandalkan,
minta dia saja kerjakan semuanya.' Saya merasa ada yang tidak tepat. Itu
tidak sesuai dengan prinsip saya untuk 'bertumbuh bersama.' Dalam pengembangan
komunitas, setiap anggotanya harus punya kesediaan bertumbuh bersama supaya
segala sesuatu yang diusahakan sifatnya saling memenuhi satu sama lain. Tapi,
setelah kompromi panjang, saya merasa semakin jauh dari hal itu. Tumbuh jadi
peran yang diambil beberapa individu, sisanya hanya berlindung di balik pohon
yang tumbuh saja. Saya sangat mungkin keliru, tapi itulah yang saya rasakan.
Sampai saat ini pun, saya masih melakukan apa yang menjadi kewajiban saya. But every man for himself. Not everyone will
walk with you towards better things, only few will do it. Bukan berarti
saya tidak menghargai 'yang sedikit' itu. Justru di situlah rasa berat hati
saya timbul. Tidak adil rasanya meninggalkan 'yang sedikit' karena kekosongan
yang saya rasakan, still, I'm struggling
with it. Ini bukan saja persoalan sistem, tapi lebih dari itu. Persoalannya
menjalar pada kesadaran di kelas, sampai ke pola pengajaran dan evaluasi. I feel like I need more energy to be able to
finish everything. Melelahkan secara emosional, pelayanan sudah lagi tak
sehat. Karena pada akhirnya, saya terlalu banyak mengeluh daripada bersyukur. Mungkin itulah yang membuat saya mempertanyakan kembali perjalanan saya; sebagai pelayan, sebagai pengajar, sebagai manusia. Pertanyaan yang diberikan psikolog saya menjadi relevan: "Jika tidak diterima, apa yang Anda lakukan?" Saya menjawab konstan, mungkin pelayanan saya masih harus menjadi pengajar di tempat ini. Di titik inilah saya sadar, saya paham betul bedanya 'menyerah' dan 'berserah'.
Refleksi
saya sampai pada ketakutan saya untuk wawancara. Sabtu malam, saya sudah
berencana tidak ikut, seperti yang saya katakan pada paragraf awal. Tapi, saya
akhirnya memutuskan untuk mendiamkan keputusan saya. Menundanya. Membiarkan
keputusan saya mengalir dengan membuka pintu lain yang membuat saya yakin
apakah saya harus mengikuti wawancaranya atau tidak. Saya menjalani akhir pekan
itu dengan produktif. Malamnya, saya bertemu dengan beberapa dosen senior dan
perwakilan dari PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) terkait tulisan
saya untuk terbitan PGI. Lebih dari pada itu, kami mendiskusikan kemungkinan
diskusi panel dalam Seminar Gereja-gereja yang akan dilaksanakan Juli mendatang
di Salatiga. Saya mengusulkan adanya panel 'Gender dan Agama' dan 'Milenial,
Agama, dan Pendidikan Kebangsaan.' Tentu akan menarik melihat bagaimana
aktivisme pemuda gereja dalam persimpangan isu kebangsaan dan agama. Dapat
menjadi kritik juga untuk melihat kembali di mana posisi gereja menyoal isu-isu
kaum terpinggirkan itu? Seperti ayat yang saya gunakan sebagai pembuka tulisan
ini; gereja seharusnya memberikan kemampuan berbicara bagi mereka yang tidak
memiliki suara. Gereja seharusnya mampu mengangkat nosi 'keadilan' bagi mereka
yang didiskriminasi, termasuk kelompok masyarakat adat, kepercayaan lokal dan
LGBTQ. Di titik ini, saya melihat usaha gereja untuk mewujudnyatakan hal itu.
Saya tersenyum, Sabtu malam saya menarik sekali. Gereja tidak hanya berhenti
pada sekat-sekat pelayanan jemaat saja, tapi berusaha melampaui itu (walaupun
penuh pro-kontra nantinya jika isu ini dibawa dalam diskusi internal). Pasti.
Tidak mungkin tidak. Namun setidaknya saya percaya bahwa gereja berusaha
semaksimal mungkin untuk menjadi pelita dalam konteks 'memanusiakan manusia.'
Esoknya, saya memutuskan ke gereja. Tentu masih dengan hati kalut, apakah saya harus mengikuti wawancara. Saya mengikuti ibadah sore di GKI Salatiga minggu kemarin. Khotbahnya tentang apa? 'Menjawab Panggilan Kristus.' Saya terkekeh. Kebetulan, ya? Pendetanya bicara dengan sangat baik makna menjadi humble servant dengan mengelaborasikan makna 'panggilan Tuhan' untuk melakukan hal-hal tertentu sesuai dengan talenta masing-masing. Seketika, rasa bersalah memenuhi diri saya: "Wah, Tuhan sudah berikan banyak talenta. Seharusnya, semakin banyak lagi yang saya bagikan dengan orang lain ya?" Di situlah saya tersenyum. Bukan merasa ini pertanda bahwa saya diyakinkan untuk menjadi misionaris atau hal-hal seperti itu. Tidak. Saya tersenyum karena saya merasa dimengerti. Saya merasa dipahami. Saya merasa bahwa 'panggilan' itu sesederhana pemahaman kita bahwa kita ini tidak mampu, kita ini tidak akan pernah percaya dengan diri kita, kita ini tidak punya pengalaman yang mumpuni untuk melakukan apapun. Kita melayani karena kita berangkat pada satu kegelisahan yang sama, kekosongan diri yang sama, kesedihan yang sama, sehingga kita tidak mau orang lain merasakan apa yang kita rasakan. Itu hal pertama. Kedua, kita sadar bahwa 'ketakutan' dan 'keraguan' adalah pemantik 'harapan', dan 'harapan' menghasilkan iman. Ini bukan perkara 'dipanggil' dan 'dipilih', ini perkara apakah yang saya lakukan sudah menjawab kekosongan hati saya? Apakah yang saya lakukan sudah sesuai dengan panggilan hati saya? Apakah yang saya lakukan sudah setidaknya memberi makna pada 'memanusiakan manusia'? Ayat favorit saya lainnya adalah Pengkhotbah 1:18 "Karena dalam banyak hikmat, ada banyak susah hati. Siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan." Saya merasa dalam susah hati yang sama, dan kesedihan yang sama pula lah, kita mengetahui apa yang menjadi panggilan hati kita, apapun itu. Lucu rasanya, saya menulis banyak tentang Tuhan, ketika setiap harinya, saya mempertanyakan apa yang mau Tuhan lakukan dengan kehidupan saya. But, well, that's the struggle. You put the fight in between yourself, so you keep doubt yourself, you keep questioning your moral towards humanity, it's a dialogue between you and yourself. From that point, you realize how religion works well with life...it creates a space to initiate dialogue, that gives birth to peace within yourself. You know?
Esoknya, saya memutuskan ke gereja. Tentu masih dengan hati kalut, apakah saya harus mengikuti wawancara. Saya mengikuti ibadah sore di GKI Salatiga minggu kemarin. Khotbahnya tentang apa? 'Menjawab Panggilan Kristus.' Saya terkekeh. Kebetulan, ya? Pendetanya bicara dengan sangat baik makna menjadi humble servant dengan mengelaborasikan makna 'panggilan Tuhan' untuk melakukan hal-hal tertentu sesuai dengan talenta masing-masing. Seketika, rasa bersalah memenuhi diri saya: "Wah, Tuhan sudah berikan banyak talenta. Seharusnya, semakin banyak lagi yang saya bagikan dengan orang lain ya?" Di situlah saya tersenyum. Bukan merasa ini pertanda bahwa saya diyakinkan untuk menjadi misionaris atau hal-hal seperti itu. Tidak. Saya tersenyum karena saya merasa dimengerti. Saya merasa dipahami. Saya merasa bahwa 'panggilan' itu sesederhana pemahaman kita bahwa kita ini tidak mampu, kita ini tidak akan pernah percaya dengan diri kita, kita ini tidak punya pengalaman yang mumpuni untuk melakukan apapun. Kita melayani karena kita berangkat pada satu kegelisahan yang sama, kekosongan diri yang sama, kesedihan yang sama, sehingga kita tidak mau orang lain merasakan apa yang kita rasakan. Itu hal pertama. Kedua, kita sadar bahwa 'ketakutan' dan 'keraguan' adalah pemantik 'harapan', dan 'harapan' menghasilkan iman. Ini bukan perkara 'dipanggil' dan 'dipilih', ini perkara apakah yang saya lakukan sudah menjawab kekosongan hati saya? Apakah yang saya lakukan sudah sesuai dengan panggilan hati saya? Apakah yang saya lakukan sudah setidaknya memberi makna pada 'memanusiakan manusia'? Ayat favorit saya lainnya adalah Pengkhotbah 1:18 "Karena dalam banyak hikmat, ada banyak susah hati. Siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan." Saya merasa dalam susah hati yang sama, dan kesedihan yang sama pula lah, kita mengetahui apa yang menjadi panggilan hati kita, apapun itu. Lucu rasanya, saya menulis banyak tentang Tuhan, ketika setiap harinya, saya mempertanyakan apa yang mau Tuhan lakukan dengan kehidupan saya. But, well, that's the struggle. You put the fight in between yourself, so you keep doubt yourself, you keep questioning your moral towards humanity, it's a dialogue between you and yourself. From that point, you realize how religion works well with life...it creates a space to initiate dialogue, that gives birth to peace within yourself. You know?
Pada akhirnya,
saya tetap mengikuti wawancara dan tes kesehatan mental dengan rujukan psikolog
dari VIP Care. Percakapan hampir tiga jam hari ini membawa saya untuk
menuliskan semuanya di sini. Semoga tidak bosan. Kami dibagikan tulisan David
Hilfiker tentang Justice and The Limits
of Charity seminggu sebelumnya. Tugas kami dalam wawancara adalah mendiskusikan
bagaimana artikel ini dapat membantu dalam pengembangan isu komunitas dan dalam
menghadapi isu-isu ketidakadilan yang terjadi dalam komunitas. Poin menarik
yang saya ambil adalah sesuai dengan kontemplasi saya di ulang tahun saya
ke-25. Bahwasanya, perbedaan justice dan
charity terletak pada kemampuan kita
'memberi' atau 'membagi'. Persis juga dengan yang dikatakan David, charity gives an illusin of effective action.
Hal serupa saya ungkapkan tentang 'memberi', bagaimana pandangan saya dengan
kerja sukarela dalam isu kemanusiaan. Ada kemungkinan kita terjebak dalam
superioritas moral dan merasa kita memiliki previlege
lebih, sehingga membuat kita 'memberi'. Tapi, apakah kita mampu membagi?
Hidup bersama? Itu lain hal. Saya mendapatkan banyak perspektif baru juga
tentang kerja sosial yang dilakukan oleh teman-teman di Korea Selatan dan
Kamboja. Bagaimana isu-isu ketidakadilan terjadi di komunitas mereka. Kurang-lebih,
itulah yang terjadi seharian ini. Hal menarik yang saya dapatkan dari dua jam
diskusi dengan rekan-rekan dari berbagai negara adalah pekerjaan ini akan jadi
menyenangkan. Membuat model pengembangan masyarakat terkait isu yang
betul-betul kita inginkan. Saya meminta khusus untuk ditempatkan di Women Empowerment atau Education. Pilihan negara bukan jadi
persoalan, walaupun preferensi saya adalah Eropa Tengah atau Amerika Latin.
Sepertinya, akan menarik menghabiskan dua tahun saya di dua benua itu. Kadang
terbersit di benak saya, apakah ini cara saya lari lebih jauh dari apapun yang
saya hadapi saat ini? Bisa ya, bisa tidak. Ya, karena saya akan memulai lagi
segalanya dari nol. Banyak hal yang saya korbankan, termasuk waktu dengan
keluarga saya nantinya. Tapi, saya yakin mereka akan paham. Saya mungkin lari
dari segala keterbatasan saya menghadapi pergumulan dalam diri saya sendiri di
lingkungan saya, saat ini. Tapi, setidaknya saya berjalan maju. Saya mencoba
menapakkan kaki, langkah demi langkah, meraba ke jalan yang tidak pernah saya
pikirkan sebelumnya. That requires
courage. Lari, dalam konteks apapun itu, terlepas dari benar atau salahnya,
saya rasa hanya persoalan tepat dan tidak tepat saja. Seiring waktu, saya
mungkin akan paham lebih jauh lagi. Apakah hal ini tepat untuk saya? Saya masih
punya beberapa bulan untuk mengambil keputusan.
Saya
rasa cukup dulu untuk unggahan kali ini, sudah jam 3 pagi. Dini hari. Besok
sudah harus kerja, tapi setidaknya isi kepala yang penuh sudah dituangkan
sedikit di sini. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin meminjam kata-kata dari
Mochtar Lubis dalam buku favorit saya, Harimau!Harimau!:
"Tuhan ada, anak-anak, percayalah. Tapi jangan paksakan Tuhanmu pada orang
lain; seperti juga jangan paksakan kemanusiaanmu pada orang lain. Manusia perlu
manusia lain... manusia harus belajar hidup dari kesalahan dan kekurangan
manusia lain." Semoga kebaikan
kalian menemukan kebaikan lainnya dalam semesta. Semoga yang membaca, dipanjangkan harapnya terhadap kehidupan.
Peluk
hangat,
Jessy
Ismoyo
Comments
Post a Comment