Orang Asing: Sebuah Kajian Pendek Terkait Absurditas Camus


Pendahuluan
Absurditas merupakan aliran pemikiran yang timbul di awal abad ke-20 sebagai cabang dari eksistensialisme Sartre. Camus adalah tokoh di balik pemikiran ini. Salah satu karyanya dengan judul Orang Asing disinyalir merupakan pemaparan dari gagasan absurditasnya. Buku ini terbit tahun 1942, berbarengan dengan esainya tentang absurditas, Mite Sisifus. Keunikan buku ini adalah bentuknya yang menyerupai catatan harian (yang sangat berbeda dengan roman pada jaman itu). Karya ini dinilai penting pada zamannya, sehingga  Sartre menerbitkan tulisan sebagai reaksi buku ini. Tulisan tersebut diterbitkan dalam kumpulan esainya yang berjudul Situation I pada tahun 1943.[1]

Mengenal Albert Camus lebih jauh, ia merupakan penulis yang bernaung di bawah periodiasasi Nouvelle Voies yang mana merupakan periode dalam kesusatraan Prancis saat kondisi sosial politik pada jaman itu yang tidak stabil seperti adanya trauma pasca Perang Dunia ke-II, belum selesai dengan masalah itu kemudian timbul  perang Indocina dan perang Aljazair, dan dimulainya perang dingin. Banyaknya perang memperlihatkan kesia-siaan hidup yang nantinya akan berakhir pada kematian (Boursin, 2007: 312). 

Absurditas Camus akan dianalisis dari tokoh Meursault sebagai tokoh utama cerita ini. Analisis dibatasi pada tokoh mengambil teori paradigmatik dari Barthes untuk memperlihatkan absurditas yang tergambar dalam buku ini melalui sang tokoh utama. Melihat pada faktor itulah, irasionalitas kehidupan (kontradiksi antara manusia dan dunianya) dapat jelas terlihat dalam karya ini.

Pemaparan akan dimulai dari pemaparan singkat mengenai absurditas sebagai gagasan utama pemikiran Camus, dilanjutkan dengan sinopsis Orang Asing, dan analisis absurditas dilihat dari tokoh utama. Tulisan akan ditutup dengan kesimpulan dari penulis.

Kata Kunci: Absurditas, Orang Asing, Albert Camus

Absurditas sebagai gagasan utama pemikiran Albert Camus
Absurditas berasal dari kata absurd. Menurut KBBI online, secara etimologis, absurd berasal dari dua kata dari bahasa latin, ab dan surbus, yang berarti tidak dan dengar. Makna harafiahnya adalah tidak mendengar atau tuli. Dalam konteks kehidupan, absurd berarti irasional atau tidak logis. Absurditas Camus menekankan adanya kontradiksi antara hasrat individu dengan realita. Situasi irasional ini ditemukan manusia di kehidupannya ketika adanya keinginan dari dirinya yang tidak terbendung untuk mencari sebuah kejelasan di antara ketidakjelasan dunia ini. Manusia sebagai sebuah eksistensi memiliki kebebasan akan dirinya, tapi keadaan dunia membatasi kebebasannya sebagai seorang manusia. Hubungan antara manusia dan kehidupan dinilai absurd oleh Camus. Paradigma inilah yang menyatakan kesadaran manusia menggambarkan penderitaannya.

Kehidupan ini adalah sebuah kesia-siaan, begitu menurut Camus. Pemikiran ini tergambar jelas dalam perumpamaan Camus tentang Sisifus yang dikutuk para dewa untuk mengangkat batu ke puncak Gunung Olympus, tetapi batu itu akan selalu jatuh lagi, kembali ke dasar gunung. Sisifus harus kembali membawa batu itu ke puncak gunung dan begitu seterusnya, berulang kali sepanjang hidupnya. Dewa  beranggapan tidak ada hukuman yang lebih menyiksa dari kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tanpa harapan. Begitu pula manusia dengan kehidupannya, manusia dilempar ke dunia untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tanpa harapan. Ketidakselarasan hasrat manusia yang berulang-ulang diteriakkan dalam hatinya dan hubungannya dengan dunia ini hanya akan menimbulkan penderitaan yang terus berulang. (Camus, terj. Apsanti.D, 1999: 13&26)

Dari titik itulah, manusia seharusnya memahami bahwa kesadaran manusialah yang menjadi inti dalam menjalani kehidupan ini. Manusia sebagai sebuah eksistensi memiliki kuasa penuh atas kehidupannya. Kesia-siaan hidup ini justru harus dijadikan patokan hidup dalam menelaah konflik antara hasrat dan realita, bukan justru mengikuti hasrat sepenuhnya atau tunduk pada realita yang mengharuskan manusia untuk bertindak sesuai dengan kebiasaan yang terintegrasi dalam sebuah rutinitas. 

Camus juga menyinggung tentang kematian. Camus menekankan kematian sebagai sebuah kepastian. Sehingga, kesadaran manusia membuatnya menjalani kehidupan sambil menunggu kematian. Ada beberapa orang yang berpikir apabila kematian memang adalah akhir dari sebuah kesadaran, kepastian di antara ketidakpastian, maka kematianlah yang harus dihampiri dengan cara bunuh diri. Namun, satu hal yang ditekankan oleh Camus yaitu bunuh diri merupakan tindakan menyerah pada kehidupan. Camus dengan petuahnya 'Saya memberontak maka saya ada' tidak setuju pada tindakan bunuh diri. Tindakan itu adalah tanda bahwa manusia memilih untuk berhenti berjuang atas absurdnya hidup. Ia menekankan bahwa harapan dalam kehidupan timbul saat manusia memberontak terhadap takdirnya, bukan ketika manusia menyerah. Apabila manusia tidak pasrah dengan kehidupan dan memilih untuk melawan takdir serta memilih untuk tidak mengakhiri hidupnya, di titik itulah ia membuktikan eksistensinya (1999: 155-156).
           
Sinopsis Orang Asing karya Albert Camus
Absurditas kemudian terlihat dalam salah satu karya Camus, Orang Asing. Buku ini menyoroti kontradiksi manusia dan kehidupannya. Mengutip Camus dalam buku ini yang menyatakan: "...dalam lingkungan sosial kita, orang yang tidak menangis saat pemakaman ibunya memiliki posibilitas untuk dihukum mati." Bermula dari kontroversi itulah, tokoh utama cerita ini, Meursault, dianggap aneh oleh orang sekitarnya. Ia dianggap tidak sesuai dengan konvensi umum.

Orang Asing menceritakan kehidupan seorang laki-laki bernama Meursault  menjalani rutinitasnya dan berujung pada hukuman mati. Cerita bermula kabar kematian ibunya. Meursault tidak berduka ketika mendengar kabar kematian Ibundanya, hingga sikapnya saat pemakaman ibunya yang tidak menampakkan kesedihan dinilai ganjil. Tindakan ini menuai anggapan ketidaknormalan Meursault oleh lingkungan sekitarnya. Cerita berlanjut ketika Meursault berkencan dengan Marie hanya sehari setelah kematian ibunya, yang kemudian dinikahinya walaupun ia tidak mencintai perempuan itu. Meursault beranggapan bahwa ia tidak memiliki alasan untuk tidak menikahi perempuan itu, maka ia menikahinya. Lalu, Meursault membangun hubungan pertemanan dengan seorang bernama Raymond, seseorang dengan reputasi yang buruk,  kemudian mengajaknya untuk pergi ke pantai bersama Marie.

Perjalanan ke pantai mengantarkan Meursault dan Raymond pada pertemuan dengan gerombolan arab yang mengincar Raymond. Klimaks cerita terjadi ketika Meursault berjalan menyusuri pantai, bertemulah ia dengan seorang arab yang sedang sendirian. Meursault merasa terganggu dengan sengatan matahari dan bergerak mendekati orang arab itu. Sang orang arab merasa Meursault akan menyerangnya, sehingga ia mengeluarkan sebuah pisau. Sengatan matahari, rasa panas luar biasa, dan keringat yang menetes ke matanya mengganggu Meursault dan menimbun kekesalan yang menyiksanya. Siksaan itu menekannya, hingga akhirnya ia menarik pelatuk pistol ke arah orang arab itu hanya untuk menyalurkan hasratnya. Empat tembakan lagi dilancarkan setelah orang arab itu telah meninggal. Tindakan Meursault ini membawanya ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati, tapi vonis hukuman mati justru didasarkan pada tindakannya yang tidak lazim saat kematian dan masa berkabung ibunya.
             
Analisis absurditas dalam Orang Asing karya Albert Camus
Seperti sudah dipaparkan dalam pendahuluan, analisis absurditas hanya akan difokuskan pada tokoh utama, Meursault, dengan pisau bedah analisis tokoh menggunakan bagian dari teori paradigmatik dari Barthes. Unsur paradigmatik bersifat menyebar dan saling melengkap dalam sebuah cerita. Unsur paradigmatik sendiri dibagi menjadi indeks dan informan, selanjutnya dalam analisis ini hanya dibahas mengeni indeks. Indeks adalah hal yang berkaitan dengan penjelasan mengenai tokoh dilihat dari deskripsi fisik, psikologis, sifat-sifat, keadaan, identitas dan tindakan (Barthes, 1966: 8-11).

Dilihat dari tindakan Meursault, penulis meletakkannya sebagai tokoh utama karena tindakannya menyebabkan adanya hubungan sebab-akibat yang terbentuk dari awal hingga akhir cerita. Penulis tidak menemukan adanya penjelasan mengenai fisik Meursault dalam buku ini. Mengenai identitas, Meursault sebagai tokoh utama tidak terlihat di sepanjang cerita hingga pada saat menuju bagian akhir cerita. Hubungannya dengan kehidupannya yang begitu menggambarkan absurdnya hidup terlihat dari betapa irasionalnya tujuan dan hasratnya sebagai seorang manusia dengan realita yang ada. Tujuan hidup yang jelas dari Meursault justru muncul ketika ia berada di titik paling dekat dengan kematian, yang mana berada pada bagian akhir buku ini. Membahas mengenai hubungan Meursault dengan kehidupannya, hal itu sudah terlihat dari awal buku yang ditandai dengan konfrontasi Meursault dengan dunia ketika ia menerima berita tentang kepergian ibunya.
"Hari itu ibu meninggal. Atau sehari sebelumnya, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti wreda, 'Ibu meninggal kemarin. Dimakamkan besok. Ikut berduka cita.' Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin ibu meninggal sehari sebelumnya." (terj: Djokosujatno, 1985: 3)
     
Kutipan di atas menggambarkan ketidaktahuan Meursault atas berita kematian ibunya. Ia terlihat tak acuh mengenai berita itu. Hal ini menggambarkan reaksi yang irasional dari Meursault. Realita yang sungguh berlawanan dari masyarakat umumnya yang sedih ketika menerima berita kematian ibunya. Konfrontasi juga tergambarkan saat Meursault bertandang ke panti wreda untuk melihat jasad ibunya. Ia merasakan orang-orang di sekitarnya memandanginya dengan aneh, dengan pandangan yang mengadili atas reaksi Meursault yang tidak bersedih atas kematian ibunya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini:
"Sesaat aku mendapat kesan lucu bahwa mereka ada di situ untuk mengadili aku...Pada waktu itu, kebisuan orang-orang itulah yang membuatku sengsara. Kadang-kadang saja kudengar suara aneh dan aku tidak bisa mengerti suara apakah itu. Akhirnya aku dapat mengetahui bahwa beberapa di antara para orang tua itu mengisap-isap bagian dalam pipinya dan terdengarlah kecap-kecap aneh itu." (terj: Djokosujatno, 1985:9)

Meursault terlihat bukan fokus pada kedukaannya atas ibunya, justru ia memperhatikan hal-hal mendetil pada situasi di panti wreda itu. Situasi kecil yang mana dirasa mengganggunya, seperti suara kecapan-kecapan aneh oleh penghuni panti dan kebisuan orang-orang di sana yang mencekam dan menyengsarakan Meursault. Penulis menganggap fokus Meursault terhadap hal-hal kecil dinilai irasional mengingat kematian ibundanya merupakan momen berduka dalam hidupnya.

Deskripsi Meursault pada bagian pertama cerita begitu menggambarkan jarak yang nyata antara dirinya sebagai sebuah pribadi dengan kehidupan sekitarnya, terutama di panti wreda saat kematian ibunya. Penjelasan yang banyak pada detil situasi dan kondisi panti maupun orang-orang di sekitarnya menandakan fokus Meursault bukan pada ibunya. Ia tidak acuh akan kepergian ibunya. Selain itu, terpapar jelas pada halaman 11 bahwa Meursault menolak untuk melihat jenazah sang ibu untuk terakhir kalinya. Hal ini bertentangan dengan realita di mana orang pada umumnya ingin melihat orang yang dikasihinya untuk terakhir kalinya. Tindakan Meursault dipandang irasional bagi lingkungan sekitarnya. Terdapat metafora menarik ketika Meursault merasa panas saat upacara pemakaman ibunya. Melihat Meursault yang kepanasan, sang wakil perawat berbicara pada Meursault:
"Jika kita berjalan terlalu pelan-pelan, kita bisa terasing. Tetapi jika kita berjalan terlalu cepat, di dalam gereja kita akan merasa panas dingin." Ia benar. Tak ada jalan keluar." (terj: Djokosujatno, 1985: 14-15)
           
Hal ini seperti menggambarkan mobilitas manusia. Jika mobilitas manusia terlalu pelan, dalam artian lamban mengikuti keadaan normal, maka ada kemungkinan manusia itu akan diasingkan karena dinilai tidak mampu menyelaraskan diri dengan norma masyarakat. Apabila manusia memiliki mobilitas terlalu tinggi atau banyak bergerak, maka cenderung dinilai bertindak tanpa banyak berpikir, seperti Meursault. Ia akan merasa panas dingin. Jadi, kemungkinan untuk diasingkan atau merasa tidak nyaman dengan konvensi umum (perasaan panas dingin di gereja). Manusia seperti tetap akan diasingkan kehidupan selalu ada walaupun kita memilih berjalan cepat ataupun lambat, hidup ini tidak meninggalkan pilihan yang jelas. Hal inilah yang makin memperjelas absurditas, manusia mencari kejelasan di antara ketidakjelasan kehidupan ini. Bahwasanya 'tidak ada jalan keluar' dari absurdnya kehidupan ini.

Inti dari absurditas adalah mengenai dunia dan eksistensi manusia yang tidak memiliki tujuan dan makna yang rasional, dan itulah yang tergambar dari sikap Meursault. Irasionalitas berikutnya terjadi ketika Meursault bertemu dengan Marie, mengajaknya berenang, menghabiskan waktu bersama, kemudian mengajaknya menonton bioskop pada malam harinya. Hal ini sangat irasional mengingat kematian ibunda Meursault baru saja kemarin. Hal ini ditampilkan sebagai suatu keabsurditasan pribadi Meursault yang sangat bertentangan dengan konvensi umum.
            "Ketika kami berpakaian, ia nampak sangat heran melihatku memakai dasi hitam dan bertanya apakah aku sedang berdukacita. Aku berkata bahwa ibu meninggal kemarin. Ia mundur sedikit tetapi tidak mengatakan apa-apa. Aku ingin berkata padanya bahwa itu bukan salahku, tetapi tidak jadi karena aku berpikir bahwa aku telah mengatakan hal itu juga kepada majikanku. Itu tidak ada artinya. Bagaimanapun juga, kita selalu merasa sedikit bersalah." (terj: Djokosujatno 1985: 17)
            
Hal lain yang hendak diperlihatkan adalah sekilas mengenai konflik batin Meursault yang tergambar dari kutipan di atas. Adanya rasa bersalah Meursault yang bersikap tak acuh ketika ia memutuskan mengatakan kematian ibunya bukan kesalahannya pada majikannya. Dari peristiwa ini, Meursault memutuskan untuk tidak mengatakannya lagi pada Marie. Selanjutnya, terlihat bahwa rasa bersalah Meursault ditimbulkan karena ia melakukan hal yang tidak sesuai dengan hal yang dilakukan pada umumnya. Absurditas juga memperlihatkan adanya kebiasaan yang membentuk rutinitas. Demikian pula terjadi pada Meursault yang biasa berkutat dengan pekerjaan sebagai rutinitasnya.
"Aku berpikir hari minggu itu telah lewat, bahwa saat itu ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku dan bahwa, secara ringkas, tak ada yang berubah." (terj: Djokosujatno, 1985: 20)

Meursault memperlihatkan bahwa bahkan setelah kematian ibunya, ia akan tetap kembali pada rutinitas pekerjaannya. Kematian ibunya tidak membuatnya terlepas dari jaring rutinitas. Meursault terjebak dalam rutinitas kehidupannya sebagai tanda hubungannya yang absurd dengan dunia ini.

Sikap Meursault lainnya yang menggambarkan mobilitasnya yang tinggi, sehingga mengambil keputusan seperti tidak berpikir adalah ketika ia menerima permintaan Marie untuk menikahinya. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dipikirkan dengan matang-matang. Namun, dalam roman ini, Meursault  terlihat tidak menanggapinya sebagai suatu hal penting. Ia tidak memiliki alasan khusus untuk menerima pinangan Marie. Hal yang patut diperhatikan adalah Marie yang meminta Meursault untuk menikahinya, bukan sebaliknya. Hal ini terlihat dalam kutipan di bawah ini:
            "Pada sore hari, Marie datang mencariku dan bertanya apakah aku mau kawin dengan dia. Aku berkata bahwa bagiku hal itu sama saja dan bahwa kami bisa melakukannya jika ia menghendakinya. Lalu ia ingin tahu apakah aku mencintainya. Aku menjawab seperti yang pernah kulakukan sekali dulu, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa tetapi bahwa mungkin aku tidak mencintainya. "Lalu buat apa kawin denganku? katanya. Kuterangkan padanya bahwa hal itu tidak penting dan bahwa jika ia menginginkan, kami bisa menikah..." (terj: Djokosujatno, 1985: 36-37)
            
Alasan Mersault untuk menikahi Marie ini sangat bertentangan dengan lingkungan sosial karena tidak didasarkan alasan yang rasional. Ia tidak percaya akan konsep keterikatan emosional dan komitmen dalam pernikahan. Sekali lagi, Camus memperlihatkan keabsurditasan hidup melalui Meursault dengan lingkungan sosialnya. Pada akhir bagian pertama, sampailah pada klimaks cerita di mana Meursault menembak seorang arab dengan alasan yang tidak rasional. Ia menarik pelatuknya yang mengantarkan sang arab pada kematian, dan menembakkan pelurunya empat kali lagi setelah sang arab telah meninggal.
 "Pelatuk tertekan, aku menyentuh bagian tengah gagang pistol yang licin, dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan memekakkan, semua itu dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari... Lalu, aku menembak lagi empat kali pada tubuh yang tidak bergerak tempat peluru-peluru menembus dan tidak timbul kembali. Dan semua itu seperti empat letupan singkat yang kuketukkan pada pintu kesengsaraan." (terj: Djokosujatno, 1985: 51)
            
Camus membawa pembaca ke dalam ketiadaan makna dan tujuan dalam hidup yang digambarkan dari tidak jelasnya tujuan Meursault membunuh orang arab itu. Dalam bahasan sebelumnya dijelaskan bahwa Meursault merasa tersiksa dengan panas dan sinar matahari yang menyengat wajahnya. Keputusannya untuk menarik pelatuk itu juga terjadi seperti tidak sengaja. Meursault seperti merasa tertekan dengan cuaca dan udara, sehingga memperbesar hasratnya untuk menarik pelatuk. Jika dikaitkan dengan gagasan absurditas Camus, dapat dilihat bahwa hasrat manusia mengarahkannya pada sebuah kehidupan yang irasional, yang berpusat pada sebab akibat akan sebuah tindakan. Ketika dihadapkan pada peristiwa pembunuhan arab yang tanpa alasan, Camus memaparkan kata 'kesengsaraan' setelah Meursault membunuh sang arab sebagai suatu akibat atas keputusan Meursault menarik pelatuk tersebut. Setelah masuk dalam pengadilan pun, saat pihak pengadilan bertanya tentang alasan Meursault menarik pelatuk itu hingga lima kali, tidak ada jawaban dari Meursault. Hal inilah yang ingin digambarkan Camus. Ketika pertanyaan datang tentang absurdnya hidup, tidak ada yang dapat menjawab alasan dibalik hal itu.
            "Aku kemudian sering berpikir, seandainya aku disuruh hidup di dalam sebuah batang pohon kering, tanpa kesibukan lain selain memandang awan-awan di langit di atas kepalaku, sedikit demi sedikit aku akan terbiasa di situ...pada akhirnya kita akan terbiasa pada apa saja." (terj: Djokosujatno, 1985: 66)
            
Dalam kutipan di atas digambarkan bagaimana Meursault memandang kehidupan sebagai sebuah rutinitas. Kehidupan Meursault diibaratkan berada pada titik balik ketika ia menjadi seorang tahanan. Seperti sebelumnya, ia menekankan bahwa hidupnya adalah rutinitas. Begitu pula tentang menjadi tahanan. Ia berpikir bahwa semua ini hanyalah masalah kebiasaan. Kehidupan adalah tentang kebiasaan yang menjadi rutinitas, dan semuanya dibentuk dari pemikiran manusia tentang kebiasaan.

Absurditas terlihat kembali ketika persidangan. Pernyataan dari jaksa penuntut lebih mengarah pada sikap Meursault yang dinilai ganjil ketika kematian ibunya dengan menyatakan bahwa kedua hal itu berhubungan. Kekuasaan jaksa penuntut memperlihatkan bahwa Meursault yang tidak berduka berhubungan dengan 'darah dingin' yang membuatnya mampu menembak seorang arab dengan lima peluru. Kebingungan terjadi ketika jaksa penuntut mampu menyalahkan Meursault bukan justru karena membunuh sang arab, namun karena tidak berduka saat kematian ibunya. Jaksa penuntut berusaha meyakinkan peserta sidang bahwa Meursault patut dihukum mati karena ia 'berbeda' dengan masyarakat pada umumnya. Tepat di peristiwa inilah hubungan antara Meursault dan kehidupannya dinilai sangat irasional dalam hubungan sebab akibat, yang begitu menggambarkan absurdnya hidup ini.
"Saya telah menelusuri kembali di hadapan anda rangkaian peristiwa yang menyebabkan orang ini membunuh dengan sepenuhnya sadar. Saya menekankan soal itu," katanya. "Apakah sedikitpun ia mengungkapkan penyesalannya? Tidak tuan-tuan. Tidak sekalipun orang ini memperlihatkan rasa terharu atas kejahatannya yang keji selama pemeriksaaan...Aku sebenernya sudah menjelaskan dengan ramah bahwa aku sesungguhnya tidak pernah menyesali sesuatu. Aku selalu terpukau pada pada yang akan terjadi..." (terj: Djokosujatno, 1985: 84-85)
            
Jaksa penuntut jugalah yang menjatuhi hukuman mati pada Meursault. Gambaran ini memperlihatkan sikap jaksa penuntut sebagai representasi konvensi dalam masyarakat umum yang menggambarkan kekuasaan ada pada mayoritas untuk menentukan nasib seseorang yang 'notabene minoritas' atau digolongkan sebagai orang asing atau yang berbeda dengan manusia lainnya. Ketidakmampuan Meursault yang gagal untuk beradaptasi dengan norma sosial membuahkan kematian. Pertentangan ini memperlihatkan hubungan absurd yang ada di antara manusia dengan kehidupannya.

Identitas sebagai subjektivitas sebagai jalan keluar soal absurditas hidup
Ketika bicara mengenai hubungan antara manusia dengan kehidupannya, penulis melihat adanya kaitan dengan konsep identitas dan subjektivitas Gilroy sebagai jawaban absurditas Camus. Oleh karena itu, penulis berusaha memperlihatkan secara singkat mengenai solusi atas absurditas dalam hubungan manusia dan lingkungannya.

Menurut Gilroy, subjektivitas adalah sebuah identitas. Cara seseorang untuk mendefinisikan dirinya terlihat ketika ia mencari kesadaran dirinya dalam sebuah mekanisme dan hasratnya sebagai manusia. Dalam pembentukkan identitas, manusia dihadapkan dirinya sebagai 'self'. Manusia lain yang sejalan dengan subjektivitasnya dianggap  sebagai 'the same' dan akan menggolongkan siapapun yang bersebrangan dengan subjektivitasnya sebagai 'the other' atau 'different'. Harus diingat identitas juga dapat menjadi sebuah intersubjektivitas di mana perbedaan yang nampak di antara 'self' memang tidak dapat dihindarkan. Namun, 'self' bukan merupakan satuan entitias yang ajeg atau tetap, tapi berubah sesuai interaksinya dengan manusia lainnya.

Mengaitkannya dengan absurditas, adanya ketidakselarasan antara manusia dan kehidupan karena manusia menempatkan subjektivitas dan identitasnya sebagai 'self' dan cenderung bersikap mencari 'the same', tanpa menghiraukan keberadaan 'the Other' dan hal yang 'berbeda'. Meursault sebagai 'the Other' dalam Orang Asing terlihat tidak mampu berintegrasi dengan kelompok mayoritas (pemegang norma sosial) yang berada pada 'self' dan 'the same'. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Meursault harus menghadapi kematian karena tidak adanya toleransi 'the Other' dalam perspektif absurditas.

Kurangnya solidaritas inilah yang kemudian menyebabkan adanya absurditas, yang kemudian disebutkan Camus membuat eksistensi manusia kehilangan tujuan rasional. Menurut penulis, apabila identitas didasarkan pada sebuah solidaritas sosial di mana adanya integrasi antara konsep 'self' dan 'the Other; absurdnya kehidupan akan menemukan jawaban dari konsep absurditas itu sendiri.


Kesimpulan
Terlepas dari penilaian moral yang berlaku pada konvensi umum pada saat ini, penulis berkesimpulan bahwa dalam Orang Asing, Camus berhasil memaparkan pertentangan yang luar biasa antara manusia dan kehidupannya, yang mendefinisikan 'absurditas' dengan sangat baik, tidak ada alasan masuk akal dalam setiap pengambilan keputusan Meursault, atau keputusannya sungguh sulit diterima akal sehat dan konvensi umum. Pembaca disuguhkan detil konfrontasi menarik yang tidak masuk akal dalam setiap deskripsinya. Kesulitan dalam memahami hal inilah yang membuat absurditas tersampaikan dengan amat sangat baik lewat tokoh Meursault. Kesimpulan dapat diambil penulis setelah menganalisis tokoh utama dalam buku ini.

Penulis juga menyimpulkan irasionalitas hasrat dan tujuan Meursault menjadi signifikasi nyata dari absurdnya kehidupan. Lain dari pada itu, pertentangan nyata antara hasrat dan kenyataan terlihat sisi Meursault dengan kehidupannya. Ketidakjelasan dunia ini mengantarkan Meursault pada kesia-siaan hidup. Pada akhirnyapun, Meursault berusaha memaknai hidupnya atas keputusannya sebagai manusia bebas. Inilah tindakannya yang tidak menyerah pada takdir. Meursault memutuskan untuk menikmati segala emosi setelah divonis hukuman mati. Di titik itulah ia merasakan kejelasan akan kehidupannya dan menikmatinya.
             
Daftar Pustaka
I. BUKU
Barthes, Roland. (1966). Introduction à l'Analyse Structural des Récits, dalam Communication 8 (p. 1-27). Paris: Seuil.
Boursin, Jean-Louis. (2007). Anthologie de la Littérature Française Textes Choisis du XIe au XXIe Siècles. Paris: Éditions Belin.
Camus, Albert. (1999). Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas, terj. Apsanti.D, Jakarta: Gramedia,.
Camus, Albert. (1985). Orang Asing, terj. Apsanti.D, Jakarta: Penerbit Djambatan.

II. PUBLIKASI ELEKTRONIK
"Jugements critiques". 20 Maret 2013.
http://mael.monnier.free.fr/bac_francais/etranger/critique.htm


[1]"Jugements Critiques" diakses pada 20 Maret 2013, 19.55 WIB (http://mael.monnier.free.fr/bac_francais/etranger/critique.htm)

Comments

Popular Posts