Semanggi Waktu Senja

Semanggi waktu senja,
mengingatkanku pada rupa-rupa
Senja,
di kala cahaya,
menabrak wajah pria,
yang lekukan hidungnya tak terlupa

Pria yang keras kepala,
menjatuhkan dirinya sendiri dalam cinta
Wanita eskapis yang sinis,
melangkah dalam rasa berbeda

Keduanya bukan tak cinta,
hanya lensa tak sama
Keduanya bukan buta,
hanya kabur dan tidak ingin meraba

Pria itu pun menulis sajak senja pada wanita di hadapannya:

Kamu lagi dengan gelitik pemikiranmu,
kamu lagi dengan destruktifnya lakumu

Kamu dengan segala kesadaran,
dangkalnya yang tidak dangkal,
layaknya pasir hisap

Kamu lagi dengan tempelan kerinduan positif

Relasi kuasa dari absensimu,
cukup untuk membuat seorang aku mencari seorang kamu

Kamu lagi...

Aku belajar bahwa rasa,
sekecil apapun harus dibagi
Mungkin dengan itu,
perasaan kehilangan pun mampu dihindari
Karena dengan anggapan itu,
hati menjadi agak lalu

Kamu sadar betul,
tatanan dibentuk untuk mencari dan dicari
Tatanan yang ada untuk kamu

Ketahuilah,
kasih tidak berlalu
walau 'iya' mu sejujurnya hanya benalu

Sadarlah,
kasih tidak rekat bagai cat pekat
walau 'tidak' mu sepertinya saru

Katakanlah,
memang terkadang kita tak selalu diperuntukkan untuk apa yang kita inginkan


Semanggi, 10 April 2014
(Ditulis pada sebuah jurnal berwarna coklat muda dalam penantian dan usaha menghubungkan kausalitas semesta)

Comments

Popular Posts