Kebebasan dan Hiperealitas dalam film Truman Show (1998)


Saya baru saja menonton Truman Show (1998) dan menyadari betapa jenius ide yang coba disampaikan oleh sang sutradara. Film yang disutradarai Peter Weir dan ditulis oleh Andrew Niccol ini sukses membuat saya terhisap dalam satu lingkaran kesadaran bahwa pertanyaan mendasar seperti batasan media dan realita, eksistensi diri, hingga konsep tuhan dan ketuhanan akan selalu menarik untuk diperbincangkan. Truman Show, saya terjemahkan sebagai salah satu film yang sukses mempertanyakan kembali kehidupan yang kita jalani, setidaknya untuk saya. Lagi dan lagi.

Film yang menghadirkan Truman Burbank (Jim Carrey) sebagai tokoh protagonis dari tayangan televisi hadir selama 24 jam nonstop. Ia bekerja sebagai sales executive di sebuah perusahaan asuransi. Kehidupannya didesain oleh seorang produser bernama Christof. Truman diibaratkan sebagai 'yang terpilih' sebagai aktor utama. Ia lahir dan besar di sebuah dunia sintetis yang dikenal sebagai studio terbesar Hollywood, dibentuk sedemikian rupa sebagai satu desa bernama Seahaven. Truman kemudian menikah dengan Merryl (Laura Linney), yang dalam acara televisi bertugas untuk mengiklankan beberapa produk makanan atau minuman tanpa boleh menimbulkan kecurigaan suaminya.

Truman adalah satu-satunya aktor yang tidak sadar bahwa kehidupan yang dijalananinya adalah sebuah reality show. Penawaran konsep seperti tokoh utama yang bahagia dengan kehidupan 'terberi' seperti apa adanya. Ya, Truman hidup bahagia, namun ia merasa ada yang hilang. Ada sesuatu yang 'kurang' dalam hidupnya. Ia merasa itu adalah keinginannya untuk ke Fiji, tempat di mana Lauren (Natascha McElhone), perempuan yang dicintainya berada dengan keluarganya. Pada akhirnya, 'rancangan' Christof ini menimbulkan kecurigaan besar pada Truman. Ia mulai menyadari 'pola' kenormalan dalam kehidupannya. Kejadian berulang, kepalsuan orang-orang di sekitar lingkungannya, sampai kepada kepalsuan istrinya.

Truman Show menawarkan dua ide besar pada saya. Pertama, ide mengenai realita dan simulasi media. Kedua, eksistensi manusia. Seusai menonton film ini, pikiran saya langsung tertuju pada posmodernisme. Posmodernisme membawa kita pada satu titik di mana semua hal bersifat tidak berujung. Mengutip Dominic Strinati terkait wacana ilmu komunikasi kontemporer, posmodernisme pada situasi sosial yang terdistorsi oleh media massa. Penggambaran sebuah kondisi sosial di mana budaya populer dan media massa memiliki kendali penuh atas hubungan masyarakat di dalamnya. Media massa secara aktif mengirimkan citraan dan mengarahkan indrawi kita tentang realita secara signifikan. Citraan yang direspons aktif oleh kondisi sosial akan membentuk pola pendefinisian diri, kelompok, masyarakat, hingga tatanan yang lebih besar yakni kebudayaan.

Media, yang dulu, dikatakan sebagai cermin atau refleksi dari realita sosial. Kini, realita sosial justru terdistorsi oleh media massa yang mana memiliki kekuatan penuh menentukan 'selera' dan 'keinginan' masyarakat atau membuat realita sosial secara tidak sadar melakukan hal itu. Jelas terlihat dalam Truman Show di mana definisi kenormalan diperlihatkan justru pada kehidupan sintesis yang dijalani oleh Truman. Sementara itu, penonton justru lebih memilih menghabiskan sebagian sampai seluruh waktunya di depan televisi untuk menyaksikan kehidupan seorang 'aktor' dalam sebuah acara televisi.
  
Truman Burbank: "Was nothing real?" 
Christof: "You were real... that's what make you so good to watch."

Sistem ini kemudian dijelaskan lebih rinci dalam teori hiperealitas Baudrillard, filsuf Prancis. Hiperealitas yang meniadakan batas antara realita dan simulasi media terjadi karena citraan pada media massa membuat setiap benda tidak hanya memiliki exchange value dan use value saja, tetapi juga memiliki symbolic value dan sign value. Baudrillard menjelaskan symbolic value seperti representasi cincin kawin. Identifikasi status pernikahan seseorang dapat dilihat dari cincin kawin. Sign value dapat dijelaskan dengan 'nilai' yang diberikan karena imaji benda.

Kembali pada hiperealitas, 'tanda' atau citraan yang disampaikan dalam media massa disebut Baudrillard sebagai simulacra. Sebagai contoh dalam Truman Show, simulacra terjadi ketika kita melihat begitu banyak penonton yang menggunakan atribut bertuliskan 'TRUMAN SHOW', memajang foto Truman, memilih mengonsumsi makanan dan minuman serupa seperti Truman dalam reality show itu. Apa tujuannya? Keterikatan akan kehidupan 'normal'-nya serta harapan akan 'kesempurnaan imaji' dari kehidupan 'yang katanya normal' itu. Sejenak terbersit di kepala saya? Akankah acara televisi seperti ini berada pada ujungnya? Kebosanan masyarakat akan imaji yang ditampilkan di media massa? Baudrillard menjawab pertanyaan saya dengan teorinya. Media massa dan masyarakat posmodernisme adalah strategi fatal. Kondisi ini membentuk hubungan 'menggoda' (seduction).

Masyarakat akan terus menagih 'imaji' dari media massa. Media juga akan menawarkan sesuatu yang baru untuk keuntungan pasar. Lingkaran ini ibarat ekstasi di mana masyarakat dan media massa berada dalam usahanya menemukan kepuasan tanpa henti. Baudrillard menyatakan, itulah alasannya mengapa hiperealitas bersifat tautologi di mana rayuan selalu ada untuk menjadi 'lebih' dan 'lebih' tanpa ujung kepuasan bagi satu pribadi pun.

Truman Show memperlihatkan 'efek ketagihan' ketika penonton panik ketika acara itu sempat absen hanya untuk beberapa jam saja. Saya menekankan efek ketagihan yang terlihat justru mengarah pada poin kedua saya tentang eksistensi. Hiperealitas yang terlihat dalam film ini mengarah pada persona Truman. Seorang yang dipilih sejak dalam kandungan, tumbuh besar, memperistri seorang perempuan cantik dan sempurna, dan figur yang disukai semua orang. Namun semua ini adalah rekaan, semua orang mengetahui hal itu kecuali Truman.

Simulasi dibentuk pada 'keamanan zona nyaman' Truman yang melepaskannya dari rasa cemas, ketakutan, dan ketidakjelasan di 'luar' sana, mengutip perkataan Christof (Ed Harris), pencetus ide Truman Show, dalam film ketika Truman hendak keluar dari studio besar. Christof percaya bahwa kesuksesan Truman Show karena tendensi manusia sesederhana menerima realita sebagaimana itu dihadirkan. Penerimaan akan realita merupakan pertanyaan yang sangat eksistensialis. Sampai sejauh mana kita boleh mempertanyakan keberadaan kita?

Selain itu, pertanyaan akan siapakah kita ini? Apakah yang harus kita lakukan dalam kehidupan? Atau adakah 'sang pencipta' yang mengarahkan kehidupan kita? Bebas atau tidak bebaskah kita dalam segala tindakan yang kita lakukan di dunia ini? Ekstasi akan konsep eksistensi, itu yang saya lihat dalam film ini.

Christof seakan ditempatkan sebagai 'sang pencipta' yang memiliki akses atas kehidupan yang ia ciptakan untuk Truman. Ia menganggap acara televisi itu memberikan kebahagiaan, harapan, dan inspirasi untuk hidup. Tuhan dan konsep ketuhanan diposisikan (atau apapun itu yang kita katakan sebagai sang pencipta) sebagai kontrol sosial dan candu kehidupan. Layaknya yang terjadi di ruang kontrol yang dikomandoi Christof.


Truman: "Who are you?" 
Christof: "I am the Creator of a television show that give hope and joy and inspiration"

Walaupun begitu, kehendak bebas pun tetap terlihat nyata dengan keberadaan tokoh utama. Seluruh kehidupannya dianggap sebagai 'takdir' yang telah diatur sedemikian rupa. Namun Truman tetap melawan. Sehingga, membuktikan manusia tetap memiliki 'kehendak' terlepas dari apa yang telah ditakdirkannya.

Ekstasi direfleksikan kembali dalam nilai kehidupan masing-masing. Keberadaan penonton di luar studio dan produser beserta kru di ruang kontrol juga menawarkan perspektif lebih tentang kebebasan Truman, terutama saat dialog terjadi antara Christof dan Lauren di mana Lauren mempertanyakan kredibilitas Christof untuk menempatkan seorang manusia dalam ketidaktahuannya dalam sebuah acara televisi. Kebebasan Truman dibatasi demi sebuah kehidupan bahagia tanpa rasa takut dan cemas.

Kemudian, Christof merespon bahwa ia sedang menyelamatkan Truman dari dunia  sebenarnya yang ia katakan 'sakit'. Definisi 'sakit' saya terjemahkan pada kebebasan. Kebebasan memiliki konsekuensi di mana manusia dikutuk untuk memiliki tanggung jawab. Apabila ada yang berkata kebebasan mahal harganya? Apakah mungkin ia semahal memiliki tidur tenang setiap malamnya tanpa dirongrong kecemasan akan posibilitas dalam hidup.  Benarkah seseorang membatasi kebebasan orang lainnya dengan tujuan 'menyelamatkannya' dari kehampaan, kecemasan, dan ketakutan kehidupan itu sendiri? Atau itu hanya pembenaran Christof saja untuk menjadikan Truman kelinci percobaan?

Setelah menonton film ini, saya percaya bahwa kehidupan selalu membiarkan kita melihat lebih luas. Kebebasan manusia adalah harga mati. Sama seperti sudut pandang Sartre, saya melihat kebebasan sebagai sebuah kutukan. Eksistensi setiap orang yang tercermin dalam setiap pilihan hidupnya. Mudahnya, pilihan adalah esensi. Eksistensi manusia adalah kumpulan esensinya. Penghakiman adalah nama lain dari objektivikasi dan itu tidak dapat dihindari. Kehidupan kita layaknya Truman Show - tinggal kita memilih menjadi aktor utama atau figuran saja. Tapi, apakah mungkin kebebasan menempatkan kita menjadi Christof, Lauren, atau penonton di luar dunia sintetis yang ditempati Truman?


Comments

Popular Posts