Online is better than IN-LINE: Efektivitas dan Efisiensi Paspor Online

Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 8, tahun 2014, permohonan paspor dapat diajukan oleh WNI yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Adapun paspor dibedakan menjadi dua, paspor biasa atau paspor elektronik. Selain itu, permohonan paspor biasa dapat diajukan secara manual atau elektronik. Dengan pertimbangan adanya proses secara online, kemudian muncul pertanyaan seperti: "Sejauh mana efektivitas dan efisiensi pembuatan paspor secara online?", "Apakah perbedaan e-paspor dengan paspor biasa?" atau "Apakah hambatan yang mungkin ditemui dengan adanya sistem online dalam keimigrasian ini?". Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk menjawab keingintahuan pembaca terkait hal tersebut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan teknologi, media, dan informatika telah membawa dampak tersendiri pada pola pikir dan cara pandang masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pertukaran informasi secara online. Masyarakat berorientasi pada kecepatan dan kemudahan dalam proses mencari serta mendapatkan informasi. Imigrasi menawarkan proses pembuatan paspor secara online sebagai solusi atas perkembangan teknologi sekarang ini. Hal ini juga secara nyata telah diatur dalam Instruksi Presiden No. 6/2001 pada tanggal 24 April 2001 oleh Presiden Abdurrachman Wahid.

Dengan mengusung motto "Online bukan IN-LINE," Perkembangan teknologi dan informasi ini diharapkan dapat menjadi peluang untuk mengoptimalisasi layanan publik. Besar harapan pihak imigrasi dapat mengajak masyarakat untuk tidak lagi menggunakan calo, menunjukkan transparansi publik dalam pembuatan paspor, serta menurunkan tingkat korupsi. Efektif dan efisienkah proses pembuatan paspor secara online?

Setiap perubahan pasti menimbulkan pro dan kontra dalam prosesnya, begitu juga untuk pembuatan paspor secara online. Hal yang sama terjadi dalam pembuatan paspor secara online. Ini dapat menjadi sebuah solusi asal masyarakat mengetahui dengan jelas dan betul prosedurnya. Secara tidak langsung, perubahan global mendesak transparansi dan penggunaan internet pada masyarakat. Oleh karena itu, pihak imigrasi dirasa bijak untuk memberikan pilihan pada masyarakat dalam pembuatan paspor secara online. Hal ini berdampak positif pada simplifikasi pembuatan paspor dan menurunkan stigma negatif tentang birokrasi pemerintahan yang dinilai 'ribet dan selalu dipersulit'.

Sebagai awal, penulis merasa perlu untuk memaparkan persyaratan dokumen yang perlu disiapkan dalam permohonan pembuatan paspor, antara lain: dokumen asli KTP WNI dan fotokopinya 1 (satu) lembar, dokumen asli Kartu Keluarga dan fotokopinya 1 (satu) lembar, dokumen asli Paspor lama (jika ingin memperpanjang paspor) serta fotokopinya 1 (satu) lembar, materai Rp 6.000,-. Pun kedatangan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kedatangan pertama untuk mengambil formulir permohonan pembuatan paspor beserta kelengkapan berkas, kedatangan kedua untuk proses foto dan wawancara, dan kedatangan terakhir untuk pengambilan paspor. Dalam prosesnya, dibutuhkan waktu satu hingga tiga jam tergantung antrian. Bagi mereka yang baru kali pertama membuat paspor, diharuskan membeli map resmi imigrasi seharga Rp 7.500,- untuk dokumen yang diperlukan.

Di situlah letak perbedaan signifikan antara proses dokumen fisik dan dokumen online. Banyaknya berkas fisik yang harus diverifikasi menyebabkan antrian pelamar dengan dokumen fisik cenderung lebih panjang daripada dokumen online. Permohonan paspor secara online dinilai menghemat waktu. Namun pilihan kembali berada pada tangan pelamar. Pembuatan paspor secara online biasanya dilakukan untuk mereka yang tidak terburu-buru. Mengapa demikian? Dari proses unggah kelengkapan dokumen secara online dibutuhkan jarak dua minggu, pelamar kemudian ke kantor imigrasi sesuai tanggal yang ditentukan dalam permohonan online dengan membawa tanda cetak permohonan online sebagai syarat bukti.

Dengan permohonan online, pelamar dapat menghemat satu kali kedatangan karena kedatangan kedua dapat langsung wawancara dan foto. Untuk biaya, pelamar dikenakan Rp 200.000,- untuk biaya paspor dan Rp 55.000,- untuk biaya foto dengan konteks paspor biasa 48 halaman. Tentu berbeda apabila pelamar ingin membuat paspor elektronik. Paspor elektronik dikenakan biaya Rp 600.000,-. Apa yang membedakan paspor elektronik dan paspor biasa? Menurut keterangan petugas imigrasi, paspor elektronik memiliki chip pada sampul depan paspor, sehingga pemilik paspor mendapatkan akses bebas visa ke Jepang. Namun akses untuk membuat paspor elektronik hanya dapat dibuat di Kanim tertentu seperti di wilayah DKI Jakarta, Waru Surabaya, dan Batam.

Pertanyaan pun hinggap bagi WNI yang tinggal di luar negeri, bagaimana proses memperpanjang paspor mereka? Prosedur online tidak tersedia bagi WNI yang tinggal di luar negeri. Sementara ini, prosedur online hanya berlaku bagi TNI/POLRI atau orang yang bekerja di pemerintahan. Untuk WNI, proses perpanjangan paspor tetap menggunakan data fisik ke KBRI setempat. Perlu proses panjang bagi Indonesia untuk menerapkan prosedur online secara merata di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Perlahan-lahan semoga pemerintah dapat menjembatani hal tersebut. Jadi, akses secara adil didapatkan oleh masyarakat dan orang-orang yang bekerja di bagian tertentu di pemerintahan.

Setiap proses pasti memiliki kekurangan dalam penyempurnaannya, begitu pula pembuatan paspor secara online. Penggunaan sistem permohonan online dinilai tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan SDM yang paham betul dengan proses ini. Tidak jarang petugas imigrasi tidak mengerti dengan tata cara detil terkait prosedur online atau server imigrasi yang tidak jarang error.

Kekurangan lainnya adalah pertanggungjawaban pihak imigrasi yang entah bagaimana untuk hal teknis seperti ini. Kesalahpahaman tentu tidak hanya terjadi karena satu pihak saja. Kerusakan server juga membuat pelamar harus mengumpulkan ulang bukti fisik. Tidak hanya pada pelamar online saja, ketidaktelitian terkadang menghampiri. Sehingga, kesalahan kecil seperti format kertas fotokopi yang salah, perbedaan nama di setiap identitas ataupun pengisian informasi keliru pada kolom online seringkali menjadi isu dalam prosedur online.

Demi kenyamanan bersama, diharapkan para pelamar lebih teliti lagi dalam mempersiapkan berkas online maupun fisik. Pastikan data yang diunggah lengkap, memiliki nama sama, serta ukuran kertas fotokopi A4. Jadi, pelamar tidak akan menyulitkan petugas imigrasi untuk permasalahan ini. Perlu diingat, kesalahan ini umum terjadi di kalangan pelamar paspor karena kebiasaan menyepelekan hal kecil. Apabila pelamar mau sedikit teliti dan tidak menggampangkan, proses tentu akan lebih mudah dan nyaman bagi pihak pelamar dan imigrasi.

Selain itu, petugas imigrasi diharapkan mampu memberikan solusi atas kelalaian atau kerusakan server yang mungkin terjadi. Solusi yang ditawarkanpun diharapkan jelas tidak abu-abu. Petunjuk yang jelas tentu tidak akan menyulitkan pelamar. Sehingga, kejadian pelamar yang telah mengumpulkan data online tidak harus mengumpulkan bukti fisik lagi. Apabila kejadian ini dapat diminimalisir, tentu prosedur pembuatan paspor secara online dirasa efektif dan efisien. Kembali lagi pada poin pertama pada paragraf ini, setiap proses pasti memiliki hambatan. Namun hambatan ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk mengoptimalkan kinerja pembuatan visa online.

Hambatan lainnya yang mungkin terjadi adalah digital divide. Ketika bicara teknologi, tentu kita bicara akses teknologi yang secara kasar dapat dikatakan hanya tersedia bagi kelas menengah ke atas. Sulit bagi mereka yang tidak memiliki komputer atau ponsel untuk mengakses data online. Hal ini menjadi permasalahan kelas sosial yang nyata. Tanpa intervensi komersial pun, akses pada informasi (termasuk pembuatan visa online) menimbulkan jarak antara 'yang mempunyai' dan 'yang tidak mempunyai'. Untuk itu diharapkan pihak imigrasi menyediakan pengenalan informasi terhadap prosedur online ke daerah-daerah. Tidak hanya penyediaan bilik untuk pendaftaran online saja, tapi bantuan petugas imigrasi sangat diharapkan dalam hal ini. Hal ini bertujuan untuk menyediakan pelayanan yang layak bagi seluruh masyarakat secara adil. Pengenalan ini tentu saja harus dibarengi dengan pengembangan akses e-paspor tidak hanya di Kanim tertentu.

Setiap perubahan tentu membutuhkan waktu serta dukungan positif, tanpa kedua hal itu perubahan ke arah yang lebih baik tentu tidak dapat diwujudkan. Sama halnya dalam perubahan prosedur online. Well, we are agreed that online better than in-line, after all.

(Tulisan dipublikasikan di Esquire Indonesia Juni 2015)

Comments

Popular Posts