Aborsi: Antara Moral dan Kasih
Menyoal artikel Rara, ia menceritakan pengalaman seorang perempuan
di usia awal 20-an di konteks sosial Indonesia yang masih lekat dengan nilai
bahwa 'kehamilan di luar pernikahan' bertentangan dengan norma moral di
masyarakat. Ia adalah seorang perempuan dengan karier yang baru dirintis
setelah lepas dari universitas. Ia dan pacarnya sudah berpacaran kurang lebih
delapan tahun. Bukan waktu yang singkat. Sebagaimana saya kutip dalam tulisannya, "He had
been an on-and-off boyfriend of seven years. We were college sweethearts. He
was my first of many things. And being together for so long, I knew what to
expect. We’ve had conversations before in case of an “accident”. And I wasn’t
wrong. He proposed abortion almost immediately." (Ia adalah pacar saya dan
kami dalam hubungan yang putus-sambung. Kami berpacaran sejak kuliah.
Dengannya, saya melakukan banyak hal untuk pertama kalinya dan kami memang
bersama untuk waktu yang tidak sebentar. Saya tahu sebenarnya yang akan
terjadi. Kami pernah membicarakan apabila saya hamil. Untuk itu, saya benar. Ia
langsung menyarankan aborsi tanpa berpikir lebih jauh." Dalam kalimat ini, saya
melihat bagaimana Rara menggambarkan hubungan dengan pacarnya. Komitmennya
untuk bersetia dan cintanya pada laki-laki ini terpampang nyata, tapi ia memang
sudah mempertanyakan pihak sebelah.
Timpangnya komitmen terpampang lebih nyata dalam paragraf
berikut dalam tulisannya: "Like
I said, it wasn't a surprise. But what I didn’t expect was how hurtful his
unwillingness for offering an alternative would be. He said that, as a person
who was still struggling to get his degree and who had no working experience,
he had nothing to offer. He also pointed out that we hadn’t been happy in the
past few years. (Seperti saya jelaskan, saya sudah menduganya. Hal yang tidak
saya kira adalah betapa sakitnya merasakan secara langsung reaksi pacarnya
dalam mengatasi situasi itu. Ia mengatakannya, dengan situasi bahwa ia masih
mahasiswa yang berusaha untuk lulus dan tidak memiliki pengalaman
bekerja, ia tidak memiliki apapun untuk ditawarkan untuk menghidupi seorang
anak. Ia juga menekankan bahwa kami tidak bahagia bersama dalam beberapa tahun
ini). Rara menggambarkan perasaannya dengan gamblang setelah mengetahui reaksi pacarnya. Sontak saya sedih
membaca paragraf ini. Hal yang terlintas di kepala saya adalah bagaimana Rara
mampu bertahan dalam sebuah hubungan di mana ia mengorbankan segala rasa
percaya, cinta, dan komitmennya untuk seorang laki-laki. Di saat yang sama
pula, ia dan dirinya mempertaruhkan kemungkinan bahwa laki-laki ini dapat
berubah. Begitu banyak yang dipertaruhkannya.
Mungkin saya gagal untuk tidak menilai Rara, karena saya merasa tulisan ini seperti menganalisis curahan hatinya. Saya ingin memperlihatkan bahwa setiap pilihan menghasilkan konsekuensi. Dalam kasus ini, Rara berharap ia mengetahuinya sebelum melakukan aborsi. Setidaknya ia tahu, bukan menyesal kemudian menghakimi keputusannya sendiri sebagai sebuah kesalahan.
Mungkin saya gagal untuk tidak menilai Rara, karena saya merasa tulisan ini seperti menganalisis curahan hatinya. Saya ingin memperlihatkan bahwa setiap pilihan menghasilkan konsekuensi. Dalam kasus ini, Rara berharap ia mengetahuinya sebelum melakukan aborsi. Setidaknya ia tahu, bukan menyesal kemudian menghakimi keputusannya sendiri sebagai sebuah kesalahan.
Satu hal yang menggerus hati saya adalah bagian pembuka yang
dituliskan Rara. Di sana terlihat paparan emosional tentang pergulatan hatinya antara kecintaan terhadap janin, posisinya
sebagai perempuan di tengan situasi sosial yang 'menempatkannya sebagai
pendosa', serta reaksi pacarnya yang boleh dibilang mengkhianati delapan tahun
kebersamaan mereka. That is
true that her life would never be the same whether she did it or not...the
abortion. Satu hal yang saya
sadari ketika membaca setiap artikel soal aborsi, karakteristiknya sama: sang
Ibu mencintai janinnya, situasi sosial menempatkan mereka dalam posisi tidak
menyenangkan yang kemudian menjadikan pertimbangkan si Ibu baik bagi dirinya
ataupun anaknya kelak, dan bagi beberapa kasus tidak suportifnya pasangan
dalam merasakan pergumulan sang perempuan.
Rara benar. Hidupnya tidak akan pernah sama. Apakah kemudian
yang dilakukannya salah atau benar? Saya rasa, Rara melakukan yang terbaik
untuknya pada saat itu. Kita tidak punya hak lebih untuk menghakimi pilihannya.
Dan pilihan Rara untuk membagi ceritanya juga benar. Ia memberikan perspektif
sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki akses aborsi sesuai standar
kesehatan berlaku. Ia memiliki beban moral baik sebagai perempuan dan ibu, yang
hamil di luar nikah dan anak yang nantinya dikatakan anak haram. Terakhir, ia
mengkhawatirkan finansial untuk membesarkan seorang anak karena seharusnya
seorang anak dibesarkan ketika orang tuanya siap.
Saya melihat beban mental dan moral yang dipasung di pundak
perempuan ini. Saya harus menangis membaca beberapa paragraf terakhir: "No, I don't regret it. There
are just some things that I wish I knew before my abortion though. I wish
I'd known that even a loyal and loving partner doesn’t make a responsible one,
that your family will never stop loving you, that in spite of gathering information
from people who’ve gone through the same thing, every person is subject to a
different reaction, mentally and physically. Some people heal faster, while
others would struggle more. Most importantly, I wish I’d known how painful
it would be, to hold other people’s babies in your arms and thinking about what
could have been." (Tidak. Saya tidak menyesalinya. Saya hanya berharap
saya tahu beberapa hal sebelum saya menggugurkan kandungan. Saya berharap saya
tahu bahwa memiliki pasangan yang setia dan penuh kasih tidak menjadikannya
seorang bertanggungjawab. Saya berharap saya tahu bahwa keluarga saya tidak
akan berhenti mencintai saya, kendati saya mendengar cerita berbeda dari orang
yang mengalami hal serupa. Saya berharap saya tahu bahwa tiap orang tentu
mengalami hal berbeda, baik mental maupun fisik. Beberapa orang sembuh dengan
cepat, sementara lainnya terus mencoba untuk sembuh. Hal terpenting, saya
berharap saya tahu bagaimana menyakitkannya menggendong bayi orang lain dan
berpikir apa yang mungkin saya miliki. Ia harus menghadapi
ketakutannya sendiri akan dampak sosial yang dihadapinya, tanpa dukungan dari
satu orangpun. Pilihannya untuk menggugurkan kandungannya pun tidak dapat
disalahkan. Kita tidak pernah tahu bagaimana suatu peristiwa dapat menggerogoti
jiwa seseorang. Kesedihan dan lukanya ia tanggung sendiri dan ia berharap jika
di luar sana ada yang bernasib sepertinya, ia tidak sendirian.
Saya pribadi menentang aborsi, namun tulisan Rara membuat saya
mengerti apa yang dialami pelaku aborsi. Saya melihat tulisan ini sebagai
sebuah kritik, terlebih membaca komentar orang-orang yang pro dan kontra dengan
keputusan Rara. Saya melihat alpanya fasilitas kesehatan untuk aborsi dan wadah
pemulihan secara psikologis bagi perempuan yang mengalami aborsi. Itu dua hal
yang harus disoroti. Mau tidak mau tidak sedikit peristiwa ini terjadi dan
klinik aborsi justru membahayakan nyawa orang yang melakukannya dan psikis
perempuan yang melakukannya juga harus dipertimbangkan (jangan kemudian
berpikir 'siapa suruh hamil di luar nikah' ketika saya menuliskan hal ini, it's ignorance you know and world
would not change if you think and do like that).
Saya rasa, setiap dari kita tidak memiliki hak memberi penilaian atas hidup orang lain. Keputusan orang lain adalah murni miliknya. Hal yang mungkin kita lakukan adalah memahami dan tidak menyudutkannya lebih lagi. Setiap dari kita, saya rasa, hanya ingin dicintai, dan saya lebih yakin bahwa itulah yang diajarkan untuk saling mengasihi tanpa syarat apapun. Tulisan Rara menyampaikan hal demikian. Ia memperlihatkan betapa bersalahnya pilihan yang diambilnya. Dan saya rasa, tidak ada satupun dari kita yang luput dari kesalahan. Ada kalanya kita mengambil pilihan salah dan belajar, Rara salah satunya. Ia memiliki keluh kesahnya sendiri dan itu tidak mudah. Ia mewakili suara baik bagi orang yang melakukan aborsi.
Sikap seperti ini yang mungkin saya kritik. Masyarakat diajarkan
untuk menaati yang benar dan mencerca yang salah. Sehingga, kita terjebak
dalam dualitas yang memaksa kita menghilangkan kasih atau rasa iba. Hilangnya
rasa kasih dan iba itu, kadangkala membuat kita bereaksi seperti 'Ya
siapa suruh ini...', 'Ya salah sendiri kayak gitu...', 'Udah tau dilarang, udah
tau dosa, masih aja...'. Dari kecil saya selalu diajarkan
mana yang baik dan salah, tanpa diajarkan bagaimana bersikap kepada mereka yang
salah. Masyarakat diajarkan untuk menjauhi yang salah karena dapat
menistai yang benar. Kita tidak pernah diajarkan bagaimana menyikapi mereka
yang telah memilih pilihan yang salah (salah bagi mayoritas). Kita diajarkan
untuk membenci mereka yang melakukan hal-hal salah terkait moral. Kita
diajarkan bahwa kesedihan dan penyesalan yang mereka alami adalah upah dosa
dari pilihan mereka.
Saat membaca tulisan ini, saya belajar. Hidup tidak akan pernah
mudah. Penghakiman tidak menyelesaikan segala masalah. Karena kebijaksanaan
menerapkan kasih terlepas kebenaran maupun kesalahan. Kasih adalah bentuk sikap
kepada mereka yang salah. Itulah mengapa Rara amat bersyukur keluarganya tidak
pernah sejengkalpun pergi darinya terlepas dari situasi yang dialaminya. Semoga
yang membaca mau mengerti dan memahami bahwa penekanan akan baik-buruk penting,
dan kepedulian dan kasih agar tidak menghakimi pun akan sama pentingnya. Because why? Because her life and
our life would never be the same. It's only love that heals. And don't make
that strong boundaries between right and wrong then you lose sight on love.
Comments
Post a Comment