Aborsi: Antara Moral dan Kasih


Mungkin tulisan ini adalah reaksi langsung atas artikel yang ditulis Rara Laras di Magdalene.co berjudul What I wish I'd known before My Abortion (http://magdalene.co/news-520-what-i-wish-i%E2%80%99d-known-before-my-abortion.html). Saya juga bingung apabila ditanyakan tentang intensi tulisan ini, dan tidak yakin juga jika memang saya menuliskannya tanpa intensi. Untuk itu, saya mungkin akan serahkan pada pembaca.

Menyoal artikel Rara, ia menceritakan pengalaman seorang perempuan di usia awal 20-an di konteks sosial Indonesia yang masih lekat dengan nilai bahwa 'kehamilan di luar pernikahan' bertentangan dengan norma moral di masyarakat. Ia adalah seorang perempuan dengan karier yang baru dirintis setelah lepas dari universitas. Ia dan pacarnya sudah berpacaran kurang lebih delapan tahun. Bukan waktu yang singkat. Sebagaimana saya kutip dalam tulisannya, "He had been an on-and-off boyfriend of seven years. We were college sweethearts. He was my first of many things. And being together for so long, I knew what to expect. We’ve had conversations before in case of an “accident”. And I wasn’t wrong. He proposed abortion almost immediately." (Ia adalah pacar saya dan kami dalam hubungan yang putus-sambung. Kami berpacaran sejak kuliah. Dengannya, saya melakukan banyak hal untuk pertama kalinya dan kami memang bersama untuk waktu yang tidak sebentar. Saya tahu sebenarnya yang akan terjadi. Kami pernah membicarakan apabila saya hamil. Untuk itu, saya benar. Ia langsung menyarankan aborsi tanpa berpikir lebih jauh." Dalam kalimat ini, saya melihat bagaimana Rara menggambarkan hubungan dengan pacarnya. Komitmennya untuk bersetia dan cintanya pada laki-laki ini terpampang nyata, tapi ia memang sudah mempertanyakan pihak sebelah.

Timpangnya komitmen terpampang lebih nyata dalam paragraf berikut dalam tulisannya: "Like I said, it wasn't a surprise. But what I didn’t expect was how hurtful his unwillingness for offering an alternative would be. He said that, as a person who was still struggling to get his degree and who had no working experience, he had nothing to offer. He also pointed out that we hadn’t been happy in the past few years. (Seperti saya jelaskan, saya sudah menduganya. Hal yang tidak saya kira adalah betapa sakitnya merasakan secara langsung reaksi pacarnya dalam mengatasi situasi itu. Ia mengatakannya, dengan situasi bahwa ia masih mahasiswa yang  berusaha untuk lulus dan tidak memiliki pengalaman bekerja, ia tidak memiliki apapun untuk ditawarkan untuk menghidupi seorang anak. Ia juga menekankan bahwa kami tidak bahagia bersama dalam beberapa tahun ini). Rara menggambarkan perasaannya dengan gamblang setelah mengetahui reaksi pacarnya. Sontak saya sedih membaca paragraf ini. Hal yang terlintas di kepala saya adalah bagaimana Rara mampu bertahan dalam sebuah hubungan di mana ia mengorbankan segala rasa percaya, cinta, dan komitmennya untuk seorang laki-laki. Di saat yang sama pula, ia dan dirinya mempertaruhkan kemungkinan bahwa laki-laki ini dapat berubah. Begitu banyak yang dipertaruhkannya.

Mungkin saya gagal untuk tidak menilai Rara, karena saya merasa tulisan ini seperti menganalisis curahan hatinya. Saya ingin memperlihatkan bahwa setiap pilihan menghasilkan konsekuensi. Dalam kasus ini, Rara berharap ia mengetahuinya sebelum melakukan aborsi. Setidaknya ia tahu, bukan menyesal kemudian menghakimi keputusannya sendiri sebagai sebuah kesalahan.

Satu hal yang menggerus hati saya adalah bagian pembuka yang dituliskan Rara. Di sana terlihat paparan emosional tentang pergulatan hatinya antara kecintaan terhadap janin, posisinya sebagai perempuan di tengan situasi sosial yang 'menempatkannya sebagai pendosa', serta reaksi pacarnya yang boleh dibilang mengkhianati delapan tahun kebersamaan mereka. That is true that her life would never be the same whether she did it or not...the abortion. Satu hal yang saya sadari ketika membaca setiap artikel soal aborsi, karakteristiknya sama: sang Ibu mencintai janinnya, situasi sosial menempatkan mereka dalam posisi tidak menyenangkan yang kemudian menjadikan pertimbangkan si Ibu baik bagi dirinya ataupun anaknya kelak, dan bagi beberapa kasus tidak suportifnya pasangan dalam merasakan pergumulan sang perempuan.

Rara benar. Hidupnya tidak akan pernah sama. Apakah kemudian yang dilakukannya salah atau benar? Saya rasa, Rara melakukan yang terbaik untuknya pada saat itu. Kita tidak punya hak lebih untuk menghakimi pilihannya. Dan pilihan Rara untuk membagi ceritanya juga benar. Ia memberikan perspektif sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki akses aborsi sesuai standar kesehatan berlaku. Ia memiliki beban moral baik sebagai perempuan dan ibu, yang hamil di luar nikah dan anak yang nantinya dikatakan anak haram. Terakhir, ia mengkhawatirkan finansial untuk membesarkan seorang anak karena seharusnya seorang anak dibesarkan ketika orang tuanya siap.

Saya melihat beban mental dan moral yang dipasung di pundak perempuan ini. Saya harus menangis membaca beberapa paragraf terakhir: "No, I don't regret it. There are just some things that I wish I knew before my abortion though. I wish I'd known that even a loyal and loving partner doesn’t make a responsible one, that your family will never stop loving you, that in spite of gathering information from people who’ve gone through the same thing, every person is subject to a different reaction, mentally and physically. Some people heal faster, while others would struggle more. Most importantly, I wish I’d known how painful it would be, to hold other people’s babies in your arms and thinking about what could have been." (Tidak. Saya tidak menyesalinya. Saya hanya berharap saya tahu beberapa hal sebelum saya menggugurkan kandungan. Saya berharap saya tahu bahwa memiliki pasangan yang setia dan penuh kasih tidak menjadikannya seorang bertanggungjawab. Saya berharap saya tahu bahwa keluarga saya tidak akan berhenti mencintai saya, kendati saya mendengar cerita berbeda dari orang yang mengalami hal serupa. Saya berharap saya tahu bahwa tiap orang tentu mengalami hal berbeda, baik mental maupun fisik. Beberapa orang sembuh dengan cepat, sementara lainnya terus mencoba untuk sembuh. Hal terpenting, saya berharap saya tahu bagaimana menyakitkannya menggendong bayi orang lain dan berpikir apa yang mungkin saya miliki. Ia harus menghadapi ketakutannya sendiri akan dampak sosial yang dihadapinya, tanpa dukungan dari satu orangpun. Pilihannya untuk menggugurkan kandungannya pun tidak dapat disalahkan. Kita tidak pernah tahu bagaimana suatu peristiwa dapat menggerogoti jiwa seseorang. Kesedihan dan lukanya ia tanggung sendiri dan ia berharap jika di luar sana ada yang bernasib sepertinya, ia tidak sendirian.

Saya pribadi menentang aborsi, namun tulisan Rara membuat saya mengerti apa yang dialami pelaku aborsi. Saya melihat tulisan ini sebagai sebuah kritik, terlebih membaca komentar orang-orang yang pro dan kontra dengan keputusan Rara. Saya melihat alpanya fasilitas kesehatan untuk aborsi dan wadah pemulihan secara psikologis bagi perempuan yang mengalami aborsi. Itu dua hal yang harus disoroti. Mau tidak mau tidak sedikit peristiwa ini terjadi dan klinik aborsi justru membahayakan nyawa orang yang melakukannya dan psikis perempuan yang melakukannya juga harus dipertimbangkan (jangan kemudian berpikir 'siapa suruh hamil di luar nikah' ketika saya menuliskan hal ini, it's ignorance you know and world would not change if you think and do like that).

Saya rasa, setiap dari kita tidak memiliki hak memberi penilaian atas hidup orang lain. Keputusan orang lain adalah murni miliknya. Hal yang mungkin kita lakukan adalah memahami dan tidak menyudutkannya lebih lagi. Setiap dari kita, saya rasa, hanya ingin dicintai, dan saya lebih yakin bahwa itulah yang diajarkan untuk saling mengasihi tanpa syarat apapun. Tulisan Rara menyampaikan hal demikian. Ia memperlihatkan betapa bersalahnya pilihan yang diambilnya.  Dan saya rasa, tidak ada satupun dari kita yang luput dari kesalahan. Ada kalanya kita mengambil pilihan salah dan belajar, Rara salah satunya. Ia memiliki keluh kesahnya sendiri dan itu tidak mudah. Ia mewakili suara baik bagi orang yang melakukan aborsi.

Sikap seperti ini yang mungkin saya kritik. Masyarakat diajarkan untuk menaati yang benar dan mencerca yang salah. Sehingga, kita terjebak dalam dualitas yang memaksa kita menghilangkan kasih atau rasa iba. Hilangnya rasa kasih dan iba itu, kadangkala membuat kita bereaksi seperti 'Ya siapa suruh ini...', 'Ya salah sendiri kayak gitu...', 'Udah tau dilarang, udah tau dosa, masih aja...'.   Dari kecil saya selalu diajarkan mana yang baik dan salah, tanpa diajarkan bagaimana bersikap kepada mereka yang salah. Masyarakat diajarkan untuk menjauhi yang salah karena dapat menistai yang benar. Kita tidak pernah diajarkan bagaimana menyikapi mereka yang telah memilih pilihan yang salah (salah bagi mayoritas). Kita diajarkan untuk membenci mereka yang melakukan hal-hal salah terkait moral. Kita diajarkan bahwa kesedihan dan penyesalan yang mereka alami adalah upah dosa dari pilihan mereka.

Saat membaca tulisan ini, saya belajar. Hidup tidak akan pernah mudah. Penghakiman tidak menyelesaikan segala masalah. Karena kebijaksanaan menerapkan kasih terlepas kebenaran maupun kesalahan. Kasih adalah bentuk sikap kepada mereka yang salah. Itulah mengapa Rara amat bersyukur keluarganya tidak pernah sejengkalpun pergi darinya terlepas dari situasi yang dialaminya. Semoga yang membaca mau mengerti dan memahami bahwa penekanan akan baik-buruk penting, dan kepedulian dan kasih agar tidak menghakimi pun akan sama pentingnya. Because why? Because her life and our life would never be the same. It's only love that heals. And don't make that strong boundaries between right and wrong then you lose sight on love.


Comments

Popular Posts