25










Yayasan Elsafan x GPIB Trinitas x Ariyo Zidni (Ayo Dongeng Indonesia)
Foto oleh: Kristian Erdianto
"Dua puluh lima adalah titik di mana saya bersyukur karena saya tahu. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, saya tahu apa yang saya sukai, saya tahu siapa orang yang harus saya sayangi sepenuh hati dan saya perjuangkan kebahagiannya, dan saya tahu setiap alasan yang semesta berikan dalam pembelajaran kehidupan, sehingga saya menjadi saya yang sekarang. Ya, mungkin saya bukan realis. Untuk cinta, saya tak malu dibilang utopis. Karena memang cuman cinta yang membuat telinga-telinga itu berterima mendengarkan semua keluh kesah saya tentang semesta. Karena memang cuman cinta yang berlipat ganda tak ada habisnya ketika dibagi seadanya dan dinikmati bersama dalam tawa. Terima kasih semesta. Dua lima syukur saya haturkan luar biasa karena berkat lebih dari seharusnya telah saya terima."
(Ismoyo, Jessy) 

Tahun ini sungguh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Berkat melimpah saya rasakan tiada henti-hentinya. Saya tahu betul betapa menyamankan kehangatan akan rasa cinta yang orang-orang berikan kepada saya. Bukan kuantitasnya, tapi kualitasnya. Tidak ada yang mengalahkan kejujuran dan ketulusan seseorang dalam mengasihi dan saya tahu support system saya memberikan apa yang mereka punya semaksimal mungkin. Itulah yang membuat saya bersyukur pada semesta.

Saya merencanakan untuk menghabiskan ulang tahun di Panti Tuna Netra sudah sedari sebulan lalu. Tadinya, saya berencana untuk membuat kunjungan kecil ke penjara anak sekadar untuk bertukar cerita dan berbagi sedikit berkat saja. Hitung-hitung bahan tulisan. Tapi, karena satu dan lain hal. Semesta mengarahkan saya untuk berkenalan dengan anak-anak di Panti Elsafan. Sebenarnya, acara ini adalah rangkaian acara gereja menuju Natal tahun ini. Saya hanya tiba-tiba muncul saja untuk membantu berlangsungnya acara. Puji Tuhan, rancangan acara saya tidak berujung sia-sia. Lagi dan lagi, saya yang takjub akan luar biasa nyatanya konsep 'kebahagiaan itu berlipat ganda jika dibagi.'

Saya tahu betul, saya akan belajar banyak pada hari Sabtu, tanggal 5 Desember 2015. Untuk itu, saya tidak sabar. Seperti yang kalian mungkin telah baca dalam tulisan saya sebelumnya, kunjungan ini bukan untuk berbagi kasih. Saya melihat kunjungan kali ini sebagai pemenuh rindu. Saya rindu berada pada kumpulan anak-anak yang tidak saya kenal. Saya rindu untuk melihat mereka bercanda tawa. Saya rindu ditampar oleh semesta dengan melihat bagaimana mereka bisa begitu bahagia, tapi saya masih terjebak dengan kecemasan luar biasa. Saya rindu untuk belajar dari mereka; belajar berserah pada semesta dan sesederhana menjadi bahagia dan pembagi sukacita.

Hidup baru dimulai pada usia 25 tahun, katanya. Saya rasa hal itu benar. Kehidupan saya baru saja dimulai. Dari titik ini, saya tahu ke mana saya akan melangkah, apa yang saya cari, tentang bagaimana saya akan mendapatkannya, biarlah hal itu saya serahkan pada semesta. Ia punya jalan terbaik untuk mengantarkan saya pada sesuatu yang saya butuhkan, bukan saya inginkan. Selawe, begitu bahasa Jawa-nya. Seneng-senenge lanang lan wedok, itu artinya. Bukan untuk mendefinisikan di umur inilah biasanya orang memilih untuk menikah. Buat saya, di umur inilah seseorang dewasa untuk betul-betul mengenal dirinya. Sehingga, ia tahu betul apa yang ia cari dari seseorang yang ia jadikan partner. Di luar konsep pernikahan atau ikatan apapun, bagi saya pribadi, selawe adalah tahapan luar biasa untuk bertanggung jawab akan rasa dan komitmen yang mengarah pada keputusan-keputusan kecil yang membentuk diri saya. Falsafah inilah yang kemudian saya percayai. Pada usia kepala dua, saya terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan macam begini dan jawaban dari linggo kursi  (masa di mana orang menentukan di mana ia akan duduk, entah menjadi penulis, seniman, pekerja kantoran, atau ibu rumah tangga sekalipun) dari umur 21-29 tahun membuat saya yakin bahwa memang di titik ini saya akan memilih apa yang akan saya jalani 20 tahun ke depan. 

Sulit menulis makna kehidupan yang saya dapatkan selama 25 tahun hidup dalam sebuah tulisan, sehingga butuh banyak waktu untuk saya berkontemplasi. Saya mengarah pada satu kesimpulan. Masa linggo kursi, setidaknya buat saya, menjadi menakutkan karena saya harus memilih dan bertanggungjawab atas kehidupan saya ke depan. Saya takut memilih karena saya takut menyesal. Mungkin itulah jawaban mengapa level kecemasan saya meninggi akhir-akhir ini. Tapi, saya rasa saya tidak sendirian. Apapun pilihan saya, harusnya saya sadari bahwa kehidupan ini bukan menempatkan saya pada poros rotasi. Saya hanyalah biji sesawi yang menunggu ditanam, dipupuk, dan bertumbuh. Lagi-lagi, bukan untuk saya, tapi untuk sesama saya. Saya meyakinkan diri saya bahwa fungsi saya sebagai pohon sesawi punya makna berbeda untuk setiap orang yang saya temukan di sepanjang perjalanan hidup saya. Kadang memang saya suka lupa untuk merendah dan bertanya. Saya selalu menetapkan tujuan diselingi obsesi untuk menjadi tinggi, kemudian saya tersesat sendiri ketika jalan itu tidak sesuai dengan keinginan saya. Di situlah, saya merefleksikan kehidupan saya kembali. Selawe tidak lagi berada pada konteks satu orang saja, tapi membesar menjadi kumpulan orang-orang yang saya kasihi. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, orang-orang yang patut saya perjuangkan kebahagiaannya. Ya, memang tidak mudah. Justru karena tidak mudah, makanya sesuatu jadi punya cerita. Bukan begitu?

Beberapa waktu lalu, saya terjebak dalam sebuah percakapan dengan teman saya. Percakapan yang sejujurnya mengagetkan untuk saya, ketimbang untuk teman saya. Saya takjub akan perkataan yang saya sampaikan pada teman saya, saya hampir tidak percaya bahwa itu keluar dari mulut saya sendiri. Teman saya berkata bahwa perempuan (mau tidak mau) terjebak dalam konsep prince charming. Kemapanan laki-laki adalah tolak ukur masyarakat untuk mendatangi perempuan, kemudian menyelamatkannya dari kastil. Lalu, saya mempertanyakan letak cinta dalam hubungan seperti itu. Saya mengatakan pada teman saya bahwa saya tetap seorang perempuan yang percaya bahwa sebuah hubungan dilandaskan rasa cinta adalah mutlak hukumnya terlepas dari tingkat kemapanan seorang laki-laki. Reaksi teman saya cukup membuat saya terkejut. Terkejut karena saya tidak mengira, ia akan bicara seperti itu. Sepertinya memang waktu mengubah seseorang lebih dari yang kita kira. Ia bilang saya idealis. Ia bilang saya utopis karena mengetengahkan konsep cinta seperti itu dalam realita. Saya hanya mampu menghela nafas dan tersenyum. Kemudian saya katakan: "Kalau memang saya utopis dengan pilihan saya. Biarkanlah seperti itu. Hidup ini perjuangan. Kita memilih perjuangan kita masing-masing. Biarlah saya dengan pilihan saya. Pilihan saya untuk tetap memperjuangkan konsep cinta yang utopis. Kamu tahu kenapa? Karena saya mau, orang-orang yang saya kenal percaya dan menceritakan kisah saya pada orang lainnya. Bahwasanya, masih ada orang yang memperjuangkan cinta sebegitunya. Mungkin karena itu saya ada. Karena perjuangan saya untuk menentang apa yang dipercayai banyak perempuan: menunggu datangnya pangeran berkuda. Mungkin saya memang idealis, tapi saya rasa tidak ada lagi yang patut diperjuangkan dalam hidup ini selain sebuah ikatan yang didasarkan kasih yang luar biasa antara satu dengan yang lain."

Sontak saya diam. Teman saya diam. Kami sama-sama diam. Kami tahu pikiran kami bergerak jauh ke ranah yang tidak kami tuju. Tidak ada kesimpulan malam itu. Kami hanya tahu bahwa posisi kami sudah berbeda dan hidup mengikuti kami sebagaimana kami memandangnya. Saya belajar banyak dari malam itu. Saya belajar bahwa mau tidak mau, saya sudah menentukan pilihan. Apapun dan bagaimanapun kecemasan yang mengikutinya, saya lebih dari siap untuk merangkul semua itu dan menjadikannya memori dalam rangkaian kata.

Kadang terjebak dalam percakapan dengan teman itu membuat perjalanan hidup saya lebih berarti dari arti satu kata dalam KBBI. Lain teman, lain percakapan. Selain percakapan di atas, saya harus mengakui saya takjub. Seorang teman saya mengatakan pada saya: "Jes, kamu tahu nggak? Aku selalu menyelipkan namamu dalam doa." Buat saya, tidak ada yang lebih sakral ketika seseorang menyebutkan nama kita dalam doa mereka. Terlepas dari pandangan kalian tentang doa, untuk saya, doa itu privat sekali. Ketika nama saya disebutkan dalam doa, saya sadar betul bahwa orang itu menempatkan saya dalam posisi sangat-sangat dekat dengan dia. Tidak ada yang lebih mulia dari mengucapkan pinta pada semesta agar kharma-kharma baik melingkupi kehidupan seseorang, agar kebahagiaan menyertai seseorang. Untuk itu, saya sangat berterima kasih atas ucapan yang kemudian menjadi doa. Apalagi ketika hal itu diucapkan berulang setiap hari, menyediakan waktu untuk berlutut dan diam dalam hening, mendengar suara hati, dan menyebut harapan-harapan yang hanya kepala sendiri yang tahu, buat saya kok itu tingkat 'mengasihi'-nya tinggi sekali.

Kalau mau dilihat tahun-tahun kemarin, saya memang terlalu banyak lari. Lari dari semua hal yang seharusnya saya hadapi. Ketika dulu saya berpikiran "Kok orang gitu aja kok lari," sampai pada tahapan "Oh, jadi begini rasanya ketika saya berada dalam posisi itu." Tak heran butuh banyak tenaga untuk kembali berdiri dan membangun kembali. Bukan. Bukan soal patah hati, tapi lebih ke soal patah mimpi. Patah hati juga punya efek menyiksa yang sama. Tapi buat saya, patah mimpi juga sama beratnya. Lebih pada hilangnya eksistensi diri. Ketika saya sudah menata indah, kemudian harus menerima kalau memang itu bukan jalannya. Penerimaan diri dan kembali percaya pada diri sendiri itu butuh waktu yang panjang. Pada akhirnya, di penghujung tahun ini, saya bisa katakan bahwa saya kembali lagi. Bukan untuk menata, tapi untuk menjalani. Bukan untuk berlari, tapi berjalan dengan memperhatikan pemandangan kanan-kiri lebih jelas lagi. Supaya apa? Supaya saya lebih bersyukur, supaya saya lebih pandai memperhatikan tanda-tanda yang semesta sudah tinggalkan, supaya saya bisa lebih tahu diri bahwa hidup ini bukan punya saya saja.

Kita semua punya moda sendiri untuk menghadapi hidup ini. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Dualisme benar dan salah kemudian hanya menjadi penghalang saja untuk menjadi bijaksana. Cukup tahu saja itu jadi frasa yang tidak lagi penuh dengki, tapi penuh pemahaman. Saya cukup tahu bahwa prioritas setiap orang berbeda. Saya cukup tahu bahwa waktu adalah investasi termahal yang orang bisa berikan. Saya cukup tahu bahwa setiap kedengkian, kebencian, kebohongan yang orang lakukan dikarenakan perspektif lubang kunci. Apa itu perspektif lubang kunci? Ketika kita melihat yang seharusnya tidak kita lihat. Ketika kita semata-mata menjadi subjek yang mengobjekkan orang lain, tanpa si objek tahu. Subjek yang menggagahi ego objek untuk pemuasan ego si subjek sendiri. Di situlah saya mengerti, saya sudah seharusnya bergerak dari perspektif lubang kunci. Alangkah baiknya jika saya mengetuk pintu, menyapa, menunggu pintu terbuka, dan masuk baik-baik untuk melihat apa yang berada di balik pintu itu. Kembali lagi, kita semua punya moda masing-masing. Untuk saya, dua puluh lima adalah pergeseran persepsi seperti yang saya jelaskan di atas.

Saya terlalu banyak melantur. Kembali lagi pada foto-foto yang kalian dapat lihat di atas. Ya. Kebahagiaannya nyata terambil kamera. Bukan semata-mata pose yang dirancang agar kelihatan manis atau yang banyak orang sebut citra. Ketika tanggal 5 Desember 2015, sesaat saya sampai di panti. Saya disambut dengan hangat oleh kakak Silvia, yang bertanggungjawab atas adik-adik di sana. Saya langsung menyapa adik-adik. Hangat rasanya sapaan itu dibalas dengan suara lantang dan ketidaksabaran mereka untuk tahu 'Hmm akan ada apa ya hari ini?'. Saya mengenalkan diri pada mereka dengan menyebutkan ciri-ciri saya. Lucu rasanya saya berhenti dalam tiga kalimat ketika saya mendefinisikan diri saya. Sepertinya saya harus lebih banyak lagi menggunakan imajinasi untuk menjelaskan seperti apa diri saya pada orang-orang. Ini jadi bahan refleksi lagi untuk saya sebenarnya yang mungkin tidak akan saya bahas kali ini. Setelah perkenalan singkat dengan adik-adik, acara langsung melaju ke dongeng oleh kak Ariyo dari Ayo Dongeng Indonesia. Ia berkolaborasi dengan Simon dari Panti Elsafan. Di momen itu, tepat sekali di momen itu, saya duduk bersila, saya memandang sekeliling saya, dan saya berkata pada diri saya "Jes, perhatikan setiap detilnya. Inilah yang akan lo ingat nanti. Inilah yang akan masuk ke restorasi memori lo. Jadi, lo ingat baik-baik rasanya sekarang lo duduk, lo perhatiin anak-anak itu satu-satu, lo denger cerita Ariyo, lo liat reaksi anak-anak, lo denger ketawa mereka. Tolong perhatiin semuanya." Saya melakukan apa yang kepala saya katakan. Kemudian, saya tersenyum dan mata saya panas. Ya, saya cengeng untuk hal seperti ini. Susah untuk tidak cengeng setiap kali saya merasa saya benar-benar 'mengada' dan 'berada' pada satu momen dalam hidup saya. Susah. Untuk itu, setiap kali saya melakukannya - saya pasti berkaca-kaca. Jika kalian tanya, apakah saya masih ingat betul rasanya ketika itu? Saya jawab dengan yakin, iya saya masih ingat betul tawa, senyum, cerita, perasaan saya duduk bersila, dan hangatnya mata saya ketika air mata saya tahan di pelupuk mata. Saya tahu, saya bahagia, dan itu tidak ternilai harganya buat saya.

Sejujurnya saya sudah kekeuh bilang pada orang gereja, saya tidak mau anak-anak tahu berkat yang saya bagikan dikarenakan hari ulang tahun saya. Saya tidak mau mereka tahu. Cukuplah mereka tahu hari itu adalah perayaan Natal gereja saya saja. Tapi, berurusan dengan ibu-ibu gereja tidak segampang itu. Sekali ibu-ibu gereja katakan tiup lilin, mustahil rasanya menolak. Saya sudah mengerahkan alasan A-Z untuk menolak, 'toh prosesi tiup lilin tetap saja ada. Ya sudah. Saya nikmati saja. Ketika saya selesai meniup lilin, saya ditanya soal harapan saya. Saya hanya berkata semoga saya tidak berhenti jadi berkat untuk orang lain. Apalagi sih yang lebih menyenangkan dari mengetahui kalau kita punya arti dan fungsi dalam kehidupan orang lain? Buat saya, itu cukup. Kemudian datang seorang anak bernama Markus, ia mengucapkan sepatah dua patah kata yang jadi doa buat saya. Lagi-lagi, saya gagal untuk tidak berkaca-kaca. Doanya sederhana dan repetitif seperti yang mungkin kalian semua terima setiap tahunnya: panjang umur, sehat selalu, sukses, dan bahagia. Saat itu, mendengar doa terucap dari seorang anak berumur tujuh tahun rasanya hangat sekali. Saya tidak bisa tidak memeluk anak itu untuk berterima kasih. Terima kasih karena membuat saya kembali merasakan kehangatan itu lagi dan lagi.

Ada lagi anak yang bernama Petrus. Anak ini hiperaktif sekali. Ia akan menjawab pertanyaan kalian dengan tawa dan gayanya yang lincah. Saya sampai lupa kalau mereka tuna netra. Lucu rasanya, saya masih terjebak stigma bahwa ada relasi disabilitas dan tingkat kebahagiaan seseorang. Malu juga rasanya, pikiran itu masih ada di kepala saya. Saya usir pikiran itu jauh-jauh. Malu dengan diri sendiri yang kadang kala tidak mampu sebahagia itu ketika membalas sapaan orang lain. Saya hanya bertanya hal-hal sederhana pada Petrus, "Namanya siapa?", "Umurnya berapa tahun?", "Petrus lagi apa?". Dipikir-pikir, entah berapa orang sudah menanyakan hal yang sama padanya, tapi ia tetap menjawab dengan tawa yang malu-malu. Terlalu gemas. Terlalu hangat. Terlalu banyak cinta pada anak itu. Terlalu banyak kasih, sehingga ketidakbersyukuran saya akan hidup yang konstan dan tawar jadi dosa besar. Ya. Sebegitunya efek Petrus dalam kontemplasi kepala saya.

Saat saya menutup acara itu pun, saya sadar betul bahwa saya belajar banyak sekali. Lagi dan lagi, saya harus mengatakan tidak ada kata utopis untuk cinta kasih yang seperti ini. Ketulusan itu bukan konsep. Hal itu nyata dalam tiap perilaku dan berulang tanpa butuh embel-embel 'gimana kalo ini' atau 'gimana kalo itu'. Saya kembali lagi dengan energi yang terisi penuh. Saya kembali dengan jawaban atas pertanyaan saya. Puji Tuhan, saya kembali diingatkan.

Satu lagi, sebelum menutup tulisan ini, saya berterima kasih atas semua waktu yang sudah diluangkan untuk datang, sampai waktu yang disisihkan untuk sekadar mengetik ucapan panjang. Kalian tahu? Itu efeknya luar biasa buat saya. Saya merasa begitu dicintai, saya merasa begitu disayangi, saya merasa saya punya arti dalam hidup ini, saya merasa hal yang saya lakukan tidak sia-sia. Buat saya, itu lebih dari cukup. Buat saya, mungkin itu segalanya yang bisa saya minta pada semesta. Terima kasih.

Jadi, kalau ditanya apa rasanya menjadi perempuan di umur dua puluh lima? Saya akan menjawab: "Saya tidak pernah merasa sebahagia ini, sebersyukur ini, sepenuh ini dalam hidup saya. Kalau memang 25 adalah awal kehidupan, saya mengawalinya dengan amat sangat manis." Semoga setiap orang yang membaca juga merasakan hal yang sama. Amin. Semesta memberkati kalian semua.


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts