Konser 'Menyanyikan Puisi' oleh AriReda


Sapardi Djoko Damono mungkin adalah orang yang punya pengaruh amat besar pada kecintaan saya terhadap puisi. AriReda, di lain pihak, ibarat memupuk kecintaan itu sehingga berbuah sedemikian rupanya. Di lain itu, Felix tahu betul kedua hal itu punya arti untuk saya. Terima kasih sudah membuat saya 'ada pada momennya' pada tanggal 26 Januari. Terima kasih saya boleh menyaksikan langsung pertunjukkan AriReda yang menandai keluarnya album baru mereka, 'Menyanyikan Puisi'.

Puisi adalah rangkaian kata jujur. Tidak perlu deklamasi berlebihan dengan intonasi-intonasi layaknya pidato. Puisi butuh ketulusan untuk membacanya. Ketika kita merasainya, rasa akan berkelindan dengan sendirinya dalam kata. Kita tak perlu banyak tenaga untuk memahami tiap larik dan baitnya. Sungguh tidak perlu. Musikalisasi puisi Sapardi ibarat harmoni dengan paduan suara Ari dan Reda. Saya duduk di sana, tersenyum bahagia, dan kagum karena saya kembali mengingat betapa cintanya saya akan puisi-puisi Sapardi, dengan suara AriReda.

Saya banyak bertanya setiap penggemar Sapardi, hasilnya tiga puisi favorit mereka adalah Sajak Kecil Tentang Cinta, Hujan Bulan Juni, dan Aku Ingin. Tiga puisi Sapardi dari seluruh tulisannya yang mampu meluluhlantakkan setiap orang yang mendengarnya. Mengenai tiga puisi itu, rasa-rasanya kok cinta begitu indah dalam deskripsinya. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana," "Mencintaimu harus menjelma aku" atau "Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu."

Di luar ketiga puisi itu, "Nokturno" selalu menjadi favorit saya. Sampai suatu ketika, seorang laki-laki datang dan mengutip Sapardi untuk mencuri perhatian saya. Laki-laki ini mengutip puisi "Di Restoran." Di saat itulah, "Di Restoran" menjadi favorit saya setelah "Nokturno." Mungkin laki-laki inilah yang seharusnya direngkuh ketika ia dan saya duduk berhadapan untuk memesan takdir.

Di luar itu, penampilan Jubing Kristianto dan Tetangga Pak Gesang juga melengkapi definisi cinta yang sederhana. Semuanya begitu sederhana dengan detil yang diperhatikan amat saksama. Itulah yang kemudian meninggalkan memoria yang memeluk hangat tiap telinga yang boleh menikmati pertunjukkan mereka malam itu.

Saya tidak mampu berkata panjang. Saya terlalu penuh, terlalu bahagia, terlalu subjektif tulisan ini jadinya. Mungkin kita diingatkan kembali, lewat puisi Sapardi, bagaimana mencintai baik dengan sederhana ataupun mencintai dalam diam. Keduanya punya kearifannya masing-masing. Akhir kata, untuk kita semua,  marilah sama-sama menjelma. Menjelma entah menjadi apa. Mungkin lebih menjadi sesama? Atau cinta?

Comments

Popular Posts