Jakarta Hampir Jam Enam Sore
Keluh kata lucut, jadi wajah yang kisut. |
"Saya pikir semuanya bisa
berubah," tutur Galang pada Runny.
"Apa maksud kamu yang berubah?
Saya?" tanya Runny.
"Ya, apa saja, semuanya. Kalau
kamu menganggap diri kamu bagian dari semuanya, ya, kamu bisa berubah,"
Galang membalas perkataan Runny.
"Termasuk kamu?" Runny
menajamkan pandangannya pada Galang, mencoba mencari kejujuran dari sinar mata
laki-laki itu.
"Ya, termasuk saya," jawab
Galang pendek.
---
Hari
itu Rabu. Jakarta diguyur hujan deras. Langit berwarna lebih pudar dari
biasanya. Sebelumnya, awan akan berwarna kelabu dan bertumpukan dengan awan
lainnya seperti karung-karung kapas yang diletakan di pojok gudang. Dengan
sentuhan biru tua, awan yang kelabu bukan menjadi pemandangan yang indah
dilihat. Namun Jakarta sore itu berbeda. Waktu menunjukkan hampir jam enam
sore. Langitnya berwarna abu-abu dengan rintik hujan konstan sejalan dengan
detik waktu. Mengganggu. Suaranya dalam hitungan tetap, sehingga mengusik orang
yang tingkat kestabilan emosinya belum baik. Bunyi rintik hujan akan menyiksa
mereka Layaknya suara pensil yang diketukan di meja, dan berbunyi di belakang
kepala mereka. Kemudian, mereka akan merasa gusar pada dirinya sendiri karena
hal itu.
Runny
berdiri berdesak-desakan di antara penumpang gerbong kereta perempuan lainnya. Ia
tidak bisa bergerak. Kakinya terkunci. Tiap stasiun, dari Manggarai menuju
Depok, ia harus didorong berkali-kali. Aneh. Transportasi umum ini aneh. Orang
rela pulang bertempel-tempelan dengan orang lain, memaksakan diri masuk padahal
sudah penuh, dan dengan santainya menahan badan apabila tak suka posisinya
bergeser. Runny liat wajah mereka satu per satu, semuanya menyimpan keluhan
yang tak tersampaikan. Masing-masing mereka menggerutu dalam hati dengan
tatapan mata membunuh, tapi tak ada yang bicara, tak ada yang protes, seolah
keadaan berdesak-desakan dalam kereta adalah lumrah. Mungkin juga mereka
berpikir, menuntut perubahan itu percuma. Sia-sia. Bikin habis tenaga. Jadi,
ya, terima saja. Begitulah orang dengan hidupnya.
Di
perjalanannya dalam kereta, pikiran Runny melayang pada percakapannya dengan
Galang di sebuah coffee shop tadi. Ia
menarasikan dalam otaknya setiap percakapan, kejadian, dan ekspresi Galang sore
itu. Buat Runny, waktu ngopi bersama
Galang adalah detoks dari perasaan gamang karena kesendiriannya. Biasa.
Penyakit kaum urban. Terlalu banyak dan cepat kegiatan, membuat mereka mudah
merasa sendiri di tengah orang banyak. Kesendirian dan kegamangan adalah dua
musuh besar yang beranak-pinak ketika dalam tekanan, baik itu pekerjaan atau
urusan cinta, bisa juga karena tekanan menikah. Kali ini urusan yang pertama, puji Tuhan bukan yang ketiga.
Ia
dan Galang menghabiskan waktu duduk di Giyanti. Sebenarnya itu bukan tempat
favorit Runny, tapi ia tak punya pilihan lain. Sejak tempat ngopi favoritnya di Jalan Proklamasi
tutup karena dijadikan markas salah satu partai politik, ia hanya punya pilihan
untuk mengikuti keinginan Galang. Kali itu, Galang memilih Giyanti. Sepi.
Lumayan. Jauh lebih lumayan dari Caribou di Senopati yang isinya orang-orang
yang sama sekali tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan di tempat ngopi selain check-in dan foto untuk pamer di social media, atau lebih parah di Djournal Grand Indonesia, dulu tempat itu masih agak sepi -
sekarang bicara pun harus berulang kali bilang "Apa?" atau
"Gimana? Nggak kedengeran!".
Giyanti
jauh dari keriuhan itu. Setidaknya cukup normal untuk Runny. Tempat yang
dipilihkan Galang kali ini, mengobati rasa kangennya dengan tempat ngopi di Proklamasi. Sembari menunggu
Galang, Runny sudah menghabiskan setengah bungkus rokoknya. Seperti kebanyakan
anak muda, ia butuh tempat nyaman untuk merokok di luar rumah. Karena
pekerjaannya tak mungkin selesai apabila tanpa sokongan cengkih dan tembakau
merasuki paru-parunya.
"Persetan
kesehatan. Kepala yang terisi dengan kecemasan lebih membunuh daripada kanker
paru-paru yang jelas bikin mati. Kalau sakit jiwa? Siapa yang mau percaya?
Terlebih lagi, bayar psikiater sama mahalnya dengan kemoterapi," pikirnya
dalam hati. Kalimat itu selalu ia gunakan untuk pembenaran kebiasaan
merokoknya. Bekerja di agensi periklanan di Jakarta artinya lima gelas kopi
sehari dan rokok satu bungkus. Makan, tidur, vakansi, tempatkan saja di sisa
waktu luang.
Galang
datang. Runny langsung menyambarnya dengan muntahan cerita, bahkan sebelum
Galang duduk. "Telat lagi. Seperti biasa. Lang, saya bingung. Tumben kamu
pilih tempat enak begini. Biasanya tempat yang kamu pilih antara berisik atau
ya, berisik, tidak lain dari itu," omel Runny.
"Sorry, Run. Dadakan meeting sama tim baru. Dia megang beberapa pelukis yang rencana mau pameran dalam waktu dekat. Mereka mintanya banyak banget. Harus bikin ini itu. Nengahin kurator
sama pelukis bikin capek ati. Saya jadi kebagian repot ngurusin jadwalnya," jelas Galang sambil membakar Marlboro putihnya.
Runny
selalu suka laki-laki ini. Ia wangi. Wangi parfumnya khas, tidak pernah
berubah, dan Runny hafal betul wangi ini. Karena parfum Galang hanya akan
menghasilkan 'bau' Galang ketika menyatu dengan keringat Galang. Cukup logis.
Semua orang tahu itu.
"Lang,
saya heran. Orang-orang masih saja meributkan tentang kerja untuk passion atau uang. Basi banget,"
Runny membuka obrolan itu.
"Orang-orang
atau kamu?," tanya Galang curiga. "Orang-orang," jawab Runny Spontan.
Awalnya, Runny bekerja karena ia
yakin design adalah passion-nya sekitar lima tahun lalu.
Sekarang juga masih sama. Runny masih percaya, ia melakukan apa yang ia
senangi, yang telah ia pilih, yang telah ia yakini.
Hanya
saja, kadang alasan itu tidak dapat membantunya menggerakkan badan pada pagi
hari. Kadang alasan seperti "Mari nabung buat liburan ke Eropa!" atau
"Tas baru, sepatu baru, baju baru!", atau investasi yang ia kumpulkan
dalam setiap lingkar pertemanan. Rp 100.000,- di arisan ini, Rp 250.000,- chip-in untuk hadiah ulang tahun yang
itu, Rp 500.000,- chip-in untuk baby shower sahabat yang ini, atau juga
Rp 1.000.000,- untuk chip-in bridal
shower yang sedikit lebih fancy. Hal-hal itu yang terkadang jadi energi untuk bangun di pagi hari.
"Gimana
ya, Lang? Toh passion juga untuk
aktualisasi diri. Kalau tanpa dukungan ekonomi baik, gimana mau aktual-aktual?
Mungkin aktual, tapi jadinya nggak terpercaya
saja, ya nggak sih, Lang?"
Runny
sudah tidak pada tahap meyakinkan diri passion
adalah hal yang mampu memberinya nilai diri. Mungkin di tempat lain, tapi
tidak di Ibukota, tidak untuk kota besar yang 55% penduduk negaranya ada di
sini. Dari sekian propinsi, lebih dari setengahnya berada di Jakarta. Semua
demi status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Toh tanpa ekonomi, aktualisasi
diri juga dipertanyakan juga keabsahannya? Bukan begitu?
"Jadi
gini, Run, katakanlah passion saya
itu melukis. Saya melukis. Lagian kalau emang saya suka melukis trus saya jadi pelukis, hidup saya akan jadi lebih mudah ketimbang saya tidak jadi pelukis? Tidak. Hidup saya akan sama susahnya. Pengorbanannya selalu ada. Kalau saya jadi pelukis, ya, saya harus mengorbankan banyak hal termasuk
kehidupan sosial saya. Saya melukis untuk diri saya sendiri. Untuk kepuasan
diri saya sendiri. Kalau saya dari keluarga seniman, sukur-sukur, keluarga juga merasa mendapat nilai dari yang saya
lakukan. Kalau tidak? Saya nggak punya
apa-apa kecuali passion," ungkap
Galang.
"Itu
kan katakanlah. Saya nggak ngerti
contoh kalau pengandaian. Hidup bukan pengandaian. Hidup itu realita. Itu
kenapa kamu kerjanya di art agency instead of being an artist! Because the job can't fulfill your emptiness.
Because painting is not enough. You need appreciation, sense of belonging, and
else to survive here. All that needs good social compatibility. And you can't
suck the higher people without money. Can't even approach them without it," ungkap
Runny sengit.
"I know. That's my choice. Saya pilih
pekerjaan saya sekarang karena saya tahu itu. Saya mana bisa jadi pelukis?
Lingkaran keluarga saya bilang apa? Jadi posisi tawar yang saya punya supaya
dapat keduanya, ya ini. Jadi konsultan seni. Nggak haram juga kok, Run. It pays the bills, so what's the
problem? Gini ya, Run, perdebatan soal passion
itu akan berhenti sendiri kalau kita nggak bergantung sepenuhnya sama orang
lain. Kamu masih bisa komentar begini karena tinggal di apartemen orang tua kamu. Coba kamu pikir sewa tempat tinggal sendiri. Hidup tanpa tiang orang tuamu, kamu kerja akan lebih gila cari uang tambahan buat bayar ini-itu. Mana sempat mikir perfeksionis soal idealisme? Orang itu hidup untuk adaptasi kok. Bersyukur, Run. Jangan dipertanyakan. Idealisme itu kadang egois dan bikin
manusia besar kepala. You can't force the
universe to do what you want," Galang santai menimpali ungkapan sengit
Runny.
"I see your point. Maybe, you're right. Saya
setuju. Jakarta bukan tempat untuk orang-orang seperti itu. Kalau mau lebih
dari itu, harus punya keberanian lebih juga untuk meninggalkan kota besar ini. I sometimes think, Lang. Jakarta and me is
like friend with benefits but I am the one who fall in love first, so Jakarta
was kind of fucked me up."
"Runny, Runny, Runny, selalu dengan perumpamaan lucu. So then let Jakarta go and make a new commitment
with a new city. You know. Don't hanging around with your ex-friend of benefits if you start questioning things. Cari tempat baru lah, Run. Nggak bosen ngeluh terus soal idealisme
fana? Hidup standar ganda? You're old
enough yet so young at this time, why don't you do what you want to do?"
Runny
diam.
Runny
menempelkan telunjuknya di bibir gelas dan membiarkan seluruh bibir gelas
tersentuh oleh kulit jarinya.
Galang
pun diam. Tidak melakukan apa-apa selain menatap Runny, membiarkan Runny
menyerap dan memahami kata-katanya dengan baik.
"Saya
pikir semuanya bisa berubah," tutur Galang pada Runny.
"Apa maksud kamu yang bisa
berubah? Saya?" tanya Runny.
"Ya, apa saja, semuanya. Kalau
kamu menganggap diri kamu bagian dari semuanya, ya, kamu bisa berubah,"
Galang membalas perkataan Runny.
"Termasuk kamu?" Runny
menajamkan pandangannya pada Galang, mencoba mencari kejujuran dari sinar mata
laki-laki itu.
"Ya, termasuk saya," jawab
Galang pendek.
Runny
tersentak dari lamunannya. Berjalan mendesak keluar kereta sembari menarik
napas panjang. "It's an adaptation,
not bribe to myself. All is well. All is fine," ucap Runny dalam hati.
Comments
Post a Comment