Dorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Gambar dari BBC Indonesia
"Kejahatan terjadi ketika banyak orang baik diam," kata-kata ini terpampang setelah saya menandatangani petisi untuk mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Klik di sini untuk ikut menandatangani petisi ini). Sesaat saya membaca kalimat itu, saya limbung. Nurani saya menangis. Saya menyadari bahwa saya sudah menjadi bagian dari mereka yang diam.
Isu kekerasan seksual sudah menjadi perhatian saya dari bangku kuliah, tapi saya tidak pernah punya keberanian untuk menunjukkan kepedulian saya di ranah publik. Tahun demi tahun pun berlalu, saya terus diam melihat banyak sekali pelecehan seksual yang terjadi di sekitar saya. Saya diam melihat teman saya melakukannya. Saya diam menyaksikan bagaimana orang yang lebih tua dari saya tidak memberikan contoh yang tidak sepatutnya. Saya diam membaca komentar-komentar misoginis teman-teman dari teman saya.

Hati saya makin teriris saat membaca berita perkosaan yang baru terjadi. Berikut saya kutip dari RakyatBengkulu"Sesuai hasil visum dokter, bagian anus dan kemaluan korban sampai menyatu akibat ulah keji para tersangka. Dari visum dokter, korban diduga sudah meninggal saat perkosaan itu masih berlangsung,"tandas Eka. Usai menyetubuhi korban. De bersama tersangka lainnya menjatuhkan tubuh korban dengan cara menggelindingkannya ke tanah kebun karet yang posisinya tebingan curam. Sedangkan, tas dan seragam korban dibuang para tersangka dari bagian atas tempat korban diperkosa." Isu ini selalu naik berkali-kali dan ditanggapi dengan menyalahkan korban atau kemudian berlalu begitu saja tanpa solusi. Apakah harus seperti itu? Berlalu, dilupakan, daripada mencari solusinya bersama?

Di titik itulah, saya tidak tahan. Saya merasa harus melakukan sesuatu. Diam memang memberikan saya posisi aman dalam perdebatan isu ini, tapi tidak memberikan ketenangan dalam nurani saya. Saya tahu diam adalah hal yang salah untuk dilakukan, dan saya tidak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Untuk itu, saya angkat suara.

Peristiwa terakhir ini ibarat ujung gunung es, sisa 70%-nya tidak kelihatan. Ingatkah kita bagaimana kita bereaksi tentang kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan tokoh-tokoh ternama yang kemudian tidak ada penyelesaiannya? Kasus-kasus perkosaan yang sama juga banyak terjadi di Indonesia. Tidak percaya, cari saja di setiap portal media online. Masukkan kata kunci pelecehan seksual atau perkosaan, saya yakin kamu akan menemukan banyak sekali kasus serupa.


---
Setelah diam yang cukup lama, di tahun ini saya memutuskan untuk tidak lagi bungkam. Untuk itulah, saya menulis tentang budaya misoginis yang bahkan telah merambat di institusi agama beberapa waktu lalu. Ini merupakan kesedihan saya karena bisa-bisanya budaya misoginis terlihat di gereja? Kalian bisa membaca tulisannya di sini.

Pelecehan seksual adalah permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Ini terkait tentang kesadaran. Kesadaran berhubungan dengan nurani seseorang. Keberadaan mereka sebagai manusia atau boleh saya bilang eksistensi mereka sebagai subjek. Pelecehan seksual itu menempatkan korban sebagai objek yang dapat didominasi, dan tidak adanya tindak lanjut dari setiap pelecehan seksual ibarat melegitimasi dominasi terhadap perempuan. Dimana kaitannya? Seperti yang saya katakan bahwa kesadaran membentuk sebuah keberadaan. 

Dalam prosesnya, keberadaan subjek membentuk identitas sebagai individu. Tidak dapat dipungkiri, dalam lingkup sosial, identitas setiap individu berada pada battle field yang mengharuskan mereka dapat menampilkan diri mereka dalam suatu hubungan dengan manusia lain. Di ranah inilah, kesadaran tiap individu kembali diuji, dan intensi untuk mendominasi akan selalu ada. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan ditempatkan sebagai 'objek' yang dapat 'didominasi'. Karena apa? Karena keberadaan perempuan hingga saat ini dikontrol oleh norma-norma konvensional yang mana menimbulkan represi terhadap seksualitas perempuan. Bukankah norma dibuat sebagai pengendalian sosial untuk mencapai rasa tenang pada masyarakat? Apabila saya, kami sebagai perempuan sudah tidak lagi merasa tenang, aman, dan dilindungi? Bukankah kami dapat mendebat norma-norma konvensional itu?

Apakah memang perempuan patut mendapatkan itu semua dengan tidak adanya perlindungan melawan legitimasi atas dominasi itu? Saya, sebagai perempuan, ingin lebih. Saya ingin dihargai. Saya ingin anak perempuan saya nanti tidak perlu takut berjalan di malam hari. Saya ingin tidak ada yang memanggil anak perempuan saya nanti 'murahan' karena caranya berpakaian, kemudian menghakimi anak-anak perempuan lainnya apabila mereka dilecehkan oleh sekelompok laki-laki.

---
Ketika membaca tulisan Boby Andika Ruitang yang berjudul Indonesia, You Have a Rape Culture Problem. Stop Pretending that You Don't! saya langsung berpikir "Wah, saya tahu alasannya mengapa saya selama ini diam!" Saya terlalu takut dihakimi orang lain yang berpikiran bahwa pelecehan seksual adalah salah korban, bukan pelaku. Saya merasa saya perempuan nakal karena pernah dilecehkan — saya mengutip artikel terkait, "Rape culture timbul karena adanya rape myths yang mendiskreditkan perempuan, misalnya: 'Hanya perempuan 'nakal' yang diperkosa, 'Pemerkosaan hanyalah permasalahan seks saja', 'Perempuanlah yang mengundang untuk diperkosa laki-laki', 'Pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan cantik dan menarik bagi laki-laki', 'Perempuan sebenarnya menikmati diperkosa'.

Lucu rasanya, kalau saya pernah terjebak pada stigma itu. Saya diam karena saya malu apabila orang-orang berpikir kalau saya pernah mengalami hal yang sama. Kemudian, saya berpikir kembali. Saya yakin, semua perempuan pernah mengalami hal yang sama. Saya adalah korban. Kamu adalah korban. Kita adalah korban. Satu dari kita pernah merasa ketakutan diikuti malam hari oleh satu atau dua orang laki-laki. Satu atau dua orang dari kita pernah merasa paranoid naik kendaraan umum di malam hari yang berisi dua sampai tiga orang laki-laki. Beberapa dari kita merasa tidak berharga karena tubuh kita adalah bahan objektivikasi geng laki-laki dan perempuan-perempuan lainnya justru ikut mengiyakan objektivikasi laki-laki dengan menghakimi. Tidak jarang dari kita diraba di bagian sensitif tubuh kita oleh orang asing yang tidak kita kenal. Banyak dari kita dihakimi dari cara berpakaian kita yang terbuka. Kita semua pernah merasakannya.

Apa yang saya inginkan? Saya ingin orang paham bahwa siapa saja bisa menjadi korban pelecehan seksual, bukan hanya perempuan 'tidak baik-baik'. Saya ingin tidak ada laki-laki bermotor yang dengan iseng menjamah payudara perempuan, kemudian bisa lari begitu saja sambil tertawa dan merasa 'jantan'. Saya ingin tidak ada anak laki-laki di sekolah yang berpikir bahwa mengintipi rok perempuan dengan kaca yang diletakkan di ujung sepatunya adalah sebuah bahan candaan. Saya ingin kebiasaan laki-laki memamerkan kehidupan seksualnya pada teman-temannya sebagai suatu arena pencapaian yang membuat mereka menjadi seseorang 'gagah' itu berhenti. Saya ingin berjalan di tempat umum pada malam hari tanpa merasa takut diperkosa. Saya ingin merasa aman. Saya ingin setiap orang menyadari bahwa korban pelecehan seksual mengalami trauma hebat akibat represi dari lingkungan sosialnya. Saya ingin kesadaran ini ada di setiap dari kita. Bahwasanya, mungkin saja, anak, saudari, tentangga, teman kita mengalami pelecehan seksual, memendamnya, dan hidup dalam trauma tanpa bisa membicarakannya dengan siapapun. Saya ingin mereka juga bicara tanpa harus merasa 'kotor' karena sudah dilecehkan.

Tulisan Sinta Dewi di Rappler juga membuat kaum laki-laki berpikir kembali tentang cult of masculinity-nya. Riset yang dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 10.000 laki-laki berusia 18-49 tahun di Bangladesh, Cina, Indonesia, Papua Nugini, Sri Lanka, dan Kamboja. Hasilnya menyatakan bahwa sekitar 10-62% responden di enam negara mengaku pernah memerkosa perempuan (pasangan maupun bukan pasangan), 1-14% responden terlibat dalam gang rape atau perkosaan berkelompok. Di Indonesia, antara 6-23% responden mengaku pernah memerkosa. Mengutip tulisan Sinta, memang tampaknya lebih mudah bagi para lelaki mengakui pernah melakukan pemerkosaan daripada perempuan mengaku sebagai korban. Karena lelaki tak harus memanggul stigma sosial dan derita sepanjang hidup ataupun konsekuensi hukumnnya. Seperti dikutip Sinta dalam penelitian itu, sebagian besar pelaku pelecehan seksual tidak pernah dikenai hukuman. Di Indonesia, 76-78% dari responden yang mengaku memerkosa tak mendapat hukuman. Penelitian ini memperlihatkan bahwa laki-laki beranggapkan seks adalah hal yang pantas mereka dapatkan, dengan atau tanpa paksaan. Adapun kekerasan yang terjadi adalah bukti dari kontrol, kekuatan, dan kemampuan seorang laki-laki akan seksualitasnya.

Di sini peran laki-laki sama pentingnya dengan peran perempuan, penyembahan maskulinitas dapat diakhiri dengan kesadaran laki-laki. Empati dan rasa hormat tidak mengenal gender, bahkan dalam hal seksualitas sekalipun. Penghargaan akan tubuh adalah mutlak. Perusakan akan hak tubuh bersifat destruktif dan irreversible. Tulisan di magdalene.co memaparkan bahwa selama ini kita selalu dididik agar tidak diperkosa. 'Jangan pulang malam-malam' atau 'Jangan pakai pakaian terlalu terbuka' adalah dua kalimat yang paling sering kita dengar. Saya rindu sekali apabila dapat mendengar orang yang lebih tua mengatakan pada anak laki-lakinya, "Hormati hak dan batasan orang lain, apalagi soal seksualitas! Jangan melecehkan apalagi memperkosa!"

Selain itu, salah satu tulisan yang diusung seorang aktivis perempuan dalam demonstrasi melawan kekerasan terhadap perempuan membuat saya berpikir lagi apakah betul nurani sudah mati? "Nurani telah mati, kalah dengan birahi." Kalau nurani sudah mati, kita mau apalagi? Kalau saya tidak bicara, kalau kita tidak bicara, generasi setelah kita mungkin saja mengalami hal yang sama.

Kita bisa berubah. Semakin banyak orang yang menolak diam, perubahan datang. Saya akan selalu mengulang pesannya: jangan diam, jangan diam, jangan diam! Saya rasa ini perlu dilakukan semua pihak dalam hal terkecil apapun. Kita bisa mulai darimana saja. Menulislah, bicaralah, lakukanlah yang kita pikir benar daripada hanya diam. Misalnya tidak hanya diam ketika mendengar komentar tante kita mengatakan: "Lagian sih cewek kok jalan sendirian malam-malam." atau mempertanyakan kembali komentar "Jangan pakai baju seksi-seksi, nanti cowok-cowok mikir jorok." Saya rasa masa itu harus berakhir. Saya mau itu berakhir. Tolong bunuhlah budaya misoginis, tanda tangani petisinya, dan tumbuhkanlah empati serta sikap saling menghargai. Pedulilah. Bukankah kita hidup untuk memanusiakan manusia? Jadilah manusia dengan peduli dengan kemanusiaan.


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts