27

That birthday cake that any Potterhead dying to have, luckily I had one on my 27th birthday.

"Ibu saya menyarankan saya untuk menuliskan apa yang ada di pikiran saya. Karena waktu terus berjalan dan manusia tidak akan ingat bagaimana kehidupan sebelumnya." — N.H. Dini

Usia 27 adalah fenomena kultural yang kemudian menjadi sakral karena sederet nama musisi yang mengakhiri hidupnya di tingkatan hidup itu, Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Amy Winehouse, Janis Joplin atau Jim Morrison. Salah satunya dimakamkan di Paris, Père-Lachaise, lokasi film Paris, Je T'aime. Film yang menjadi cult untuk saya. Beruntungnya, saya sempat melihat langsung makam musisi besar itu setelah ziarah ke makam Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir tahun 2010 (Dua tahun kemudian saya membuat skripsi terkait eksistensialisme, ya, cheesy memang, saya keukeuh membuatnya karena janji ketika datang ke makam beliau-beliau itu). Untuk kasus Jim Morisson,  pada saat itu, sejujurnya, saya tidak begitu tertarik dengan The Doors. But well, you know, you start to fond of something because of someone, and that is my reason why I, at least, give an ear to The Doors eversince.

Sudah menjadi kebiasaan, saya selalu menulis unggahan setiap tahun ketika saya merayakan kehidupan. Saya jadi tertarik berkontemplasi lebih jauh soal Club 27, di usia saya yang ke-27, di tahun 2017 yang mana jadi momentum sakral di sepanjang kehidupan saya. Kali ini, unggahan ini saya buat dengan helaan nafas panjang karena memang begitulah tahun ini. Penuh helaan nafas panjang.

Menyoal Club 27, seperti yang saya sudah ceritakan di beberapa unggahan sebelum ini, favorit saya tetap Jean-Michel Basquiat (ya, ia memang bukan musisi). Karyanya bicara tentang kesepian dalam sapuan kuas dan gradasi warna. Kalau boleh mengutip Olivia Laing dalam bukunya The Lonely City, hal-hal seperti itulah yang merepresentasikan Urban Loneliness. Sebuah kesepian yang bicara, dan setiap karya (secara magis) menghasilkan makna yang sama. Menyuarakan yang diam di luar kepala, mendiamkan yang riuh dalam kepala. Bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk pemenuhan rasa aman individu dari kerisauan yang terkadang menyiksanya sendiri.

“I wanted very much not to be where I was. In fact part of the trouble seemed to be that where I was wasn’t anywhere at all. My life felt empty and unreal... I felt like I was in danger of vanishing, though at the same time the feelings I had were so raw and overwhelming that I often wished I could find a way of losing myself altogether, perhaps for a few months, until the intensity diminished.” — Olivia Laing

Kesepian dalam kota merupakan topik yang diangkat Laing. Saya baru membaca awal bukunya, jumping dari Gabriel García Márquez' 100 Years of Solitude (padahal Umberto Eco belum selesai). Sorry books for being that kind of reader. Namun lompatan-lompatan yang saya buat dalam setiap buku yang saya baca justru memperkuat argumen Laing bahwa kesepian dalam karya adalah suatu hal kolektif yang dapat menjadi politis. Arendt membicarakan itu dalam bukunya pula. Keterasingan. Setiap eksistensialis juga membicarakan yang sama. Hal yang kemudian menjadi senjata untuk menjauh dari orang-orang dan terperangkap dalam benteng ego diri sendiri. Padahal, eksistensialis-eksistensialis ini menghasilkan karya yang begitu humanis (sama seperti judul buku Sartre). Entah, orang-orang yang menjunjung tinggi paham l'enfer c'est les autres betul-betul memahami maknanya dalam Huis Clos atau tidak. Saya ingat betul perkataan dosen saya tujuh tahun lalu tentang misinterpretasi drama Sartre yang satu itu dalam kelas Pengkajian Kesusasteraan Prancis. L'enfer c'est les autres justru menjadi borgol paling kuat sebagai manusia untuk kembali melakukan hal-hal pointless dalam usahanya mengembalikan kemanusiaan. Bergelut dengan kesepian.


Warih Wisatsana berkata dalam UWRF tahun ini, " Membaca bukan hanya membangun imajinasi di dalam diri saya; membaca juga mengenai menyembuhkan diri sendiri." Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menyambung kutipan Laing menyoal kesepian dan 'Neraka adalah Orang Lain' milik Sartre. Setidaknya, untuk saya. Setiap kita, perlu menyiasati rasa 'yang kita hindari' karena efek lubang kunci (Baca: Sartre-Being and Nothingness). Perasaan itulah yang membuat kita muak akan keberadaan kita sendiri dan keberadaan orang lain. Neraka. Saya lari pada buku dan menulis. Sesuai dengan kutipan yang saya gunakan juga di awal tulisan ini. Kutipan NH Dini. Lucunya perkataan NH Dini saat UWRF 2017 itu senada dengan pernyataan yang saya buat setelah membaca buku Pessoa (Mungkin Kundera juga sebelumnya). Kedua hal itu adalah jembatan saya untuk berkomunikasi dengan diri saya sendiri karena toh pada akhirnya usaha itulah yang dimaknai Laing sebagai tindakan politis.

Tidak hanya dalam buku, pun dalam film. Kesepian dinarasikan dalam setiap segi naratif dan sinematografis sebagai jembatan (yang justru membuktikan bahwa 'karya' adalah jawaban dari segala neraka yang tercipta antara hubungan intra/interpersonal manusia). American Beauty, Closer, film-film  Spike Jonze, Jean-Luc Godard, atau favorit saya dari semuanya: Ingmar Bergman dan Woody Allen. Masih banyak sebenarnya, tapi tidak akan saya sebutkan semuanya. Poin utamanya, selalu ada outcome dari urban loneliness yang disebutkan Laing. Entah kenapa, apapun yang timbul dari keentah-mengapa-an itu menjadi indah sesaat jadi karya. Bukan pada saat hidup dalam individu. 

Kesepian ibarat organisme hidup, seperti virus yang hidup menggerogoti manusia jika masuk dalam sistem tubuh tanpa permisi dan menginvasi tubuh begitu saja. Namun, ia akan jadi hal lain ketika diinjeksi dengan hati-hati. Ia membuat seseorang kebal akan simptom tertentu. Sumber dan penawar dalam satu kehidupan. Lucu, bagaimana kita dapat menganalogikan kesepian dengan berjuta cara menarik untuk dipahami. Masuk akal atau tidak, setidaknya dalam karya apapun itu: selalu ada penawar yang justru dapat kita temukan dalam sumber penyakit itu.

Semua hal inilah yang menjadi titik tolak penting dalam Club 27. Meredefinisi penawar dalam setiap lapis organisme hidup dalam diri kita (masih mengacu pada analogi di atas). Kemampuan mendefinisi kembali hidup, ketakutan, kematian, pencobaan, batu sandungan, tiang garam, apapun itu. Sumber kesepian menjadi obat dalam perputaran yang sama. Karya bukan lagi jadi penentu, karya hidup sebagai yang awal dan yang akhir.

Dalam Club 27, ada hal lain di luar karya yang memengaruhi kemampuan diri untuk bertahan, misalnya: melawan psyche dalam diri kita masing-masing. Terlepas dari perdebatan mitos itu, pada dasarnya tidak semua orang punya kemampuan sama untuk membuat jembatan bagi dirinya sendiri. Usaha untuk memberi arti dan meninggalkan makna kerapkali membuat kita menanggalkan diri dan mereplikasi psyche-psyche buatan. Ya, untuk meninggalkan memori tidak hanya pada diri...tetapi juga pada orang lain.

Di titik itulah, influence para tokoh-tokoh ini menimbulkan efek Voodoo pada setiap keputusan yang menghardik kesepian kolektif yang kita rasakan. Club 27 ibarat tindakan bersama yang mereka lakukan membuktikan satu hal penting: kesepian kolektif memang ada dan hal itu tertinggal dalam psyche karya mereka sebagai usaha melawan replika-replika pysche itu. Lucu rasanya, sesuatu yang sangat personal dapat menjadi fenomena bersama dalam satu kelompok, bahkan dalam satu era.

Kenapa kemudian (bagi beberapa orang) penting untuk mendebatkan Club 27 sebagai mitos atau bukan? Saya rasa pertanyaan itu akan selalu menghantui kita, padahal yang terpenting telah kita lewatkan. Kita selalu rindu akan momentum. Karena kita begitu tergila-gila akan usaha memberi arti dalam hidup kita; baik itu artifisial atau tidak. Momentum. Bukan pada orang yang berada pada Club 27, tapi bagi mereka yang merasa perlu menjadikan angka itu referensi untuk membuat sahih kehidupan mereka...seperti saya.

Usia 27 secara kebetulan punya begitu banyak momen untuk saya, sehingga saya memaknai Club 27 seperti yang coba saya tuliskan pada unggahan ini, dan saya mengakui bahwa saya memang selalu berada di antara, di sela-sela, di perempatan akan pertaruhan makna. Dari semua hal yang terjadi, setahun ini membuat saya menasbihkan 27 sebagai usia sakral dengan mensubstitusikan makna besar dari mitos Club 27. Asosiasi makna yang belum tentu berhasil, tapi begitulah gambarannya bagaimana tiap orang memaknai usia 27 mereka, memaknai kehidupan mereka, memaknai 'Neraka adalah Orang Lain' mereka atau apapun itu. Tulisan ini akan terasa lompat dari satu klausa ke klausa lainnya karena saya memutuskannya untuk tetap seperti itu. Tidak semua harus dipaparkan seutuhnya karena saya juga belajar apa yang disimpan tanpa dikatakan akan melahirkan makna yang lebih dalam ketika hal itu diketahui justru dalam rentang waktu yang lebih lama. Untuk itu, saya hanya mengetengahkan rasa-rasa yang timbul selama setahun ini saja.

Di usia 27, saya mengalami banyak hal-hal luar biasa. Kesempatan untuk merasakan segala variasi emosi yang menyadarkan saya bahwa saya harus lebih bijaksana untuk mengatur persneling dalam tuturan maupun tindakan. Saya menyadari bahwa kita tidak memaksakan suatu hal pada orang lain untuk punya visi dan misi sama (apalagi memaksakan mereka untuk punya kecepatan sama dengan kita untuk menggapai hal itu). Bahwasanya, semesta mengizinkan saya untuk 'mengalami' suatu hal dari dua sisi. Semesta membiarkan saya melewati hal-hal yang begitu indah dalam kurun waktu tak lama. Semesta juga, di saat yang bersamaan, menyudutkan saya pada fakta bahwa tak semua yang saya inginkan harus saya dapatkan.

Dimulai dari pengharapan, kekecewaan, berujung pada keikhlasan dan penerimaan. Hal menarik yang saya sadari adalah pengkhianatan sangat one-sided-perspective. Tidak ada hal seperti pengkhianatan, hanya ada konflik yang tidak diselesaikan dengan pengungkapan kebenaran dan dialog untuk mengetengahkan welas asih yang berujung pada 'tak semua harus diselesaikan'. Kadang kita memang bukan diperuntukkan untuk sesuatu hal yang betul kita inginkan. Sampai pada sebuah titik bahwa semesta adil dalam ketidakadilannya, memang dibutuhkan 'sunyi' dan jauh dari gegap gempita untuk menyadari 'diam' bukan berarti 'stagnan'. Bahwasanya, adil bukan perihal jumlah yang sama. Tapi, perlakuan yang tepat demi hal yang lebih besar dari kedua pihak yang berkonflik.

Tahun ini merupakan tahun yang padat sekali untuk saya. Gagal ke India, tapi mendapatkan kesempatan ditempatkan di Davao ketika peristiwa Marawi terjadi, menyaksikan konser band favorit saya langsung yang membuat saya merinding hingga saat ini, work visit ke institusi-institusi yang tidak pernah saya bayangkan untuk dapat masuk ke dalamnya: UN misalnya, bekerjasama dengan teman-teman yang saya kagumi di ASEAN SECRETARIAT dan US EMBASSY, yang terpenting adalah mendengarkan kembali AriReda di Salatiga dan menyaksikan puluhan mata dan telinga sama terpananya ketika saya mendengarkan mereka live setahun lalu, perasaan menyenangkan yang sama juga setelah membaca unggahan cerita Mbak Reda tentang bagaimana Salatiga menjadi kota yang amat penting untuknya, mengajak mahasiswa membuat project-project bagi masyarakat dan ternyata mereka jauh lebih berpengalaman dari saya ketika seumuran mereka, dan terpenting saya membaca banyak sekali buku tahun ini. Salah satunya adalah buku yang sudah saya tahan-tahan untuk baca sejak kuliah S2. Saya juga menonton banyak film dan menulis beberapa ulasannya. Saya memutuskan untuk mengumpulkan coretan-coretan saya untuk dibukukan, semoga saja berjalan lancar. Saya menulis beberapa artikel, walaupun belum dipublikasikan di mana-mana. Di antara kehilangan di sisi lainnya, saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa di sepanjang tahun ini. Sungguh. Saya heran dengan semesta yang baik pada saya. Baik dalam artian bukan saja diberikan pengalaman-pengalaman di atas, tapi juga dengan tantangan yang seringnya membuat kepala saya berdenyut harus menghadapi rasa takut diri saya sendiri, di antara manipulasi-manipulasi beberapa pihak yang coba menyelamatkan dirinya sendiri.

Saya menyadari selalu ada banyak cerita dari satu kepala, baik itu kebenaran maupun kebohongan, keduanya akan sama menariknya. Saya menyadari bahwa tidak semua yang pergi akan kembali, dan membuat sarang bukan berarti simbol harapan untuk menetap, untuk pergi atau kembali. Saya menyadari bahwa setiap usaha yang kita lemparkan pada semesta, akan datang kembali pada kita dengan bentuk sama...hanya saja, sebelum itu, kita akan dihadapkan dengan hal sebaliknya (biasanya dua kali lipat pahitnya). Lagi-lagi, keadilan bukan lagi soal kuantitas. Di sisi lain, saya selau percaya bahwa saya selalu dapat mengandalkan individu-individu yang punya keinginan lebih untuk 'tumbuh'. Ibarat percik api atau listrik yang menyambar dan menghantar, orang-orang seperti itulah yang menghidupkan 'hidup'. Menyelaraskan semesta pada titik adil yang berbeda. Daya juang memang tak pernah sama, namun cerita untuk bertahan punya segi-segi keniscayaannya. Itu yang saya percaya.

Saya juga belajar bahwa semesta itu baik, kita selalu diberikan apa yang kita minta...walaupun dalam bentuk yang sedikit menyimpang dari harapan kita. Belum tentu pula yang kita pinta dalam doa, dapat kita miliki (atau bukan miliki, kepemilikan terdengar sangat pretensius); kata yang tepat mungkin adalah 'dapat sejalan terus beriringan'. Saya menyadari bahwa selalu ada yang 'lebih' dari sesuatu yang kita anggap sudah tak mungkin lagi ada lebih dari ini: hasrat untuk melakukan apa saja, menantang diri untuk sesuatu yang belum pernah kita lakukan semuanya...dan kembali lagi, sampai sejauh mana kita akan melicinkan jalur kita demi hasrat akan sesuatu yang 'lebih' itu. Rasa bahagia yang lebih dari sebelumnya, rasa sedih yang mendalam lebih dari sebelumnya, rasa 'tertinggal' lebih dari yang pernah ada...semuanya mengarah pada satu muara rasa bersyukur yang tidak ada habisnya. Ternyata, saya bertumbuh lebih jauh dari yang saya kira pada tahun ini. Apapun yang menancap lebih dalam mungkin adalah proses akar yang mengarah jauh ke level perut bumi, apapun yang menarik partikel tubuh saya hingga meregang sejauh ini...ada untuk menciptakan ruang-ruang posibilitas dalam pemahaman saya sendiri...agar batang dan ranting saya dapat menjadi lebih tinggi dan berdaun lebat (walau mungkin belum berbuah). Setidaknya, dapat menjadi sesuatu yang rindang ataupun enak dipandang.

Saya juga semakin memahami ada sesuatu yang lebih penting dari segalanya: keluarga. Bahwa, nilai-nilai bersemayam di mana akar kita berada. Seperti kisahan The Giving Tree, pada akhirnya yang tersisa hanya akar dari pohon mati. Di sanalah kita nantinya berada, dalam usaha kita menjalin makna pada jembatan yang kita usahakan: keluarga. Tanpa keluarga, kita bukan apa-apa. Nilai kekeluargaan adalah sesuatu yang seharusnya tidak kita kesampingkan karena selalu menghangatkan. Contoh: tonton saya semua film Disney x Pixar. Semua tentang keluarga. Toy Story, Monster Inc., WALL-E, Ratatouille, Finding Nemo, bahkan Coco. Keluarga selalu menjadi sentral. Dulu, saya selalu berpikir buat apa buang waktu berkumpul dengan keluarga besar dan meladeni basa-basi Tante-tante dan Om-om dengan pertanyaan gono-gini. Pun sampai sekarang, saya berusaha sekuat mungkin menghindari itu. Tapi, ada satu hal yang saya sadari tahun ini. Kebersamaan dalam keluarga yang terpapar dalam budaya kita sesungguhnya merupakan kekuatan dari bonding dan binding yang mampu mengarahkan kita pada building sesuatu yang sakral: togetherness. Kolektivitas dalam ruang sosial terkecil, kehangatan dalam jarak terdekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kehangatan yang efek 'ngrasani'-nya, buat saya, sedahsyat urban loneliness...but warmer and tighter. Saya sudah tidak nyambung dalam pemaparan paragraf ini, tapi ya sudahlah. Tak apa.

Saya juga belajar untuk menerima bahwa kita tidak boleh mengingini, terlebih lagi, memaksakan sesuatu yang bukan milik kita demi sebuah kesempurnaan makna yang kita impikan. Saya belajar begitu banyak hal, di antara semua hal itu...saya paham bahwa ada satu hal yang tetap saya lakukan secara berulang untuk menghadirkan makna yang kuat dalam kehidupan saya. Satu hal itu tidak saya langgar karena saya percaya bahwa untuk menjadikan sesuatu sakral, kita harus melakukannya berulang kali sampai kita percaya 'nilai' itu menjadi marka dalam bentukan makna yang kita punya. Tidak mengingi apapun yang dimiliki sesamamu dan tetap melandaskan segalanya dalam kasih yang tidak berkesudahan. Sulit ternyata, karena lidah ini sudah otomatis dalam moda nyinyir.  

Saya kadang lelah, tapi setiap yang lelah hanya perlu beristirahat kan? Bukan berhenti. Semoga kawan-kawan terdekat saya masih sudi untuk saya keluhkan tiap-tiap hal yang tidak sampai hati saya katakan karena orang-orang dapat begitu 'tidak dimengerti'-nya hingga mereka melakukan suatu hal yang merugikan orang lain. Mereka bilang itu politik, saya bilang picik. Satu hal yang perlu saya tekankan, berkat itu selalu ada. Kita diberikan berkecukupan untuk dan dari dan pada apapun yang bergerak di sekeliling kita.  Hanya saja, beberapa orang berpikir satu orang lebih terberkati dari dirinya dan mulai merasa iri...hingga melontarkan ujaran-ujaran benci yang tak perlu. Dengan berusaha tidak terpaku pada ego-traps yang itu-itu saja, saya mengamati dan mencari celah terus untuk belajar bahwa tahapan ini pun merupakan proses pengembangan diri. Perlu ada disiplin tinggi yang saya harus raih mulai saat ini. Disiplin yang sangat-sangat tinggi.

Dengan kecenderungan being a little bossy, people would hate you easily...maybe I should practice my communication skill more and more to make them understand what I really mean and want is only for the good of everyone...and sometimes, the good of everyone...is perturbing people who have particular interest. Persis seperti dalam lirik Misread - Kings of Convenience: "The loneliest people were the ones who always spoke the truth."

Orang butuh waktu mencerna perubahan, sementara itu yang lain begitu tak sabarnya membawa perubahan...kadang yang kita butuhkan adalah orang yang mampu menetralisir pemahaman keduanya. Rekonsiliasi. Pihak ketiga. Untuk mereka yang mengusahakan hal ini, memang tidak pernah mudah...dan tidak lucu juga ketika orang-orang yang mengklaim dirinya menjadi 'penengah' apabila melakukan hal-hal yang menjadi sumber konflik juga. Semoga saya mampu mengurangi kemungkinan-kemungkinan itu, walaupun saya tahu sulit.

Dua tahun lalu, saya bercerita betapa bersyukurnya saya menghabiskan waktu dengan anak-anak panti asuhan. Bersyukur dengan segala kasih yang dapat dibagi. Tahun lalu, saya menghabiskan hari ulang tahun saya sendirian dengan orang-orang asing yang tidak saya kenal. Merasa terasing dengan orang yang justru paling intim dengan saya. Jauh dari rumah dan dikelilingi sesuatu yang sama sekali baru untuk saya. Saya sadar titik itulah yang mengarahkan saya pada posisi 'paham' apa itu urban loneliness. Tahun ini, saya memilih menghabiskannya dengan keluarga saya...menjalani hari-hari seperti biasanya (hanya saja, di rumah): menemani Papa ke acara satu ke acara lainnya, makan malam, menonton film-film yang saya sukai di bioskop, melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti membeli sesuatu yang sama sekali tidak saya butuhkan tanpa memikirkan nanti tabungan saya bagaimana (kadang-kadang ini perlu), mengoreksi, membalas email, menyunting naskah, dan menulis beberapa fragmen yang tidak penting. saya dalam proses memahami fase berikutknya sejak ulang tahun ke-26 saya. This year I could care less to things that don't belong to me, that refuse to work hard aiming something, that spread negativity in social media, that rob people's happiness in the most stingy way...to whatever that is, I choose to make a line. I know what I want and I let Universe guide me to it or to anything better than it. Selalu ada semoga dalam penutupan unggahan ulang tahun saya. Tahun ini, semoga setiap doa yang datang pada saya...terpantul ke orang-orang yang memberikannya.

Semoga orang-orang yang paham betul dengan makna urban loneliness, mendapatkan ketenangannya untuk membangun jembatan agar bertahan dari psyche-psyche artifisial. Semoga selalu ada kebahagiaan dalam apapun seperti rasa bahagia yang kita rasakan ketika melihat anak anjing yang teramat lucu. Semoga selalu ada kegemasan sama seperti ketika kita melihat siswa yang tidak mengerti-mengerti walaupun sudah diberitahu berulang kali. Semoga selalu ada kasih dalam setiap hardik yang tak hati-hati. Semoga selalu ada cinta, pada setiap untaian kata yang tertulis dengan pena maupun diketik lewat keyboard laptop. Semoga selalu ada rasa dalam setiap makna. Semoga ada awalan...semoga ada awalan entah awalan untuk melanjutkan studi, awalan pergi ke negara yang belum pernah didatangi atau awalan untuk ditawarkan project-project yang menarik untuk dikerjakan...semoga ada awalan di tahun baru ini.

Untuk apapun itu, saya berutang pada semesta berkat yang mungkin tak hentinya saya syukuri.
Terima kasih.

PS. We, all, deserve time for our own being. We, all, deserve, to rediscover contentment that once we knew. To me, likewise to you.

With love,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts