Kata Bukan Kita

Words in Deep Blue by Cath Crowley

"Nasib terperangkap dalam kata, karena itu aku bersembunyi dalam kata dan menenggelamkan diri tanpa sisa." (Subagio Sastrowardoyo dalam puisi 'Kata', terhimpun dalam buku Dan Kematian Makin Akrab, 1995:36)

Ada sesuatu yang menggelinjang ketika harus mengutip puisi Kata karangan Subagio Sastrowardoyo pada pukul dua dini hari ini. Bulan Maret tahun 2018 menelurkan begitu banyak konteks dari lonjakan yang coba ditahan-tahan. Setelah berbulan-bulan mencoba baik-baik saja, semua meluruh tiba-tiba hanya karena penggalan kata. Beberapa dari kita terperangkap dalam kata, mungkin saya adalah salah satunya. Mungkin kamu adalah salah duanya.

Maka dari itu, betul kata Subagio Sastrowardoyo. Apalah kita jikalau bukan pengecut yang bersembunyi dalam kata dan menenggelamkan diri tanpa sisa. Tapi, apakah mungkin kita dapat menenggelamkan diri tanpa sisa? Pemilihan kata tenggelam rupanya mengandung tingkatan sunyi yang cukup tinggi. Bayangkan bagaimana air memenuhi paru-paru ketika kita tenggelam? Bagaimana rasa takut memaksa kesadaran kita memutar semua momentum berharga selama ini? Bagaimana pengakuan dosa kita jalankan karena kita hanya sejengkal dengan sebuah 'akhir'?

Ada yang berontak dalam diri saya ketika menyelesaikan buku Cath Crowley yang berjudul Words in Deep Blue. Pasalnya, romantisasi mendapatkan buku itu pun terpapar dalam kebanalan putusan sehari-hari, dalam momen yang super biasa, tak ada sesuatu yang bermakna. Pagi itu, pukul 09:00, di Changi Intl. Airport, Terminal 4, saya selalu mencari toko buku. Beruntungnya, saya menemukan WH Smith yang cukup besar dengan tulisan terpampang "Buy 3 books, free 1 book." Saya harus menyerah pada diri saya sendiri. Tidak mungkin saya tidak membeli buku. Saya menghabiskan waktu sekitar 60 menit untuk mencari-cari buku. Pagi itu, saya berjanji tidak akan membeli buku yang saya perlu. Saya ingin membeli buku yang saya mau.

Buku yang saya cari pertama adalah Call Me By Your Name yang sayangnya tidak ada stoknya. Habis. Akhirnya, saya mencoba mengingat nama-nama penulis fiksi yang saya sukai. Saya sudah memegang buku John Green - The Fault in Our Stars. Sekenanya, karena buku itu cult. Cerita remaja yang menggelegar. Katanya... Karena saya tahu Jennifer Niven juga merupakan penulis dengan kemampuan deskriptif sebaik John Green, maka saya juga memeluk All The Bright Places. Tapi,setelah 10 menit berdiri di deretan Young Adult Fiction, saya mengubah pilihan saya. Holding Up The Universe terlihat lebih menarik. Saya menghakimi buku berdasarkan sampulnya dan itu yang saya lakukan pagi itu. Warna biru yang sendu dan kata 'Semesta' di judulnya cukup membuat pilihan saya berubah. Tak jauh dari deretan Green dan Niven, saya tertambat pada Roald Dahl. "Wah, sudah lama saya tidak membaca Roald Dahl. Tapi, apa saya perlu? Secara saya sudah membaca banyak karyanya (yang bukunya sudah entah ke mana karena pindah rumah berkali-kali)."

Pagi itu, tidak biasa, hati saya sedang tidak pada tempatnya. Itu juga alasannya saya memberanikan menelusuri satu per satu buku Roald Dahl. Saya tersenyum melihat The BFG, Matilda, Charlie and the Chocolate Factory, The Witches, dan buku-buku lainnya. Namun saya berhenti pada judul yang tidak saya kenali: The Wonderful Story of Henry Sugar & Six More dan The Great Automatic Grammatizator. Saya sontak membalik buku itu dan inilah tulisan yang saya temukan di belakangnya: "What if you stumbled upon a boy who could talk to animals? Why if a hitch-hiker both a savior and a threat? How can a man see without using his eyes?" dan "Can a machine reall do the job of a writer? How would you exact revenge on a cruel tabloid journalist? Why does no one emerge from the house of an eccentric landlady?" Saya terdiam dan memeluk kedua buku itu. Saya langsung tahu bahwa saya akan dibawa lagi pada level kebahagiaan lebih tinggi, untuk berjarak dengan kehidupan, dan menelusuri lagi cara melihat dunia dengan berbeda oleh Roald Dahl.  Akhirnya, saya mengembalikan Green dan memilih kedua buku Dahl.

You know what's the best part? Both are published by PenguinBooks which always have best cover. Saya sudah cukup bahagia pagi itu. Tapi, masih ada satu buku yang harus saya pilih sebagai 'gratisannya'. Di titik inilah saya menghabiskan waktu paling lama. Penerbangan saya tinggal 20 menit lagi. Tidak mudah mencari buku yang 'pas' di hati dalam waktu sesingkat itu, apalagi saya sudah berjanji untuk membeli buku yang saya mau. Bukan sembarang buku.

Saya sempat berpindah lajur buku ke textbook tentang konflik atau Eropa atau ekonomi atau isu Internasional, dengan pikiran buku itu pasti saya pakai untuk materi kuliah. Tapi, apakah saya suka? Tentu tidak. Akhirnya, saya kembali ke rak pertama saya menemukan buku Niven dan Dahl. Di situlah, satu buku ini menarik perhatian saya. Dengan sampul berwarna biru, penuh ilustrasi buku, dan judul yang dimulai dengan 'Kata', saya langsung memicingkan mata. Words in Deep Blue. Saya tidak begitu tertarik sampai saya membalik kembali buku ini, dan beginilah narasi di belakang buku itu: Years ago, Rachel had a crush on Henry Jones. The day before she moved away, she tucked a love letter into his favorite book in his family's bookshop. She waited. But Henry never came. Now Rachel has returned to the city and to the bookshop, to work alongside the boy she'd rather not see, if at all possible, for the rest of her life. But Rachel needs the distraction, and the escape. Her brother drowned months ago, and she can't feel anything anymore. As Henry and Rachel works side by side surrounded by books, watching love stories unfold, exchanging letters between pages, they find hope in each other. Because life may be uncontrollable, even unbearable sometimes. But it's possible that words, and love, and second chances are enough.

Di situlah saya jatuh. Saya menengadah dan berbisik: "Thank you, Universe." Iya, itu terjadi. Saya memang kerap kali melakukan hal bodoh seperti itu ketika menemukan buku yang saya tahu persis akan saya jadikan pedoman hidup. Bagaimana tidak saya jatuh pada buku yang menyatukan love letter, book shop, secondhand book, dan two readers who fall in to each other?

Saya hanya butuh tidak sampai lima menit untuk memeluk buku itu dan membawanya ke kasir. Saya bahagia. Dalam perjalanan dari Singapura ke Yogyakarta, saya duduk di jendela (seperti biasa). Pesawat AirAsia, kursi 1A. Saya buka halaman pertama buku itu. "A book must be the ax for the frozen sea inside us" (Kafka). Saya menutupnya, menghela napas, dan mengeluarkan pena dari tas saya. Di ketinggian 10.000 kaki di atas permukaan laut, saya menuliskan satu paragraf untuk seseorang yang muncul di benak saya seketika saat membaca satu kutipan Kafka itu (So, if the Library Letter exists, I would put that book there, and if Universe let us to bound each other, you would find that book anyhow). Begitu saya pikir, karena saya tahu tidak ada hal seperti Letter Library di Indonesia. With bitter smile, I drown myself in words while writing those sentences. You know, because every love story is a ghost story...that haunts us.

Karena penasaran, saya mencari tahu tentang penulisnya: Cath Crowley. Perempuan ini punya beberapa karya dan kebetulan ia tinggal di Melbourne. Kenapa kebetulan? Karena saya akan pergi ke kota itu beberapa waktu ke depan. Saya sudah merencanakan untuk menulis surel ke penulisnya. Semoga berjodoh untuk bicara di kota itu. Salah satu kota yang entah mengapa ingin saya kunjungi. Salah satu kota yang jadi impian saya untuk melanjutkan studi S3. Kalau tidak bertemu pun tidak apa-apa, mungkin saya hanya akan bertanya dimana saya dapat menemukan Letter Library di Melbourne? I would put that in my itinerary. Dari tempat di mana saya menemukan buku ini dan penulis dari kota asal yang akan saya tuju, is there such thing as coincidence? I don't know but this story makes me believe there is one...

Mungkin akan saya bahas sedikit di unggahan ini dengan beberapa kutipan yang membuat saya tersenyum.

"We are the books we read and the things we love."

"And I love you. I love that you read. I love that you love secondhand books. I love pretty much everything about you."

"Sometimes, the end begins."

"Does anyone believe in that? That souls can transmigrate? 'I do,' said George. 'I think souls can be in books, too.'"

"I love lying here with you, under the books."

"But I love you, and before you say it words do matter. They're not pointless. If they were pointless then they couldn't start revolutions and they wouldn't change history and they wouldn't be the things that you think about every night before you go to sleep. If they were just words we wouldn't listen to songs, we wouldn't beg to be read to when we're kids. If they were just words, then they'd have no meaning and storues wouldn't have been around since before humans could write. We wouldn't have learned to write. If they were just words then people wouldn't fall in love because of them, feel bad because of them, ache because of them, stop aching because of them, have sex, quite a lot of the time, because of them."

"I love books down to the full stops. I love them in a way that's beyond logic and reason. That's just the way it is. I love them the way those people in the Letter Library love them. It's not enough to read, I want to talk through the pages to get to the other side, to get to the person who read them before me. I want to spend my life hunting them, reading them, selling them. I want to serve customers and put the right book in their hands. I want it all. And I want it to go on forever. And if it can't last then I want to want it right up to the very final second. And I want a girl who wants me the same way. Dust and all."

"...all isn't lost. We lose things, but sometimes they come back. Life doesn't happen in the order you want."

Di awal Maret, di akhir Februari, saya tak pernah sebahagia ini membaca Young Adult Fiction. Ulasan singkat saya tuliskan di Goodreads. Saya merasa harus menuliskan dan mengunggahnya di blog ini. Bersama unggahan ini saya sertakan satu playlist yang saya buat khusus dini hari, yang mana jam menunjukan pukul 02:33.  Maybe what's needed is likely second chance, besides love and wordslike what it's written, "But it's possible that words, and love, and second chances are enough."

Promise - Ben Howard
Mykonos - Fleet Foxes
Cursin' Air - Joe Purdy
I Love the Rain the Most - Joe Purdy
Aware for It All - Beta Radio
Home - Hollow Coves
Shining Offa You - Gregory Alan Isakov
Hideout - S. Carey
Holland - Novo Amor
Roses and Cigarettes - Ray LaMontagne
3 Rounds and a Sound - Blind Pilot
Call It Dreaming - Iron & Wine
Fourth of July - Sufjan Stevens
Wicked Game - James Vincent McMorrow

"What a wicked game you play, you make me feel this way..." Mungkin playlist ini layaknya kesempatan kedua, tapi bukan kesempatan kedua yang sifatnya merujuk pada penyatuan kembali. Namun lebih pada mediasi, lebih pada dialog agar satu dari kita mampu bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dari diri kita sendiri.

Karena kata adalah kata, buku adalah buku, fiksi adalah fiksi, dan Subagio Sastrowardoyo tahu betul kita akan menyelam, belum tentu tenggelam. Ego yang membuat kita tenggelam, bukan kata, buku atau fiksi. Mungkin itu yang Subagio Sastrowardoyo lupa tuliskan, kita tak selalu kita. Untuk itu saya tutup tulisan ini dengan kata 'semoga', seperti biasa. Semoga Semesta menyertai kita yang menyelamkan kepala di antara ketiganya untuk berjarak dari realita, agar tidak tenggelam.

Dengan cinta,
ISMOYO Jessy


Comments

Popular Posts