Masyarakat Konsumsi menurut Baudrillard
Berbicara
tentang masyarakat konsumer, berikut percakapan singkat dengan Cak Tarno:
Cak Tarno : "Baudrillard...Baudrillard..dan
teori masyarakat yang konsumtif, coba kamu lihat nak orang penggangguran saja
punya telepon genggam."
Saya : "Luar
biasa ya dia, Cak. Bukan hanya telepon genggam, Blackberry bahkan orang yang
pengangguran punya, Cak. Bagaimana manusia mengejar prestise."
Cak Tarno : "Belum
tentu mereka mampu membeli pulsa, heran saya pulsa dibeli uang darimana?"
Saya : "Yang
penting punya dulu, Cak. Mampu atau tidak mampu dalam pemakaiannya dipikirkan
nanti dulu."
Demikian percakapan singkat saya dengan Cak Tarno, ketika ingin mencari
buku tentang Baudrillard, keingintahuan tentang Baudrillard bermula dari
pelajaran Dinamika Pemikiran Prancis. Banyak drama dibalik kelas ini, saking
semangat untuk membahas Baudrillard saya menghabiskan semalam suntuk tanpa
tidur untuk membaca tesis mahasiswa filsafat UI mengenai masyarakat konsumer,
simulacrum, dan simulacra. Luar biasa apa yang dipikirkan Baudrillard, dan
dengan ini fix, dia adalah filsuf favorit saya setelah Jean-Paul Sartre. Tetapi
usaha yang luar biasa ini sia-sia karena saya ketiduran (terimakasih loh!) dan
melewatkan kelas DPP.
Pertanyaan
menarik?
Globalisasi yang terjadi mengarahkan kita pada satu hal, uniformity (yang
menurut pendapat saya pribadi hanyalah bisa-bisaanya kaum kapitalis untuk lebih
meningkatkan konsumsi, ini asumsi loh tidak harus dipercaya) Permasalahannya? Bagaimana
masyarakat dengan liarnya mengonsumsi tanda-tanda pada benda yang
mengarahkan kita pada prestise? Bagaimana konsumsi memegang peranan penting,
tidak lagi produksi? Bagaimana kapitalis dapat berkembang pesat pada saat ini
dan menjadi modus penjajahan paling efektif? Bayangkan, tas bermerek yang anda
pakai itu dibuat oleh buruh-buruh upahan yang hanya dibayar tujuh ribu rupiah
perhari nya. Dan yang lebih menyedihkan lagi, buruh-buruh itu bukan berasal
dari negara di mana tas bermerek itu dibuat, tapi berasal dari negara
berkembang. Yang perlu digarisbawahi disini adalah dengan mengetahui konsep
Baudrillard, hendaknya kita dapat concern dalam membuat skala prioritas
kebutuhan kita. Jangan membeli sesuatu yang terang-terangan tidak kita
butuhkan. Mengutip pengantar George Ritzer dalam buku Masyarakat Konsumsi, hendaknya
masyarakat bisa menguraikan kebutuhannya dengan seksama, kebutuhan mendesak,
kebutuhan yang dapat ditinggalkan, primer, sekunder, tersier. Mari kita
bercermin? Sekonsumtif apakah kita saat ini?
'ratusan tahun lamanya
Indonesia itu dihisap oleh negara-negara utara, bukan hanya Indonesia, semua
negara-negara berkulit berwarna. Sehingga barat menjadi kuat, menjadi makmur,
menguasai keuangan dan perdagangan sampai sekarang. Sekarang didikte IMF oleh
Bank Dunia. Negeri yang begini kaya diubah menjadi negara pengemis. Karena
tidak ada karakter pada elit.' Kutipan ini adalah milik Pramoedya Ananta Toer,
luar biasa bagaimana belau menarasikan Indonesia, negara di mana imperialisme
lama bertemu dengan imperialisme baru. Bagaimana globalisasi yang seharusnya
menyatukan, malah sebaliknya. Kita jelas melihat perbedaan signifikan antara si
miskin dan si kata. Berikut ini
saya sertakan laporan bacaan kelompok yang coba saya buat, semoga dengan
membaca ini, kita mau berpikir dua kali untuk tidak menjadi budak kapitalis.
Baudrillard adalah salah satu pemikir penting posmodernisme di Prancis.
Pemikirannya tentang keadaan sosial ekonomi dipengaruhi oleh marxisme,
psikoanalisa lacanian dan strukturalisme saussurean. Baudrillard mencoba
menelaah keadaan sosial ekonomi masyarakat dilihat sebagai wacana semiotik.
Pemikiran Baudrillard dibagi atas periode kritis yang memaparkan
koreksinya atas teori Marx dan masyarakat konsumer, dan periode simulasi yang
memaparkan tentang simulasi dan simulacra. Karl Marx menjelaskan bahwa
komoditas hanya memiliki dua aspek, yaitu: use value dan exchange
value. Benda yang memiliki use value berguna dalam logika
praktik, nilai guna apa yang terdapat dalam benda tersebut, tidak mungkin
jika sebuah benda tidak memiliki use value. Sementara itu, dalam exchange
value menekankan pada logika kesetaraan yang sejalan dengan nilai tukar,
sebagai contoh segelas air di gurun pasir mungkin saja bernilai sama dengan
seekor keledai. Oleh karena itu, Marx menekankan pentingnya produksi dalam
ekonomi.
Dalam periode kritis, Baudrillard menulis dalam bukunya Les Systemes
des Objets (1968) dan La Sociéte de Consommation (1970) bahwa sebuah
benda tidak hanya memiliki use value dan exchange value, tetapi
juga memiliki symbolic value dan sign value. Symbolic value
adalah logika kemenduaan yang sejalan dengan nilai simbolik, berhubungan dengan
hubungan subjek dengan subjek lain, seperti contoh cincin kawin. Sedangkan sign
value adalah logika perbedaan yang sejalan dengan nilai tanda, yang
menempatkan objek lain yang berhubungan dengan tanda lainnya, contohnya seperti
pada fashion. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsilah yang menjadi
inti ekonomi, bukan produksi. Konsumsi membuat manusia tidak mencari
kebahagiaan, tidak berusaha mendapatkan persamaan, dan tidak adanya intensitas
untuk melakukan homogenisasi – manusia justru melakukan diferensiasi
(perbedaan) yang menjadi acuan dalam gaya hidup dan nilai, bukan kebutuhan
ekonomi. (Lechte, pg 354) Hal inilah yang terjadi pada fashion,
keinginan untuk menjadi berbeda memicu terjadinya kegiatan ekonomi yang
berbasis pada konsumsi ‘sign value’, manusia lebih memilih untuk
mengonsumsi tanda daripada melihat kegunaan objek itu sendiri. Masyarakat
seperti ini disebut Baudrillard sebagai masyarakat konsumer. Ciri
masyarakat konsumer adalah ketika objek menandai status sosial hingga
menggantikan kedudukan sosial yang berdasar pada ras, gender, dan kelas.
Seseorang mendapatkan prestise dari konsumsi tanda yang ia lakukan
terlepas dari ras, gender, dan kelasnya. Seorang yang menggunakan mobil Roll
Royce menempati kedudukan sosial lebih tinggi daripada pengguna Toyota.
Hal inilah yang menarik, konsumsi dapat memanipulasi tanda yang menandakan
status sosial melalui perbedaan-perbedaan tersebut. Konsumsi adalah ujung di
mana komoditas diproduksi sebagai suatu tanda, dan tanda-tanda itu (yang
mengindikasikan adanya kebudayaan) diproduksi sebagai komoditas. Konsumsi tidak
sama dengan kegiatan membeli, karena kegiatan membeli didasarkan pada use
value, sedangkan konsumsi didasarkan pada sign value.
Menurut Baudrillard, periode simulasi adalah ketika terdapat hal yang
nyata dan tidak nyata. Hal yang nyata ini diperlihatkan melalui model
konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat kebenarannya
dalam kenyataan. Segala sesuatu yang menarik perhatian masyarakat konsumen
(seperti seni, kebutuhan sekunder, dll). Hal ini ditayangkan dalam bentuk media
dengan model-model yang ideal. Disinilah terjadi percampuran antara kenyataan
dengan simulasi dan menciptakan hiperealitas di mana yang nyata dan
tidak nyata menjadi tidak jelas. (seperti dalam film Matrix). Media membuat
masyarakat jauh dari kenyataan. Masyarakat secara tidak sadar sudah terpengaruh
oleh simulasi dan tanda (simulacra) yang ada di tengah-tengah
kehidupan mereka. Simulacra dibagi dalam tiga tahapan: counterfeit
yaitu pada masa klasikal, renaissance hingga revolusi industri, production
yaitu era produksi, dan simulation yaitu era kode. Simulation adalah
contoh dari reproduksi yang mendasari hubungan kode dengan dunia simulasi di
mana teknologi informasi, komunikasi, dan industri pengetahuan, mengambil alih
produksi. Contohnya, dalam iklan sabun yang memakai model perempuan cantik.
Secara tidak sadar masyarakat menginginkan semua yang ada di iklan itu, baik
sabun ataupun menjadi seperti perempuan dalam iklan tersebut, hal inilah yang
disebut simulacra. Sehingga secara tidak sadar masyarakat terpengaruh oleh
keaadan simulasi; untuk membeli, memilih, dan melakukan segala cara untuk
mendapatkan apa yang ditawarkan media tersebut. Beragam hal dapat dipertukarkan
seperti kiri-kanan dalam dunia politik, benar-salah dalam media, objek yang
menjadi tidak berguna dalam alam ataupun budaya atau cantik-buruk dalam dunia
fashion, hal ini menjadi penanda era reproduksi dan simulasi.
Baudrillard menulis dalam bukunya tentang hubungan seduction dan fatal
strategies. Dalam teori kritis, orientasi dilihat dari subjek, namun
strategi fatal melihat pentingnya melihat objek daripada subjek. Bagaimana
kehadiran objek saat ini terletak pada proses ecstasy atau mendapatkan
kepuasan yang tanpa henti. Strategi fatal ini menjelaskan keberadaan fashion,
terorisme, obesitas, hiperealitas yang bersifat tautologi. Adanya rayuan untuk
menjadi lebih cantik dari yang cantik, lebih jahat dari yang jahat, lebih gemuk
dari yang gemuk, dan lebih nyata dari yang nyata.
Lihat bagaimana keadaan ini menjelaskan kehidupan kita?
Sumber: Lechte, John. 2001. Fifty Key Contemporary
Thinkers From Structuralism to Postmodernity. London: Routledge
Comments
Post a Comment