Habibie & Ainun

Hari ini saya kurang tidur. Biasanya hanya dua faktor yang dapat membuat saya cranky, saat lapar dan benar-benar kekurangan tidur. Tapi, hal itu tidak terjadi hari ini. Saya habiskan hari ini dengan menulis satu artikel yang memang menarik untuk saya. Lagipula, menulis memang akan selalu jadi media pelampiasan yang tepat dalam keadaan apapun, either happy or sad. Setelah selesai dengan tugas hari ini, sore di kantor saya habiskan dengan membaca semua kutipan Haruki Murakami (kutipan-kutipan itu akan saya post di lain kesempatan) dari bukunya Dance, Dance, Dance hingga Kafka on the Shore. Murakami selalu sukses membuat saya kelabu, biru, dan abu-abu di saat yang bersamaan. Itu bukan hal yang melankolis. Murakami mampu membuat saya jadi pragmatis seketika. Itu yang terjadi sore ini.

Saya sudah berpikir akan tidur, membayar kurang tidur saya dini hari tadi. Namun ternyata hasrat untuk menonton film ini tidak terbendungkan. Dengan alasan bodoh, ingin menangis, saya akhirnya memaksakan menonton film ini. Ya, saya bukan tipikal orang yang semudah itu menangis ketika dihadapkan pada realita. But when it comes to any movie, I could easily cry and shred my heart into pieces. Terjadi lagi malam ini, setelah menonton 'Habibie & Ainun'.

Kisah cinta keduanya memang jadi satu cerita luar biasa untuk saya. Pertama, karena buku ini lahir dari tangan seorang laki-laki. Itulah mengapa buku ini sangat jujur, apa adanya, tidak bertele-tele seperti drama dari perspektif perempuan. Kedua, ini bukan hanya soal kisah cinta - ini juga menyangkut sejarah perjalanan Indonesia pada masa kritisnya di mana Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia. Terakhir, chemistry di antara Ainun & Habibie menjawab pertanyaan dan pernyataan yang saya katakan akhir-akhir ini pada teman-teman saya tentang konsep sebuah cinta dan komitmen.

Where should I start?
Akhir-akhir ini saya selalu berpikir tentang sebuah konsep di mana menurut saya, cinta dan komitmen adalah dua hal berbeda. Cinta adalah masa di mana seorang manusia merasakan aliran-aliran hormon mengalir dalam tubuhnya, zat-zat kimia yang bahkan tidak bisa diatur oleh tubuhnya sendiri. Perasaan yang menyenangkan, takut kehilangan, dan sedih atas risiko untuk kehilangan di waktu yang tepat sama. Saya pernah berkata pada seorang teman, 'I just don't get it - two people spend their life together...for a very long time...untill death tears them apart. I mean? Really?'  - Di satu sisi, saya percaya, saya mencoba meyakinkan diri saya bahwa saya hanya belum menemukan orang yang tepat. Di sisi lain, saya kembali meragukannya? Apakah orang yang tepat juga mampu melunakkan batunya kepala ini? Saya ragu.

Dari titik itulah, saya memaksakan diri untuk menonton Ainun & Habibie. Lagipula, menangis itu terapi yang tepat untuk momen setelah natal. Di sanalah saya, menonton film ini. Film yang mampu membuat seorang koleris menangis dari awal hingga akhir bagai melankolis, yang mampu membuat seorang sanguinis lebih plegmatis dari si plematis sendiri. Membuat tisu sekotak terasa tidak cukup menghapus air mata yang ditahan agar tidak jatuh di pelupuk mata.

Film yang berlatar belakang di Jerman dan Indonesia ini mengisahkan perjalanan cinta Ainun & Habibie sedari SMA hingga ajal menjemput mantan Ibu Negara, Ainun Habibie. Dengan setting Indonesia tahun 60-an, suasana vintage sudah terasa di awal film ini. Suasana yang mampu membuat setiap penggemar jaman itu meraung-raung berharap mengalami apa yang Ibu Ainun dan Bapak Habibie alami. Romansa cinta tahun tengah dekade 90-an. Dari awal, saya sudah mencintai konsep cinta antara kedua orang ini. Seorang Habibie yang pintar bertemua dengan Ainun yang sama pintarnya. Konsep hubungan yang sempurna menurut saya. Tapi, yang luar biasa dari seorang Ainun yang sanggup menampar saya adalah di tengah kepintarannya itu - tidak nampak sama sekali keegoisan di sana. Tidak ada keluhan. Semuanya penuh kesabaran. Sesuatu yang saya inginkan juga ada pada diri saya. Sesuatu yang tidak saya punya. Ya, kesabaran dan kepercayaan yang begitu dalam pada seseorang. Diperankan oleh Reza Rahardian sebagai Habibie - yang menurut saya sangat sempurna. Akting yang sangat luar biasa! Saya sungguh mengagumi pria satu ini yang mampu masuk dalam karakter seorang Habibie segitunya dan Bunga Citra Lestari yang mengadopsi karakter Ibu Ainun dengan sempurna. Akting mereka berdua menghidupkan cinta yang pernah ada di antara kedua manusia itu ketika Ibu AInun masih hidup.

Bersama mereka lalui masa tidak bahagia, masa sulit dalam hidup mereka, masa kesukaran yang amat sangat. Saya selalu terenyuh ketika teman Ainun mengatakan pada Habibie di saat terakhirnya bahwa dari awal, Ainun memang sudah memilih Habibie. Tidak ada yang lain. Saat itu jua lah saya berpikir - kemungkinan kita percaya pada seseorang yang juga percaya pada kita dengan takaran yang sama...mungkin ada. Konsep yang saya katakan akhir-akhir ini terbantahkan lagi. Hilang lagi. Saya meragukan diri saya yang percaya akan diri saya yang tidak percaya akan komitmen.

Bilang saja ini efek film, saya terpengaruh sedalam itu dengan prinsip hidup saya. Dalam artian, film ini sukses mengguncang emosi penontonnya. Sukses menyampaikan nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh Habibie. Saya menyadari ada sedikit curhatan Habibie tentang bobroknya Indonesia, namun hal itu saru dengan romantisme hubungannya dengan Ainun. Hal itu saru karena memang itulah adanya yang terjadi. Sebuah kenyataan akan terungkap pada akhirnya, Habibie dalam ceritanya ini mengungkapnya dengan cinta, dengan rasa cintanya yang begitu besar pada negaranya, dengan ketulusan yang luar biasa pada Indonesia. Ia bukan hanya membuat kita percaya lagi akan cinta melalui ceritanya dengan Ainun. Ia juga membuat kita kembali lagi mencintai Indonesia yang memang begitu tidak adilnya memperlakukan rakyatnya. Ia mengajak kita tidak pernah berhenti mencintai negeri sendiri, jangan pernah berhenti membangun negeri ini - walaupun negeri ini membuat kita kehilangan sesuatu yang paling berharga, waktu. Waktu dengan orang yang kita kasihi.

Saya pribadi merasa tertampar dengan film ini. Sejujurnya, saya dulu sempat menyalahkan Habibie dengan tindakannya melepaskan Timor-Timur dari Indonesia. Saat SMA, saya selalu menganggap Habibie melakukan kesalahan fatal yang amat teramat fatal. Saat kuliah, saya mempelajari sejarah Indonesia lebih dalam. Saya menyadari bahwa kepintaran seorang Habibie membuat Indonesia berada pada posisi paling tolol karena tidak menghargai salah satu anaknya. Tidak mengapresiasi dengan tepat talenta yang dipunyai seorang Habibie. Bahkan ia lebih dicintai oleh negara lain dibandingkan negaranya sendiri. Namun setelah menonton film ini, seorang Habibie mengajarkan saya hal lain. Habibie mengajarkan saya untuk percaya cinta, untuk mencintai Indonesia walaupun Indonesia begitu sadisnya dengan politik kotornya - dengan segala ketidakadilan yang ada - jangan pernah berhenti mencintai Indonesia. Bangunlah Indonesia. Hanya itu yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda. Habibie menjadi presiden kedua yang saya cinta setelah Gus Dur. Mereka punya ketulusan yang luar biasa untuk membangun negeri ini. Ketulusan yang tidak dipertahankannya walaupun dalam keadaan semenusuk apapun.

Akhir kata,
Saya hanya dapat mengucapkan terima kasih atas film ini yang kembali mempertanyakan kembali konsep komitmen dan cinta...yang mungkin saja berjalan bersamaan
dan
membuat saya ingin lagi, lagi, lagi, menuntut ilmu ke luar negeri, setelah keinginan itu sempat hilang
dan
membuat saya ingin mengabdi lebih pada negeri ini, bukan sekedar hidup untuk diri saya sendiri.
Untuk itu semua,
terima kasih untuk segala pelajaran berharga.

Saya percaya,
Habibie melakukan yang terbaik pada masa itu terkait keputusannya mengenai jajak pendapat dan jabatannya pada masa reformasi.

Film ini luar biasa.
Saya selalu menonton film luar biasa, namun film ini jujur - itulah yang membuatnya sempurna.

Comments

Popular Posts