A Tale of Two Cities: different city, different story


From Jakarta



To Jogjakarta



Judul serupa dari literatur klasik karya Dickens boleh jadi menjadikan London dan Paris sebagai dua kota yang menyimpan argumentasi subjektif bagi tiap pribadi. Bagi saya, dari sisi positif, pola penggambaran dimuntahkan serta-merta tentang Jakarta dan Jogjakarta. Dua kota yang narasinya tergambarkan dari seni kontemporer tahun ini.

Jakarta datang dengan kali kelimabelas dalam tema SIASAT. Siasat diartikan sebagai sebuah perwakilan dari kritik, investigasi, taktik atau muslihat dari kota Jakarta sebagai axis di mana gagasan sosial budaya. Karya-karya lokal maupun internasional digabungnkan untuk memenuhi sebuah definisi kota saat ini. Sebut saja penampilan dari Mufti 'Amenk' Priyanka,  Tranzit dari Ceko, Eko Nugroho, The Popo, Davy Linggar, Awan Simatupang, Icaro Zorbar dari Kolombia dan masih banyak seniman lainnya ditampilkan entah sebagai strategi atau sekadar eksperimentasi agar masyarakat paham akan pembelahan makna dalam tiap-tiap sudut gang.

Satu yang mencuri pandangan mata adalah performa yang kaya konsep dari Melati Suryodarmo di mana nosi majemuknya Jakarta membuat keseragaman menjadi sebuah keharusan. Kritik akan individualisme mengingatkan kembali bahwa megapolitan ini selalu punya cerita  berulang yang menyebabkan 'rasa' tidak lagi terjamah dalam kata-kata. Lainnya, bincang seniman dari Proyek seni rupa dan gagasan sosial sampai menyentuh bagan esensi pendidikan seni rupa membawa hawa segar dalam biennale kali ini. Adanya lokakarya untuk anak dan dewasa juga memberi warna berbeda, selain pentas hiburan malam minggu, tur SIASAT yang mana memenuhi rasa penasaran pendatang pameran yang miskin akses dan pergerakkan antar-lokasi pameran dari TIM ke Museum Seni Rupa dan Keramik. Tidak hanya itu, temu komunitas 'piknik asik' sebagai posibilitas pelepas ketegangan kota dalam rangkaian acara. Disimpulkan biennale kota ini memberi pilihan sebagai gambaran kegiatan berulang yang dikatakan membosankan bagi beberapa orang. Namun, bukankah rasa bosan justru datang dari pemikiran yang kurang terbuka? Kembali lagi, masyarakat butuh redefinisi lagi perihal hal itu.

Sementara itu, Jogjakarta mengetengahkan tema mobilitas yang bertajuk NOT A DEAD END untuk mewakili dinamika dalam gejala globalisasi yang terjadi. Dalam lingkar tujuan #Equator yang bekerjasama dengan kawasan khatulistiwa antara 23,27 derajat Lintang Utara dan Lintang Selatan, biennale Jogjakarta mengalami perjumpaan dengan lima negara kawasan Arab. Fokus lokasi juga berjumlah lima, antara lain Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Langgeng Art Foundation, SaRang Building, dan HONFablab. Kota ini, di sisi lain, mengingatkan kembali akan tendensi masyarakat yang senang berkumpul dan merekayasa peristiwa seni tanpa henti. Entah dilihat dari perspektif manapun, hubungan Indonesia-Arab baik dari posisi maupun migrasi menjadi paparan menarik ketika disajikan dalam karya-karya Ahmad Mater asal Saudi Arabia, Hassan Khan dari Mesir, Pius Sigit Kuncoro dengan sculpture installation dan video sebagai mediasi penerjemah hubungan Indonesia-Arab dari wacana TKI perempuan Indonesia di kawasan Arab. Karya lainnya yang membuat dahi agak sedikit mengernyit datang dari  Agus Suwage dengan karya spesifik Social Mirrors #3 dan Tembok Toleransi di mana krisis multikultural dipampang nyata dalam sisi fundamentalis Islam yang bermunculan. Situasi ketika azan dari mesjid bukan lagi menenangkan, tapi justru memekakkan telinga. Situasi lainnya menghadirkan rangkaian acara yang dibuka dengan Arabian Pasar Kliwon di Panggung Krapyak, Stand Up Comedy Stand Up Comedy berbahasa arab, lokakarya fotografi, pameran Artefak Wayang Golek Menak, festival komik fotokopi, biennale forum tentang lanskap seni rupa Indonesia dan Arab, sampai dengan film screening dari Bamboo Hall yang akan berlangsung hingga 6 Januari 2014. Simpulan yang mengendap pada saya dalam acara dua tahunan ini memberi representasi Jogjakarta sebagai kota seni. Kota yang perlu menata kembali metafora kontradiktif dan permasalahan identitas dalam kompleksnya pencarian makna-makna berikutnya.

Sederhananya, keduanya memberi ruang bagi penikmat seni untuk memberi interpretasi. Karena dalam kosongnya ruang, makna dibangun dan disusun. Pengalaman seni yang saya alami meninggalkan seulas senyum untuk memaklumi lagi pengertian diri dalam konteks publik yang terjewantahkan dalam masyarakat kota dan bagian dari negara. Atas alasan keduanya, kedua acara, dalam rentang dua tahun, saya boleh puas dengan mengatakan bahwa biennale ini memenuhi tujuan keberadaannya.

(Writings published on Nylon 3rd Anniversary Issue)

Comments

Popular Posts