La Vita è Bella: whether life is better or bitter, you need nothing but good movies



What's on your head when I say that JiFFest is finally back? Jakarta International Film Festival atau yang lebih dikenal dengan JIFFest kembali hadir dengan tagline yang sama dalam memaknai tiga tahun absennya festival ini, JIFFest IS BACK! Festival ini telah hadir selama 11 tahun sejak perhelatan pertama yang terjadi pada tahun 1999 oleh Shanty Harmayn dan Natacha Devillers. Animo masyarakat tetap luar biasa hingga tahun 2010 di mana JiFFest terakhir diadakan. Kembalinya JiFFest tahun ini pun tidak menyurutkan minat bagi mereka yang setia pada usaha orang-orang di belakangnya untuk meningkatkan kualitas festival film Indonesia.

Sedikit flash back pada tahun 2003 di mana film-film Korea berkualitas seperti Peppermint Candy, Green Fish, dan Oasis karya Lee Chang-dong diputar di JiFFest. Sang sutradara pun datang untuk berbagi pengalaman mengenai bangkitnya industri perfilman Korea. Hadirnya retrospektif dari Bong Joon Ho (Mother, Barking Dogs Never Bite, Memories of Murder, The Host, dan Snowpiercer) tahun ini menghadirkan semangat yang sama. 10 tahun layaknya menjadi penanda bahwa perfilman Korea mengalami kemajuan, sehingga momen itu dapat menjadi motivasi bagi situasi industri perfilman Indonesia. Maybe it's just a coincidence?

Setidaknya ini menjadi asumsi yang dapat diverifikasi dengan kehadiran rangkaian acara lainnya seperti Indonesian Film Makers Gathering yang bertujuan menginspirasi para sineas agar berkontribusi lebih dalam perkembangan industri film melalui berbagai kolaborasi kreatif. Tidak hanya itu, Pop Up Festival juga hadir  sebagai media untuk bersosialisasi bagi komunitas yang terkait dalam industri ini untuk bekerjasama bagi kelangsungan perfilman dan festival di Indonesia dalam screening film dari Indonesia yang 'menggelitik' karena memaparkan realita sebagaimana adanya. What a pity if you are just circling around the big theatre screen and missing out 'another' good movies. Sebut saja film karya Yosep Anggi Noen, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya atau Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti) karya Syaiful Anwar, Toilet Blues karya Dirmawan Hatta, Epic Java karya Febian Nurrachman, Mangga Golek Matang di Pohon karya Tonny Trimarsanto dan karya lainnya.

Pernah merasa skeptis karena film besar yang bagus tidak diputar di bioskop? JiFFest kembali lagi mendobrak stigma itu. Penikmat film kembali dibuat percaya bahwa kemungkinan itu ada. Usahanya dimulai dari konsep World Cinema bekerja sama dengan 21 Cineplex, tepatnya di XXI Epicentrum. Sinema dunia menyuguhkan tontonan film berbeda dalam tataran Internasional seperti The Perks of Being Wallflower, The Bling Ring, Ilo Ilo, 12 Years A Slave, dan A Touch of Sin.

Gagasan lainnya adalah penyelenggaraan Open Air Cinema. JiFFest menghadirkan sebuah konsep menonton bersama yang telah menjadi ciri budaya Indonesia di tempat ikonik kota Jakarta, Monas. Dengan mengundang seluruh masyarakat untuk turut serta, JiFFest merangkul semua kalangan. Bukan hanya yang mampu, tapi juga yang perlu tahu. Lapisan masyarakat yang luas dapat diraih untuk menikmati ragam jenis film sebagai pembanding dengan film yang biasa ditontonnya. Karena bagaimana selera bisa ditingkatkan apabila tidak adanya komparasi? Apabila seseorang tidak memperluas perspektif film yang ditontontonnya? It's simply like you are what you watch. FIlm seperti Metro Manila, National Security, dan Rurouni Kenshin dapat disaksikan bersama 1.000 orang lainnya. It's just not that, terdapat pemutaran trailer film Killers karya The MO Brothers dan Laskar Pelangi 2: Edensor yang tayang tahun depan. Walaupun sempat diguyur hujan, Open Air Cinema tetap berjalan dengan baik sampai akhir acara. Have a picnic at the night while watching a movie? It's like a dream comes true, sort of.

Walaupun layar yang dibuka dalam festival tahun ini tidak sebanyak seperti tahun-tahun sebelumnya, JiFFest telah berhasil kembali lagi untuk menghadirkan hawa lain dalam industri perfilman Indonesia. Festival film tidak lain ada untuk menjadi motor penggerak dalam memajukan film Indonesia dengan caranya dalam caranya sendiri. Last I could say when people want some change in Indonesia film industry, all you need to do is raise your standars. Just please come and watch next time. You should.

So, here we go the movie highlights and why you should watch the movie?

Snow Piercer
Lee Chang-dong
As long as I recall my memory, debut sutradara Korea dalam Hollywood tidak pernah mengecewakan. Ingat Stoker? Hal yang sama terjadi pada film ini. Snowpiercer adalah karya pertama Lee Chang-dong dalam Hollywood starring Chris Evans sebagai Curtis, Song Kang-ho sebagai Namgoong Minsu, Jamie Bell sebagai Edgar, dan Go Ah-sung sebagai Yona. This movie is taking a global warming issue to the next level. Cerita yang diadopsi dari novel grafis Prancis La Transperceneige bercerita tentang survival of the fittest di dalam kereta yang memutari dunia dalam rotasi 365 hari. Menariknya, pertentangan kelas digambarkan dari pemisahan gerbong dari paling belakang hingga ke depan. Gabungan antara sci-fi dan action thriller membuat film ini menarik untuk ditonton. Lagipula film ini menawarkan konsep matang dari imajinasi akan kehidupan di masa mendatang yang dituangkan dalam efek visual dan suara yang berkualitas. After all, who doesn't like to watch Chris Evans for 125 minutes?

12 Years A Slave
Steve Mcqueen
Added some humanity to your movie list won't be hurt, right? Mungkin kematian Nelson Mandela yang membuat saya memasukkan film ini dalam highlight JiFFest tahun ini. Menonton film ini seperti kembali mengingat rasisme yang terjadi di banyak belahan dunia, kali ini film ini mengetengahkan Amerika tahun 1841 di mana seorang negro diculik dan dijadikan budak. ia harus bekerja 12 tahun sebelum dibebaskan. Film ini menampilkan perjuangan seorang kulit hitam sebagai minoritas untuk menghadapi ketidakadilan yang dibentuk oleh kebiasaan dalam masyarakat. I can say no more, eyes and heart speak its own language in which words can't understand. Dibintangi oleh Chiwetel Ejiofor, film ini tergolong baru akan dirilis di UK 24 Januari 2014. So, for those who watched it should be thankful.

Epic Java
Febian Nurrachman
The title represents all of the movie. Satu lagi film karya anak negeri yang mencuri perhatian. Sebelumnya mengumpulkan dana dari proyek wujudkan.com, film dengan peralatan sederhana ini akhirnya rampung. Febian menyuguhkan 30 menit keindahan pulau jawa dalam konsep film non-naratif. Why this movie? Alasannya sederhana. Karena pergi dari rutinitas adalah keinginan yang terus menghantui untuk dilakukan bagi anak muda yang bekerja di kota besar, film ini menghadirkan bentuk escapism yang selalu diimpikan masyarakat barat dan Indonesia boleh berbangga dengan keindahan satu pulau, pulau Jawa, di antara banyak pulau lainnya. Another thing is this movie reminds you how life can take you far on a journey.

Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya
Yosep Anggi Noen
Because this one is not just an ordinary movie, that's why. Pilihan terakhir dari film Indonesia masih bertemakan road movie. Film yang tayang pertama kali di Festival Del Film Locarno ini mengangkat benturan-benturan sederhana dalam kehidupan. Semesta mengarahkan pilihan Ning dan Mur untuk bervakansi selama tiga hari melewati Dieng dan Wonosobo secara tidak sengaja. Entah sengaja atau tidak, penonton dibawa dalam sebuah konsep absurd mengenai hidup. Dari Jogjakarta dan kembali ke Jogjakarta, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya menampakkan dalam dialog, latar, tokoh, alur bagaimana sebuah konsep normal mampu lagi dipertanyakan saat ini. Sounds too heavy? No, it is truly not. This movie is actually similar to Little Miss Sunshine in some way. Believe me.

(writings published on Nylon 3rd Anniversary Issue)

Comments

Popular Posts