Resensi Ada untuk Menepati Janji

Equilibrium, 2017.

Tulisan ini saya khususkan untuk orang yang memberikan bukunya. Khusus. Setelah setahun lamanya. Waktu berlalu begitu saja ternyata, ya?

Penulis ini memberikan bukunya pada saya setahun lalu. Sudah begitu lamanya, saya baru berani menuliskan kesan-kesan yang ditimbulkan dari buku beliau. Buku ini jadi sangat personal karena halaman pertama tidak saja dibubuhi tanda tangan serta pesan yang berbunyi begini: "Untuk Jessy Ismoyo, semoga senantiasa dilimpahi kelapangan untuk menulis dan bukumu menjelma nyata dalam tempo dekat." Buku ini menjadi sakral dengan sendirinya. Harusnya sebuah buku dibaca sebagai satu entitas utuh karena ia berdiri sendiri, tapi sulit untuk melakukan itu jika dari awalnya saja saya sudah menempatkan penulis dekat dengan pemaparannya lewat sembilan cerita dalam buku ini. Equilibrium punya ceritanya sendiri, baik di dalam maupun di luarnya. Saya membacanya tahun lalu, tapi saya harus membacanya ulang untuk mengulang kembali kesan yang ditimbulkan buku ini. Harus khusyuk.

Ketika penulisnya duduk dengan saya di sebuah warung kopi di Salatiga, ia bertanya: "Bagaimana, Jes? Bagian mana dari bukunya yang paling kamu suka?" Saya diam. Ini adalah hal tersulit untuk dijawab dengan pertimbangan berimbang. Ya, seperti judul bukunya. Malam itu, saya merespon: "Nanti aku tulis saja ya, Mas Bram. Aku nggak pandai komentar apalagi soal buku kalau secara langsung gini." Saya merasa komentar yang ditulis lebih menyampaikan kesan saya seutuhnya terhadap buku itu, daripada hanya mengatakannya begitu saja. Penulisnya pun bersetuju untuk menunggu. Jadi, tulisan ini merupakan janji yang dipenuhi. Setahun setelahnya. Maaf harus menunggu lama ya, Mas Bram.

Equilibrium, kesetimbangan atau sepadan. Judul buku ini dengan jelas menyampaikan posisinya sebagai suatu narasi utuh yang berdiri sendiri. Buku yang terdiri dari sembilan cerita pendek ini menyuguhkan berbagai macam cerita, diawali dengan Anomali, Bizarroseania, Chimera, Doppelganger, Equilibrium, Fabelofobia, Grotesque, Hominivorax, dan Inkubus. Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah kovernya. Sederhana berwarna hitam dengan kesembilan judul cerita pendeknya. Dari kesembilan judul yang berwarna abu-abu, Equilibrium diletakkan di tengah dengan warna putih. Menariknya, kata Equilibrium juga dibagi menjadi seimbang dengan kehadiran 'I' di antara equil dan brium seolah-olah menempatkan 'Diri' di antara definisi kedua kata itu: sesuatu kondisi untuk 'membatalkan' tindakan, sehingga menghasilkan kondisi statis. Lalu, apa arti brium? Saya tidak menemukan makna berarti untuk kata brium. Namun hal itu menjadikan saya berpikir, 'Apakah jangan-jangan dalam mencari konsep Diri, kita akan selalu ditempatkan pada pembatalan tindakan-tindakan dan makna-makna kosong?' Melihat ini saja, pencarian makna saya sudah ke mana-mana. Sulit memang untuk mendiamkan hasrat untuk mencari-cari makna. Mungkin memang keseimbangan adalah ketidakseimbangan itu sendiri antara dualitas-dualitas buatan manusia yang enggan berkompromi dengan kecemasan.

"Idris adalah seorang pembisik. Selama masa kerjanya ia tidak pernah mengalami hal yang luar biasa. Segalanya berjalan tanpa hambatan tanpa kejutan." Kalimat pembuka dalam cerita Anomali menyihir pembacanya untuk tetap bersetia dengan kalimat-kalimat yang terus meluncur hingga akhir cerita. Pemilihan kata dalam Anomali sangat teliti. Rangkaian kalimatnya menyuguhkan makna yang mendalam. Terlalu dalam, sampai terhisap sendiri tak kunjung sampai ke permukaan. Ya, begitulah dengan cerita yang terlalu banyak menggunakan metafora. Anomali memetaforakan  Pembisik sebagai orang-orang yang punya 'kehendak' dalam bersurat dengan semesta. Saya suka sekali penggambaran Bulan yang jatuh, burung merpati, surat ke surga yang 'dicurangi' demi satu atau dua alasan tertentu oleh sang Pembisik. Bukankah kita juga begitu? Menjadi pembisik dengan kehidupan yang tanpa hambatan serta tanpa kejutan...sampai Bulan jatuh di Bumi. Setidaknya, sampai sang pembisik 'tergila-gila' pada sesuatu yang disebutnya 'pola'. Pun tidak adanya surga, surat-surat selalu ada. Entah ditulis oleh siapa dan untuk siapa. "Karena jingga senja Kiamat belum lewat." Begitupun kehidupan.

Penulis selalu membawa saya dalam pembelajaran lewat kata-kata baru. Perih berdenyar, selarik luka adalah dua frasa pertama yang saya tandai dalam cerita ini. Bizzaroseania menceritakan alienasi dengan penuh gaya bahasa. Dari cerita kedua, penulis membawa saya terombang-ambing dalam situasi-situasi 'menekan' karena deskripsi penulis begitu padat dengan situasi dan benda-benda yang berada di sekeliling tokoh dalam cerita. Dari turbulensi, penumpang-penumpang lainnya di pesawat, lautan yang entah mengapa tidak menenggelamkan, dan usaha untuk bertahan hidup terasing di pulau. Tidak. Tidak ada pergolakan batin tokoh. Itu yang membuat cerita ini menarik. Biasanya, saya selalu menemukan keterasingan dengan pergolakan batin tokoh. Bizzarosenia justru melakukannya dengan mendeskripsikan segalanya kecuali hal itu...yang justru menguatkan alienasi yang terjadi. Saya harus menarik napas berkali-kali setiap memutuskan untuk berjeda dari halaman ke halaman.

Chimera mungkin adalah cerita yang paling sulit saya pahami. Begitu banyak makhluk mitologis yang dihadirkan dalam penceritaannya. Tak ayal membuat saya mencari, apa itu chimera? Apa itu pegasus? Apa itu Bellerophon? Setelah mencari, konstan saya lupa dan harus mengulang kembali tentang kisahan ketiganya. Dibalut dengan mimpi, Malique, sang tokoh utama, tenggelam dalam pertanyaan 'Kenapa Chimera?'. Mungkin itu yang dapat saya tangkap dalam cerita ini. Untuk membumikan cerita, penulis mengetengahkan konsep seorang anak yang berfantasi dan terobsesi dengan kenyataan Chimera yang mati dan kemungkinan-kemungkinan lainnya dalam cerita...selain kenyataan...'Kenapa Chimera?'. Ditutup dengan kegamangan, kemurungan, dan kegelapan, Chimera sukses membuat saya penuh tanda tanya dan limbung. Semua tanda tanya persis seperti deskripsi akhir cerita, penuh bau busuk yang buat saya bergidik. Ada, tak tahu berasal dari mana, dicari, dicari, dicari, dikejutkan, dan mual. Iya, perasaan goyah, gontai, semuanya. 'Kenapa Chimera?'.

"Baginya, hidup adalah permainan. Tidak ada baik dan buruk. Tidak ada benar-salah. Tidak ada menang-kalah. Yang lalu, yang kini, yang nanti tidak lebih daripada batu-batu loncatan bermacam bentuk dan ukuran yang terpancang zigzag dengan jarak berbeda satu sama lain di sebuah sungai selebar usia yang airnya mengalir deras, yang mau tidak mau harus dilalui karena itulah satu-satunya jalan untuk menyeberang tanpa perlu menanggung risiko hanyut lalu mengalami kram hingga kehabisan nafas..." Dari alienasi, rasa ngeri, saya diantarkan pada Doppelganger. Rasa-rasa yang timbul seolah membuat saya makin dipermainkan. "Azis pun tidak pernah berniat meniadakan Djibrilson karena ia senantiasa adalah saingan terbaiknya yang membuatnya tidak pernah bosan menjalani permainan di sebuah hamparan arena megagigantik bernama Bumi." Percakapan dengan Djibrilson, mengingatkan saya dengan film The Seventh Seal di mana tokoh utama bermain catur dengan kematian. Bukan untuk membandingkan, tapi rasa yang timbul kurang lebih sama ketika saya membaca cerita ini. Pertentangan dua jiwa dalam satu raga. Penuh kompetisi. Obsesi (lagi).  Tapi, lagi dan lagi, cerita ini berbeda. Pertentangan tidak semata-mata membuat Azis, tokoh utama, ingin menghilangkan Djibrilson. Ia sadar betul dengan keberadaan Djibrilson, maka hidupnya akan lebih bermakna. Bagian terbaik dari cerita ini? Tentu Fly Me To The Moon. Seperti saya curi dari kalimat dalam cerita ini, lagu itu menimbulkan kesan subtil hingga banal...hingga malam mutlak menggantikan senja yang membuat saya mendapatkan tubuh baru...sementara pemilik sebelumnya mencapai titik akhir untuk mewujudkan angan-angannya.

Equilibrium. "Setengah diri saya adalah barat, setengahnya lagi adalah Timur, dan selamanya seperti itu." Ketika membaca kalimat itu, saya konstan bertanya. Dimana Utara? Dimana Selatan? Dimana Barat Daya? Atau sebenarnya kompas tak melulu perlu menunjukkan semua bagian penamaan arah? Apalah arah tanpa gelenyar kengerian dan ramalan inosen akan sebuah peristiwa mahadestruktif? Saya menikmati Equilibrium dengan serius. Mungkin Tujuh Keajaiban Kuna menjadikan saya terberkati akan sebuah arah...atau mungkin juga saya hanya terjebak dalam bayang-bayang Vishnu karena ia seorang hybrid? Tapi, bagaimana kalau Vishnu menjelma  Shiva karena Vishnu telah membumi? Terlalu banyak pertanyaan timbul di kepala saya karena cerita ini. Mungkin Equilibrium menggambarkan proses saya mencari keseimbangan yang saya sadari tak pernah selamanya. Mungkin itu, penulis mengulang beberapa kali kata senantiasa. Kata kesukaan saya. Toh apapun keadaannya, keseimbangan mungkin saja datang dari mimpi-mimpi orang seperti kita.

Setelah empat cerita sebelum Equilibrium, saya pikir empat cerita setelahnya akan lebih 'ringan' dicerna. Dalam artian, nggak bikin galau. Ternyata salah. Setelah titik Equilibrium, saya semakin disesatkan dengan pijaran-pijaran cahaya yang menyilaukan mata. "Karena cahayalah yang menjadikan segalanya ada." Tapi, toh dengan adanya cahaya, ada juga bayang-bayang. Keduanya adalah kesatuan yang utuh. Kita tidak tersesat karena cahaya atau bayang-bayang, tapi keinginan untuk meletakkan diri di salah satunya. Tapi, terkadang tersesat itu baik adanya. Kenapa disesatkan? Tanpa tersesat, kita tidak akan sadar bahwa kita selangkah lebih maju menuju kesadaran tentang apa yang kita mau. Bukan begitu? Entah. Mungkin kepala saya membawa saya terlalu jauh. Fabelofobia pun begitu. Meminjam nama Aleph dan percakapan dengan ayahnya, cerita yang selalu menghadirkan keberadaan-keberadaan benda menjadi magis sendiri. Sudah penuh dengan deskripsi benda, kisah, kali ini ditambah pula tokoh...lewat percakapan. Sempurna, buat saya. Bikin susah napas. Semestanya Mas Bram indah sekali. Saya tahu begitu membaca Fabelofobia, walau belum paham (bahkan ketika menulis ini), arti judulnya. Tapi, toh tak semua harus dipahami. Bukan begitu?

Berjalan lebih jauh ke Grotesque. Halo, Damar. Iya, tokoh utamanya bernama Damar. Latarnya di tempat kesukaan saya: perpustakaan. Ketika membaca rak-rak kayu tempat Damar bekerja, saya semangat membalik halaman 110. 'Wah paradoks dengan judulnya!" Begitu pikir saya. Tiba-tiba, cerita ini ternyata tidak saya duga. Yah, lagi-lagi. Dikejutkan penulisnya. Warna-warna dan konteksnya masing-masing. Ternyata kita memang tidak mampu jika tidak mengaitkan sesuatu dengan sesuatu, lucunya seringnya kita ricuh karena kait-kait itu tak selalu membantu. Lucu. Grotesque adalah cerita penculikan atas nama kesempurnaan, tindakan atas dasar suasana hati paralel. Kenapa semua kesempurnaan terwujud dalam Tujuh Lapis Bumi, Tujuh Lapis Langit, Tujuh Lapis Neraka, Tujuh Lapis Surga, Tujuh Lapis Benua, Tujuh Samudera, Tujuh Aliran Sungai Nirwana, Tujuh Dosa Mematikan, Tujuh Cabang Pohon Kehidupan, dan Tujuh Pilar Kebijaksanaan. Kebetulan saya suka sekali angka tujuh, jadi cerita ini membuat saya terkekeh-kekeh sendiri. Bukan karena saya melihat angka kesukaan saya adalah simbol kesempurnaan, tapi semata-mata mengingat bahwa dalam tujuh hari pun, ada saja kebetulan dalam pemaknaan seperti ini hadir dalam semesta saya. Pun demikian bermakna, Damar harus berakhir dengan kekosongan. Lebih kosong dari puisi yang dibuat oleh seseorang yang kasihnya bertepuk sebelah tangan. Tolong! Saya diculik oleh Grotesque!

Tinggal dua cerita terakhir. Jujur, kalau boleh jujur mungkin saya tidak akan jujur. Jadi, saya bohong atau jujur? Hominivorax dibuka dengan latar pemakaman. Baru lagi, tapi 'rasa'-nya sama. Ada sesuatu yang menghubungkan cerita ini dengan cerita-cerita sebelumnya. Sesuatu yang tidak mau saya berikan nama supaya ia tetap melayang-layang dan ditangkap juga oleh pembaca lainnya, karena saya memberikan terlalu banyak 'bocoran' apa yang terjadi di buku ini. Pasti pembaca resensi ini benci sekali pada saya karena mencuri momen first-time mereka ketika membaca sebuah buku.  Dunia Deliria. Itu kata kuncinya. Sudah. Saya hanya ingin katakan itu saja. Ada makna tertentu kenapa Dunia Deliria dibuka lembar per lembar lebih dahulu, baru ke Fauna Fantasi. Mungkin kita begitu juga, memakan yang lain. Memakan jiwa lainnya untuk menghidupi jiwa kita. Mungkin saja. Hominivorax. Sudah tak lagi penting siapa membunuh siapa.

Terakhir, Inkubus. Ahmad dan Christian. Minggu malam dan layang-layang. Ah! Mengapa saya selalu mengidentifikasi diri dalam narasi yang saya baca. Bisakah kita lepas dan membaca saja? Tanpa perlu mengidentifikasi. Mungkin bisa, tapi saya saja yang enggan. Berkelindan itu menyenangkan. Rasanya sama seperti ketika Christian menemukan buku Inkubus. Celah yang membuat kita menolak menyerah, walaupun yang akan kita temukan...nantinya akan sama dengan kalimat di akhir cerita.

Saya menutup buku. Saya berhenti di halaman 162 dengan perasaan sama seperti saya membuka halaman pertama. Perasaan kehausan, tapi tak hilang walaupun saya meneguk air berkali-kali. Terima kasih, Mas Bram. Terima kasih untuk sembilan cerita yang boleh singgah di persimpangan saya.


Dengan cinta,
Jessy Ismoyo


Comments

Popular Posts