Sebuah Fiksi: Sore di Soekarno-Hatta

Soekarno-Hatta, Agustus 2017, Jessy Ismoyo

Sore itu ruang tunggu terminal 1C Bandara Soekarno-Hatta sama seperti sore-sore lainnya. Orang lalu-lalang dengan tas tenteng, koper yang digeret, tas punggung, maupun tas kecil yang dibawa-bawa entah berisi apa. Kursi-kursi yang berderet di hadapan tempat makan dan papan keberangkatan penuh dengan keluarga yang menunggu jam pesawat berangkat. Ada yang duduk berpangkuan karena tempat duduk tak cukup, ada juga orang sebelahnya yang tak peduli meletakkan tasnya khusus pada satu kursi. Boro-boro menawari, orang yang di sebelahnya terlalu sibuk dengan iPhone-nya, membalas puluhan pesan di ragam media sosialnya dengan ketawa-ketiwi sesekali. Tidak hanya itu, ada juga orang-orang yang dengan sekenanya tidur memakai jatah tiga kursi. Lucunya, tak ada yang sudi untuk memberi kursi bagi Bapak tua yang sedang berdiri lelah menenteng dua tasnya. Sudi saja tak ada, apalagi sungkan. Sudah tak ada yang sungkan dan sadar sendiri kalau ia mengambil ruang yang bukan milik dirinya. Siapa yang lebih dahulu datang, punya kesempatan lebih besar. Seperti ada peraturan tidak tertulis seperti itu di Bandara, di Soekarno-Hatta, di Jakarta.

Sore itu, saya berjalan menyusuri Bandara Soekarno-Hatta. Turun dari terminal keberangkatan 1A, saya berjalan pelan menyusuri lorong panjang yang penuh dengan orang-orang dengan macam alasannya berada di sana. Pemandangan yang saya lihat di terminal 1C juga saya temukan di 1A dan 1B. Orang-orang seperti punya ingatan kolektif sama terkait 'Siapa yang lebih dahulu.' Saya sudah terlalu lelah sore itu, tak punya hasrat untuk menghakimi. Jadi, saya hanya memerhatikan dan mengobservasi tiap-tiap individu yang saya temui.

Ada seorang perempuan yang mengenakan topi pantai dan kacamata hitam, lengkap dengan setelan pantainya. Ada juga Bapak-bapak yang menelepon dengan suara tinggi hingga terdengar hingga radius 100M. Ada Ibu yang menyentil anaknya karena tidak bisa diam, berlari ke sana-sini. Ada juga segerombolan muda-mudi tertawa di tengah jalan. Saya berjalan membawa serta koper kecil saya. Jakarta susah sekarang, pun sudah mengatakan permisi berkali-kali dari suara kecil hingga tinggi, untung-untung dapat kalimat 'Sorry, silahkan.' Selebihnya, hanya pandangan mata dingin dan geseran satu kaki. Tapi, sore itu sama seperti sore lainnya. Saya tak ingin menghakimi. Saya hanya menghela napas panjang dan mencoba untuk sabar.

Bukan berarti tak memaki. Tentu saya memaki, dalam hati. Yang pahit-pahit, simpan saja buat diri sendiri. Tak perlu dibagi karena sudah terlalu banyak caci-maki, kesedihan, dan ratapan di luar diri. Tak perlu lagi mereka ketambahan satu dari seorang perempuan di sore itu. Ketika saya tak punya intensi menghakimi, tendensi yang muncul tiba-tiba adalah gaya gravitasi yang bergerak dua kali pada tubuh. Langkah saya menjadi berat, suara melambat, udara serasa menggayuti kepala, orang-orang di sekeliling saya menjadi sebuah kemuskilan akan sebuah kenestapaan. Entah sore itu sedang tak bersahabat atau saya sedang lasat-lasatnya.

Dalam perjalanan saya yang melambat, tiba-tiba saya ingin tersenyum. Mungkin dengan tersenyum, semua gerak dan ruang dapat menjadi seperti semulanya. Gravitasi mampu sedikit berdamai dengan saya. Saya tersenyum sampai terminal 1C. Dari lima orang yang berkontak mata dengan saya dan saya senyumi, tak ada yang membalas senyuman saya. Semua hanya menatap saya aneh. Sore itu seperti sore-sore lainnya, tatapan aneh tidak menghentikan saya. Mungkin saja orang-orang itu menatap aneh bukan karena mereka berpikiran 'Siapa orang ini?', tapi mereka berpikiran 'Jangan-jangan saya pernah bertemu dengannya di suatu tempat dan saya lupa.' Pemahaman kedua membuat saya tersenyum lebih lebar di sepanjang perjalanan saya ke terminal 1C, dan hal itu menyenangkan. Saya tersenyum dan sesekali menunduk. Sore ini memang seperti biasanya dan senyum tetap harus ada.

Makian yang disimpan di hati itu perlu energi besar rupanya. Ia menjadikan saya sedikit demi sedikit elusif. Ya, asal bukan posesif. Saya masih menoleransi diri saya untuk menjadi seseorang yang sukar diartikan. Ia melanjutkan langkahnya hingga di pintu keberangkatan Terminal 1C. Sebelum masuk, ia berdiri sejenak mempersiapkan KTP dan tiket pesawatnya. Sembari mencari-cari, fokusnya teralih pada suara rengekan anak perempuan di sebelahnya. Kalimat yang dicuapkan seorang Ibu di sebelahnya pada anak perempuannya.

"Ayah kerja, buat beli susu..." kata Ibu itu. Bukan. Bukan seperti dikatakan. Kalimat itu dilantunkan pada anak perempuannya yang berusia tiga tahun.

"Ayah kerja, buat beli susu..."
"Ayah kerja, buat beli susu..."
"Ayah kerja, buat beli susu..."
"Ayah kerja. buat beli susu..."
"Ayah kerja, buat beli susu..."

Begitu terus diulang-ulang sang Ibu dengan lantunan suara rendahnya. Kepiluan bersukat di suaranya. Suara dan air mata berlomba-lomba, tapi dalam lima kali lantunan sepertinya air mata kalah. Hanya suara bergetar yang terdengar dalam gerak bibir sang Ibu. Saya terpaku di sebelahnya. Diam. Memerhatikan keduanya. Anak perempuan itu masih merengek. Mereka jelas tak menyadari keberadaan saya di situ. Sang Ibu tetap melantunkan itu, mencoba menghentikan rengekan anak perempuan kesayangannya.

"Ayah kerja, buat beli susu..."
"Satu tahun lagi ketemu...atau dua tahun..."
"Ayah kerja, buat beli susu..."

Saya menemukan tiket saya. Saya berjalan menjauhi sang Ibu dan anak perempuan berumur tiga tahun itu.

"Ayah kerja, buat beli susu..." berkali-kali berulang di telinga saya, semakin berulang, semakin sesak dan pendek juga napas saya.

"Ayah kerja, buat beli susu..."

Harusnya sore itu seperti sore lainnya. Harusnya sore itu sama seperti sore lainnya. Sore di mana selit-belit akan kecemasan dan kerisauan dapat dikalahkan dengan senyum yang selalu menjadi moda bertahan. 

"Ayah kerja, buat beli susu..." suara itu tidak lepas dari kepalaku. Anak perempuan itu sadar Ibunya berbohong. Ia melihat sama seperti yang saya lihat. Ayahnya berdiri persis di sebelahnya, menatap keduanya dengan tatapan nanar ketika saya meninggalkan keduanya untuk masuk terminal 1C.

"Ayah kerja, buat beli susu..."
"Satu tahun lagi ketemu...atau dua tahun..."
"Ayah kerja, buat beli susu..."

Comments

Popular Posts