Peluncuran Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai

Cindy's Cafe, Salatiga, 2018.
Tak ada korelasi antara gambar dan tulisan dalam unggahan ini. Hanya semata perlu mengeluarkan pusaran sungkawa yang datang bersamaan dengan syukur berlimpah. Begini mulanya, unggahan Theoresia Rumthe menuliskan doa, demikian saya kutip: "Ada satu penanda jalan yang kulihat di daerah Gandok, Bandung. Penanda itu bilang, "Beri Jalan." Kadang kupikir kebaikan-kebaikan kecil di dalam hati itu seperti "memberi jalan" untuk orang itu maupun orang lain untuk menemukan kebaikan yang lebih besar lagi. Semoga kamu, yang selalu beri jalan untuk orang lain menemukan kebaikan. Sukses dan lancar untuk semua urusan berangkat ke Amerika, ya. Semesta memberikan apa yang paling baik, yang selama ini tidak pernah kamu pikirkan."

Sore itu, penerbangan saya penuh turbulensi. Kabut memenuhi langit dan pesawat berguncang tiada henti. Sore itu, hujan. Percayalah, hujan hanya nikmat ketika kita di bawahnya. Ketika kita sejajar, hujan menjadi menakutkan, dan takut adalah tanda keberadaan sesuatu yang di luar kuasa kita. Sore itu, saya merasa seluruhnya di luar kuasa saya. Boleh saya berkehendak, tapi guncangan bukan ranah saya untuk diatur. Demikian pula hidup dan segala sesi-sesi pencobaannya.

Sore itu, saya membaca pesan itu ketika pesawat baru tiba di Bandara Adi Soemarmo, Solo. Saya membacanya ketika masih di pesawat. Seharusnya tidak saya lakukan, mengingat saya tidak diperkenankan menyalakan handphone ketika pesawat mendarat, tapi sore itu saya tidak peduli. Saya duduk di kursi 27A, dekat jendela dan mata saya panas lalu basah. Ketika menyaksikan dialog seperti doa personal antara individu dan Tuhannya, saya tersenyum; tak percaya? Coba saja hadir dalam kapel kecil di mana semua orang duduk dalam diam dan tunduk, menyampaikan percakapan paling sepi dalam hatinya pada patung Bunda Maria. Pemandangan menyejukkan. Tapi ternyata ada perasaan hangat berbeda, ketika doa yang begitu personal disampaikan pada objek yang didoakan. Sejuknya berlipat ganda. Magis. Penuh rasanya. Bahagia.

Beberapa waktu lalu, setelah saya tidak berhenti bersyukur atas kesempatan langka untuk menjejakkan kaki ke benua Amerika; saya selalu membuka jalan serupa bagi orang-orang sekitar saya dan percayalah rasanya begitu membahagiakan. Bukan karena saya mendapatkan apresiasi atas kesempatan yang saya beri, tapi karena saya tahu betul berkat begitu besar yang diberikan semesta patut ditumpahkan pula untuk sekitar saya. Karena mereka adalah orang-orang luar biasa yang tak lelah berproses, saya ingin juga mereka merasakan kepenuhan yang saya rasakan dan membaginya ke orang lainnya. 

Tidak perlu menunggu kesempatan besar seperti ke Amerika, buatlah jalan dalam hal apapun. Misalnya memberikan rujukan bacaan, wacana yang pantas didiskusikan, film yang perlu ditonton bersama, ketidakadilan yang belum terungkap, lantunan musik dari kawan, apa saja. Kita tidak tahu apa yang dapat jadi berkat dan meninggalkan kesan pada hati per seorangan. Mulailah dengan berdoa dalam ranah personal, kemudian bagilah kata-kata baik karena kita tidak pernah tahu bagaimana pahitnya, bagaimana rentannya hati seseorang ketika berhadapan dengan kenyataan. Kadang terlalu rapuhnya, ia tersesat dan tak pernah kembali. Kadang terlalu pahitnya, ia menistai kehidupan. Kita tidak pernah tahu. Pun demikian, tetaplah punya keberanian untuk merasai lebih dalam lagi. Jangan berhenti.

Malam ini, saya tiba di Salatiga setelah hari yang begitu panjang dan melelahkan. Malam ini pula, saya membuka buku lama dan menuliskan kata-kata ini di bagian belakangnya untuk mengakhiri hari Senin: "Semesta tak mengharuskan, segan ia menyelaraskan. Kamu dan aku, kadang menyesatkan. Pada kursi sebelah  jendela selalu akan kamu temukan lantunan lagu tertentu (Nocturne op.9 no.2 misalnya) yang hanya mampu didengar dirimu seorang. Saat itu, doamu kautuliskan dan kaukirimkan pada semesta, turbulensi di udara menyampaikannya perlahan padaku  dalam 45 menit perjalanan ke Solo tadi, dan nanti pula pada 19 jam perjalanan ke negeri seberang. Doa datang bagian per bagian, pelan-pelan, menimbun keyakinan. Sementara waktu sudah kuterima ode pertama, berbarengan dengan doa orang lain sebagai perantara. Semesta masih sebegitu indahnya. Jangan berhenti percaya..."

PS. Tak takjubkah kamu ketika seseorang dapat pergi lebih dari 24 jam dan tiba (masih) pada hari yang sama, padahal sehari cukup untuk sehari, 24 jam sahaja? Sungguh waktu punya kepercayaannya masing-masing sesuai letak geografis. Untuk itu, jangan menyederhanakan apapun termasuk waktu. Selalu letakkan waktu beriringan dengan percaya. Keduanya menghasilkan keyakinan. Yakinlah pada orang yang mampu menuturkan kata tanpa menyublim makna, karena pada mereka ada keyakinan akan kerajaan sorga. Kalau sorga tak ada, mungkin efek ledakan rasa setelah membaca puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo adalah hal paling mampu masuk dalam rasio hati kita. "Kalau aku pergi ke luar negeri, Dik, karena aku ingin merdeka dan menemukan diri." Ingatkah? Setidaknya, dalam hal-hal seperti itu bertumpu dan bersimpuhlah kita kembali dalam doa.

Dengan cita dan gelabah,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts