Pramoedya dalam Kata-kata







Dia.Lo.Gue Kemang, 2018, pictures taken by Jessy Ismoyo.
“Tidak semua kebenaran dan kenyataan perlu dikatakan pada seseorang atau pada siapapun.” 
― Pramoedya Ananta ToerArok Dedes



Kebenaran harus diperjuangkan, tanpa kekerasan. Itu yang saya rasakan ketika menghadiri pameran Namaku Pram kemarin. Dalam kisah hidupnya, ada seseorang yang begitu kuat dalam pikiran dan begitu adil dalam perbuatan. Setiap ujarannya tak perlu meminjam nama-nama besar, ia cukup berani menjelaskan pikirannya sendiri. Tidak lain untuk orang lain, ia menulis. Bukan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap karyanya membagi kerinduan yang sama pada pembaca untuk sesedikit-sesedikitnya melihat kembali pada dirinya masing-masing. Refleksi, kemudian menyalurkannya dalam sebuah perbuatan. Kecil, kecil saja. Tidak perlu besar. Seperti saya, yang saat ini, entah mengapa, rindu sekali menyelesaikan sebuah buku. Terlalu banyak menunda membaca, tidak baik adanya.

Selain itu, pameran ini mencerahkan saya akan begitu banyak cinta yang dapat seseorang terima. Pun tantangan hidup besar, kesulitan terus-menerus, akan datang bersama cinta yang tak habis. Cinta, dalam bentuk apapun niscaya ia membebaskan. Bukan sekadar perhatian yang berujung dominasi, bukan sekadar pengetahuan yang dirundung intensi mengelokkan diri. Tak ada objektivikasi dan relasi kuasa dalam surat-surat yang dituliskan untuk Pram. Tak ada kata-kata puitis dalam surat-suratnya. Sesederhana, 'mengabari' atau 'dikabari'. Pertanyaan seperti "Bagaimana sekolahmu, Nak?", "Nilai rapor saya turun," "Kakak dan Mama baik-baik saja," "Ayah jangan terlalu banyak berpikir, nanti Ayah sakit..." dan banyak lagi yang buat saya menderaskan air mata. Kita lupa, dalam kata-kata, tak bisa kita mangkir bahwa rindu pun kasih berkelindan dan memeluk kita kembali lebih erat dari tindakan apapun setiap nostalgia. Kehadiran kenangan akan Pram, tidak terasa dari melihat ruang kerjanya, membaca karyanya, membaca kutipan-kutipan karyanya, menyusuri linimasa kehidupannya, tapi...dari surat-surat yang diperuntukkan padanya. Surat-surat orang-orang terkasihnya. Pram hidup di sana, dengan kemampuan pikir dan tutur yang begitu kuat, begitu hebat.

Beberapa waktu ini, setelah erupsi freatik Merapi, terjadi bom di Depok, Surabaya, dan Sidoarjo. Kesedihan tidak terbendung datang dari rasa kehilangan yang teramat sangat. Hati saya sakit melihat anak-anak dipergunakan untuk sesuatu hal seperti menciptakan teror, dan ini berulang lagi dan lagi. Kita takut, tapi kita hanya bisa sungut. Mari usai sungut, kita pungut satu per-satu kesadaran kita masing-masing untuk membangun rasa percaya. Bukan hanya pada orang lain, tapi juga pada diri sendiri. Bahwasanya, keterlibatan diri dalam komunitas terkecil pun mampu menipiskan sekat-sekat untuk melunturkan bibit-bibit eksklusivitas. Tak bisa doa hanya diucapkan, tanpa inklusivitas dikikis.

Kembali pada awal kalimat tulisan ini: "kebenaran harus diperjuangkan, tanpa kekerasan..." Jangan pernah remehkan kekuatan kata, melawanlah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Melawanlah, dengan cinta. Mula-mula, melawanlah dengan percaya bahwa cinta bukan sesuatu yang klenik. Cinta ada. Cinta selalu ada. Kalau bisa, bersetialah di sana karena kita pasti selalu dipertemukan oleh orang-orang yang punya visi dan misi sama. Cinta, selalu, dan tidak pernah tidak, menyembuhkan. Bukan karena cinta adalah kunci, tapi cinta setara dengan penerimaan, dan penerimaan adalah tingkat akhir dari pemulihan sebuah trauma. Semoga kita sampai di sana. Mari mulai dengan membangun rasa percaya akan cinta.

PS. Jangan terlalu banyak meminjam karya orang lain untuk menjelaskan pemikiran sendiri. "Seperti orang tak punya pikiran saja," saya kutip dari perkataan Pram yang diucapkan oleh salah seorang yang datang ke pameran kemarin.

Comments

Popular Posts