Penemuan Kembali atas Cinta dan Manifestasi-manifestasinya
"Love needs
reinventing. We need to rethink love as an existential event in which two
people discover a different perspective on life and the world. To see the world
from the point of view of two, rather than one."
—Alain Badiou, In Praise of Love, 2012.
Redefinisi saya terhadap cinta terjadi berulang kali pada setiap pertemuan saya
dengan teks. Terakhir kali, saya mencoba meredefinisi cinta melalui kacamata
Bourdieu dan Fromm. Kali ini, saya mencoba lagi dan lagi untuk meredefinisi
cinta, beberapa tahun setelahnya, dari kaca mata Badiou. Tulisan ini bermula
dari pertanyaan-pertanyaan atas manifestasi cinta. Apa definisi cinta? Perlukah
cinta diredefinisi? Jika ya, mengapa? Lalu, apa kaitannya antara usaha
meredefinisi cinta dengan manifestasinya? Merujuk pada KBBI, arti manifestasi
adalah perwujudan atau bentuk dari sesuatu yang tidak kelihatan. Sementara,
arti redefinisi adalah merumuskan batasan dengan melihatnya dari sudut lain.
Lalu, apa arti cinta dalam KBBI? Tak hanya satu. Kalian bisa cari sendiri. Tapi,
berbeda dengan kata 'manifestasi' atau 'redefinisi', saya cukup segan
meletakkan cinta sebatas definisi KBBI. Mungkin itulah alasannya saya menulis
unggahan ini, kembali melihat arti cinta dalam sekat-sekat yang baru saya
sadari ada, kemudian saya tepikan pelan-pelan.
Untuk membuat kita lebih akrab dengan hal-hal yang terjadi di sekitar kita,
saya mencoba mencari fenomena-fenomena apa saja yang berkaitan dengan cinta
saat ini. Modern Love, begitu banyak orang menyebutnya. "It's
not really work. It's just the power to charm. I'm still standing in the wind,
but I never wave bye-bye. Never going to fall for modern love..." begitu
lirik David Bowie dengan judul yang serupa: Modern Love. The
New York Times membuat satu kolom dengan judul yang sama pula sejak 31
Desember 2004. Persoalan jatuh cinta terkesan tidak pernah berubah. Kita sudah
terbiasa mendengar ratusan kisah cinta, dari Romeo and Julliet sampai
Siti Nurbaya. Tapi, Modern Love mengetengahkan hal menarik.
Emma Pierson dan Alex Albright dalam Quartz menuliskan bahwa
cerita-cerita dramatis yang dikumpulkan lebih dari 10 tahun tidak jauh berbeda
dengan romansa Romeo and Julliet. Tulisan-tulisan yang masuk di
kolom Modern Love ditulis oleh penulis profesional dengan
struktur rapih, yang mana pada kenyataannya - cinta tidak seperti itu. Namun
hal ini tidak meunutup kemungkinan untuk memperlihatkan sikap kita menghadapi
cinta dan patah hati dalam balutan modernisasi cinta. Cinta selalu dituturkan
berbeda, pun dalam wacana besar yang sama.
Dari penelitian kedua penulis, fakta utama terkait Modern Love adalah
asosiasinya dengan kencan online. Dalam modernisasi cinta,
kencan online adalah cara terbaik untuk mencari pasangan. Kopi
darat adalah topik utama dalam Modern Love. Terbukti bahwa
bahasan teratas menyebutkan beberapa situs kencan online baik
Tinder, eHarmony, Hinge, JDate maupun OKCupid. 173 unggahan dalam kolom Modern
Love adalah tentang kencan dari total kurang lebih 900 unggahan dengan
topik lainnya. Menilik lebih jauh tentang hal ini, saya sampai pada tulisan
Daniel Jones, 'The Secret of Modern Love' di The New
York Times pada tahun 2017, kolom Modern Love didominiasi
dengan seruan patah hati dan obsesi, email-email penyesalan mengarah pada
kiriman pesan yang disesali, unggahan Instagram, dan aplikasi kencan online.
Memang pernyataan saya hanya menyodorkan fakta di Amerika Serikat. Namun
pertanyaan saya, tidakkah sama yang terjadi di Indonesia kalau kita mau sedikit
saja merefleksi pola komunikasi kita satu sama lain, baik dalam dunia nyata
maupun maya. Menyoal diri sendiri saja, bagaimana kita memberi porsi waktu
lebih pada persona virtual kita, sebaik persona dalam realita? Menyoal relasi
kita dengan orang lain, bagaimana kecemasan abad ke-21 adalah perihal menunggu
balasan pesan dapat menuai depresi bagi satu-dua individu atau
menanti-nanti like di Facebook dan Instagram, layaknya
menanti Retweet di Twitter dari orang tertentu. Baik kita
sadari atau tidak, pola komunikasi ini memengaruhi cinta. Pemahaman kita akan
romansa, cinta, dan komitmen juga sudah tak lagi sama.
Modernisasi mengarah pada atomisasi, begitu menurut Arendt. Begitupun dalam
modernisasi cinta. Saya pernah menulis dalam unggahan saya mengenai Hannah
Arendt di mana modernitas mencacah manusia menjadi pribadi yang
gagal membedakan antara kesunyian dan kesepian. Dengan menempatkan ego di
posisi teratas, manusia terkadang alpa untuk berdialog dengan dirinya sendiri.
Alhasil, kebanalan terjadi. Banalitas ini memuai dalam cara manusia memandang
dirinya sendiri dan sekitarnya. Arendt menyatakan bahwa kesunyian menempatkan
manusia tidak hanya menjadi satu, tapi menjadi dua: 'Aku' dan 'Diriku',
sehingga refleksi diri terus terjadi. Sementara, kesepian terjadi ketika 'Aku'
meninggalkan 'Diriku'. Pada titik kesepian, manusia tidak lagi mengalami dialog
dalam dirinya. Arendt menyebutkan bahwa atomisasi ini membuat manusia yang
gagal berdialog dengan dirinya menjadi apatis atau konsumtif. Untuk mengatasi
kesepiannya, manusia melarikan diri dan membentuk sebuah komunitas eksklusif,
kemudian bersikap tidak peduli pada orang-orang di luar komunitas itu. Pelarian
lainnya pada tindak konsumsi. Untuk mengisi kekosongan eksistensinya, manusia
mengisolasi dirinya dengan tindakan 'membeli' dalam usahanya mencari 'makna'
bagi dirinya sendiri. Keduanya membuat manusia terisolasi dari kenyataan,
termasuk dari cinta. Ketidakmampuan manusia untuk berdialog dengan dirinya
sendiri, menempatkan cinta adalah satu proses mencintai imaji diri sendiri yang
dicarinya pada pasangannya. Ini adalah tantangan lainnya dalam modernisasi
cinta. Isolasi diri dengan memanipulasi cinta. Dengan terjadinya
atomisasi, sudut pandang akan cinta mudah dibelokkan. Cinta diarahkan pada
proses mencari kenyamanan dan keamanan sebagai bentuk pelarian.
Tilda Swinton dalam unggahan NITCH juga menyampaikan hal sejalan dengan nosi
Arendt: "Loneliness is the deal. Loneliness is the last great
taboo. If we don't accept loneliness, then capitalism wins...because capitalism
is all about trying to convince people that you can distract yourself, that you
can make it better and it ain't true." Cinta pun diterjemahkan
sebagai tindak konsumsi, swipe kanan-kiri, pilih, cocok,
selesai begitu saja. Bisa jadi juga, putusan untuk mencinta didasarkan pada
pertukaran pada kedua pasangan itu. Apa yang bisa saya dapatkan dari dirinya,
begitupun sebaliknya. Kita menjadi orang yang skeptis akan cinta, mungkin juga
hanya melihat cinta sebagai suatu yang tak lebih dari pelabelan hal-hal
praktis. Kalau Arendt merumuskannya sebagai banalitas kejahatan, dalam konteks modernisasi
cinta, saya mungkin akan mengatakannya sebagai banalitas romansa. Banalitas
yang mengarahkan kita pada dua kemungkinan: orang yang mencari-cari romantisasi
dalam segala aspek pertemuan, tapi tak mampu melanggengkan hubungan; atau orang
yang menempatkan cinta sebagai suatu yang sejajar dengan ketidakmungkinan
semesta. Mungkin saya bisa salah, tapi sekarang, redefinisi saya berhenti pada
simpulan sementara ini.
Dari pemaparan tentang Modern Love dan redefinisi cinta, saya
tidak puas. Saya membuka lagi buku Alain Badiou - In Praise of Love.
Setelah paparan asal-asalan saya soal banalitas romansa, saya mencoba
berkontemplasi dengan Badiou. Bagaimana Badiou mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan di atas? Badiou menekankan
konsep intrinsik dari liberal klasik dan libertarian Amerika yang menjadi
'ancaman' bagi cinta di abad ke-21. Mengapa? Karena kedua konsep itu mengarah
pada otonomi individu, dalam konteks satu identitas saja dan satu 'asal tubuh'.
Hal inilah yang mewarnai Modern Love, anggapan liberal klasik
dan libertarian Amerika bahwa cinta adalah sebuah kesia-siaan (Love is a
futile risk). Jika kita menempatkan cinta sebagai sebuah otonomi individu,
cinta tak lebih dari kebebasan fana yang berada di bawah
bayang-bayang 'kontrol pasar'.
Ancaman kapitalisasi cinta menggembar-gemborkan kenyamanan dan keamanan yang
ditawarkan aplikasi kencan online juga merupakan cerminan dari
peniadaan risiko di mana individu diberikan 'kebebasan' untuk memilih pasangan
yang 'qualified' bagi mereka tanpa ketakutan akan komitmen dan
ancaman 'kehilangan' atau patah hati demi peningkatan efisiensi dan efektivitas
'romansa cinta'. Otonomi individu menawarkan kebebasan luar biasa atas cinta
untuk mempromosikan dirinya pada pasangan yang dianggap ideal; cinta adalah
pasar, individu adalah produk yang dapat ditingkatkan nilai tukarnya dan
segalanya dapat diprediksi untuk menimalisir patah hati. Sehingga,
fenomena-fenomena yang disebutkan di atas menjadi tidak terhindarkan:
perjodohan (pernikahan yang direncanakan tanpa cinta), kenikmatan konsumsi atau
kenikmatan one-night-stand. Cinta menjadi murni otonomi individu
dan menghilangkan hal terpenting dalam cinta: risiko.
Badiou mengatakan
bahwa cinta membutuhkan tiga hal esensial: kehadiran risiko, kemungkinan gagal,
dan pentingnya kerentanan individu. Dari ketiganya, saya fokus pada risiko.
Cinta adalah persoalan mengambil risiko dan menyerahkan identitas individu.
Cinta adalah persoalan tentang 'jatuh'. Cinta tidak lagi bicara dari satu sudut
pandang saja, melainkan dua. Badiou tidak bersetuju dengan tesis Aristoteles,
bahwasanya cinta adalah 'dua tubuh, satu jiwa.' Menurutnya, cinta adalah life-changing
event di mana ekstrapolasi terjadi dalam segi-segi kehidupan, tidak
hanya pada satu individu, tetapi keduanya; dan
ekstrapolasi ini terjadi menyusup batas-batas romantisasi cinta. Cinta tidak
hanya reaksi kimia di tubuh karena meningkatnya hormon-hormon tertentu seperti oxytocin, dopamine, atau adrenaline.
Membantah otonomi individu yang dianut oleh para liberalis klasik dan
libertarian Amerika, Badiou menempatkan cinta sebagai sebuah konstruksi
individu bersama pasangannya dengan penerimaan, afirmasi, yang masih memberi ruang
pada otonomi diri berjalan seiringan dengan kekaguman dan pemujaan terhadap
pasangan. Bagaimana caranya? Menepikan self-interest, tidak
terpaku pada semata keuntungan pribadi saja.
Hal ini mengarah
pada argumen Badiou selanjutnya: cinta adalah pengalaman dalam pencarian
kebenaran. Plato menekankan perbedaan antara eros dan philia. Eros adalah
cinta yang melibatkan fisik, cinta yang sensual dan seksual, sementara philia adalah brotherly love. Badiou
banyak menekankan pada eros, dalam
penjelasannya soal cinta. Namun faktanya, pemahaman atas cinta dari Plato tidak
dapat dipisahkan dengan usaha filsuf untuk sebuah pencarian kebenaran. Hal
inilah yang mendasari Badiou pada anggapan bahwa cinta seharusnya merupakan
pencarian kebenaran. Meminjam argumentasi Tim Rayner atas pembacaannya tentang
Badiou, dalam Symposium, Plato
juga membedakan eros dengan
'cinta yang sebenarnya'.
Reyner mengatakan bahwa eros dalam
pemikiran Plato adalah cinta adalah paduan aesthetic (cinta
adalah perwujudan fundamental dari sebuah keindahan) dan ascetic (usaha
menahan 'hasrat' dan mengutamakan kontemplasi tentang cinta, daripada sebatas
terjebak dalam kecintaan atas citraan semata) secara
simultan. Plato menekankan 'cinta yang sebenarnya' tidak akan pernah terpuaskan
dalam 'fisik', tujuan tertinggi cinta adalah 'pengetahuan'. Hal inilah yang
menjadi titik tolak Badiou akan pencarian kebenaran, dan poin inilah yang
kemudian saya anggap sebagai manifestasi cinta. Pencarian kebenaran tidak hanya
dapat dicapai dari terma subjektif dan indivualistis, tapi harus berdasarkan
diferensiasi pengalaman kebenaran, dan diferensiasi tidak akan mungkin dicapai
tanpa melibatkan dua pihak. Sebab bagaimana mungkin kita menidak sesuatu jika
kita tidak mempunyai hal lain sebagai rujukan 'ketiadaan' itu? Di situlah
manifestasi paling sahih dari cinta. Cinta adalah kemampuan individu untuk
mempertanyakan common
perspective bersama dan apakah hal itu merujuk pada pengetahuan diri
masing-masing?
Richard Oh dalam tulisannya mengenai Badiou menjelaskan 4 (empat) fungsi cinta
dalam usaha pencarian kebenaran masing-masing, yaitu: fungsi pengembaraan (wandering), cinta
adalah perjalanan tanpa rencana dan penuh ketidakdugaan. Fungsi ini
memperlihatkan adanya 'Dua' dalam kemungkinan dunia yang tak ada habisnya. Fungsi
imobilitas yang menjaga penamaan kejadian agar individu tidak terpaku dalam
satu kejadian. Fungsi dorongan imperatif di mana ketidakhadiran mengukuhkan
kontinuitas dan fungsi naratif yang merupakan pengumpulan momen. Dalam keempat
fungsi ini, kebenaran setiap individu dalam dicapai. Namun dalam kebenaran pun,
Badiou mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki, secara matematis, menggenggam
kebenaran yang berbeda. Bagi laki-laki: kita berdua dan tidak ada satu.
Sementara untuk perempuan, kita berdua atau tidak sama sekali. Dalam perbedaan
inilah, cinta berproses. Karena pada dasarnya cinta, menurut penjelasan Badiou
yang merujuk pada prinsip utama teori himpunan, yaitu bersifat inklusif dan
perlu adanya kepemilikan. Hanya ada dua orang, tapi bagaimana menjelaskan cinta
dalam dua orang manusia? Merujuk pada Dunbar's
Number, manusia memiliki batas dengan siapa mereka dapat menjaga
hubungan sosial yang stabil, dan dalam konteks cinta - hanya ada dua, bukan
tiga. Tapi, terkadang fokus kita terlalu pada pairbonding sementara
konsep yang menarik untuk dibahas lebih jauh adalah kedalaman cinta pada dua
orang individu.
Cinta adalah proses
menyakitkan dan sengit, seringnya menakutkan pada dua orang yang terlibat di
dalamnya karena intensitas cinta dengan kompleksitas sense of
longing yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Mengapa? Karena
cinta adalah proses penyulingan kebenaran yang mereka katakan satu sama lain. Brain Pickings menyebutnya
sebagai 'turbulensi transendental dari penyempurnaan kebenaran bersama." Dengan
membaginya tidak hanya dalam satu perspektif, manifestasi cinta tidak melulu
mengarah pada 'kebahagiaan'. Manifestasi cinta perlu diselami dengan penuh
dalam setiap perjuangannya, setiap tanggung jawab, setiap kemungkinan, setiap
risiko. Cinta tidak hanya perlu diredifinisi, tapi juga diciptakan
kembali/ditemukan kembali.
Cinta adalah penemuan-penemuan co-possibility:
produksi kemungkinan yang membutuhkan dua individu yang tidak berubah
(individunya, bukan pengetahuan yang dicapai individu). Oleh karena itu, cinta
penuh dengan ketegangan, ketidakpastian, dan (lagi-lagi) risiko. Cinta jauh
dari kenyamanan dan keamanan; karena tidak ada yang aman dan nyaman dalam
perjuangan mencari kebenaran. Untuk itulah, saya percaya bahwa manifestasi cinta
tidak pernah berada pada hal-hal menyenangkan. Manifestasi cinta harus dapat
menjembatani kesenjangan diri dengan orang lain. Cinta tidak lagi ditempatkan
pada pertukaran saling menguntungkan atau investasi masa tua, tapi pada
kepercayaan tentang sebuah 'peluang' yang membawa kita ke pengalaman-pengalaman
berbeda, sehingga mengarah pada perubahan gagasan/ide kita akan dunia.
Sebab apalah cinta jika ia tidak dapat menyelamatkan kemanusiaan dari segala
penyakit, begitu kata Tolstoy pada Gandhi, dan saya puas pada redefinisi cinta
saya di titik akhir ini. Titik akhir yang sama seperti matahari terbenam
di Karimun Jawa. Tidak harus menyenangkan, tapi ia mengarah pada (setidaknya)
kebenaran. Semoga kita tidak lelah berjuang menghadapi rindu, dominasi, ingin
memiliki, kesakithatian, maupun penistaan, untuk kebenaran-kebenaran kecil;
karena kebenaran kecil itu lah yang membuat kita menemukan cinta.
Dengan kebenaran
yang ditumpuk perlahan,
Jessy Ismoyo
Comments
Post a Comment