Penemuan Kembali atas Cinta dan Manifestasi-manifestasinya


"Like all roads lead to Rome, all manifestation of nostalgia leads me to you." (Karimun Jawa, 2018)
"Love needs reinventing. We need to rethink love as an existential event in which two people discover a different perspective on life and the world. To see the world from the point of view of two, rather than one."
Alain Badiou, In Praise of Love, 2012.


Redefinisi saya terhadap cinta terjadi berulang kali pada setiap pertemuan saya dengan teks. Terakhir kali, saya mencoba meredefinisi cinta melalui kacamata Bourdieu dan Fromm. Kali ini, saya mencoba lagi dan lagi untuk meredefinisi cinta, beberapa tahun setelahnya, dari kaca mata Badiou. Tulisan ini bermula dari pertanyaan-pertanyaan atas manifestasi cinta. Apa definisi cinta? Perlukah cinta diredefinisi? Jika ya, mengapa? Lalu, apa kaitannya antara usaha meredefinisi cinta dengan manifestasinya? Merujuk pada KBBI, arti manifestasi adalah perwujudan atau bentuk dari sesuatu yang tidak kelihatan. Sementara, arti redefinisi adalah merumuskan batasan dengan melihatnya dari sudut lain. Lalu, apa arti cinta dalam KBBI? Tak hanya satu. Kalian bisa cari sendiri. Tapi, berbeda dengan kata 'manifestasi' atau 'redefinisi', saya cukup segan meletakkan cinta sebatas definisi KBBI. Mungkin itulah alasannya saya menulis unggahan ini, kembali melihat arti cinta dalam sekat-sekat yang baru saya sadari ada, kemudian saya tepikan pelan-pelan.


Untuk membuat kita lebih akrab dengan hal-hal yang terjadi di sekitar kita, saya mencoba mencari fenomena-fenomena apa saja yang berkaitan dengan cinta saat ini. Modern Love, begitu banyak orang menyebutnya. "It's not really work. It's just the power to charm. I'm still standing in the wind, but I never wave bye-bye. Never going to fall for modern love..." begitu lirik David Bowie dengan judul yang serupa: Modern LoveThe New York Times membuat satu kolom dengan judul yang sama pula sejak 31 Desember 2004. Persoalan jatuh cinta terkesan tidak pernah berubah. Kita sudah terbiasa mendengar ratusan kisah cinta, dari Romeo and Julliet sampai Siti Nurbaya. Tapi, Modern Love mengetengahkan hal menarik. Emma Pierson dan Alex Albright dalam Quartz menuliskan bahwa cerita-cerita dramatis yang dikumpulkan lebih dari 10 tahun tidak jauh berbeda dengan romansa Romeo and Julliet. Tulisan-tulisan yang masuk di kolom Modern Love ditulis oleh penulis profesional dengan struktur rapih, yang mana pada kenyataannya - cinta tidak seperti itu. Namun hal ini tidak meunutup kemungkinan untuk memperlihatkan sikap kita menghadapi cinta dan patah hati dalam balutan modernisasi cinta. Cinta selalu dituturkan berbeda, pun dalam wacana besar yang sama.


Dari penelitian kedua penulis, fakta utama terkait Modern Love adalah asosiasinya dengan kencan online. Dalam modernisasi cinta, kencan online adalah cara terbaik untuk mencari pasangan. Kopi darat adalah topik utama dalam Modern Love. Terbukti bahwa bahasan teratas menyebutkan beberapa situs kencan online baik Tinder, eHarmony, Hinge, JDate maupun OKCupid. 173 unggahan dalam kolom Modern Love adalah tentang kencan dari total kurang lebih 900 unggahan dengan topik lainnya. Menilik lebih jauh tentang hal ini, saya sampai pada tulisan Daniel Jones, 'The Secret of Modern Love' di The New York Times  pada tahun 2017, kolom Modern Love didominiasi dengan seruan patah hati dan obsesi, email-email penyesalan mengarah pada kiriman pesan yang disesali, unggahan Instagram, dan aplikasi kencan online.


Memang pernyataan saya hanya menyodorkan fakta di Amerika Serikat. Namun pertanyaan saya, tidakkah sama yang terjadi di Indonesia kalau kita mau sedikit saja merefleksi pola komunikasi kita satu sama lain, baik dalam dunia nyata maupun maya. Menyoal diri sendiri saja, bagaimana kita memberi porsi waktu lebih pada persona virtual kita, sebaik persona dalam realita? Menyoal relasi kita dengan orang lain, bagaimana kecemasan abad ke-21 adalah perihal menunggu balasan pesan dapat menuai depresi bagi satu-dua individu atau menanti-nanti like di Facebook dan Instagram, layaknya menanti Retweet di Twitter dari orang tertentu. Baik kita sadari atau tidak, pola komunikasi ini memengaruhi cinta. Pemahaman kita akan romansa, cinta, dan komitmen juga sudah tak lagi sama.


Modernisasi mengarah pada atomisasi, begitu menurut Arendt. Begitupun dalam modernisasi cinta. Saya pernah menulis dalam unggahan saya mengenai Hannah Arendt di mana modernitas mencacah  manusia menjadi pribadi yang gagal membedakan antara kesunyian dan kesepian. Dengan menempatkan ego di posisi teratas, manusia terkadang alpa untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Alhasil, kebanalan terjadi. Banalitas ini memuai dalam cara manusia memandang dirinya sendiri dan sekitarnya. Arendt menyatakan bahwa kesunyian menempatkan manusia tidak hanya menjadi satu, tapi menjadi dua: 'Aku' dan 'Diriku', sehingga refleksi diri terus terjadi. Sementara, kesepian terjadi ketika 'Aku' meninggalkan 'Diriku'. Pada titik kesepian, manusia tidak lagi mengalami dialog dalam dirinya. Arendt menyebutkan bahwa atomisasi ini membuat manusia yang gagal berdialog dengan dirinya menjadi apatis atau konsumtif. Untuk mengatasi kesepiannya, manusia melarikan diri dan membentuk sebuah komunitas eksklusif, kemudian bersikap tidak peduli pada orang-orang di luar komunitas itu. Pelarian lainnya pada tindak konsumsi. Untuk mengisi kekosongan eksistensinya, manusia mengisolasi dirinya dengan tindakan 'membeli' dalam usahanya mencari 'makna' bagi dirinya sendiri. Keduanya membuat manusia terisolasi dari kenyataan, termasuk dari cinta. Ketidakmampuan manusia untuk berdialog dengan dirinya sendiri, menempatkan cinta adalah satu proses mencintai imaji diri sendiri yang dicarinya pada pasangannya. Ini adalah tantangan lainnya dalam modernisasi cinta.  Isolasi diri dengan memanipulasi cinta. Dengan terjadinya atomisasi, sudut pandang akan cinta mudah dibelokkan. Cinta diarahkan pada proses mencari kenyamanan dan keamanan sebagai bentuk pelarian.


Tilda Swinton dalam unggahan NITCH juga menyampaikan hal sejalan dengan nosi Arendt: "Loneliness is the deal. Loneliness is the last great taboo. If we don't accept loneliness, then capitalism wins...because capitalism is all about trying to convince people that you can distract yourself, that you can make it better and it ain't true." Cinta pun diterjemahkan sebagai tindak konsumsi, swipe kanan-kiri, pilih, cocok, selesai begitu saja. Bisa jadi juga, putusan untuk mencinta didasarkan pada pertukaran pada kedua pasangan itu. Apa yang bisa saya dapatkan dari dirinya, begitupun sebaliknya. Kita menjadi orang yang skeptis akan cinta, mungkin juga hanya melihat cinta sebagai suatu yang tak lebih dari pelabelan hal-hal praktis. Kalau Arendt merumuskannya sebagai banalitas kejahatan, dalam konteks modernisasi cinta, saya mungkin akan mengatakannya sebagai banalitas romansa. Banalitas yang mengarahkan kita pada dua kemungkinan: orang yang mencari-cari romantisasi dalam segala aspek pertemuan, tapi tak mampu melanggengkan hubungan; atau orang yang menempatkan cinta sebagai suatu yang sejajar dengan ketidakmungkinan semesta. Mungkin saya bisa salah, tapi sekarang, redefinisi saya berhenti pada simpulan sementara ini.


Dari pemaparan tentang Modern Love dan redefinisi cinta, saya tidak puas. Saya membuka lagi buku Alain Badiou - In Praise of Love. Setelah paparan asal-asalan saya soal banalitas romansa, saya mencoba berkontemplasi dengan Badiou. Bagaimana Badiou mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya berikan di atas?  Badiou menekankan konsep intrinsik dari liberal klasik dan libertarian Amerika yang menjadi 'ancaman' bagi cinta di abad ke-21. Mengapa? Karena kedua konsep itu mengarah pada otonomi individu, dalam konteks satu identitas saja dan satu 'asal tubuh'. Hal inilah yang mewarnai Modern Love, anggapan liberal klasik dan libertarian Amerika bahwa cinta adalah sebuah kesia-siaan (Love is a futile risk). Jika kita menempatkan cinta sebagai sebuah otonomi individu, cinta tak lebih dari  kebebasan fana yang berada di bawah bayang-bayang 'kontrol pasar'. 


Ancaman kapitalisasi cinta menggembar-gemborkan kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan aplikasi kencan online juga merupakan cerminan dari peniadaan risiko di mana individu diberikan 'kebebasan' untuk memilih pasangan yang 'qualified' bagi mereka tanpa ketakutan akan komitmen dan ancaman 'kehilangan' atau patah hati demi peningkatan efisiensi dan efektivitas 'romansa cinta'. Otonomi individu menawarkan kebebasan luar biasa atas cinta untuk mempromosikan dirinya pada pasangan yang dianggap ideal; cinta adalah pasar, individu adalah produk yang dapat ditingkatkan nilai tukarnya dan segalanya dapat diprediksi untuk menimalisir patah hati. Sehingga, fenomena-fenomena yang disebutkan di atas menjadi tidak terhindarkan: perjodohan (pernikahan yang direncanakan tanpa cinta), kenikmatan konsumsi atau kenikmatan one-night-stand. Cinta menjadi murni otonomi individu dan menghilangkan hal terpenting dalam cinta: risiko.

Badiou mengatakan bahwa cinta membutuhkan tiga hal esensial: kehadiran risiko, kemungkinan gagal, dan pentingnya kerentanan individu. Dari ketiganya, saya fokus pada risiko. Cinta adalah persoalan mengambil risiko dan menyerahkan identitas individu. Cinta adalah persoalan tentang 'jatuh'. Cinta tidak lagi bicara dari satu sudut pandang saja, melainkan dua. Badiou tidak bersetuju dengan tesis Aristoteles, bahwasanya cinta adalah 'dua tubuh, satu jiwa.' Menurutnya, cinta adalah life-changing event di mana ekstrapolasi terjadi dalam segi-segi kehidupan, tidak hanya pada satu individu, tetapi keduanyadan ekstrapolasi ini terjadi menyusup batas-batas romantisasi cinta. Cinta tidak hanya reaksi kimia di tubuh karena meningkatnya hormon-hormon tertentu seperti oxytocindopamine, atau adrenaline. Membantah otonomi individu yang dianut oleh para liberalis klasik dan libertarian Amerika, Badiou menempatkan cinta sebagai sebuah konstruksi individu bersama pasangannya dengan penerimaan, afirmasi, yang masih memberi ruang pada otonomi diri berjalan seiringan dengan kekaguman dan pemujaan terhadap pasangan. Bagaimana caranya? Menepikan self-interest, tidak terpaku pada semata keuntungan pribadi saja.

Hal ini mengarah pada argumen Badiou selanjutnya: cinta adalah pengalaman dalam pencarian kebenaran. Plato menekankan perbedaan antara eros dan philiaEros adalah cinta yang melibatkan fisik, cinta yang sensual dan seksual, sementara philia adalah brotherly love. Badiou banyak menekankan pada eros, dalam penjelasannya soal cinta. Namun faktanya, pemahaman atas cinta dari Plato tidak dapat dipisahkan dengan usaha filsuf untuk sebuah pencarian kebenaran. Hal inilah yang mendasari Badiou pada anggapan bahwa cinta seharusnya merupakan pencarian kebenaran. Meminjam argumentasi Tim Rayner atas pembacaannya tentang Badiou, dalam Symposium, Plato juga membedakan eros dengan 'cinta yang sebenarnya'.


Reyner mengatakan bahwa eros dalam pemikiran Plato adalah cinta adalah paduan aesthetic (cinta adalah perwujudan fundamental dari sebuah keindahan) dan ascetic (usaha menahan 'hasrat' dan mengutamakan kontemplasi tentang cinta, daripada sebatas terjebak dalam kecintaan atas citraan semata) secara simultan. Plato menekankan 'cinta yang sebenarnya' tidak akan pernah terpuaskan dalam 'fisik', tujuan tertinggi cinta adalah 'pengetahuan'. Hal inilah yang menjadi titik tolak Badiou akan pencarian kebenaran, dan poin inilah yang kemudian saya anggap sebagai manifestasi cinta. Pencarian kebenaran tidak hanya dapat dicapai dari terma subjektif dan indivualistis, tapi harus berdasarkan diferensiasi pengalaman kebenaran, dan diferensiasi tidak akan mungkin dicapai tanpa melibatkan dua pihak. Sebab bagaimana mungkin kita menidak sesuatu jika kita tidak mempunyai hal lain sebagai rujukan 'ketiadaan' itu? Di situlah manifestasi paling sahih dari cinta. Cinta adalah kemampuan individu untuk mempertanyakan common perspective bersama dan apakah hal itu merujuk pada pengetahuan diri masing-masing?


Richard Oh dalam tulisannya mengenai Badiou menjelaskan 4 (empat) fungsi cinta dalam usaha pencarian kebenaran masing-masing, yaitu: fungsi pengembaraan (wandering), cinta adalah perjalanan tanpa rencana dan penuh ketidakdugaan. Fungsi ini memperlihatkan adanya 'Dua' dalam kemungkinan dunia yang tak ada habisnya. Fungsi imobilitas yang menjaga penamaan kejadian agar individu tidak terpaku dalam satu kejadian. Fungsi dorongan imperatif di mana ketidakhadiran mengukuhkan kontinuitas dan fungsi naratif yang merupakan pengumpulan momen. Dalam keempat fungsi ini, kebenaran setiap individu dalam dicapai. Namun dalam kebenaran pun, Badiou mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki, secara matematis, menggenggam kebenaran yang berbeda. Bagi laki-laki: kita berdua dan tidak ada satu. Sementara untuk perempuan, kita berdua atau tidak sama sekali. Dalam perbedaan inilah, cinta berproses. Karena pada dasarnya cinta, menurut penjelasan Badiou yang merujuk pada prinsip utama teori himpunan, yaitu bersifat inklusif dan perlu adanya kepemilikan. Hanya ada dua orang, tapi bagaimana menjelaskan cinta dalam dua orang manusia? Merujuk pada Dunbar's Number, manusia memiliki batas dengan siapa mereka dapat menjaga hubungan sosial yang stabil, dan dalam konteks cinta - hanya ada dua, bukan tiga. Tapi, terkadang fokus kita terlalu pada pairbonding sementara konsep yang menarik untuk dibahas lebih jauh adalah kedalaman cinta pada dua orang individu.

Cinta adalah proses menyakitkan dan sengit, seringnya menakutkan pada dua orang yang terlibat di dalamnya karena intensitas cinta dengan kompleksitas sense of longing yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Mengapa? Karena cinta adalah proses penyulingan kebenaran yang mereka katakan satu sama lain. Brain Pickings menyebutnya sebagai 'turbulensi transendental dari penyempurnaan kebenaran bersama."  Dengan membaginya tidak hanya dalam satu perspektif, manifestasi cinta tidak melulu mengarah pada 'kebahagiaan'. Manifestasi cinta perlu diselami dengan penuh dalam setiap perjuangannya, setiap tanggung jawab, setiap kemungkinan, setiap risiko. Cinta tidak hanya perlu diredifinisi, tapi juga diciptakan kembali/ditemukan kembali.


Cinta adalah penemuan-penemuan co-possibility: produksi kemungkinan yang membutuhkan dua individu yang tidak berubah (individunya, bukan pengetahuan yang dicapai individu). Oleh karena itu, cinta penuh dengan ketegangan, ketidakpastian, dan (lagi-lagi) risiko. Cinta jauh dari kenyamanan dan keamanan; karena tidak ada yang aman dan nyaman dalam perjuangan mencari kebenaran. Untuk itulah, saya percaya bahwa manifestasi cinta tidak pernah berada pada hal-hal menyenangkan. Manifestasi cinta harus dapat menjembatani kesenjangan diri dengan orang lain. Cinta tidak lagi ditempatkan pada pertukaran saling menguntungkan atau investasi masa tua, tapi pada kepercayaan tentang sebuah 'peluang' yang membawa kita ke pengalaman-pengalaman berbeda, sehingga mengarah pada perubahan gagasan/ide kita akan dunia.


Sebab apalah cinta jika ia tidak dapat menyelamatkan kemanusiaan dari segala penyakit, begitu kata Tolstoy pada Gandhi, dan saya puas pada redefinisi cinta saya di titik akhir ini. Titik akhir yang sama seperti matahari terbenam di Karimun Jawa. Tidak harus menyenangkan, tapi ia mengarah pada (setidaknya) kebenaran. Semoga kita tidak lelah berjuang menghadapi rindu, dominasi, ingin memiliki, kesakithatian, maupun penistaan, untuk kebenaran-kebenaran kecil; karena kebenaran kecil itu lah yang membuat kita menemukan cinta.



Dengan kebenaran yang ditumpuk perlahan,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts