Bucket List (Movie)



Blue is the Warmest Colour
Film asal Prancis ini memenangkan Palm d'Or di Cannes Film Festival 2013. Disutradarai oleh Abdellatif Kechiche, film ini menuai pro-kontra mengenai adegan romantis dari pasangan lesbian sepanjang 10 menit. Hal ini membuat film ini patut memenangkan Palm d'Or pada tahun ini karena film yang baik adalah film yang mampu memberi ruang argumentasi yang imbang antara pihak pro dan kontra. Demikan juga dikatakan seorang kritikus film, Jason Chang, bahwa adegan sensualitas dalam film ini menawarkan kedalaman intimasi hubungan cinta dua manusia pada penonton. Sementara di sisi lain, adegan itu disinyalir sebagai sebuah pornografi.

Film Blue is The Warmest Colour ini sendiri menceritakan kisahan awal hingga akhir dari perjalanan sepasang lesbian muda. Adèle (Adèle Exarchopoulos) adalah seorang perempuan berusia 15 tahun yang bercita-cita menjadi guru. Namun, kehidupannya berubah dengan tiba-tiba ketika ia bertemu dengan Emma (Léa Seydoux), seorang murid yang berambut biru. Perempuan yang mengajarkannya tentang arti cinta. Apakah hubungan cinta sesama jenis akan berakhir sama seperti lainnya atau tidak? Itulah inti utama film ini yaitu menghadirkan kembali pertanyaan itu ke setiap kepala penontonnya.

Kechiche bukanlah sutradara sembarangan, Ia pernah memenangkan César Award untuk sutradara terbaik pada tahun 2003 dan 2007. Film ini pun berhak menempati posisi teratas dalam Cannes Film Festival karena usahanya menampilkan isu seksualitas yang terjadi di lingkup anak muda saat ini di mana terkadang masyarakat pura-pura menutup mata dan menolak untuk tahu. Hal lainnya yang membuat film ini patut ditonton adalah akting kedua aktris dalam film ini yang luar biasa mengingat keduanya bukanlah seorang lesbian. Let's say, you need to broaden your horizons a bit. It's about love after all.


Prince Avalanche
Film dengan sutradara terbaik dalam Berlin Film Festival 2013 dan masuk dalam deretan Tribeca Film Festival 2013 diperankan oleh Paul Rudd (Alvin) dan Emile Hirsch (Lance) sebagai tokoh utama. Bagi mereka yang menyukai Before Midnight, All the Real Girls, maupun Pineapple Express, boleh mengintip film ini lewat trailernya. You'll love it!

Film berdurasi 94 menit yang rilis Januari lalu bercerita tentang dua pekerja jalan yang menghabiskan musim panas '88 jauh dari rumah mereka, di hutan daerah Texas. Situasi dan lokasi yang terpencil menjadi satu petualangan sendiri. Petualangan laki-laki yang kembali mencari jati dirinya dengan melihat refleksi dirinya dari kaca mata rekan kerjanya ketika keduanya ditinggalkan kekasihnya.

Film ini merupakan remake dari film Iceland pada tahun 2011. Film ini layak masuk dalam deretan berbagai festival film dunia karena menyoroti dua hal paling mendasar dari perspektif manusia, persahabatan dengan hal-hal menyebalkan di antaranya yang membuat keduanya sama-sama belajar, serta chemistry yang terjalin di antara Rudd dan Hirsch merupakan refleksi perjalanan kehidupan yang tidak disadari terjadi pada kita. Alvin dengan kepribadian lembut dan Lance yang bersikap seperti anak kecil dengan lelucon yang berkembang menjadi konflik yang dibalut sentuhan komedi yang terlihat natural dan tidak berlebihan. Prince Avalanche is typical summer movie, I guess.



S-VHS
S-VHS atau V/H/S 2 adalah kumpulan bloody disgusting antologi horor yang memompa adrenalin kamu tanpa batas terangkum dalam cerita kriminal yang melibatkan pemuda mencari VHS berharga milyaran dollar untuk pihak ketiga.  Film yang merupakan gabungan enam sutradara, seperti Simon Barett, Adam Wingard, Eduardo Sanchez, Timo Tjahjanto, Gareth Huw Evans, Jason Eisener termasuk dalam daftar film dalam Sundance Film Festival 2013. Dengan durasi 96 menit, film ini menimbulkan perasaan ngilu seperti kuku yang menggaruk permukaan kaca. Sebut saja adegan di trailer-nya di mana seorang pria yang ditabrak kemudian dilindas truk ketika sedang memegang kamera. Perspektif yang digunakan adalah dari sudut pandang korban tabrak lari tersebut. Already got a goosebumps? Well, this movie wins for some reasons, no?

Adam Wingrad adalah otak dibalik 'Phase 1: Clinical Trials' saat seorang pria mendapat implan mata bionic setelah kehilangan sebelah matanya pada kecelakaan mobil. Satu yang perlu kamu beri perhatian lebih adalah Safe Haven karya Timo Tjahjanto, otak di balik Rumah Dara (Macabre). Salah satu situs kritik film mengatakan bahwa film ini merupakan yang terbaik dari segi konsep dan pengambilan gambar. Timo sendiri menyakan film ini merupakan salah satu film paling absurd dengan twisting horor yang luar biasa. Slumber Party Alien Abduction karya Jason Eisener juga menceritakan makhluk asing yang tidak kita ketahui yang menculik manusia. Dengan penggunaan film super 8 dan magnetic type yang serupa dengan The Ring, film ini menyuguhkan gambar yang mempermainkan imajinasi kita tentang konsep sebuah film thriller.



Kill Your Darlings
Dua hal penting yang menjadikan film ini tidak boleh luput untuk ditonton. Pertama, penampilan nerdy Daniel Radcliffe yang mencuri perhatian dari kali pertama sejak trailernya. Kedua, film ini membicarakan hal paling penting tentang dunia literatur Amerika di awal abad 20-an terkait nama-nama seperti Allen Ginsberg (Penulis Howl), William S. Burroughs (Penulis Naked Lunch), dan Jack Kerouac (Penulis On The Road). Hal lainnya adalah film ini masuk dalam deretan film terbaik Sundance Film Festival 2013 untuk Steal A Spot Film in which it really is!

Film dengan latar belakang Colombia University pada tahun 1940-an, Ginsberg (Daniel Radcliffe) bertemu dengan Lucien Carr (Dene DeHaan) yang membawanya dalam dunia obat-obatan, perubahan musik jazz, dan seks yang mempengaruhi karier kepenulisan Ginsberg selanjutnya. Carr meracuni Ginsberg dengan ide-ide subversif mengenai seni dan literatur. Sementara itu, di belakang Carr terdapat otak jenius dari David Kammerer (Michael C. Hall). Ginsberg bersama dua tokoh kunci lainnya, Jack Kerouac (Jack Huston) dan William S Burroughs (Ben Foster) yang mempertanyakan posisi mereka dalam sejarah dan situasi sosial Amerika pada saat itu.

Dengan sentuhan cerita John Krokidas, film ini menyuguhkan dramatisasi titik balik ketergantungan seorang penulis dalam sejarah New York Beat Generation di Amerika. Pembunuhan  Kammerer yang menyebabkan Carr, Kerouac, Burroughs ditahan sebagai terdakwa. Peristiwa yang membuat kehidupan penulis-penulis ini seluruhnya berubah. Let me rephrase this review to you: this move may best described as amazing moral maze!



Something in the Air
Film terbaru karya Olivier Assayas, penulis, sutradara, dan kritik film kawakan Cahiers du Cinema adalah intelektual dalam dunia sinema. Karya-karyanya seperti Irma Vep, Demonlover, atau Carlos adalah tontonan wajib bagi penikmat film. Dalam Something in the Air, Assayas mengetengahkan tema politik Prancis pada revolusi mahasiswa tahun 1968. Film ini menghadirkan adegan-adegan yang memompa adrenalin penontonnya. Bukan karena aksi dari aktor-aktornya, melainkan dari refleksi nyata situasi sosial politik Prancis pada masa itu. Assayas dengan mudah berkata bahwa tujuan film ini adalah membuat penonton 'merasakan' kembali berada pada momen terpenting dalam sejarah Prancis.

Film ini menampilkan pergerakan mahasiswa golongan kiri di mana Gilles (Clement Metayer) yang merupakan salah satu dari banyak siswa yang gencar melakukan demonstrasi. Ia dan temannya Christine (Lola Creton) dan Alain (Felix Armand) membuat mural di gedung sekolah dan melempar bom bensin ke arah penjaga. Dengan menangkap potret semangat anak muda pinggiran saat musim semi 1968. Assayas dengan terang-terangan memberi gambaran akan semuanya. They play with fire, both in reality and metaphor. Konflik dimulai ketika seorang penjaga terluka. Bagaimana siswa-siswa ini mengatasi peristiwa seperti ini? Film ini membawa penontonnya juga pada pertanyaan yang menarik, sehingga penghargaan Best Film dalam Venice Film Festival 2013 patut diraihnya.

Dengan durasi 122 menit, refleksi dari revolusi mahasiswa 1998 di Indonesia, film ini mengetengahkan romansa cinta remaja yang berlatarbelakang revolusi anak muda tergambar dalam narasinya. Walaupun situasi sarat politik, film ini tetap membuat penonton memandang dari sisi anak muda, bagaimana romantisme ada sebelum radikalisme, kesenian ada sebelum romantisme, dan bagaimana setiap pemuda jatuh cinta dalam setiap perjuangan identitas aktivisnya.

*) Published on Nylon Indonesia Magazine

Comments

Popular Posts